Pages

Friday, January 19, 2024

BERSYUKUR DUA UNSUR BUYA SYAKUR

Buya Syukur telah gugur di medan laga bangsa yang tidak baik-baik saja. Serangan intoleransi atas nama kemegahan agama seperti tak pernah surut. Ia bersama puluhan tokoh lainnya berjuang membela kemegahan Islam dengan titik pijak dan cara berbeda dari kebanyakan. 


Hampir semua orang meratapi kepergiannya, tak rela ada ksatria yang tak lagi ikut berjuang. Ratapan ini sesungguhnya memiliki sentimen negatif; seperti orang yang bertumpu pada kerja orang lain untuk sesuatu yang harusnya dikerjakannya sendiri. 

Indonesia memang lebih dari pantas bilamana merasa kehilangan Buya Syakur (BS). Ia adalah salah dari sedikit ulama Indonesia yang berani mengambil jalur terjal berislam, khususnya menyangkut relasi Islam-Kristen.

Tak dapat disangkal jumlah ulama, akademisi Islam, maupun ulama-akademisi di Indonesia tak terhitung banyaknya. Semuanya memainkan perannya sesuai keberanian masing-masing dalam melukiskan Islam di ruang publik. Selain Panji Gumilang, Buya Syakur tergolong memiliki keberanian di atas rata-rata. 

Dari mana ia memperoleh asupan keberanian tersebut? Aku tidak tahu. Tak pernah aku bertemu dengan beliau, apalagi nyantri khusus di pesantrennya. 

Hipotesisku menyatakan, sumber utama keberaniannya terletak pada kemandiriannya. Aku menduga ia telah "selesai" dengan dirinya sendiri. Hidupnya, aku kira, tidak tergantung pada individu atau kelembagaan, lebih-lebih terkait aspek finansial. 


Kalau kehidupan ekonomi dan sosial kita masih belum mandiri, sulit rasanya bisa bersuara lantang dan mandiri. Seorang ASN, tokoh agama yang digaji institusinya, petugas partai, pekerja, pebisnis, memiliki ketergantungan pada patronnya. Semakin kuat dependensinya semakin ia sulit merdeka

Aku tidak mengatakan profesi-profesi di atas jelek. Sebaliknya, mereka terhormat dan ada harga yang harus dibayar untuk mempertahankan kehormatan itu. 

BS juga membayar hal itu kepada bosnya, yakni sang Pencipta. Bos BS sebenarnya sama dengan bos profesi-profesi tersebut. Hanya saja, ketergantungan kita pada kedagingan sesungguhnya menciptakan bos-bos kecil yang nyata. Sayangnya, sebagian dari kita biasanya lebih takut pada bos-kecil ketimbang Bos-besar.

BS rasanya memilih langsung tergantung dan berelasi dengan bos-Besar. Ia memiliki konfidensi; apapun yang ia katakan sepenuhnya merupakan penghayatan keislamannya dan, ini yang terpenting, akan dipertanggungjawabkannya langsung padaNya. 

Aspek lain yang menurutku sangat mungkin melekat dan mengkontribusi keberanian BS di ruang publik adalah pengetahuannya. Begini; orang akan cenderung fanatik jika pengetahuannya terbatas, tak meluas. Santri atau kiai yang sangat tekun mengkaji satu madzhab fiqh tanpa mau melihat madzhab-madzhab lainnya akan mudah terperosok pada jurang fanatisme. 

Fanatis adalah semacam sifat dari sikap dan pandangan seseorang yang menunjukkan antusiasme berlebihan serta pemujaan tak-kritis intensif terhadap topik/sosok tertentu, biasanya dalam isu agama atau politik. 

Mungkin situasinya mirip dengan para pendukung capres-cawapres saat ini. Bagi pendukungnya, capres tertentu tidak bisa dan tidak boleh salah. Sebaliknya, capres lain sudah pasti divonis salah dan jelek.

Dalam hal beragama, fanatisme ditandai dengan kekukuhan atas satu madzhab tertentu, menutup pintu atas kehadiran madzhab lain. Baginya, tidak ada kebenaran di luar madzhabnya. 

Jika tidak sedikit tokoh Islam bersikap konfrontatif dan apatis atas keberadaan gereja, natal maupun warisan budaya lokal, Buya Syakur rasanya tidak seperti itu. Ia tidak hanya berpikiran terbuka namun, lebih jauh, juga berani menyuarakannya. 

Fanatisme adalah tantangan terberat dalam beragama. Fanatisme tak terelakkkan karena tiap madzhab merasa dirinya paling benar. Sebagai konsekuensinya, sikap ini pasti meminta tumbal untuk disalahkan, yakni madzhab lain. 

Para pengikutnya kerap diwajibkan hanya boleh membaca/mengkaji literatur madzhabnya sendiri. Akses terhadap madzhab lain akan dikunci rapat-rapat. Cara seperti ini jamak dilakukan, dibalut dengan slogan "demi kebaikan para pengikut,"

Dalam soal perkawinan beda agama (PBA) misalnya, masyarakat Islam Indonesia seperti dikondisikan hanya boleh menerima satu madzhab pemikiran saja, yakni madzhab yang tidak memperbolehkan PBA. Padahal, terdapat keragaman madzhab sekaligus keragaman cara pandang. 

Dengan demikian, kita harus berani mengakui bahwa (hukum) Islam sebenarnya berwarna-warni. Tidak tunggal. Tidak sewarna saja. 

Intelektual Jasser Auda pernah mencatat setidaknya ada sembilan madzhab; Maliki, Hanafi, Syafii, Hanbali, Ja'fari, Zaydi, Zahiri, Ibadi dan Mu'tazili. Setiap madzhab memiliki epistemologinya masing-masing.

Bayangkan, bagaimana jadinya jika institusi pendidikan Islam hanya mengajarkan satu madzhab saja tanpa merasa perlu mengenalkan 8 madzhab lain, apa yang bisa kita bayangkan? Mereka niscaya akan mempercayai hukum Islam hanya satu warna warni saja. 

Rasanya, BS bukanlah tokoh yang hanya paham satu madzhab. Sebab jika tidak, BS tidaklah mungkin menjadi BS seperti ini. Pengetahuan BS terkait hukum Islam bisa dikatakan warna-warni.


Boleh percaya boleh tidak, kewarna-warnian hukum Islam dalam tradisi klasik terekam sejak lama. Salah satunya dalam karya masterpiece Ibnu Rusyd -- Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid. Ini salah satu kitab raksasa yang merekam keragaman sikap hukum setidaknya 4 madzhab di kalangan Sunni; Maliki, Hanafi, Syafii dan Hanbali, terkait banyak topik. 

Kemarin aku membacanya sekilas pada waktu termenung mencari jawaban apakah posisi wali dalam pernikahan bersifat mutlak wajib ada. Ternyata, para ulama terbelah menjadi dua pendapat. Ada yang memutlakkan, ada juga yang tidak. Bahkan, juga terkait posisi saksi dalam pernikahan.

Kitab ini menawarkan oase pemikiran berbasiskan penalaran rasional berbasis penafsiran teks suci. Siapapun yang membaca dan memahaminya niscaya sulit baginya bersikap fanatik. 

Aku percaya BS tidak hanya memiliki namun juga memahami isi dari kitab tersebut. Keberaniannya mengoptimalkan akal rasio dalam membaca teks sesungguhnya merupakan legasi yang perlu kita syukuri untuk diteruskan. 

Kesedihan atas gugurnya BS bagiku bercampur dengan rasa syukur. Mungkin jika BS masih ada, kita cenderung ongkang-ongkang, enak-enakan, karena tugas mulia mencitrakan Islam rahmatan lil alamin kita bebankan pada beliau. Kini, kita tidak bisa begitu lagi. Kita harus menapaktilasi apa yang telah dilakukan oleh BS, mau tidak mau. 

Matur nuwun, Buya Syakur. 

Kembalilah menghadap Tuhanmu dengan perasaan gembira dan merdeka. Fadkhuli fi 'ibadi wadkhuli jannati.(*)

---
** Auda, Jasser. Maqasid Al-Shari'ah as philosophy of Islamic law. International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2022.
** Dictionary, Merriam-Webster. "Merriam-webster." On-line at http://www. mw. com/home. htm 8.2 (2002).
** Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid: Jilid 1: Referensi Lengkap Fikih Perbandingan Madzhab. Vol. 2. Pustaka Al-Kautsar, 2002.

No comments:

Post a Comment