Pages

Sunday, October 22, 2023

ONLY FOR ONE REASON; TO TRULY HONOR HIM

".......Semua aib kita tutupi. Only for one reason, to truly honor Him," ujarku. 

***
Aku tak menyangka akan banyak orang Islam datang dalam katekisasi terbuka GKI Sidoarjo, Selasa (17/9). Jumlahnya lebih dari 10 orang. 

Kebanyakan mereka datang bersama Gus Heri dari Walima Sidoarjo. Selain itu, datang pula beberapa kawan dari GUSDURian Sidoarjo serta dua orang kawanku, Fatur dan Yessika Indarini. Semuanya duduk di bangku depan.

Di belakang mereka, ada sekitar 30an anak muda GKI, peserta tetap katekisasi. Beberapa diantaranya, menurut pendeta Yoses, moderator malam itu, bergabung melalui livestreaming Youtube. Beberapa kawanku dari luar kota, misalnya Oak Tree, juga bergabung online.

Malam itu, kami semua membahas Isa al-Masih menurut Al-Quran. Aku sangat mengapresiasi keberanian --jika tidak boleh dikatakan; kenekatan-- GKI Sidoarjo. 

Gereja ini berani membekali jemaat mudanya dengan sesuatu yang selama ini dianggap supertabu dibincang di gereja. Padahal, semakin tabu sebuah persoalan, biasanya semakin penting posisinya

Membuka presentasi, aku terlebih dahulu membagi tiga kuadaran model perbincangan seputar Yesus dalam relasi Kristen-Islam; polemis alias debat kusir, akomodatif-konservatif -- sejenis perbincangan yang kira-kira ditutup dengan "oke, silahkan meyakini masing-masing. Tidak perlu didiskusikan lagi ketimbang nanti gegeran," 


Dan yang ketiga adalah akomodatif-progresif --diskusi yang terus menerus dilakukan untuk menemukan tidak hanya kenapa kristologi Islam dan Kristen berbeda, namun yang lebih jauh, kesediaan untuk bisa memahami posisi masing-masing secara akomodatif. 

Pilihan ketiga ini sekaligus mengandung upaya tanpa lelah menemukan sebanyak mungkin kesamaan ketimbang meronce perbedaan diantara keduanya --serta kerendahan hati mengapresiasi kebenaran masing-masing. Sederhananya; menggeser sesuatu yang bersifat mutlak menjadi lebih lentur dan akomodatif. 

Tiga kuadran tadi adalah istilahku sendiri, dalam rangka memudahkan. Istilah lain yang juga aku kenalkan malam itu adalah dua model "mendekati" kitab suci. 

"Ilahiah-dogmatik dan ilahiah-historik," kataku.


Yang pertama adalah pendekatan teks yang ilahiah tanpa mempertimbangkan konteks historik saat diturunkan/dikreasikan. Teks yang ilahiah, dengan demikian, tambahku, dipahami secara tertutup, literal, serta diasingkan dari lingkungan kiri-kanan-atas-bawahnya. 

Sedangkan pendekatan kedua, ilahiah-historis, merupakan kebalikan dari yang pertama. Aku berupaya mendekati Isa al-Masih dalam perspektif kedua.

Aku tak sungkan menyatakan dalam forum tersebut betapa bersyukurnya aku dipertemukan dengan salah satu karya Prof. Irfan Shahid, akademisi kelahiran Nazareth Palestina. Darinya, aku akhirnya menemukan jawaban rasa penasaranku; kenapa al-Quran memilih posisi vis a vis dengan kristologi mainstream (trinitarian). 

"Gus, bukti-bukti historis menyatakan Yesus mati disalib, kenapa banyak orang Islam keukeuh tidak mau menerima hal ini seperti kami?" ujar salah satu penanya. 

"Banyak dari kami yang nampaknya belum bisa move on ya? Harus aku katakan, ini tidak mudah bagi kami," ujarku.

Begini, kataku, Yesus atau Isa Almasih itu bukan sosok sembarang dalam Islam. Dalam piramida antara manusia dan Tuhan, sebagaimana yang aku pahami, posisi tertinggi manusia adalah Rasul. Rasul lebih tinggi dari Nabi. Rasul pasti nabi namun tidak berlaku sebaliknya.

"Jika dianalogikan, rasul itu kira-kira seperti pendeta yang mengampu jemaat. Sedangkan nabi, pendeta non-jemaat, semacam pendeta tugas khusus, kira-kira," kataku.


Nah, dari 25 rasul yang ada dalam galaksi tradisi Islam-Sunni yang aku terima, ada lima rasul yang masuk kategori top five. Bergelar ulul azmi -- mereka yang dianggap memiliki keberanian, kesabaran, kepatuhan, kesungguhan diatas rata-rata dalam menyampaikan tugas ilahiah. Kelimanya adalah Nuh, Ibrahim, Musa , Isa/Yesus, dan Muhammad.

"Dalam dunia militer, mungkin gelarnya adalah bintang lima. Jenderal besar. Sangat terhormat" ujarku.

Dalam didikan yang kami terima, orang-orang besar dan terhormat harus dilindungi kehormatannya. Sekuat tenaga. Bahkan jika perlu kami akan mengorbankan apa saja untuk hal itu.

"Kami sangat sulit menerima sosok supertehormat seperti, misalnya, Isa/Yesus didemonstrasikan seperti itu. Disalib itu aib dan hina. Mungkin doktrin kalian sudah berhasil menemukan solusi atas penyaliban tersebut namun kami belum. Ini soal perasaan kok." ujarku.

Untuk memudahkan peserta memahami maksudku, aku kemudian bertanya bagaimana model pemulasaran jenazah dalam tradisi GKI. Ternyata sama seperti tradisi kekristenan pada umumnya. Jenazah didandani serapi mungkin, seindah yang bisa dicapai. 

Sehingga, seandainya ada luka menganga di tubuh jenazah dapat ditutupi dan tidak merusak keindahan jenazah. Bahkan, kabarnya, jika jenazah memiliki bekas luka di wajah maka akan ada perawatan khusus agar luka tersebut tidak nampak ke publik. Luka dianggap bukan sesuatu yang indah untuk dipertontonkan.

"Kami memperlakukan penyaliban Yesus sebagaimana kalian memperlakukan jenazah. Semua aib kita tutupi. Only for one reason, to truly honor Him," ujarku. 

Selama lebih dari dua jam kami semua mendiskusikan Yesus; dengan terbuka, dengan kerendahan hati, nyaris tanpa intensi merasa paling benar. 

"Ses, jika kamu Yesus dan aku menghadapmu dengan mengatakan 'Apakah kamu akan tetap menerimaku meski caraku menghormatimu berbeda dari kebanyakan' --apakah kamu akan menerimaku?" tanyaku

"Yo jelas aku terima, mas" katanya tanpa ragu, sambil tersenyum.

Selamat Hari Santri.(*)

Link presentasi: https://drive.google.com/file/d/1hLxPpI-JtjkWz-qPLvJFWs4r05E1nIJt/view?usp=drivesdk

Link dokumentasi Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=ToARRqBLt6k

Friday, October 20, 2023

Tambakberas dan Perkawinan Beda Agama: LOTS Bukan HOTS

Sekuat tenaga aku mendorong mereka berani melawan "batas imajiner" yang selama ini telah didoktrinkan; tidak boleh menabrak pakem apa yang telah digariskan agama dalam urusan perkawinan agama (PBA). Pakemnya jelas, Islam tidak memperbolehkan pengikutnya kawin kecuali dengan mereka yang seagama. 

Malam itu, Minggu (15/9), aku mengajak mereka meninjau ulang terkait pakem tersebut. Benarkah PBA memang tidak boleh? Apakah itu satu-satunya pakem, dalam arti tidak ada pakem lain yang sifatnya opsional?

Adalah bu nyaiku, Ning Um, yang menyatakan kerisauannya terhadap sikap MUI melalui fatwa haram PBA tanpa reserved. Menurut sarjana syariah jebolan UIN Sunan Kalijaga ini, sikap MUI bisa dianggap berlebihan. Sebab, al-Quran tidak menyatakan sekeras sikap MUI. Masih ada, tambahnya, ruang bagi Muslim untuk menikahi perempuan ahl al-Kitab. 

Meski ia dengan terbuka mendorong santrinya berupaya mencari pasangan seagama --bukan al-mukhsonati min al-ladxina uutu al-kitab-- namun dia mewanti-wanti agar santrinya tetap kritis dalam berpikir. 

"Kawan-kawan, saya bersyukur pernah dididik langsung dan tetap diperkenankan berinteraksi hingga sekarang oleh beliau," ujarku sembari menoleh ke bu nyai Umdah. 

Menurutku, malam itu, beliau seperti ingin meneladankan bagaimana model ideal santri dan santriwati terkait kritisisme, bahkan dalam persoalan yang serumit PBA. Mungkin dia bukan satu-satunya yang seperti ini namun yang pasti masih sangat belum banyak bu nyai memilih jalan terjal ini. 

Secara agak terstruktur, aku menandai sikap bu nyai Umdah ini sebagai perwujudan dari level tertinggi HOTS, higher-order thinking skills --level berpikir tinggi. Level ini terdiri dari tiga tingkatan; yang paling bawah -- menganalisa, mengevaluasi dan, yang tertinggi, menciptakan. 

Jika HOTS adalah level berpikir tinggi maka LOTS adalah level berpikir rendah, singkatan dari lower-order thninking skills. Sebagaimana HOTS, LOTS juga terdiri dari tiga tingkatan; yang paling bawah, mengingat, memahami dan, yang paling tinggi adalah mengaplikasikan. 

Dengan demikian, secara sederhana, model berpikir terdiri dari 6 anak tangga. Tiga anak tangga bawah masuk dalam LOTS. Tiga anak tangga atas masuk kategori HOTS. 

"Enam anak tangga ini, semuanya, menggunakan dua kaidah fiqh yang sering kita gunakan," tambahku.

Pertama, kaidah menjaga warisan lama yang baik dan, pada saat bersamaan, mengakomodasi inovasi baru yang lebih baik -- al-mukhafadlotu 'ala qadim al-sholih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah. Dan, kedua, kaidah continual improvement yang pernah dirumuskan Kiai Ma'ruf Amin; al-ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah. 

Aku kemudian memberikan  contoh sederhana penerapan 6 anak tangga berpikir ini terhadap keberadaan hukum potong tangan pencuri yang terekam sangat eksplisit dalam al-Quran. 

"Jika kita berhasil mengingat, mengerti dan mengaplikasikan ayat tersebut secara literal, dalam arti kita menyetujui keberlakuan hukum potong tangan pencuri maka sangat mungkin kita baru pada level LOTS," ujarku. 

Namun jika seandainya kita berani, tambahku, menganalisis dan mengevaluasi dampak penerapan LOTS bagi manusia, yang oleh karenanya kita mengusulkan sesuatu yang baru dari produk analisis dan evaluasi tersebut maka kita telah berhasil naik pangkat; dari LOTS menuju HOTS.

"Hukuman denda dan penjara bagi para pencuri ketimbang potong tangan merupakan manifestasi konkrit implementasi HOTS," kataku. 

Aku mengajak para peserta diskusi berani mempertanyakan doktrin, keyakinan, nilai atau apa saja yang meski telah dianggap mapan namun pada kenyataannya masih berpotensi merugikan hak dasar manusia. 

Pelarangan PBA menggunakan basis kitab suci, menurutku, akan bermasalah manakala kita hanya mencukupkan diri pada level LOTS saja. Padahal HOTS telah menyediakan dirinya bagi kita untuk memerdekakan orang lain dari penindasan.

Tentulah bukan hal mudah untuk menganalisa, mengevaluasi dan merumuskan hal baru isu PBA. Hanya saja, jika basis rasionalitas kita melarang PBA adalah karena faktor kebahagiaan berkeluarga maka faktor tersebut masih bersifat asumtif (dzanni) bukan definitif (qath'i). 

"Ada orang yang merasa jodohnya seagama. Ada yang tidak seagama. Kita tidak bisa menghakimi semua PBA pasti tidak bahagia dan semua perkawinan seagama pasti berbahagia. Kita tidak bisa memutlakkan sesuatu sembari menafikan yang lain," ujarku. 

Majulah As Saidiyyah. Majulah Tambakberas. Mari kita naikkan cara berpikir kita; dari LOTS menuju HOTS.(*)

**Rekaman hasil diskusi https://www.youtube.com/watch?v=GkpK-x7g1mU

Tuesday, October 10, 2023

SAAT YESUS DIBUAT OBYEK NGEPRANK

Barangkali prank terbesar tahun ini adalah gagalnya pergantian Isa al-Masih menjadi Yesus Kristus dalam kalender tahun 2024. Pasti tidak sedikit orang Kristen/Katolik kecewa. Aku, muslim, juga tidak kalah kecewanya.

Kekecewaan tersebut merupakan hal yang sangat wajar. Mengingat, wacana pergantian ini jauh hari sudah digaungkan oleh pemerintah sendiri, melalui beberapa kementerian yang dikordinasi oleh Kemenko PMK Muhajir.

"Akan ada perubahan nomenklatur (tata nama) atas usulan Kementerian Agama (Kemenag RI) terkait dari istilah, yaitu Isa Almasih akan diubah menjadi Yesus Kristus," kata Muhadjir kepada CNBC, 16/9.

Wakil Menteri Agama, Saiful Rahmad Dasuki, menyatakan perubahan tersebut merupakan usulan dari kelompok Kristen dan Katolik. Kementeriannya, menurutnya, ikut memperjuangkannya, "Alhamdulillah bisa diterima," ujarnya kepada CNBC (16/9)


Penegasan Muhajir dan Dasuki ini sekaligus menguatkan pandangan sebelumnya. Pada 12 September, saat konferensi pers di kantornya, Muhajir telah menyatakan akan ada  perubahan nomenklatur tersebut; Isa al-Masih diganti Yesus Kristus. Selama ini, ada dua hari libur keagamaan Kristen/Katolik yang masih menggunakan kata "Isa Al-Masih," yakni, wafat dan kenaikan.

Namun yang membingungkan, pada tanggal yang sama, 12 September, tiga orang menteri -- Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara -- menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) bernomor 855, 3 dan 4 Tahun 2024 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2024.

Dalam SKB setebal 5 halaman tersebut tidak ditemukan kata "Yesus Kristus," alih-alih tetap "Isa Al-masih," Tertulis dalam SKB tersebut "Wafat Isa al-Masih," jatuh pada 29 Mei 2024. Sedangkan "Kenaikan Isa al-Masih," dilaksanakan 9 Mei 2024.

Jika kita berpikir pergantian nomenklatur dari Isa al-Masih menjadi Yesus Kristus akan ditetapkan melalui peraturan presiden (perpres), mungkinkah perpres berani tidak sejalan dengan tiga kementerian yang semuanya dikomandani para kader terbaik NU ini? Rasanya tidak karena hal itu membentur kelaziman sistem ketatanegaraan kita. Aku bertaruh tidak akan ada perpres yang bertentangan denga  SKB tersebut.

Mungkinkah elit PGI dan KWI tiba-tiba menarik usulan perubahan tersebut? Jika iya, kenapa bisa demikian? 

Secara personal aku meragukan dua institusi itu menarik usulannya. Sulit dinalar mereka berani bertindak senekat itu, apalagi dalam urusan sesakral ini; apa yang lebih sakral dalam kekristenan Indonesia yang melebihi nama Yesus Kristus?

"Saya kira kordinasi tekhnis belum merata dalam kementerian/lembaga, Gus," kata Pdt. Jack Manuputty, saat menjawab pertanyaanku seputar prank ini melalui WA pagi tadi, 10/6.


Sekum PGI ini juga memberiku salinan keterangannya seputar perubahan nama dari Isa al-Masih menjadi Yesus Kristus, yang menurutnya agar lebih seragam secara istilah. Untuk lebih lengkapnya, berikut aku kutipkan WA darinya:

_"Selamat malam!_
_Tentang perubahan nomenklatur ini perlu diinformasikan bahwa:_

_PGI selama beberapa tahun terakhir mengirimkan surat ke Dirjen Bimas Kristen sebagai tanggapan terhadap permintaan tahunan Kemenag untuk Menyusun hari raya Kristen dalam kalender resmi pemerintah._

_Setiap kali menanggapinya, kita mendata empat hari raya umat Kristen, masing-masing:_
 
_- Kematian Yesus Kristus (Hari Jumat Agung)_
_- Kebangkitan Yesus Kristus (Hari Paskah)  -Kenaikan Yesus Kristus_
_- Kelahiran Yesus Kristus (Hari Natal)._

_Pada surat balasannya, PGI selalu meminta penyeragaman istilah dari keempat hari raya itu, karena dalam kalender resmi pemerintah seringkali ditemukan ketidak-seragaman istilah antara Yesus Kristus dan Isa Al Masih. PGI meminta supaya semua istilah itu diseragamkan saja ke istilah Yesus Kristus._
 
_Mengapa memilih penyeragaman ke frasa Yesus Kristus, dan bukan Isa Al Masih?_

_Bagi saya, sederhana saja, karena frasa Yesus Kristus lebih familiar untuk umat Kristen. Frasa ini dekat ke umat Kristen karena Alkitab kita (PB) merupakan terjemahan (dominan) dari Alkitab berbahasa Yunani yang menjadi ‘lingua franca’ di Timur Tengah pada jamannya (selain bahasa Latin yg umumnya dipakai dalam pemerintahan). Frasa Yesus Kristus, sebagaimana kita ketahui, adalah transliterasi dari Bahasa Yunani, sementara frasa Isa Al Masih adalah transliterasi dari Bahasa Arab._

_Apakah keduanya mengandung makna yang sama? Bagi mereka yang mempelajari Filologi, kedua frasa ini tak memiliki perbedaan makna (bila dilihat dari perspektif Kristen). Kalau dari perspektif akidah dan tauhid Islam, Isa Al Masih tentunya dimengerti berbeda dengan yang dipahami oleh umat Kristen._ 

_Apakah kita perlu menggunakan frasa 'Isa Al Masih' supaya lebih bisa diterima kaum Islam di negeri ini? Menurut saya, tak perlu, sebab toh frasa Isa Al Masih dalam perspektif Islam berbeda dengan yang umat Kristen mengerti._

_Apakah dengan menggunakan frasa 'Yesus Kristus' maka kita akan berjarak dengan umat Islam? Menurut saya, juga tidak! Bahkan sebaliknya, ketika umat Muslim bisa menerima (bukan meyakini) apa yang menjadi keunikan pengakuan Kristen, maka horizon toleransi agama dan keyakinan di negeri ini semakin meluas."_

****

Jika demikian, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa para menteri terkesan tidak konsisten dengan apa yang telah diucapkan ke publik? 

Prank Yesus ini tidak hanya jelas mengecewakan banyak orang Kristen/Katolik. Lebih jauh, setelah gagal melindungi kemerdekan kawin beda agama, prank ini juga secara nyata merugikan rezim Jokowi yang harusnya bisa dengan sangat-sangat mudah mengganti nama Isa al-Masih menjadi Yesus Kristus.

Bisa jadi prank ini adalah semacam produk moderasi beragama; sehingga Yesus Kristus pun "diminta," moderat dengan cara bersedia dilabeli berbeda dengan apa yang diimani pengikutNya, sejak bangsa ini merdeka.(*)

Aan Anshori

Monday, October 9, 2023

POIN GEDE CIPUTRA


Aku menulis catatan ini dengan perasaan campur aduk.

Beberapa hari lalu aku membaca berita. Seorang Brigjend TNI di Manado sampai membuat surat terbuka. Ditujukan kepada Kapolri dan KSAD, salah satunya. 

Dia membela anak buahnya dan seorang pemilik lahan yang tegah bersengketa dengan grup Ciputra di sana. Grup bisnis ini rupanya tengah melakukan ekspansi di wilayah tersebut mendapat kendala lahan dari satu orang.

Sang Brigjend tidak terima ada ketidakadilan terhadap anak buah dan pemilik lahan. Ia menulis surat dan sempat viral. Salut aku dengan sang Brigjend.

Bisnis dan konflik lahan yang kerap merugikan rakyat kecil merupakan hal jamak di Indonesia. Sungguh mengganggu pikiranku selama ini. 

Dan yang terus memprovokasi keresahanku, hal tersebut juga dilakukan institusi bisnis yang memiliki sayap pendidikan di mana aku bekerja dan melayani di sana. Cuk, rumit.

Namun di sisi lain, aku merasa merdeka di Kampus Ciputra. Bisa berkreasi dalam mendidik mahasiswa/iku. Bahkan termasuk untuk hal-hal yang dianggap tabu untuk ukuran perguruan tinggi. 

Aku bisa dengan mudah mengintegrasikan berbagai isu isu di kelasku. Agnostik, ateisme, sejarah 65-66, LGBT -- apalagi interfaith, adalah beberapa yang bisa aku sebutkan.

Film dan video pendek seperti "Perempuan Tanpa Vagina," "Indonesia Calling," serta kuliah umum Prof. Ariel Heryanto "Historiografi Indonesia yang Rasis," aku gunakan sebagai bahan mengajar. 

Memang, departemenku sudah menyediakan bahan ajar standar, wajib diikuti semua dosen. Namun kepala departemenku, Lili/Johan Hassan, merupakan sosok yang terbuka. 

Mereka mempersilahkan dosen untuk bisa berkreasi sepanjang masih sesuai dengan pencapaian kompetensi matakuliah secara umum.

"Olraiittttt," batinku. 

Aku melihat ada ruang bagiku untuk dapat bereksperimentasi, menggenjot kritisisme para mahasiswa/i. Tidak hanya dalam aspek afeksi dan kognitif namun juga, ini yang terpenting, psikomotorik!


Semester ini aku mengampu 4 kelas. Dua kelas Pancasila, dua kelas Religions. Rata-rata yang ikut kelasku adalah para mahasiswa kedokteran dan International-Bussiness. 

"Mas, aku mau bikin terobosan bagi kelasku. Ndak papa ya?" kataku pada mas Johan, pjs dekan MKU.

Ia tidak keberatan sepanjang tidak membebani mahasiswa/i. Ya, mas Johan mewanti-wanti soal "pembebanan mahasiswa/i," 

Aku paham sekali dengan wantian itu. 

Mahasiswa/i di Ciputra memiliki begitu banyak tugas dari jurusannya, apalagi di tengah pandemi seperti ini. Tidak mudah menjadi mahasiswa/i Ciputra. 

Nggak bisa berleha-leha. Belajar, belajar, dan belajar. Sistem yang mendidik mereka untuk bekerja dengan keras. 

Sadar tidak boleh membebani mereka, aku melakukan terobosan dengan memberikan mereka tawaran. Artinya, mereka bisa mengambil tawaran ini atau tidak. 

Jika mengambil tawaran ini, mereka  akan mendapat poin yang akan diakumulasikan dalam nilai matakuliahnya. Semakin banyak poin, semakin nyata kesempurnaan nilai mereka.

Aku menawarkan tiga aktifitas pada keempat kelasku. Pertama, penambahan poin cukup tinggi bagi mereka yang mempunyai relasi asmara beda agama dan/atau suku/etnis. 

Tawaran ini berupaya mendorong pembauran secara nyata. Pacaran beda agama/etnis/suku yang semakin redup akhir-akhir ini, aku berharap bisa kembali dipertimbangkan.


Kedua, ikut bergabung dalam project "Santa Secret," milik unik kerohanian mahasiswa (UKM) Protestan dan Katolik. Dua agama ini adalah agama mayoritas di Ciputra. 

Santa Secret adalah kegiatan charity pada Desember nanti. Siapapun bisa terlibat. Tidak peduli apapun agama/ras/suku/etnisnya. 

Aku mendorong mahasiswi/aku yang beragama selain Protestan/Katolik untuk ikut terlibat. Poinnya lumayan gede.

Tawaranku ketiga adalah ikut sit-in di kelas kawanku yang mengajar MKU di kampus Petra Surabaya. Dia tengah menggagas pembauran mahasiswa lintas agama/etnis dan lintas kampus. 

Menurutku ini upaya keren yang harus didukung. Aku memberikan kesempatan mahasiswi/aku di Ciputra untuk ikut kelas di Petra.

Pasti mereka akan mendapatkan pengalaman baru yang akan menguatkan komitmen kepancasilaan dan keagamaannya. Supaya mereka bisa bertindak seperti sang brigjend? Aku berharap demikian.(*)


*Tulisan ini juga tayang di Facebookku 25 September 2021.

Featured Post

SEPUTAR LOKASI KELAHIRAN YESUS; MENYINGKAP KLAIM AL-QURAN

Sebelum aku menemukan tulisan Mustafa Akyol, "Away in a Manger... Or Under a Palm Tree?" terbit 7 tahun lalu di The New York Times...