Apa yang harus dilakukan seandainya Dukcapil tidak mau mencatat perkawinan beda agama (PBA) padahal sudah diberkati gereja?
Saat bertemu Romo Yoyon, pastur kepala Paroki Widodaren Surabaya, dalam acara doa bersama lintas agama di GKI Emaus, Senin (13/11), aku menceritakan pengalamanku mendampingi PBA. Kebetulan, pasangan yang aku dampingi umat Katolik, tetangga jauh parokinya.
"Sekarang susah, gus, mencatatkannya. Tapi kami gereja Katolik tetap melayani pemberkatan PBA," ujarnya.
"Benar, Mo. Baru-baru ini aku dikontak pasangan Katolik-Islam yang tidak dapat mencatatkannya, Mo," timpalku.
Tiga hari lalu, tambahku, aku dikontak nomor Whatsapp yang tidak aku kenal. Sebut saja namanya Valentina, Katolik yang baru saja kawin beda agama dengan pacarnya, Imron --muslim kelahiran Bojonegoro.
Ia mengadu padaku ditolak Dispendukcapil Sidoarjo dan disarankan ke pengadilan negeri.
"Sidang tersebut paling tidak 1-3 kali. Kami harus bagaimana? Mohon saran dan solusi dari Pak Aan," tulisnya
"Berarti kamu sudah pegang testimonium matrimonii? Bolehkah difotoin dan dikirim?" pintaku.
Tak seberapa lama, ia mengirimkan foto padaku. Testimonium matrimonii adalah nama lain dari surat perkawinan di lingkungan gereja Katolik Roma. Siapapun yang nama dan fotonya tercantum di surat tersebut berarti dianggap telah sah menjadi suami-istri. Sangat-sangat sulit bercerai kecuali mati.
Kepada Valentina aku menyarankan dua solusi untuk mencatatkan PBA yang sudah mendapat pemberkatan. Pertama, mengadukan Dispendukcapil ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI), lembaga semi-pemerintah yang bertugas mengawasi pelayanan publik lembaga milik pemerintah pusat dan daerah terasuk BUMN. Mekanisme pelaporannya cukup mudah dan tersedia di websitenya.
Lembaga layanan milik pemerintah biasanya cukup keder saat berurusan dengan ORI. Secara teori, lembaga ini benar-benar akan menelisik prosedur dan mekanisme yag dianggap merugikan masyarakat. Dispendukcapil Sidoarjo yang menolak mencatat PBA milik Valentina dan Imron jelas merupakan tindakan maladministrasi.
Bagaimana aku sampai pada kesimpulan itu? Jawabnya mudah; sebab Dispendukcapil Sleman bisa mencatatkan. Semua Dispendukcapil seluruh Indonesia memiliki panduan yang sama. Jika di Sleman bisa harusnya di Dispenducapil manapun bisa.
Namun demikian, aku belum pernah mendengar ORI Jawa Timur menangani pengaduan semacam ini. Harus diakui, lembaga ini tergolong jelek dalam hal transparansi pelaporan ke publik melalui websitena, sangat belum bisa disejajarkan dengan Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.
"Kalau mengikuti sidang ke pengadilan gimana, pak?" tanyanya.
Aku mempersilahkannya mengajukan permohonan penetapan ke PN. Sidoarjo, setelah terlebih dahulu menginformasikan terkait SEMA 2/2023. Aturan internal tersebut sangat menyulitkan pasangan PBA yang ingin meminta pertolongan hakim setelah ditolak Dispendukcapil.
Ketua Mahkamah Agung, melalui SEMA tersebut, meminta semua hakim menolak permohonan PBA yang diajukan masyarakat. Ini sangat memalukan.
'Salah satu diantara kalian harus pindah penduduk ke Solo, Bantul, atau --terutama-- Sleman. Kabarnya, Dispenduk di tiga wilayah tersebut masih membuka peluang mencatat PBA tanpa ribet ke pengadilan terlebih dahulu," kataku.
Selama Jokowi berkuasa, nasib kabijakan PBA bisa dikatakan berada dalam kondisi paling terpuruk. hampir semua Dispendukcapil seluruh Indonesia serentak menutup pelayanannya. Kondisi ini diperparah dengan sikap Mahkamah Agung yang juga menggembok pagarnya bagi pasangan beda agama.
Sebenarnya ada solusi lain yang agak berbahaya. Aku memilih untuk tidak menyampaikannya pada Valentina karena malu. Yakni, konversi temporer --salah satu dari mereka melakukan login dan logout agama.
Beginilah susahnya Indonesia, aturan perkawinan sudah jelas; sepanjang ada agama yang bisa mengakui/memberkati sebuah perkawinan maka negara harusnya tinggal mencatatnya.
Testimonium matrimonii adalah dokumen resmi perkawinan di lingkungan Katolik Roma. Sayangnya, dokumen tersebut tidak diakui oleh banyak Dispendukcapil, termasuk Sidoarjo.(*)
No comments:
Post a Comment