"Entah kenapa aku selalu merasa inferior saat bertemu pasangan beda agama yang berkomitmen membakukan relasinya secara ideal," ujarku.
"Kenapa, gus?" celetuk mereka.
"Iya, salib mereka berat. Teraniaya secara sistematis. Orang teraniaya biasanya doanya lebih didengar Tuhan. Malati," tambahku.
Sore tadi aku memberikan konsultasi pada Christian dan Fatimah --bukan nama sebenarnya. Keduanya merasa saling berjodoh. Tak bisa dipisahkan.
Christian adalah anak seorang pendeta dari kekristenan konservatif. Sedangkan Fatimah, putri seorang Muslim Sunni-Nahdliyyin taat.
Entah bagaimana keduanya bertemu.
Fatimah kerap mengikuti beberapa forum interfaith yang melibatkanku. Pemikirannya progresif -- meski ia berproses di organisasi mahasiswa Islam yang menurutku moderat minimalis.
Bagiku, relasi mereka merupakan tantangan baru bagiku mengingat Christian tidak bergereja di sinode yang melayani pemberkatan PBA. Selama ini, klien-klienku berasal dari kekristenan yang berani melayani PBA, termasuk, tentu saja, Katolik.
Untuk memudahkan, aku biasanya membagi percakapan PBA dalam tiga level. Level pertama, mengecek kesiapan pasangan yang menjalani. Jika ada salah satu dari mereka yang terdeteksi memaksa pindah agama, aku biasanya akan menghentikan sementara, meminta keduanya merenung dan berpikir ulang; diteruskan atau tidak. Di level ini, Christian dan Fatimah lolos. Mereka saling support keyakinan masing-masing. Good.
Level kedua; keluarga. Jika ada salah satu atau kedua keluarga pasangan yang nyrimpeti maka langkah-langkah penanganan perlu dilakukan. Peran pasangan sangat krusial dalam meyakinkan keluarga. Pihak ketiga bisa dihadirkan untuk meyakinkan keluarga.
Di level ini, keluarga pasangan tidak keberatan keduanya PBA sepanjang pencatatannya di Dukcapil --syarat dari keluarga Christian-- dan melakukan akad nikah --syarat dari keluarga Fatimah. Bagiku, ini masih bisa ditoleransi. Artinya, secara teoritik dan praktik dapat disinkronkan.
Level ketiga; pencatatan perkawinan. Untuk merealisasikan level dua maka menjadi keharusan menemukan gereja yang bisa memfasilitasi pemberkatan beda agama. Tanpa pemberkatan mustahil ada surat keterangan pemberkatan. Ketiadaan surat ini berarti kegagalan melangkah ke Dukcapil.
Pada level ini, kami juga wajib memetakan Dukcapil mana yang masih melayani PBA. Sebagai catatan, hampir semua Dukcapil i Indonesia telah menutup "pintunya" bagi PBA. Untuk apa punya surat pemberkatan PBA dari gereja jika Dukcapil tidak mau menerimanya?
Kami terus mendiskusikan opsi-opsi yang tersedia, dengan mempertimbangkan tingkat kegagalan yang bisa diprediksi.
"Hanya tersedia tiga model untuk melanggengkan relasi kalian," ujarku sembari mengurai secara detil ketiganya.
"Kami memilih model pertama, Gus, model seperti PBAnya Riyan dan Ara," ujar Fatimah.
"Sip. Aku juga berpikir demikian," aku menimpali.
Wanti-wanti terus aku gaungkan, khususnya seputar ketahanan (endurance) mereka menghadapi proses panjang nan melelahkan dari model yang mereka pilih.
Betapa aku salut pada mereka, salut atas kesadaran memanggul dan menghadapi penderitaan yang dihadapi.(*)
https://www.facebook.com/1561443699/posts/pfbid0VtxVoRFnUfQwZtZ2k9zpXHnicQb7EMQMvN3dkruT2eRmVktt3WRSZHAkeeUjZE15l/?app=fbl
No comments:
Post a Comment