Dalam tradisi Islam, sosok Maryam (mamanya Yesus/Isa) sangatlah mentereng. Pangkatnya; perempuan terbaik sejagad raya (was thofaki ‘ala nisai al-‘alamin). Perempuan ini tetap dianggap suci sungguhpun ia --saat hamil Yesus/Isa-- dianggap tidak mengalami kelaziman proses sebagaimana manusia lainnya. Ia diyakini hamil tanpa intervensi lelaki, melainkan langsung "diintervensi" Tuhan. Uniknya, Al-Quran, pada kenyataannya, justru membuka peluang terbukanya tafsir terbalik; kehamilan Maryam dimungkinkan berjalan layaknya manusia biasa, dengan intervensi laki-laki yang tidak sembarangan.
Maryam 17
Ada satu ayat dalam al-Quran yang menarik untuk dieksplorasi menyangkut kehamilan Maryam. Ayat tersebut adalah QS. Maryam 17.
فَاتَّخَذَتۡ مِنۡ دُوۡنِهِمۡ حِجَابًا فَاَرۡسَلۡنَاۤ اِلَيۡهَا رُوۡحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا ١٧
"lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menampakan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna."
Kenapa ayat ini menarik? Sebab, ayat ini barangkali menjadi jawaban atas mitos "kesucian" Maryam atas kelahiran Yesus/Isa dari rahimnya. Kesucian perempuan ini begitu kuat dipertahankan demi menjaga sebuah motivasi religius, salah satunya, untuk melindungi keistimewaan Yesus/Isa.
Doktrin kesucian Maryam selama ini dipahami dengan sederhana, yakni ia hamil tanpa "sentuhan seksual" lelaki. Dalam narasi klasik Kristen, Maryam dipersepsi tetap perawan meski ia sendiri diwartakan memiliki suami. Agak sulit diterima akal ada seorang suami tidak menggauli istrinya pada saat yang sama tidak ditemukan informasi akurat Yusuf( suami Maryam) seorang gay atau mengalami impotensi.
Mitos kesucian Maryam nampak semakin dipertegas dalam al-Quran. Kitab suci ini menggambarkan Maryam tidak memiliki pasangan --baik pacar maupun suami. Alih-alih sebagai perempuan binal penganut free sex, Al-quran justru dengan tegas mendeskripsikan Maryam sebagai perempuan sholihah. Pekerjaannya sehari-hari-hari adalah menyembah tuhannya. Siang dan malam. Tidak ada waktu untuk hal-hal yang bersifat rekreatif.
Lalu dari mana ia bisa mendapatkan kehamilan atas dirinya? Sim salabim; ia bisa hamil atas kehendak Tuhan. Kehendak tuhan terkadang bisa dinalar oleh logika dan akal sehat dan kadang juga tidak membutuhkan. Nampaknya, kehamilan Maryam selama ini dalam tradisi Islam dipahami dalam format kedua tadi. Kun fayakun --Jadilah, maka jadilah.
Saya termasuk orang Islam yang percaya al-Quran tidak mungkin bertabrakan dengan akal sehat, logika, maupun ilmu pengetahuan. Jika ada ayat yang memiliki nuansa melawan akal sehat, saya akan mencoba mencari celah jawaban agar ayat tersebut tidak bertabrakan dengan ilmu pengetahuan. Dalam pemahaman saya, sederhananya begini; secara teologis, Tuhan memiliki bahasaNya sendiri. Tidak ada satupun orang yang mengklaim tahu persisnya apa dan bagaimana bahasa tersebut. Namun, tatkala Tuhan memutuskan perlu "berbicara" kepada sebuah peradaban maka, secara logis, ia harus menggunakan bahasa yang bisa dipahami peradaban tersebut. Untuk apa Tuhan ngotot menggunakan bahasaNya jika pada akhirnya ia tahu kehendakNya tidak dapat dipahami peradaban tersebut? Tuhan tidaklah sebodoh itu.
Namun, bagaimana seandainya tidak berhasil merekonsiliasi ketegangan antara ayat dan logika, saya biasanya memilih "memarkir" ayat dan menggunakan ilmu pengetahuan (sains) sebagai pegangan sembari berharap mampu merekonsiliasi keduanya dalam titik tertentu.
Dalam konteks al-Quran yang berbicara atas kehamilan Maryam yang hidup sendiri (single), dan dipakai sandaran untuk sampai pada kesimpulan kehamilan Maryam adalah keajaiban atas kehendak tuhan tanpa melalui proses manusiawi bertemunya sperma dan sel telur, saya susah menerima kenyataan tersebut.
Peradaban ini telah memiliki hukum sendiri; kehamilan hanya terjadi manakala sperma bertemu sel telur. Jika Tuhan bersikukuh menabrak hukum tersebut, Dia bisa jadi akan dituduh tidak menghargai tatanan yang sedari awal telah ia izinkan berproses menjadikan ilmu pengetahuan sebagai instrumen pentingnya.
Celah Muasal Kehamilan Maryam
Ketika menelusuri proses kehadiran Yesus/Isa dalam QS. Maryam, saya menaruh sedikit kecurigaan terhadap ayat 17. Di sana terekam penggambaran kehadiran Roh Tuhan (Jibril) di depan Maryam, face to face, dalam kesempurnaan bentuknya (sawiyya) sebagaimana manusia pada umumnya. Dalam arti, Jibril menemui Maryam, yang pada waktu itu sendirian, tidak secara ghaib. Alih-alih, al-Quran, sekali lagi, menggambarkan Jibril hadir dalam rupa manusia. Sarjana Aisha Bewley bahkan menggunakan kata "handsome" saat menerjemahkan ayat 17 tersebut.
Jibril saat itu, menurut al-Quran, diutus Alloh menemui Maryam, untuk mengabari perempuan ini rencana Tuhan seputar kehamilannya. Menjadi layak diselidiki lebih jauh apakah perjumpaan ini berlangsung secara langsung ataukah melalui mimpi. Banyak para penafsir al-Quran mengindikasikan perjumpaan keduanya terjadi secara langsung, dalam posisi sadar. Namun demikian, ada satu penafsir al-Quran, Mawlana Muhammad Ali, mengatakan sebaliknya. Dalam "The Holy Quran with Commentary," Muhammad Ali meyakini keduanya bertemu dalam mimpi, "This shows that it was in a vision that the spirit came, and the conversation that follows also took place in a vision. The word tamaththala (“it appeared”) used here lends support to this, for the word signifies assuming the likeness of another thing, and this happens only in a vision. Further the spirit or angel of God appears to His chosen ones only in a vision, and angels are not seen by the physical eye."
Saya sendiri lebih memilih meyakini Maryam dan Jibril berjumpa secara langsung. Imam al-Mahalli dan al-Suyuti dalam Tafsir Jalalyn bahkan mendeskripsikan QS. Maryam 17 sebagai berikut;
فاِتَّخَذَتْ مِن دُونهمْ حِجابًا﴾ أرْسَلَتْ سِتْرًا تَسْتَتِر بِهِ لِتُفَلِّي رَأْسها أوْ ثِيابها أوْ تَغْتَسِل مِن حَيْضها ﴿فَأَرْسَلْنا إلَيْها رُوحنا﴾ جِبْرِيل ﴿فَتَمَثَّلَ لَها﴾ بَعْد لُبْسها ثِيابها ﴿بَشَرًا سَوِيًّا﴾ تامّ الخَلْق) (Demikianlah dia berhijab dari mereka, dia menyelubungi dirinya dengan kerudung untuk menyembunyikan dirinya saat dia mencuci rambutnya dari kutu atau mencuci pakaiannya atau membersihkan dirinya dari haid; kemudian Kami kirimkan kepadanya Ruh Kami Jibril dan dia tampak di hadapannya setelah dia mengenakan pakaiannya menyerupai manusia yang proporsional sempurna dalam bentuk fisik).
Tafsir Ibn Abbas malah menginformasikan kehadiran Jibril dalam bentuk manusia terjadi sesaat setelah Maryam mandi suci sebagai tanda telah selesainya siklus menstruasinya, “(Dan telah memilih pengasingan dari mereka) agar dia bersuci setelah selesai haidnya. (Kemudian Kami kirimkan kepadanya Ruh Kami) Utusan Kami Jibril setelah dia selesai menyucikan dirinya (dan dia dianggap seperti manusia sempurna)”
Jika boleh membayangkan, perjumpaan Jibril dan Maryam barangkali seperti scene pertemuan antara Kata dan Algren dalam film The Last Samurai. Saat itu Algren menemui Kata sesaat setelah perempuan ini selesai mandi dari pancuran. Keduanya memang pada akhirnya saling jatuh cinta.
Mungkin imajinasi ini terlalu vulgar untuk diposisikan menggambarkan relasi Jibril dan Maryam --dua entitas ciptaan yang berasal dari dua dimensi yang berbeda. Di sinilah krusialnya kata "sawiyya" yang disematkan Allah dalam al-Quran. Jibril saat bertemu Maryam tidak lagi sepenuhnya berupa malaikat namun ia telah bertransformasi menjadi manusia sepenuhnya --termasuk dengan segenap atribut seksualitas heteroseksualnya. Al-Quran sama sekali tidak menyebutkan secara literal apakah pada akhirnya Maryam dan Jibril --dua sosok suci tak tercela ini-- terlibat dalam adegan asmara.
Al-quran dalam hemat saya memang tidak perlu harus sedemonstratif itu untuk menggambarkan kehendak tuhan "berbahasa" yang dipahami ilmu pengetahuan dalam peradaban manusia. Tuhan telah saya anggap cukup jelas dengan maksudNya melalui simbol berupa kata "sawiyya," dalam QS.19:17 tadi.
Keder Karena Kader
Dengan kalimat yang lebih lugas, saya terprovokasi membayangkan bahwa kehamilan Maryam --dalam konteks al-Quran-- merupakan proses alamiah, hasil konsekuensi logis "hubungan," antara Maryam dan Jibril. Terus terang saja, saya tidak menemukan penafsir al-Quran yang berani memposisikan diri mendukung "kekurangajaran," cara pandang ini, sebelum akhirnya saya menemukan tulisan pendek Yulia Riswan, peneliti The Global Quran Universitas Freiburg Jerman, berjudul "Qur’an Translation Of The Week #186: Dutch Qur’an Translation: A Literary Adaptation Of The Qur’an By A Migrant Intellectual, Kader Abdolah,"
Yulia dalam tulisan tersebut mengabarkan pandangan Kader Abdolah, imigran Iran yang kini menetap di Belanda dan menghasilkan menerbitkan terjemahan al-Quran versinya sendiri, terhadap relasi Maryam dan Jibril. Abdollah tanpa malu-malu melukiskan perjumpaan keduanya dalam nuansa tafsir yang, menurut Yulia cukup dipengaruhi oleh corak Persia, terasa lebih vulgar dan lebih manusiawi.
"Maria stond naakt in de rivier. Opeens verscheen er een knappe man. Maria schrok en rende naar de struiken om zich te verstoppen. Wees niet bang, Maria, riep de man, ik ben de engel Ghabriel. Ik kom om je een kind te geven. De engel wist Maria over te halen, verleidde haar achter de dadelbomen en maakte haar zwanger." (Maria berdiri telanjang di sungai. Tiba-tiba seorang lelaki tampan muncul. Maria ketakutan dan berlari ke semak-semak untuk bersembunyi. Jangan takut, Maryam, lelaki itu berseru, akulah malaikat Ghabriel. Aku datang untuk memberimu seorang anak. Malaikat itu membujuk Maria, merayunya di balik pohon kurma dan menghamilinya.)
Belum pernah saya temukan tafsir atas diri Maryam terkait kehamilannya seperti ini. Jika Kader Abdolah hidup di Indonesia sangat mungkin karya kontroversinya akan memantik kemarahan publik secara luas. Bahkan, ia bisa dipenjarakan atas gagasannya ini. Namun seandainya kita mengamini tafsiran Kader Abdollah maka dengan demikian proses kehamilan Maryam atas bayi Yesus/Isa menjadi "selaras" dengan akal sehat dan kinerja ilmu pengetahuan seputar reproduksi manusia. Tidak ada lagi "kuasa misteri," dalam diri Maryam atas kelahiran Yesus/Isa. Dengan demikian, kelahiran sang juruselamat ini sepenuhnya melalui kelaziman proses reproduksi manusia pada umumnya.
Lantas, akankah "kesucian," Maryam menjadi hilang, tergerogoti atas keterusterangan al-Quran melalui tafsir Kader Abdollah? Ini merupakan tantangan bagi kita semuanya. Sebab, selama ini doktrin menyangkut kesucian Maryam --yang bertumpu pada keperawanan-- bisa jadi merupakan konstruksi cara pandang klasik yang bias-patriarkhi. Bias ini mengguratkan garis sangat tegas untuk mengkategorisasi perempuan baik-baik dan suci dalam indikator yang sangat purbawi, yakni mampu menjaga keperawanannya atau tidak. Standar kebaikan moral perempuan yang selama ini acapkali diteropong dengan ukuran keperawanan telah lama dipertanyakan relevansinya. Para pendukung kesucian Maryam dalam skema klasik ini tak pelak akan menolak mentah-mentah tafsir Abdollah dan segenap upaya menjelaskan kehamilan Maryam secara lebih manusia --yang itu akan berakibat pada keniscayaan atas ketidakperawanan Maryam.
Tafsir Abdollah dengan demikian bisa jadi menawarkan alternatif cara pandang baru atas "kesucian" -- yakni, Yesus/Isa lahir dari dua manusia yang suci. Kesucian Maryam terletak pada ketaatannya mengabdi pada Tuhan. Sedangkan Jibril, ayah Yesus/Isa, merupakan duta besar resmi yang suci (“ruhana” --roh kudus Allah) yang menjelma sebagai manusia atas izin dari Tuhan. Meskipun begitu, kesucian ini senyatanya dapat dikritisi lebih jauh dalam perspektif ikatan perkawinan. Bisa jadi kekudusan dua insan ini ternyata belum dianggap suci mengingat relasi seksual mereka berdua tidak diikatkan pada institusi perkawinan pada saat itu. Keduanya bisa dituduh melakukan perzinahan non-perselingkuhan (adultery) --- Maryam dan Jibril tidak sedang terikat perkawinan dengan pihak lain pada saat peristiwa itu terjadi.
Mengunci Kesucian
Doktrin kesucian yang mengelilingi kehamilan Maryam atas diri Yesus/Isa selama ini lebih bertumpu pada aspek keperawanannya. Penjagaan atas doktrin ini sangat mungkin dipengaruhi oleh obsesi patriarki atas idealitas sosok perempuan. Perspektif ini, jujur saja, tak lagi relevan dipertahankan karena terlalu sederhana mengukur moralitas perempuan dari aspek tertentu ketubuhannya. Selain itu, yang juga tidak kalah pentingnya, memposisikan Maryam tetap perawan padahal ia senyatanya mengandung bayi sungguh bertentangan dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan yang berlaku universal. Al-Quran membuka peluang terjadinya rekonsiliasi antara dogma kesucian yang ada dalam teks dan ilmu pengetahuan seputar kehamilan Maryam atas diri Yesus/Isa. Dengan demikian, doktrin kesucian dan kekudusan Maryam sesungguhnya terletak pada sosok lelaki yang "bersama" Maryam saat itu, yaitu Jibril, utusan suci Tuhan yang disebut dalam QS.19:17 sebagai ruhuna (God's soul). Entah tafsir kesucian mana yang benar atas misteri kehamilan Maryam. Wallohu a'lam.()
-----
Daftar bacaan
Abdalhaqq, M., & Bewley, A. (1999). The Noble Qur’an: A New Rendering of its Meaning in English. Dubai: Bookwork.
Abdolah, K. (2008). De Koran. Een Vertaling.
Ali, M. M. (2002). The Holy Qur’ån. English Translation. https://www.ahmadiyya.org/english-quran/a-prelim.pdf
Hamza, F. (2007). Tafsir al-Jalalayn. Royal Aal Al-Bayt Institute for Islamic Thought Amman. Jordan.
Stowasser, B. F. (n.d.). Mary. In Encyclopaedia of the Qurʾān. Brill. Retrieved March 11, 2024, from https://referenceworks.brillonline.com/entries/encyclopaedia-of-the-quran/mary-EQCOM_00113?s.num=0&s.f.s2_parent=s.f.book.encyclopaedia-of-the-quran&s.au=%22Stowasser%2C+Barbara+Freyer%22&s.q=mary
Yulia Riswan. (2024, February 23). Qur’an translation of the week #186: Dutch Qur’an Translation: A Literary Adaptation of the Qur’an by a Migrant Intellectual, Kader Abdolah - GloQur- The Global Qur’an. https://gloqur.de/quran-translation-of-the-week-186-dutch-quran-translation-a-literary-adaptation-of-the-quran-by-a-migrant-intellectual-kader-abdolah/
تفسير الجلالين | 19:17 | الباحث القرآني. (n.d.). Retrieved March 4, 2024, from https://tafsir.app/jalalayn/19/17
موقع التفير الكبير. (n.d.). Altafsir.Com. Retrieved March 4, 2024, from https://Altafsir.com
No comments:
Post a Comment