Pages

Monday, January 22, 2024

AKIK YANG KYUT; HAUL GUS DUR, HAIL GUS DUR

Aku diberi akik sangat indah oleh seseorang ketika Haul Gus Dur. Inikah pertanda dari langit?

***

Sudah cukup lama aku tidak sambang ke kawan-kawan GDian Nganjuk. Aku lupa kapan terakhir kali ke sana. Jika mau dirunut-runut, aku terbilang ikut membidani proses kelahiran GDian Nganjuk. 

Saat itu, jika ingatan ini masih stabil, proses kelahirannya mengambil tempat di IAIN Kediri. Aku diundang menjadi salah satu narasumber bersama kawanku Gus Taufik al-Amin, sekitar pertengahan Desember 2019. 

Beberapa penggagasnya, antara lain, Pdt. Frans Tamunu, Gus Arif, Maulana Sutikno, Pdt. Demsi, kawan-kawan Penghayat, serta banyak elemen lainnya. Saat itu Yuska, sebagai perwakilan presidium GDian Jawa Timur, juga hadir mengukuhkan. Aku masih ingat ikut menumpang mobilnya ke Surabaya. 


Empat tahun berlalu. 

Aku memacu motorku menembus rintikan hujan malam menuju Nganjuk, Minggu, 21/1. Aku diundang mereka mengisi diskusi dalam rangka Haul Gus Dur 14, topiknya 'Meneladani Budaya, Etika dan Demokrasi Gus Dur," 


Lokasi acaranya di markas Jemaat Ahmadiyyah Indonesia Nganjuk yang terletak di kecamatan Baron. Jaraknya sekitar 30 kilometer dari Jombang.

"Gus, nanti kita ketemu di Alfamart ya. Lalu kita ke lokasi bareng-bareng," kata Pdt. Demsi melalui WA. Ia tergolong sangat aktif berkiprah di GDian Nganjuk meski, terus terang, tidak mudah baginya. 

Kami berdua tiba di lokasi. Ternyata tidak terlalu jauh dari Alfamart. 

Aku melihat puluhan orang sudah menunggu. Separuhnya lebih adalah warga JAI. 

Satu per satu aku salami. Tak terkecuali Maulana Nasir, penanggung jawab JAI Nganjuk, pindahan dari Sintang karena konflik beberapa tahun lalu. 


Tak kusangka aku bertemu dengan Pdt. Bobby, GPIB Tarokan Kediri. Aku kaget tak menyangka akan bertemu malam itu. Selain mereka aku juga bertemu Gilang, mas Agus, mas Kaka, Gus Zaenal, dan banyak lagi kawan. 

"Gus, sebaiknya kita makan dulu sebelum makan," usul mas Agus, dari Klenteng Nganjuk. 
"Setuju, mas. Tapi kita berdoa dulu ya. Aku usul Pdt. Bobby yang memimpin, jika diijinkan Maulana Nasir," kataku sembari memandang Maulana Nasir. Ia terlihat mengangkat jempol. 

Bobby yang duduk di sampingku terlihat agak gupuh. Mungkin tak menyangka akan ditodong seperti itu.

Diskusi berjalan sangat gayeng, menurutku. Aku memaparkan bagaimana mudahnya memahami moral, model berislam dan berdemokrasi a la Gus Dur. 

"Kunci utama memahami Gus Dur adalah memahami bagaimana ia memahami relasinya dengan keesaan Tuhan. Setelah paham, akan sangat mudah mengerti kenapa Gus Dur seperti itu," ujarku meyakinkan mereka. 

Aku lalu memapar empat tahapan orang memaknai keesaan (tauhid/monoteisme) Tuhan. Setiap tahapan, aku jelaskan segamblang mungkin beserta implikasinya terhadap orang lain. Ya, setiap pilihan kita bertauhid akan memiliki konsekuensi serius terhadap orang yang berbeda memahami Tuhan. 

"Misalnya, kalau kita memaknai esa adalah satu secara letterlijk dan ketat maka kita yang Islam akan kesulitan mengakui kekristenan juga monoteistik. Kita biasanya terjerembab mengira Kristen bertuhan tiga," kataku sembari melirik Pdt. Demsi dan Pdt. Bobby. 

Aku menawarkan tahapan ketiga dan keempat sebagai pilihan kita, yakni tahapan misteri-terbuka dan sate. 

Misteri terbuka adalah keyakinan bahwa eksistensi tuhan bersifat misterius. Ia ada dan memiliki eksistensinya sendiri. Siapapun tidak tahu diriNya secara pasti. Namun demikian, Tuhan memperkenankan diriNya ditafsirkan manusia. Tidak ada tafsir yang benar dan salah karena untuk hal tersebut kita perlu pembanding yang hanya Tuhan saja yang tahu. 

Sedangkan keesaan sate adalah keyakinan bahwa Tuhan itu senantiasa mengiringi ciptaannNya. CiptaanNya adalah "Dia" --imago dei. Siapapun yang berbuat jahat atau baik pada ciptaanNya dianggap juga melakukan hal serupa pada Tuhan. Tuhan dan ciptaanNya seperti daging dan tusuk dalam makanan bernama sate. Daging tanpa tusuk tidak dapat dinamakan sate, pun sebaliknya. Daging dan tusuk adalah esa, bernama sate.

"Aku rasa Gus Dur di level sate. Kira-kira mudeng nggak ya dengan penjelasanku ini?" tanyaku ke hadirin
"Mudeng!" 

Aku mempersilahkan mereka merefleksikan empat tahapan keesaan ini dalam dirinya dan dapat mengambil tahapan terbaik sesuai kapasitasnya.

Presentasiku selanjutnya dipertajam oleh pemaparan Gus Zaenal, Mas Agus, Mas Kaka serta Maulana Nasir. 

Sebagai mubaligh Ahmadiyyah, Mln. Nasir menceritakan kisahnya saat menghadapi penyerangan JAI di Sintang. Saat itu ia diBAP penyidik terkait peristiwa tersebut. 

"Yang tidak saya sangka, ternyata penyidiknya ngaku Gusdurian. Kami akhirnya akrab karena merasa dipersatukan," ujarnya mengenang peristiwa itu.

Setelah diskusi selesai, sebelum berdoa yang dipimpin Maulana Nasir, acara dilanjutkan dengan pengukuhan pengurus baru GDian Nganjuk SCD. Forum internal mereka rapat secara cepat. Aku hanya menyaksikan saja. Tidak ikut berbicara.

Mereka aklamasi memilih Gilang sebagai kordinator baru. Wakilnya adalah Pdt. Demsi. Sedangkan Yusril didapuk menjadi sekretaris. 

Gus Zaenal dan Pdt. Bobby diminta memberi sedikit petuah-petuah. Setelah itu giliran ketiganya berbicara. 

Doa penutup dilarungkan oleh Maulana Nasir. Diamini semuanya yang hadir. Setelah itu semuanya menyalami pengurus baru dan berfoto bersama. 

"Aku pamit dulu ya, rek. Wis bengi," ujarku kepada mereka. 
"Gus, sebentar, tolong ini diterima. Sepertinya cocok untuk Gus Aan," kata Maulana Nasir.

Wow akik yang kyut!(*)

Friday, January 19, 2024

BERSYUKUR DUA UNSUR BUYA SYAKUR

Buya Syukur telah gugur di medan laga bangsa yang tidak baik-baik saja. Serangan intoleransi atas nama kemegahan agama seperti tak pernah surut. Ia bersama puluhan tokoh lainnya berjuang membela kemegahan Islam dengan titik pijak dan cara berbeda dari kebanyakan. 


Hampir semua orang meratapi kepergiannya, tak rela ada ksatria yang tak lagi ikut berjuang. Ratapan ini sesungguhnya memiliki sentimen negatif; seperti orang yang bertumpu pada kerja orang lain untuk sesuatu yang harusnya dikerjakannya sendiri. 

Indonesia memang lebih dari pantas bilamana merasa kehilangan Buya Syakur (BS). Ia adalah salah dari sedikit ulama Indonesia yang berani mengambil jalur terjal berislam, khususnya menyangkut relasi Islam-Kristen.

Tak dapat disangkal jumlah ulama, akademisi Islam, maupun ulama-akademisi di Indonesia tak terhitung banyaknya. Semuanya memainkan perannya sesuai keberanian masing-masing dalam melukiskan Islam di ruang publik. Selain Panji Gumilang, Buya Syakur tergolong memiliki keberanian di atas rata-rata. 

Dari mana ia memperoleh asupan keberanian tersebut? Aku tidak tahu. Tak pernah aku bertemu dengan beliau, apalagi nyantri khusus di pesantrennya. 

Hipotesisku menyatakan, sumber utama keberaniannya terletak pada kemandiriannya. Aku menduga ia telah "selesai" dengan dirinya sendiri. Hidupnya, aku kira, tidak tergantung pada individu atau kelembagaan, lebih-lebih terkait aspek finansial. 


Kalau kehidupan ekonomi dan sosial kita masih belum mandiri, sulit rasanya bisa bersuara lantang dan mandiri. Seorang ASN, tokoh agama yang digaji institusinya, petugas partai, pekerja, pebisnis, memiliki ketergantungan pada patronnya. Semakin kuat dependensinya semakin ia sulit merdeka

Aku tidak mengatakan profesi-profesi di atas jelek. Sebaliknya, mereka terhormat dan ada harga yang harus dibayar untuk mempertahankan kehormatan itu. 

BS juga membayar hal itu kepada bosnya, yakni sang Pencipta. Bos BS sebenarnya sama dengan bos profesi-profesi tersebut. Hanya saja, ketergantungan kita pada kedagingan sesungguhnya menciptakan bos-bos kecil yang nyata. Sayangnya, sebagian dari kita biasanya lebih takut pada bos-kecil ketimbang Bos-besar.

BS rasanya memilih langsung tergantung dan berelasi dengan bos-Besar. Ia memiliki konfidensi; apapun yang ia katakan sepenuhnya merupakan penghayatan keislamannya dan, ini yang terpenting, akan dipertanggungjawabkannya langsung padaNya. 

Aspek lain yang menurutku sangat mungkin melekat dan mengkontribusi keberanian BS di ruang publik adalah pengetahuannya. Begini; orang akan cenderung fanatik jika pengetahuannya terbatas, tak meluas. Santri atau kiai yang sangat tekun mengkaji satu madzhab fiqh tanpa mau melihat madzhab-madzhab lainnya akan mudah terperosok pada jurang fanatisme. 

Fanatis adalah semacam sifat dari sikap dan pandangan seseorang yang menunjukkan antusiasme berlebihan serta pemujaan tak-kritis intensif terhadap topik/sosok tertentu, biasanya dalam isu agama atau politik. 

Mungkin situasinya mirip dengan para pendukung capres-cawapres saat ini. Bagi pendukungnya, capres tertentu tidak bisa dan tidak boleh salah. Sebaliknya, capres lain sudah pasti divonis salah dan jelek.

Dalam hal beragama, fanatisme ditandai dengan kekukuhan atas satu madzhab tertentu, menutup pintu atas kehadiran madzhab lain. Baginya, tidak ada kebenaran di luar madzhabnya. 

Jika tidak sedikit tokoh Islam bersikap konfrontatif dan apatis atas keberadaan gereja, natal maupun warisan budaya lokal, Buya Syakur rasanya tidak seperti itu. Ia tidak hanya berpikiran terbuka namun, lebih jauh, juga berani menyuarakannya. 

Fanatisme adalah tantangan terberat dalam beragama. Fanatisme tak terelakkkan karena tiap madzhab merasa dirinya paling benar. Sebagai konsekuensinya, sikap ini pasti meminta tumbal untuk disalahkan, yakni madzhab lain. 

Para pengikutnya kerap diwajibkan hanya boleh membaca/mengkaji literatur madzhabnya sendiri. Akses terhadap madzhab lain akan dikunci rapat-rapat. Cara seperti ini jamak dilakukan, dibalut dengan slogan "demi kebaikan para pengikut,"

Dalam soal perkawinan beda agama (PBA) misalnya, masyarakat Islam Indonesia seperti dikondisikan hanya boleh menerima satu madzhab pemikiran saja, yakni madzhab yang tidak memperbolehkan PBA. Padahal, terdapat keragaman madzhab sekaligus keragaman cara pandang. 

Dengan demikian, kita harus berani mengakui bahwa (hukum) Islam sebenarnya berwarna-warni. Tidak tunggal. Tidak sewarna saja. 

Intelektual Jasser Auda pernah mencatat setidaknya ada sembilan madzhab; Maliki, Hanafi, Syafii, Hanbali, Ja'fari, Zaydi, Zahiri, Ibadi dan Mu'tazili. Setiap madzhab memiliki epistemologinya masing-masing.

Bayangkan, bagaimana jadinya jika institusi pendidikan Islam hanya mengajarkan satu madzhab saja tanpa merasa perlu mengenalkan 8 madzhab lain, apa yang bisa kita bayangkan? Mereka niscaya akan mempercayai hukum Islam hanya satu warna warni saja. 

Rasanya, BS bukanlah tokoh yang hanya paham satu madzhab. Sebab jika tidak, BS tidaklah mungkin menjadi BS seperti ini. Pengetahuan BS terkait hukum Islam bisa dikatakan warna-warni.


Boleh percaya boleh tidak, kewarna-warnian hukum Islam dalam tradisi klasik terekam sejak lama. Salah satunya dalam karya masterpiece Ibnu Rusyd -- Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid. Ini salah satu kitab raksasa yang merekam keragaman sikap hukum setidaknya 4 madzhab di kalangan Sunni; Maliki, Hanafi, Syafii dan Hanbali, terkait banyak topik. 

Kemarin aku membacanya sekilas pada waktu termenung mencari jawaban apakah posisi wali dalam pernikahan bersifat mutlak wajib ada. Ternyata, para ulama terbelah menjadi dua pendapat. Ada yang memutlakkan, ada juga yang tidak. Bahkan, juga terkait posisi saksi dalam pernikahan.

Kitab ini menawarkan oase pemikiran berbasiskan penalaran rasional berbasis penafsiran teks suci. Siapapun yang membaca dan memahaminya niscaya sulit baginya bersikap fanatik. 

Aku percaya BS tidak hanya memiliki namun juga memahami isi dari kitab tersebut. Keberaniannya mengoptimalkan akal rasio dalam membaca teks sesungguhnya merupakan legasi yang perlu kita syukuri untuk diteruskan. 

Kesedihan atas gugurnya BS bagiku bercampur dengan rasa syukur. Mungkin jika BS masih ada, kita cenderung ongkang-ongkang, enak-enakan, karena tugas mulia mencitrakan Islam rahmatan lil alamin kita bebankan pada beliau. Kini, kita tidak bisa begitu lagi. Kita harus menapaktilasi apa yang telah dilakukan oleh BS, mau tidak mau. 

Matur nuwun, Buya Syakur. 

Kembalilah menghadap Tuhanmu dengan perasaan gembira dan merdeka. Fadkhuli fi 'ibadi wadkhuli jannati.(*)

---
** Auda, Jasser. Maqasid Al-Shari'ah as philosophy of Islamic law. International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2022.
** Dictionary, Merriam-Webster. "Merriam-webster." On-line at http://www. mw. com/home. htm 8.2 (2002).
** Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid: Jilid 1: Referensi Lengkap Fikih Perbandingan Madzhab. Vol. 2. Pustaka Al-Kautsar, 2002.

Saturday, January 13, 2024

CEMBURU BU DENDY DAN PARA ISTRI NABI


Nyla hanya diam saat dimaki-maki dan dihujani ratusan lembar seratus ribuan Bu Dendy (Ovie). Sesekali saja tangan dan kakinya menyingkirkan uang yang tercecer di dekat tubuhnya.

Bu Dendy sangat berang karena merasa  ditusuk dari belakang oleh Nyla, karibnya. Nyla dianggap telah merebut suaminya. Padahal menurut Nyla, situasinya tidaklah sesederhana itu.

Dalam video yang sempat viral di sosial media, kecemburuan Ovie begitu mengganas hingga tega memperlakukan Nyla seperti itu. Siapa yang salah? Tulisan ini tidak hendak mencari tahu hal itu. Biarlah netizen sendiri yang memutuskan.

Fokus tulisan ini hendak mengeksplorasi betapa peliknya romantika manakala tersandung asmara dengan orang lain –baik sebagai selingkuhan ataupun yang diresmikan. Kecemburuan pelik ini juga tergambar dalam berbagai fragmen rumah tangga nabi bersama para istrinya. Kisah ini terpotret abadi dalam hadits, al-Quran, maupun sirah –biografi nabi.

Bagi umat islam, Nabi diyakini sebagai model ideal dalam semua hal, termasuk ketik mengatur keluarganya. Namun hidup satu biduk dengan banyak cinta sungguhlah tidak mudah. Perasaan cinta, kekuatiran, kecemburuan dan rivalitas selalu turut mewarnai dinamikanya

Sebagai istri pertama yang dinikahi Nabi pascawafatnya Khadija, Sawda binti Zam’ah pernah terekam menyerahkan “jatah gilirannya” kepada istri yang lain. Diduga kuat, Sawdah yang beranjak tua melakukan hal itu karena kuatir diceraikan Nabi, sebagaimana diceritakan Ibn Abbas dalam Jami' al-Tirmidhi Vol.5 Book 44, hadith 3040.

Perlu dicatat, sebelum berpoligami, Khadijah bisa dikatakan cinta mati Nabi. Bersama perempuan aristokrat ini, Nabi menghabiskan sebagian besar hidupnya secara monogami, sekitar 25 tahun, sampai Khadijah meninggal dunia pada 620 M. Ada cerita menarik sebagaimana Ibn Saad dan Ibn Jarir al-Tabari  menyangkut bagaimana dua orang ini meminta restu ayah Khadijah. Penuh liku-liku dan berstrategi.

Belakangan kecintaan Nabi terhadap mendiang Khadijah tak pelak membuat Aishah bint Abu Bakar cemburu berat. “Nggak pernah aku merasa secemburu kepada istri-istri Nabi kecuali kepada Khadijah,” katanya. Mendengar hal itu, Nabi menjawabnya, ”Alloh sendiri yang langsung merawat cinta Khadijah dalam hatiku,” Percakapan ini terekam dalam  Sahih-Muslim hadits nomor 2435.

Perjalanan cinta Nabi bersama para istrinya berjalan penuh dinamika.  Salah satunya ditandai dengan rivalitas antaristri. Yang paling mencolok adalah dinamika antara Aishah bint Abu Bakar dan Zaynab bint Jahsy. Keduanya diketahui saling membanggakan diri sesuai dengan keutamaan yang mereka yakini bersifat ilahiah. Aisyah merasa dirinya adalah perempuan yang dipilih Allah melalui Jibril untuk mendampingi Nabi, sebagaimana yang tercatat dalam Sahih Bukhari Vol. 7 Book 62, Number 15.

Selain itu, Aishah juga merasa sangat spesial karena dialah satu-satunya istri yang mendampingi Nabi saat Jibril menyampaikan wahyu di tempat tidur. Keunggulan Aishah pernah ditegaskan nabi dihadapan Umm Salamah. "The superiority of 'Aishah to other women is like the superiority of Tharid to other kinds of food," kata Nabi sebagaimana hadits 3947 di kitab Sunan al-Nasai. Tharid adalah semacam sup kambing muda dicampur roti.

Mungkin karena itu, Aisha terlihat dominan di antara para istri. Ia tidak segan-segan mengungkapkan kecemburuannya di hadapan nabi dan istri-istri lainnya.

Ummu Salamah pernah cerita, suatu ketika ia membawakan makanan untuk nabi dan para sahabatnya. Saat Aisha tahu, makanan itu langsung dibungkus kain dan dihancurkan dengan alat penumbuk. “Eat your food, it is just the jealousy of your mother,” kata Nabi kepada sahabat menenangkan suasana. Nabi lantas memberikan masakan Aisha ke Ummu Salamah dan sebaliknya (Nasai 3956).

Tidak hanya terhadap Ummu Salamah, Aisha juga begitu ekspresif menunjukkan kecemburuannya terhadap masakan  Safiyyah, isti Nabi yang lain, “Aku tidak pernah melihat perempuan yang lebih jago masak ketimbang Safiyyah. Saat ia mengirimkannya ke Nabi, aku tidak kuasa untuk tidak menghancurkannya karena cemburu,” katanya seperti terekam di Nasa’i 3957.

Namun demikian, tidak ada rival istri setara di mata Aishah kecuali Zaynab bint Jahsy. Perempuan berstatus janda ini, menurut al-Qurtubi dan Ibn Saad,  tidak hanya cantik, berkulit halus, dan ramping (diminutive size) namun juga pekerja keras dan temperamental seperti Aishah. Dia juga ahli menyamak kulit dan punya bisnis di bidang itu.

Dalam aspek campur tangan Tuhan atas perjodohannya dengan Nabi, Zaynab tidaklah kalah dengan Aisha. “Kalau istri-istri lain diberikan oleh keluarga mereka kepada Nabi, Aku dinikahkan Alloh langsung dari surga ketujuh,” kata Anas bin Malik sebagaimana terekam Bukhari 7420. Perkawinannya dengan Nabi memang menjadi satu-satunya perkawinan yang kabarnya menjadi sebab turunnya QS. 33:37.

Dengan kualifikasi seperti ini, agak sulit untuk tidak mengatakan Aishah tidak cukup terintimidasi dengan kehadiran Zaynab. Aisha secara jujur pernah berkata menyangkut sosok Zaynab, "She was somewhat my equal among the wives of the Prophet,“ sebagaimana dicatat dalam Nasa’I 3946. Ibarat liga sepak bola Spanyol, keduanya adalah dua raksasa; Barcelona dan Real Madrid.

Suatu ketika, dengan beraninya, Zaynab mencari suaminya, Nabi, yang saat itu ada di rumah Aisha. Begitu melihat Zaynab datang, nabi menyodorkan tangannya, ingin menyongsong Zaynab. “Dia Zaynab binti Jahsy,” kata Aisha memperingatkan Nabi. Nabi pun langsung menarik tangannya kembali. Entah terkait soal apa, namun Zaynab dan Aishah langsung terlibat adu mulut dengan intonasi tinggi. Nabi hanya diam saja. Saat Abu Bakar lewat depan rumah Aisha, ia berkata “Nabi mari kita shalat saja, (biar nanti saya) lempari debu mulut keduanya,”

Abu Bakar begitu malu atas sikap putrinya terhadap Nabi, “Do you behave like this?” damprat Abu Bakar pada Aisyah.

Ini bukan adu mulut pertama antara Aisyah dan Zaynab. Pada kesempatan lain di mana para istri merasa Nabi terlalu mengistriemaskan Aishah, mereka bersepakat meminta Fatimah, putri Nabi, untuk menyampaikan aspirasi mereka. Sayangnya Fatimah gagal meyakinkan ayahnya. Lalu mereka meminta Zaynab bint Jahsy bertemu Nabi, sebagai wakil mereka. Zaynab pun menemui Nabi, saat itu ada Aisyah di samping Nabi. Saat Zaynab menyampaikan aspirasi para istri, Aisha merasa perempuan itu telah melewati batas. Karena tak kuat dipojokkan terus-menerus, Aisyah pun melakukan perlawanan. Cekcok sengit terjadi di hadapan Nabi. Cerita ini dituturkan sendiri oleh Aishah sebagaimana dicatat oleh Nasai 3944.

Aishah kabarnya juga sangat cemburu kepada Zaynab karena Nabi pernah berlama-lama mengunjungi rumah Zaynab. Ia dan Hafsa kemudian mengatur strategi untuk memprotes Nabi. Peristiwa ini dikenal dengan kasus maghafir, sebagaimana direkam Bukhari Vol.6/60/434, Nasai 3795 dan Abu Dawud 3714.

Saking runcingnya rivalitas di antara mereka, kabarnya para istri terbelah menjadi dua kubu; Aisha, Hafsa, Safiyyah, dan Sawda berhadapan dengan kelompok Ummu Salamah, Zaynab binti Jahsy dan yang lain, seperti dicatat Sahih-Bukhari 2581.

Biduk keluarga Nabi juga pernah diterpa isu keretakan rumah tangga. Suatu ketika Nabi memutuskan tetirah selama sebulan, menjauhi istri-istrinya. Kejadian yang dikenal dengan "Mashraba" ini kontan membikin gempar Madinah. Desas-desusnya, Nabi akan menceraikan semua istrinya karena mereka mencoba menuntut kehidupan yang lebih baik. Kisah ini ditulis dalam berbagai kitab hadits seperti Bukhari, Muslim, Musnad Ahmad maupun Tirmidzi.

Masih ada beberapa kisah lain seputar dinamika di antara istri Nabi, misalnya, antara Hafsah dan Maria Qibtiyah, atau kecemburuan Aisyah terhadap Maria terkait bayi laki-laki yang dilahirkannya.

Barangkali cerita-cerita di atas akan menjadi pelajaran penting untuk merefleksikan kembali idealitas relasi dalam membangun rumah tangga. Jika tidak sedikit Muslim memaknai poligami Nabi sebagai tanda kebolehan melakukan hal yang sama, saya justru sebaliknya. Dalam perspektif suffering-theology, Nabi telah dengan benderang mendemonstrasikan peliknya berbagi cinta. Apalagi, junjungan umat Islam ini pernah menolak putrinya dipoligami Ali bin abi Talib.

Sangat mungkin Nabi tidak ingin Fatimah disakiti, "Sungguh, Fatimah adalah bagian dari diriku. Aku sungguh tidak suka jika ia menderita," kata Nabi sebagaimana dikutip dari Sahih Bukhari 3729.

Meski mungking pendukung poligami meyakini ketidaksetujuan Nabi disebabkan Ali akan mempersunting anak Abu Jahl (musuh Nabi), namun sepanjang hidup Fatima, Ali tidak pernah memadunya bahkan dengan perempuan muslim sekalipun.
Ali baru melakukan poligami saat Fatimah wafat.

Membagi hati dan cinta memang berat, seberat yang dirasakan Bu Dendy dan Nyla. Wallohu a'lam.(*) 


**Pernah tayang di Locita.co http://locita.co/esai/cemburu-bu-dendy-dan-para-istri-nabi

Thursday, January 11, 2024

RESTU GUSTI HADIR

Hari ini, aku melayani dua sesi konsultasi perkawinan beda agama. Siang dan petang. Layanan ini merupakan bagian tugas dari organisasi yang aku dirikan bersama adikku, Lail Nur Anisah, yakni KIMCo --Kauman Interreligious Marriage Consultation. 

Lail bertugas menjadi gate-keeper bagi siapa saja yang ingin berkonsultasi online melalui platform video online seeprti Zoom/Google Meet/Jitsi. Ia pula yang mengatur pertemuan antara aku dan klien. Aku bersyukur ia masih bersedia melakukan kerja-kerja sosial ditengah kesibukannya menjadi dosen di Jogja. 

Klien pertama, muslimah. Sebut saja Atika. Sempat aku googling namanya. Lumayan femes. Dia merasa berjodoh dengan lelaki Tionghoa, Protestan. Aku cek ministrynya. Sangat mungkin belum support PBA. Atika konsultasi sendirian, disusul dengan mamanya. 

Aku mendengar dengan seksama apa yang menjadi kehendak Atika. Setelahnya, aku memberikan saran-saran yang bisa ia pertimbangkan agar mimpinya menjadi kenyataan. 

"Ijab kabul aja dulu, seperti yang pernah dilakukan oleh stafsusnya Jokowi," kataku. Ia rupanya tahu model ijab kabul yang sempat membuat heboh jagad maya kala itu. 

"Saya makin optimis, ustadz," ujarnya. Aku senang sekali. 

Sejam lalu, aku bertemu klien kedua. Sebut saja Agnes dan Mudzakkir. Dari namanya, kita sudah bisa menebak: Katolik dan Islam. Mereka berdua datang di meeting online. Kebetulan sekali aku pernah mengunjungi parokinya Agnes. 

Mereka berdua sudah pacaran 7,5 tahun. Cukup lama. Mungkin keduanya sudah cukup kenyang pacaran beda agama. 

"Sepertinya, restu Tuhan datang malam inu dalam bentuk diriku," ujarku sembari tertawa. Tuhan, tambahku, merestui kalian dengan caraNya yang unik, yakni memberi kalian berbagai syarat/ujian terlebih dahulu. Jika lolos, berarti kalian memang layak atas restuNya. 


Problem keduanya, sekilas, terletak pada bagaimana mencatatkan perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil. Dua kota dimana mereka berdua tinggal, setahuku, belum bisa mencatatkan. Sedangkan pintu pengadilan negeri di dua kota mereka juga terkunci rapat oleh SEMA 2/2023. 

"Tenang saja. Masih ada tiga kabupaten/kota yang nampaknya masih membuka pintu kantor catatan sipilnya. Kalian bisa memilih salah satunya," ujarku. 

Hingga saat ini Negara memang abai terkait pemenuhan hak PBA. Sangat dipersulit. Aku tidak yakin ketiga pasangan capres-cawapres akan sanggup berpihak pada PBA seandainya diangkat menjadi salah satu topik debat publik. 

Aku terus menyemangati Agnes dan Mudzakir supaya tidak kendor atas mimpi ideal perkawinan mereka. Bagiku, somehow, keduanya dan Atika merupakan para kekasih Tuhan yang mungkin sedang berproses naik level lebih tinggi ketimbang mereka yang kawin seagama. Kawin beda agama jauh lebih sulit prosesnya ketimbang kawin seagama. 

Semoga Alloh SWT. senantiasa membimbing ketiganya. Aku percaya, yang dipersatukan Tuhan akan diberiNya jalan keluar. 

God, give me coffee to change things we can. Give me wine to those we can't.(*) 

https://www.facebook.com/1561443699/posts/pfbid0TyHUDosA6tmGBM1WXy1jhG3AAJTB4c5w2ysJG9N9cPZBxBKLiaFGgQdYceb1dergl/

Monday, January 1, 2024

SAAT KAKEK MATI-MATIAN MEMPERTAHANKAN CUCUNYA

Bagaimanapun cucu adalah cucu --tak peduli apa warna kulitnya dan bagaimana ia dilahirkan. Hanya saja, urusannya kadang tidaklah sesederhana itu.


Aku telah menonton cukup banyak film Hollywood berlatar belakang kehidupan inter-rasial kulit hitam dan putih Amerika Serikat. Dari genre komedi-romantika hingga perbudakan. Aku suka film jenis ini dalam rangka belajar seputar stigma dan bagaimana peradaban kala itu meresponnya.

Hanya saja, film berjudul Black or White yang dibintangi Kevin Costner dan Octavia Spencer membuatku cukup terkejut dan tertegun. Ceritanya, menurutku, tidak terlalu biasa, aku jarang menemukannya. Itu sebabnya, 10-15 menit awal film ini, aku cukup bingung dengan jalur ceritanya.

Elliot Anderson (Costner) baru saja berduka karena istrinya meninggal akibat tabrakan. Mereka berdua kulit putih, mengasuh cucu satu-satunya, bernama Eloise Anderson (6 tahun). Dari marganya, kita tahu Eloise mewarisi marga Anderson. Padahal Eloise berkulit hitam. 

"Amerika Serikat masih menganut madzhab laki-laki dalam pemberian marga. Apa iya ayah kandung Eloise --anak dari Elliot Anderson-- berkulit hitam? Rasanya tidak mungkin dua orang kulit putih memiliki anak berkulit hitam. Tidak mungkin. Apa yang sebenarnya terjadi? Ke mana gerangan orangtua Eloise," batinku bingung.

Aku semakin bingung manakala Rowena Jeffers (Octavia Spencer), Afro-Amerika, mendatangi Elliot untuk menawarkan mengasuh Eloise. Elliot mengamuk dan menolak tawaran tersebut. Pria ini kukuh mempertahankan kehidupannya bersama Eloise yang sudah dilakoni sejak gadis ini masih bayi. 

Siapakah Rowena ini? Perempuan ini adalah nenek Eloise dari garis bapaknya. Ia ngotot ingin mengasuh Eloise atas dasar agar Eloise tidak kehilangan sejarah dirinya sebagai gadis berkulit hitam. 

Meski Eloise dan Elliot menolak keinginan pengalihan perwalian namun Rowena bertekad ingin mengambil Eloise atas dasar kesamaan sebagai orang berkulit hitam. Perempuan ini bahkan menyewa pengacara, adiknya sendiri. Ia sangat yakin gugatannya atas perwalian Eloise akan dikabulkan, apalagi hakim yang menyidangkan kasus ini juga berkulit hitam. 

Di pengadilan, Elliot diserang habis-habisan oleh pengacara Rowena; dari kebiasaannya mabuk hingga diprovokasi seputar kebenciannya terhadap orang berkulit hitam. Elliot melawan balik. Ia mati-matian mempertahankan Eloise, bahkan dengan cara membuka cerita seputar orangtua Eloise --cerita yang membuatku terhenyak,

Ibunya Eloise, berkulit putih, adalah anak satu-satunya Elliot, Saat masih dibawah umur, ia dihamili Reggie Davis. anak dari Rowena. Karena malu, ibunya Eloise melarikan diri dari rumah hingga suatu malam Elliot dan istrinya mendapat kabar dari rumah sakit; putrinya meninggal saat melahirkan Eloise. 

Elliot dan istrinya sangat menyayangi Eloise. Itu sebabnya ia menyematkan marga Anderson setelah nama Eloise. 

Lalu bagaimana dengan Reggie Davis, ayah kandung Eloise? 

Dalam film tersebut, Reggie digambarkan sebagai pecandu narkoba. Ia tidak pernah muncul lagi saat tahu kehamilan terjadi. Saat Eloise lahir, ia juga tak menunjukkan batang hidungnya. 

Reggie benar-benar tidak peduli dengan anaknya. Ia bahkan beberapa kali menemui Elliot, meminta sejumlah uang dengan janji tidak akan menuntut soal perwalian Eloise. Elliot terus menurutinya demi Eloise.

"Hingga hari ini, Reggie tidak meminta maaf dan menunjukkan rasa penyesalan diri sedikitpun atas kematian anak kami," kata Elliot di hadapan pengadilan.

Elliot tidak keberatan seluruh dunia memposisikan Reggie sebagai korban yang terluka atas peristiwa ini. Namun, ia tidak ingin orang seperti Reggie menularkan tabiat buruk pada Eloise -sungguhpun gadis ini adalah anak kandungnya.

"So, counselor, I'm not racially prejudiced, I just don't happen to want your little nephew's broken-down black ass anywhere near my granddaughter," tegas Elliot.

Akankah Elliot yang berkulit putih berhasil mempertahankan Eloise, cucu terkasihnya? Film ini benar-benar layak tonton. Kabarnya, Kevin Costner membiayai sendiri seluruh produksi film ini.

Selamat Tahun Baru!