***
Aku tak menyangka akan banyak orang Islam datang dalam katekisasi terbuka GKI Sidoarjo, Selasa (17/9). Jumlahnya lebih dari 10 orang.
Kebanyakan mereka datang bersama Gus Heri dari Walima Sidoarjo. Selain itu, datang pula beberapa kawan dari GUSDURian Sidoarjo serta dua orang kawanku, Fatur dan Yessika Indarini. Semuanya duduk di bangku depan.
Di belakang mereka, ada sekitar 30an anak muda GKI, peserta tetap katekisasi. Beberapa diantaranya, menurut pendeta Yoses, moderator malam itu, bergabung melalui livestreaming Youtube. Beberapa kawanku dari luar kota, misalnya Oak Tree, juga bergabung online.
Malam itu, kami semua membahas Isa al-Masih menurut Al-Quran. Aku sangat mengapresiasi keberanian --jika tidak boleh dikatakan; kenekatan-- GKI Sidoarjo.
Gereja ini berani membekali jemaat mudanya dengan sesuatu yang selama ini dianggap supertabu dibincang di gereja. Padahal, semakin tabu sebuah persoalan, biasanya semakin penting posisinya
Membuka presentasi, aku terlebih dahulu membagi tiga kuadaran model perbincangan seputar Yesus dalam relasi Kristen-Islam; polemis alias debat kusir, akomodatif-konservatif -- sejenis perbincangan yang kira-kira ditutup dengan "oke, silahkan meyakini masing-masing. Tidak perlu didiskusikan lagi ketimbang nanti gegeran,"
Dan yang ketiga adalah akomodatif-progresif --diskusi yang terus menerus dilakukan untuk menemukan tidak hanya kenapa kristologi Islam dan Kristen berbeda, namun yang lebih jauh, kesediaan untuk bisa memahami posisi masing-masing secara akomodatif.
Pilihan ketiga ini sekaligus mengandung upaya tanpa lelah menemukan sebanyak mungkin kesamaan ketimbang meronce perbedaan diantara keduanya --serta kerendahan hati mengapresiasi kebenaran masing-masing. Sederhananya; menggeser sesuatu yang bersifat mutlak menjadi lebih lentur dan akomodatif.
Tiga kuadran tadi adalah istilahku sendiri, dalam rangka memudahkan. Istilah lain yang juga aku kenalkan malam itu adalah dua model "mendekati" kitab suci.
"Ilahiah-dogmatik dan ilahiah-historik," kataku.
Yang pertama adalah pendekatan teks yang ilahiah tanpa mempertimbangkan konteks historik saat diturunkan/dikreasikan. Teks yang ilahiah, dengan demikian, tambahku, dipahami secara tertutup, literal, serta diasingkan dari lingkungan kiri-kanan-atas-bawahnya.
Sedangkan pendekatan kedua, ilahiah-historis, merupakan kebalikan dari yang pertama. Aku berupaya mendekati Isa al-Masih dalam perspektif kedua.
Aku tak sungkan menyatakan dalam forum tersebut betapa bersyukurnya aku dipertemukan dengan salah satu karya Prof. Irfan Shahid, akademisi kelahiran Nazareth Palestina. Darinya, aku akhirnya menemukan jawaban rasa penasaranku; kenapa al-Quran memilih posisi vis a vis dengan kristologi mainstream (trinitarian).
"Gus, bukti-bukti historis menyatakan Yesus mati disalib, kenapa banyak orang Islam keukeuh tidak mau menerima hal ini seperti kami?" ujar salah satu penanya.
"Banyak dari kami yang nampaknya belum bisa move on ya? Harus aku katakan, ini tidak mudah bagi kami," ujarku.
Begini, kataku, Yesus atau Isa Almasih itu bukan sosok sembarang dalam Islam. Dalam piramida antara manusia dan Tuhan, sebagaimana yang aku pahami, posisi tertinggi manusia adalah Rasul. Rasul lebih tinggi dari Nabi. Rasul pasti nabi namun tidak berlaku sebaliknya.
"Jika dianalogikan, rasul itu kira-kira seperti pendeta yang mengampu jemaat. Sedangkan nabi, pendeta non-jemaat, semacam pendeta tugas khusus, kira-kira," kataku.
Nah, dari 25 rasul yang ada dalam galaksi tradisi Islam-Sunni yang aku terima, ada lima rasul yang masuk kategori top five. Bergelar ulul azmi -- mereka yang dianggap memiliki keberanian, kesabaran, kepatuhan, kesungguhan diatas rata-rata dalam menyampaikan tugas ilahiah. Kelimanya adalah Nuh, Ibrahim, Musa , Isa/Yesus, dan Muhammad.
"Dalam dunia militer, mungkin gelarnya adalah bintang lima. Jenderal besar. Sangat terhormat" ujarku.
Dalam didikan yang kami terima, orang-orang besar dan terhormat harus dilindungi kehormatannya. Sekuat tenaga. Bahkan jika perlu kami akan mengorbankan apa saja untuk hal itu.
"Kami sangat sulit menerima sosok supertehormat seperti, misalnya, Isa/Yesus didemonstrasikan seperti itu. Disalib itu aib dan hina. Mungkin doktrin kalian sudah berhasil menemukan solusi atas penyaliban tersebut namun kami belum. Ini soal perasaan kok." ujarku.
Untuk memudahkan peserta memahami maksudku, aku kemudian bertanya bagaimana model pemulasaran jenazah dalam tradisi GKI. Ternyata sama seperti tradisi kekristenan pada umumnya. Jenazah didandani serapi mungkin, seindah yang bisa dicapai.
Sehingga, seandainya ada luka menganga di tubuh jenazah dapat ditutupi dan tidak merusak keindahan jenazah. Bahkan, kabarnya, jika jenazah memiliki bekas luka di wajah maka akan ada perawatan khusus agar luka tersebut tidak nampak ke publik. Luka dianggap bukan sesuatu yang indah untuk dipertontonkan.
"Kami memperlakukan penyaliban Yesus sebagaimana kalian memperlakukan jenazah. Semua aib kita tutupi. Only for one reason, to truly honor Him," ujarku.
Selama lebih dari dua jam kami semua mendiskusikan Yesus; dengan terbuka, dengan kerendahan hati, nyaris tanpa intensi merasa paling benar.
"Ses, jika kamu Yesus dan aku menghadapmu dengan mengatakan 'Apakah kamu akan tetap menerimaku meski caraku menghormatimu berbeda dari kebanyakan' --apakah kamu akan menerimaku?" tanyaku
"Yo jelas aku terima, mas" katanya tanpa ragu, sambil tersenyum.
Selamat Hari Santri.(*)
Link presentasi: https://drive.google.com/file/d/1hLxPpI-JtjkWz-qPLvJFWs4r05E1nIJt/view?usp=drivesdk
Link dokumentasi Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=ToARRqBLt6k