Aku percaya film ini, jika dimamah dengan baik, akan memberikan kekuatan teologis maupun spiritual bagi siapapun pemeluk agama Abrahamik, lebih-lebih orang Islam. Sebab, sosok-sosok utama film tersebut adalah mereka yang memiliki posisi terhormat dalam pondasi sejarah kemunculan Islam.
**
Setelah ramai seruan dari beberapa poolitisi Islam untuk tidak menonton film ini, aku berupaya mendapatkannya. Rasa penasaranku memuncak; sepedas apa sih film ini akan "menyudutkan," narasi mapan dalam agamaku.
Untuk keperluan menonton film ini, aku sungguh meribetkan diri; tidak hanya membaca kembali narasi drama domestik Sara-Hagar-Abraham dalam Alkitab, lebih jauh, aku juga berupaya menelusuri bagaimana Isaac (Ishak) disebut dalam Alquran.
Tidak cukup sampai di situ, aku bersusah payah membongkar perpustakaan onlineku, berupaya menemukan tulisan Mirza Younus, "Ishmael as Abraham's Sacrifice: Ibn Taymiyya and Ibn Kathir on the Intended Victim," dan karya Reuven Firestone, "Journeys in holy lands: The evolution of the Abraham-Ishmael legends in Islamic exegesis,"
ISMAIL ATAU ISHAK
Jika pokok persoalannya seputar siapa yang dikorbankan Ibrahim; Ismail atau Ishak adiknya, menurutku bisa jadi salah satu dari keduanya.
Banyak orang Kristen percaya Ishak ketimbang Ismail, sebagaimana topik utama film tersebut. Namun tidak sedikit orang Islam memilih mempercayai Ismail.
Sikap al-Quran sendiri terkait hal ini juga penuh misteri; tak menyebut siapa nama anak yang akan dikorbankan bapaknya. Para penafsir Alquran periode awal --beragama Islam tentu saja -- terbelah menjadi dua. Menurut catatan Firestone, berdasarkan kitab "Al-Ma'arif" milik Ibn Qutaibah (lahir 828 Masehi), ada 130 pendapat otoritatif pro Ishak. Sedangkan pendukung Ismail sebanyak 133 pendapat. Sama-sama kuatnya.
Kini, dunia Islam terasa lebih pro Ismail, seakan tak tahu betapa banyak sarjana awal Islam meyakini Ishak sebagai yang-dikorbankan ketimbang Ismail. Kenapa bisa demikian?
Menurut Mirza, hal ini tidak bisa dilepaskan dari semakin larisnya dua sosok penafsir alQuran; Ibnu Taimiyah dan Ibnu Kathir. Dengan karyanya, tambah Mirza, dua orang ini meyakinkan dunia Islam bahwa Ibrahim mengorbankan Ismail ketimbang Ishak.
Umat Islam yang sedari awal memang telah dikondisikan berbeda dari seteru utamanya, Kristen/Katolik, seperti tengah menemukan konfidensi baru dengan argumentasi Alkitabiah keduanya. Bayangkan, betapa senangnya mereka merasa benar memilih Ismail dengan justifikasi Alkitab --sama seperti sukacita pendukung Ishaq saat merasa mendapatkan pembenaran dari al-Quran.
His Only Son (HOS) jelas film propaganda kelompok pro Ishak. Dalam hukum besi propaganda, tidak mungkin sosok yang berpotensi merusak tujuan propaganda akan ditayangkan secara berimbang. Jika tidak didemonisasi, boleh jadi sosok tersebut tidak perlu disinggung. Kalaupun toh disinggung, jangan harap ia akan mendapat spotlight sebesar tokoh utama. Itu sebabnya film propaganda kerap beraroma narsis dan egois.
Bagiku, tak terlalu penting siapa yang akan dikorbankan Ibrahim. Sebab, ada hal yang lebih besar ketimbang itu. Yakni, tantangan berefleksi sejauhmana kita berani bersetia mengapresiasi perbedaan pandangan.
Apresiasi tersebut jelas tidak akan kita temukan pada mereka yang masih merasa insecure, haus validasi atas keyakinannya. Tak jarang mereka mengekspresikannya secara banal dan represif, seperti mereka yang menolak film ini dan menolak rendah hati bersikap jujur.
Bagamanapun narasi HOS, yang aku yakini didasarkan Alkitab, telah berupaya berani menyatakan kejujurannya. Kejujuran seperti ini jarang aku dapati, misalnya, dari kawan-kawanku pengikut Gusti Yesus (GY), terkait keberadaan Ismail dalam Alkitab.
Banyak dari mereka terlihat enggan mengapresiasi Ismail dan Hagar, seenggan orang Islam mengapresiasi GY dan Bunda Maryam --sungguhpun Al-Quran menyebut keduanya sangat banyak.
Dalam film tersebut Abraham dipotret terlihat gundah kala diingatkan salah satu pengikutnya terkait Ismail. Ia seperti tersadar bahwa sulungnya merupakan sosok penting penerus perjuangannya melalui 12 keturunannya nanti. Alkitab juga sepertinya mengkonfirmasi.
Al-Quran mengikuti Alkitab terkait dua anak Ibrahim, Ismail dan Ishak. Bahkan, al-Quran mencatat kegembiraan Sarah saat mendapat kabar kehamilan Ishak dalam usia yang tidak muda lagi.
Uniknya, nama Sarah dan Hagar tidak disebut dalam al-Quran. Entah dengan alasan apa. Begitu juga cerita perseteruan keduanya. Alkitab, sejujurnya, jelas lebih informatif ketimbang kitab suciku.
SKISMA SARAH-ABRAHAM-HAGAR
Aku sendiri, sebelum menonton, cukup pesimis apakah HOS berani menampilkan perseteruan Sarah dan Hagar. Kenyataannya, film ini relatif cukup jujur memasukkan perseteruan ini sebagai latarbelakang.
Terus terang saja, aku kasihan melihat Abraham yang terlihat sangat bucin kepada Sarah. Bayangkan, bapak agama-agama besar ini bisa sedemikian bingung saat dimarahi Sarah. Ia bingung; bagimana mungkin Sarah marah besar justru ketika ia melakukan perintah Sarah.
Perempuan bernama Sarah ini memang unik. Ia menyuruh suaminya bercinta dengan Hagar, budaknya selama ini. Sarah melakukan tindakan itu, aku yakin, karena begitu supportifnya pada Ibrahim. Ia tidak mau Abraham tidak memiliki keturunan.
Ironisnya, saat Abraham melakukan perintah Sarah, perempuan ini justru nangis dan marah, persis seperti respon David Murphy kepada istrinya dalam film Indecent Proposal.
Kemarahan Sarah makin memuncak saat Hagar hamil dan Abraham dianggap lebih sayang kepada Hagar dan jabang bayinya ketimbang pada dirinya. Sangat mungkin ia merasa eksistensinya sebagai majikan perempuan telah "dipermalukan" sedemikian rendahnya oleh budaknya sendiri, sungguhpun Hagar bukanlah perempuan sembarangan. Ia konon adalah putri Pharaoh (Firaun).
Aku meyakini perseteruan Yahudi- Kristen-Islam tidak bisa dilepaskan dari skisma domestik cinta segitiga Sarah-Abraham-Sarah. Tak terkecuali perseteruan terkait siapa yang sebenarnya akan dikorbankan Abraham. Di titik ini, umat Islam perlu tahu.
Sayangnya, jalinan alur HOS tiba-tiba dikejutkan oleh kemunculan Gusti Yesus di atas kayu salib, diakhir film. Aku sangat paham pesan sponsor ini; namanya juga film propaganda. Hanya saja, menurutku, kemunculan tersebut terkesan kurang rapi secara sinematografi. Mak bedunduk. Not really nice.
Akhirnya, aku bersyukur ada film-film seperti HOS, Passion of Christ, Spotlight dan lainnya. Umat Islam, sampai kapanpun, nampaknya tidak akan mampu memproduksi film-film seperti itu.
Peradaban kami seperti tersandera oleh entah apa, terlalu penakut memvisualisasikan sejarah masa lalunya. Kejujuran memang butuh proses dan mahal harganya. Itu sebabnya orang Islam perlu menonton dan belajar. (*)
No comments:
Post a Comment