Meski seringkali posting terkait gereja dan kekristenan selama Ramadlan namun baru tadi sore aku buka bersama di gereja. Acara ini murni inisiatif mereka. Inisiatif tersebut tidak pernah aku duga sebelumnya.
Sekitar seminggu lalu, telponku berdering. Panggilan dari seseorang yang telah lama aku tahu meski tidak kenal secara akrab. Namanya Mastuki Pandi.
Aku tahu dia karena kami sama-sama di sebuah grup WA para aktifis dan jurnalis Jombang. Mastuki juga anggota komite sekolah di institusi tempat pasanganku pernah mengajar.
Yang terbaru, aku dengar ini menjadi salah satu caleg dari partai oranye --partai yang aku tahu tidak terlalu dekat dengan isu pluralisme dan kebhinekaan.
"Halo, mas. Ini aku, Mastuki. Sampeyan ngerti gereja GKA Zion di Tunggorono? Ini aku sedang bersama pendeta dan pengurusnya," ujarnya di ujung telpon.
Hatiku langsung tidak enak. Pikiranku sudah berpikir liar, "Duh, pasti ada masalah ini,"
Entah kenapa, aku selalu merasa bertanggung jawab jika ada kejadian persekusi terhadap rumah ibadah, khususnya di Jombang. Sangat mungkin hal itu disulut oleh obsesi personal melihat Jombang sebagai barometer toleransi; di mana setiap orang merdeka beribadah dan berkeyakinan.
Sejak kemelut HKBP di Jombang beberapa tahun lalu, aku memang sudah tidak pernah mendengar lagi persekusi gereja di Jombang. Kemelut tersebut sempat membuat Jombang lumayan menghangat.
Aku terus berpikir, ada urusan apa Mastuki bertemu dengan para elit GKA Zion Tunggorono. Jangan-jangan ia sedang menekan gereja ini agar tidak boleh beribadah.
"Iya, aku kenal mereka. Onok opo yo, mas?" aku mencoba tetap tenang.
"Gini, mas. Aku kan ketua RT. Gereja mereka masuk di RTku," tambahnya.
Aku makin deg-degan. Dalam modus operandi persekusi rumah ibadah, seringkali RT dan RW menjadi garda terdepat kelompok mayoritas mendaratkan nafsu arogansinya.
Yang aku tahu, mayoritas penghuni perumahan Tunggorono adalah orang Islam. "Wah cilaka! Bakal ramai lagi di media nih," batinku.
"Piye, mas? Ada masalah apa?" tanyaku memburu.
"Ini lho, kami sedang menggagas buka bersama di halaman gereja. Aku langsung teringat njenengan kalau urusan lintas agama,"
Ploonggg....
Tanpa berpikir lama, aku langsung menghamburkan apresiasi dan janji manis untuk datang dalam acara tersebut, padahal aku belum memeriksa jadwalku terlebih dahulu.
"Apa Pdt. Made ada di situ, mas?" tanyaku. Pdt. Made adalah gembala utama di GKA Zion Jombang. Aku cukup akrab dengannya.
"Nggak mas, ini ada Pendeta Suyanto dana beberapa pengurus," tambahnya.
"Tolong berikan telponnya ke dia. Aku ingin berbicara dengannya," jawabku.
Otak dan pikiranku terus berputar mencari tahu apakah aku masih mengingat Pdt. Suyanto. Sayangnya, aku gagal menemukan wajahnya dalam memoriku. Meski demikian aku sangat percaya diri dia pasti mengenalku.
"Halo, gus..." ujarnya di ujung telepon.
Aku selanjutnya berbicara panjang lebar. Isinya, apresiasi besar atas inisiatifnya mengadakan buka bersama di depan gereja untuk warga sekitar. Menurutku, tidak semua geraja berani mengambil inisiatif tersebut.
Sore tadi, Selasa (2/4), aku memacu motorku ditengah mendung pekat yang menyelimuti kota Jombang, mengarahkanya ke Perumahan Pondok Indah di Tunggorono.
Aku telah ditunggu oleh Pak Sholeh, kawanku -- guru Injil GKJW Jombang. Ia memang aku ajak ikut acara karena rumahnya dekat dengan gereja tersebut. Sebelum ke lokasi, aku terlebih dahulu mampir ke rumahnya.
Aku mengenal Pak Sholeh sudah sangat lama. Kami sama-sama aktif dalam gerakan lintas iman di Jombang.
Sekitar pukul 17.00 kami mendatangi lokasi buka bersama. Ada terop lumayan besar di depan gereja. Gereja ini meski berstatus Pos PI namun bangunannya cukup megah. Mungkin lebih megah ketimbang gereja induk di Jl. Pahlawan.
Kursi telah ditata rapi, menghadap ke baliho depan. Kami berdua disambut dengan akrab oleh beberapa majelis termasuk Ev. Suyanto.
Jam 17.05 belum ada warga yang hadir. Tak seberapa lama, Pak RT Mastuki datang. Ia mengenakan jaket Banser. Aku menyalami dan memeluknya.
Lirih aku sampaikan rasa terima kasihku. Ini adalah buka bersama pertama kali yang dihelat sejak gereja ini berdiri lebih dari 25 tahun.
Acara dimulai sekitar 17.15. Semua kursi terisi penuh. Sebagian besar perempuannya berjilbab.
Setelah dua sambutan disampaikan Rev. Suyanto dan Cak Mastuki, pembawa acara mempersilahkanku maju, menyampaikan gagasan seputar acara ini.
Aku maju saja meski tanpa punya konsep yang jelas. Pelan-pelan aku ceritakan pada forum kronologi acara dan apresiasiku pada acara ini.
Sebelumnya aku mengutip ayat tentang janji Gusti terhadap mereka yang mau bersyukur atas nikmat yang telah diberikannya.
"Dalam al-Quran, Gusti pernah berjanji akan terus mengucurkan anugerah bagi siapa saja mau bersyukur. Jamuan buka bersama ini adalah ucapan rasa syukur. Gusti Alloh akan menambahkan rejekinya pada gereja ini," ucapku.
Selanjutnya aku mengupas ketersambungan perintah puasa dalam Islam dengan agama-agama sebelumnya. Artinya, orang Islam tidak bisa lagi merasa puasa adalah monopolinya. Dalam Kristen dan agama lain juga ada perintah puasa.
"Dalam al-Quran, Tuhan meminta kita puasa agar menjadi pribadi yang bertaqwa. Taqwa bermakna; menjadi anugerah bagi sekelilingnya. Istilah al-Qurannya, rahmatan lil alamin. Kalau bahasa al-Kitabnya, menjadi terang, menjadi garam," tambahku.
Aku menyampaikan gagasanku segayeng mungkin. Beberapa kali hadirin tertawa-tawa karena joke-joke yang aku berikan. Saking gayengnya, aku tak mampu menutup pidatoku dengan baik karena adzan tiba-tiba menyeruak.
"Saya berharap buka bersama ini terus ditradisikan tiap tahun. Setuju nopo mboten?"
"Setujuuu uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu," respon semua peserta.
Sebelum pulang aku sempat berbincang dengan majelis gereja dan Pak RT, meminta mereka untuk terus menjadikan perumahan ini sebagai teladan dalam interaksi antaragama. Bagiku, orang Islam akan sangat sulit toleran tanpa bantuan orang Kristen dan penganut agama lain.(*)