Pages

Friday, October 20, 2023

Tambakberas dan Perkawinan Beda Agama: LOTS Bukan HOTS

Sekuat tenaga aku mendorong mereka berani melawan "batas imajiner" yang selama ini telah didoktrinkan; tidak boleh menabrak pakem apa yang telah digariskan agama dalam urusan perkawinan agama (PBA). Pakemnya jelas, Islam tidak memperbolehkan pengikutnya kawin kecuali dengan mereka yang seagama. 

Malam itu, Minggu (15/9), aku mengajak mereka meninjau ulang terkait pakem tersebut. Benarkah PBA memang tidak boleh? Apakah itu satu-satunya pakem, dalam arti tidak ada pakem lain yang sifatnya opsional?

Adalah bu nyaiku, Ning Um, yang menyatakan kerisauannya terhadap sikap MUI melalui fatwa haram PBA tanpa reserved. Menurut sarjana syariah jebolan UIN Sunan Kalijaga ini, sikap MUI bisa dianggap berlebihan. Sebab, al-Quran tidak menyatakan sekeras sikap MUI. Masih ada, tambahnya, ruang bagi Muslim untuk menikahi perempuan ahl al-Kitab. 

Meski ia dengan terbuka mendorong santrinya berupaya mencari pasangan seagama --bukan al-mukhsonati min al-ladxina uutu al-kitab-- namun dia mewanti-wanti agar santrinya tetap kritis dalam berpikir. 

"Kawan-kawan, saya bersyukur pernah dididik langsung dan tetap diperkenankan berinteraksi hingga sekarang oleh beliau," ujarku sembari menoleh ke bu nyai Umdah. 

Menurutku, malam itu, beliau seperti ingin meneladankan bagaimana model ideal santri dan santriwati terkait kritisisme, bahkan dalam persoalan yang serumit PBA. Mungkin dia bukan satu-satunya yang seperti ini namun yang pasti masih sangat belum banyak bu nyai memilih jalan terjal ini. 

Secara agak terstruktur, aku menandai sikap bu nyai Umdah ini sebagai perwujudan dari level tertinggi HOTS, higher-order thinking skills --level berpikir tinggi. Level ini terdiri dari tiga tingkatan; yang paling bawah -- menganalisa, mengevaluasi dan, yang tertinggi, menciptakan. 

Jika HOTS adalah level berpikir tinggi maka LOTS adalah level berpikir rendah, singkatan dari lower-order thninking skills. Sebagaimana HOTS, LOTS juga terdiri dari tiga tingkatan; yang paling bawah, mengingat, memahami dan, yang paling tinggi adalah mengaplikasikan. 

Dengan demikian, secara sederhana, model berpikir terdiri dari 6 anak tangga. Tiga anak tangga bawah masuk dalam LOTS. Tiga anak tangga atas masuk kategori HOTS. 

"Enam anak tangga ini, semuanya, menggunakan dua kaidah fiqh yang sering kita gunakan," tambahku.

Pertama, kaidah menjaga warisan lama yang baik dan, pada saat bersamaan, mengakomodasi inovasi baru yang lebih baik -- al-mukhafadlotu 'ala qadim al-sholih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah. Dan, kedua, kaidah continual improvement yang pernah dirumuskan Kiai Ma'ruf Amin; al-ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah. 

Aku kemudian memberikan  contoh sederhana penerapan 6 anak tangga berpikir ini terhadap keberadaan hukum potong tangan pencuri yang terekam sangat eksplisit dalam al-Quran. 

"Jika kita berhasil mengingat, mengerti dan mengaplikasikan ayat tersebut secara literal, dalam arti kita menyetujui keberlakuan hukum potong tangan pencuri maka sangat mungkin kita baru pada level LOTS," ujarku. 

Namun jika seandainya kita berani, tambahku, menganalisis dan mengevaluasi dampak penerapan LOTS bagi manusia, yang oleh karenanya kita mengusulkan sesuatu yang baru dari produk analisis dan evaluasi tersebut maka kita telah berhasil naik pangkat; dari LOTS menuju HOTS.

"Hukuman denda dan penjara bagi para pencuri ketimbang potong tangan merupakan manifestasi konkrit implementasi HOTS," kataku. 

Aku mengajak para peserta diskusi berani mempertanyakan doktrin, keyakinan, nilai atau apa saja yang meski telah dianggap mapan namun pada kenyataannya masih berpotensi merugikan hak dasar manusia. 

Pelarangan PBA menggunakan basis kitab suci, menurutku, akan bermasalah manakala kita hanya mencukupkan diri pada level LOTS saja. Padahal HOTS telah menyediakan dirinya bagi kita untuk memerdekakan orang lain dari penindasan.

Tentulah bukan hal mudah untuk menganalisa, mengevaluasi dan merumuskan hal baru isu PBA. Hanya saja, jika basis rasionalitas kita melarang PBA adalah karena faktor kebahagiaan berkeluarga maka faktor tersebut masih bersifat asumtif (dzanni) bukan definitif (qath'i). 

"Ada orang yang merasa jodohnya seagama. Ada yang tidak seagama. Kita tidak bisa menghakimi semua PBA pasti tidak bahagia dan semua perkawinan seagama pasti berbahagia. Kita tidak bisa memutlakkan sesuatu sembari menafikan yang lain," ujarku. 

Majulah As Saidiyyah. Majulah Tambakberas. Mari kita naikkan cara berpikir kita; dari LOTS menuju HOTS.(*)

**Rekaman hasil diskusi https://www.youtube.com/watch?v=GkpK-x7g1mU

No comments:

Post a Comment

Featured Post

JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN

Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...