Pages

Monday, October 9, 2023

POIN GEDE CIPUTRA


Aku menulis catatan ini dengan perasaan campur aduk.

Beberapa hari lalu aku membaca berita. Seorang Brigjend TNI di Manado sampai membuat surat terbuka. Ditujukan kepada Kapolri dan KSAD, salah satunya. 

Dia membela anak buahnya dan seorang pemilik lahan yang tegah bersengketa dengan grup Ciputra di sana. Grup bisnis ini rupanya tengah melakukan ekspansi di wilayah tersebut mendapat kendala lahan dari satu orang.

Sang Brigjend tidak terima ada ketidakadilan terhadap anak buah dan pemilik lahan. Ia menulis surat dan sempat viral. Salut aku dengan sang Brigjend.

Bisnis dan konflik lahan yang kerap merugikan rakyat kecil merupakan hal jamak di Indonesia. Sungguh mengganggu pikiranku selama ini. 

Dan yang terus memprovokasi keresahanku, hal tersebut juga dilakukan institusi bisnis yang memiliki sayap pendidikan di mana aku bekerja dan melayani di sana. Cuk, rumit.

Namun di sisi lain, aku merasa merdeka di Kampus Ciputra. Bisa berkreasi dalam mendidik mahasiswa/iku. Bahkan termasuk untuk hal-hal yang dianggap tabu untuk ukuran perguruan tinggi. 

Aku bisa dengan mudah mengintegrasikan berbagai isu isu di kelasku. Agnostik, ateisme, sejarah 65-66, LGBT -- apalagi interfaith, adalah beberapa yang bisa aku sebutkan.

Film dan video pendek seperti "Perempuan Tanpa Vagina," "Indonesia Calling," serta kuliah umum Prof. Ariel Heryanto "Historiografi Indonesia yang Rasis," aku gunakan sebagai bahan mengajar. 

Memang, departemenku sudah menyediakan bahan ajar standar, wajib diikuti semua dosen. Namun kepala departemenku, Lili/Johan Hassan, merupakan sosok yang terbuka. 

Mereka mempersilahkan dosen untuk bisa berkreasi sepanjang masih sesuai dengan pencapaian kompetensi matakuliah secara umum.

"Olraiittttt," batinku. 

Aku melihat ada ruang bagiku untuk dapat bereksperimentasi, menggenjot kritisisme para mahasiswa/i. Tidak hanya dalam aspek afeksi dan kognitif namun juga, ini yang terpenting, psikomotorik!


Semester ini aku mengampu 4 kelas. Dua kelas Pancasila, dua kelas Religions. Rata-rata yang ikut kelasku adalah para mahasiswa kedokteran dan International-Bussiness. 

"Mas, aku mau bikin terobosan bagi kelasku. Ndak papa ya?" kataku pada mas Johan, pjs dekan MKU.

Ia tidak keberatan sepanjang tidak membebani mahasiswa/i. Ya, mas Johan mewanti-wanti soal "pembebanan mahasiswa/i," 

Aku paham sekali dengan wantian itu. 

Mahasiswa/i di Ciputra memiliki begitu banyak tugas dari jurusannya, apalagi di tengah pandemi seperti ini. Tidak mudah menjadi mahasiswa/i Ciputra. 

Nggak bisa berleha-leha. Belajar, belajar, dan belajar. Sistem yang mendidik mereka untuk bekerja dengan keras. 

Sadar tidak boleh membebani mereka, aku melakukan terobosan dengan memberikan mereka tawaran. Artinya, mereka bisa mengambil tawaran ini atau tidak. 

Jika mengambil tawaran ini, mereka  akan mendapat poin yang akan diakumulasikan dalam nilai matakuliahnya. Semakin banyak poin, semakin nyata kesempurnaan nilai mereka.

Aku menawarkan tiga aktifitas pada keempat kelasku. Pertama, penambahan poin cukup tinggi bagi mereka yang mempunyai relasi asmara beda agama dan/atau suku/etnis. 

Tawaran ini berupaya mendorong pembauran secara nyata. Pacaran beda agama/etnis/suku yang semakin redup akhir-akhir ini, aku berharap bisa kembali dipertimbangkan.


Kedua, ikut bergabung dalam project "Santa Secret," milik unik kerohanian mahasiswa (UKM) Protestan dan Katolik. Dua agama ini adalah agama mayoritas di Ciputra. 

Santa Secret adalah kegiatan charity pada Desember nanti. Siapapun bisa terlibat. Tidak peduli apapun agama/ras/suku/etnisnya. 

Aku mendorong mahasiswi/aku yang beragama selain Protestan/Katolik untuk ikut terlibat. Poinnya lumayan gede.

Tawaranku ketiga adalah ikut sit-in di kelas kawanku yang mengajar MKU di kampus Petra Surabaya. Dia tengah menggagas pembauran mahasiswa lintas agama/etnis dan lintas kampus. 

Menurutku ini upaya keren yang harus didukung. Aku memberikan kesempatan mahasiswi/aku di Ciputra untuk ikut kelas di Petra.

Pasti mereka akan mendapatkan pengalaman baru yang akan menguatkan komitmen kepancasilaan dan keagamaannya. Supaya mereka bisa bertindak seperti sang brigjend? Aku berharap demikian.(*)


*Tulisan ini juga tayang di Facebookku 25 September 2021.

No comments:

Post a Comment