Aku merenung; seandainya shalat, ngaji al-Quran, puasa dan naik haji akan sepenuhnya mampu membuat pemeluknya menjadi toleran terhadap agama lain, di Indonesia, bukankah pemerintah tak perlu lagi bersusah payah mengusung moderasi beragama?
Seorang anak muda, jemaat GKI Sepanjang Sidoarjo, terasa menggugatku, Sabtu (9/12). Ia menanyaiku dengan tajam urgensi pelajaran agama di sekolah. Baginya, pelajaran ini sudah saatnya dihilangkan, diganti dengan pelajaran budi pekerti, etika, yang sejalan dengan realitas kebinekaan di Indonesia.
Aku tak percaya ia sedang menggugat agamanya sendiri. Dia juga tidak menyebut agama tertentu dalam gugatan panjangnya. Namun, rasanya tidak perlu sepintar Einstein untuk tahu pemeluk agama apa yang ia maksudkan.
Sebelumya, aku sempat bertanya dalam forum tersebut, meminta siapa saja yang hadir untuk mengangkat tangannya jika merasa pernah mengalami perisakan (bullying) karena agama dan ras/etnisnya. Aku melihat lebih dari 2/3 dari mereka mengacungkan tangannya.
Semakin aku yakin, arah dari gugatan penanya di atas merujuk pada orang-orang Islam. Tidak ada lainnya. Keyakinanku juga diperkuat oleh hasil beberapa survei toleransi di dunia pendidikan yang dilakukan, salah satunya, PPIM UIN Jakarta dalam beberapa tahun belakangan ini.
Sejak awal aku merasa ada yang kurang pas menyangkut bagaimana Islam diajarkan dalam dunia pendidikan dasar hingga menengah atas. Kekurangpasan ini terlihat terutama seputar toleransi terhadap agama lain, khususnya Kristen/Katolik, atau secara umum, pengikut Kristus.
Hanya saja, selama ini aku tidak tahu secara pasti dan detilnya hingga membaca Policy Brief No. 2/Maret/2020 berjudul "Mengapa Kementerian Agama Perlu Merevisi KMA Nomor 211 Tahun 2011 dan Memperkuat Kurikulum Moderasi Beragama di Sekolah?" yang dibuat oleh Pusat Penelitian Pendidikan Agama Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Islam & Masyarakat UIN Jakarta.
Dari policy tersebut kita dapat mengetahui kenapa toleransi pelajar Islam sangat tidak menggembirakan. Hal ini dikarenakan arah pendidikan agama Islam belum terlalu serius difokuskan ke sana. Ibarat kata, menurunkan demam hanya diberi vitamin tanpa obat yang mengandung paracetamol. Kemungkinan besar salah resep.
Policy brief tersebut menyebutkan komposisi pengajaran PAI di sekolah dasar hingga menengah atas terdiri atas ibadah vertikal ritual sebanyak 51%, akidah (teologi) sebesar 15% dan yang menggembirakan akhlak (moral/etika) sebesar 34%.
Awalnya, aku cukup senang mendapati prosentase akhlak yang relatif besar hingga menemukan fakta lain; item akhlak ternyata dibagi menjadi tiga bagian, yakni akhlak personal (misalnya, berkata jujur, tidak mencuri) sebesar 81%, akhlak civic (misalnya toleransi, kerukunan, penghormatan kepada kelompok berbeda) sebanyak 13% dan yang ketiga adalah akhlak sosial sebesar 6%.
Komposisi di atas senyatanya telah memberikan gambaran benderan kenapa pengajaran PAI dalam sistem pendidikan nasional kita tidak mampu menumbuhkan sikap toleransi terhadap kelompok lain, termasuk terhadap kekristenan.
Alih-alih, gabungan antara ibadah dan teologi yang mengokupasi 66%% materi PAI, jika diajarkan menggunakan metode LOTS ketimbang HOTS, sangat mungkin justru malah menebalkan fanatisme beragama diantara peserta didik.
LOTS, kependekan dari lower order thinking skills, merupakan fase terendah dalam kerangka berpikir peserta didik. LOTS hanya mengajarkan peserta didik untuk menghafal, memahami dan melakukan.
Sedangkan HOTS --higher order thinking skills-- yang merupakan kerangka berpikir lebih maju mengajak peserta didik untuk menganalisa, mengevaluasi dan menciptakan sesuatu yang lebih baik. Kebijakan Kemdikbud saat ini mendorong para guru membawa peserta didik ke arah HOTS ketimbang berlama-lama di LOTS.
Urusan intoleransi dan radikalisme, menurut policy brief tersebut, sesungguhnya telah memiliki landasan hukum, yakni PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
PP tersebut menegaskan pendidikan agama bukan hanya sekedar mengembangkan pengetahuan serta penghayatan agama siswa, melainkan harus membentuk mereka menjadi warga negara yang
mampu “menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama”.
Sayangnya, arah pendidikan agama ini terasa dikhianati oleh komposisi salah obat sebagaimana telah diuraikan di atas tadi. Komposisi salah obat tersebut merupakan hasil analisis PPIM UIN Jakarta terhadap Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 211 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengembangan Standar Nasional Pendidikan Agama Islam.
Duet Menteri Nadien Makarim serta Menteri Yaqut jelas memiliki tugas tidak mudah terkait hal ini. Nadiem sendiri pernah bilang, intoleransi merupakan sebagai salah satu dari tiga dosa pendidikan Indonesia, selain kekerasan seksual dan perisakan. Dua menteri ini harus duduk bersama lebih lama lagi, khususnya untuk mendesain ulang pengajaran PAI agar kontek akhlak civic dan sosial lebih besar lagi, minimal separuh dari total PAI.
****
Aku dengan jujur mengatakan pada penanya tadi, hampir mustahil menghilangkan pengajaran agama dalam pendidikan nasional, semustahil berharap ada ikan bisa hidup di darat. Kelompok Islam pasti akan menentangnya sangat keras.
Merombak ulang materi pendidikan agama, menurutku, merupakan langkah paling realistis untuk dilakukan, meskipun hal tersebut harus terlebih dahulu melalui negoisasi politik superalot nantinya.(*)
No comments:
Post a Comment