Perjalanan buka dan sahur keliling Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid (SNAW) senantiasa menjadi magnet bagi kelompok marginal, tak terkecuali mereka yang memiliki identitas gender dan seksual non-mainstream -- biasa dikenal sebagai kelompok pelangi. Anjani adalah call sign SNAW di lingkungan Paspampres yang rutin mengawalnya.
***
"Halo mbak, dari pengajian waria al-Ikhlas Surabaya ya? Monggo mlebet," sapaku kepada rombongan yang baru datang. Tampilan mereka beragam. Ada yang menggunakan jubah maskulin. Beberapa mengenakan busana muslimah mirip sosialita. Jumlah mereka sekitar 8-9 orang.
Mereka diundang menghadiri acara buka bersama SNAW di Griya Rahmatan lil Alamin Prapen Pandaan, Jumat (29/3). Kehadiran mereka tampak cukup mencolok, membuat undangan lain, mau tidak mau, memperhatikan mereka.
"Mas Aan!"
Aku mendengar teriakan agak kenes. Rupanya dari Mbak Sofa Latjuba, salah satu pentolan pengajian yang hadir agak telat. Sampai saat ini aku tak ingat siapa nama aslinya. Sofa Latjuba adalah nama panggung dari aktifis transpuan senior berdarah Madura yang juga merupakan elit dari Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos).
Aku langsung menghampirinya, menyalami dan tak lupa cipika-cipiki. Buru-buru aku mempersilahkan masuk lokasi acara sebab SNAW sudah tiba di lokasi.
Saat sesi dialog, Sofa tampil mengajukan pertanyaan ke SNAW. Dengan gaya kenesnya, ia menceritakan ada dua pengajian yang ada di lingkungan waria Surabaya; satu pengajian Islam dan satunya untuk Kristen, namanya PHDI jika tidak salah.
"Acara malam ini memang merepresentasikan Indonesia. Hampir semua komponen masyarakat hadir di sini," kata SNAW dalam ceramahnya.
Selain komunitas pengajian waria al-Ikhlas, acara yang dihadiri lebih dari 500 orang itu juga dihadiri oleh komunitas Narasi Toleransi, dipimpin oleh Mikha, aktifis transpuan yang sudah malang melintang di kawasan Kediri, Tulungagung dan Trenggalek.
Ia hadir bersama sekitar 8 orang anggota komunitasnya. Ada gay, transman, lesbian dan waria. Mereka datang dari Kediri, Blitar, Malang dan Surabaya.
Saat acara berlangsung, Narasi Toleransi ikut menyumbang musikalisasi puisi. Saking semangatnya mereka membawa sendiri satu gamelan untuk mengiringinya. Seluruh rangkaian acara dapat dinikmati melalui channel Youtube NU Pasuruan. https://www.youtube.com/live/CTJ_pZnJ5JM?feature=shared
Al-Ikhlas dan Narasi Toleransi tidaklah sendiri. Masih ada satu komunitas pelangi lain; Peduli Napas -- didirikan oleh, salah satunya, Gus Fikri, seorang transman asal Mojokerto.
Setelah acara, aku sempat ngobrol bersama Narasi Toleransi dan Peduli Napas. Obrolan juga diikuti oleh beberapa panitia dari Gusdurian Pasuruan serta Ketua Griya Rahmatan lil 'alamin, Fatur.
Obrolan tentu saja masih seputar gender, seksualitas dan agama. Topik ini terasa seperti anggur (wine), semakin tua semakin enak dinikmati.
"Gus, ada salah satu anak yang menyangka sampeyan itu waria lho," ujar salah satu orang. Tentu saja aku tertawa kecil sembari menambahkan hal itu bukanlah yang pertama.
"Terlalu sering aku disangka demikian. Aku juga pernah dituduh Tionghoa, Batak, dan Kristen karena sering bergaul dengan mereka. Aku menganggapnya sebagai bentuk apresiasi padaku. Terima kasih," ujarku
Sebagaimana ditegaskan Sofa Latjuba, Gus Dur dan Keluarga Ciganjur dikenal sebagai pembela militan kelompok minoritas gender dan seksual, khususnya waria. Ia berharap komitmen tersebut tetap dipegang selama-lamanya.
Terima kasih, Anjani!(*)
** Beberapa foto aku ambil dari wall mbak Laura Perez Maholtra
https://www.facebook.com/share/p/Sf9D5bffqT1Nfi6v/?mibextid=oFDknk
No comments:
Post a Comment