Pages

Tuesday, April 30, 2024

MENULIS SEPERTI BERAK!



Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta Toer.

Dengan mengambil tafsir agak longgar atas jargon tersebut, aku bayangkan betapa indahnya hidup seseorang seandainya ia bisa menulis rutin seperti halnya ia berak.

Jika semakin lama kita tidak bisa berak, kita pasti kuatir dan rela mengeluarkan berapapun untuk hal itu. Sebagai orang tua, aku pernah mengalami kekalutan saat Cecil-balita punya masalah rutinitas berak. Sedih, bingung, takut dan dunia terasa gelap.

Sayangnya, hal itu berbanding terbalik dengan rutinitas kita menulis. Sebagian besar dari kita tidak menganggap kebisaan dan kerutinan menulis sebagai hal yang urgen. Seurgen berak.

"Pokoknya menulis. Menulis apa saja. Bahkan soal yang dianggap remeh publik sekalipun. Jangan sampai kemalasanmu menulis kamu anggap sebagai normalitas," kata mentor-gaibku.

Maka kunci rutinitas menulis agar sama seperti berak barangkali terletak dari kemauan diri kita. Kemauan tersebut sangat ditentukan oleh cara pandang yang kita bangun. Semakin kita mensugesti diri  pentingnya menulis, apapun, semakin kita akan mendekati idealitas "menulis seperti berak"

Aku mau berak, eh, menulis.

Setengan jam lalu, aku mengontak Firdaus, muslim, bukan nama sebenarnya, pria yang pernah aku dampingi melaksanakan perkawinan beda agama (PBA). Ia berdomisili formal di Surakarta, kawin dengan Fransisca, Katolik, nama samaran, domisili formalnya di Gresik.

Mereka mendapatkan pemberkatan dari paroki di wilyah perbatasan Sidoarjo-Surabaya. Keduanya tetap dalam agama masing-masing. Kolom agama di KTP mereka juga tetap; Islam dan Katolik.

Mereka berdua, sebelum pemberkatan, terlebih dahulu melaksanakan akad nikah di Gresik. Kisahnya pernah aku tulis di Facebook.

"Firdaus, gimana status perkawinanmu dulu. Apakah kamu berhasil mengurus di Dukcapil Surakarta?" tanyaku.

Setelah keduanya akad nikah akhir 2023 dan melangsungkan resepsi beberapa bulan setelahnya, aku tidak lagi menjalin kontak dengan mereka. Kepentinganku malam ini mengontak Firdaus dalam rangka memastikan apakah Dukcapil Surakarta (Solo) telah benar-benar merah-putih --istilah yang aku gunakan untuk mengidentifikasi keberpihakan institusi layanan publik.terkait PBA.

Aku sendiri memilih bersiap untuk protes pada Walikota Gibran, seandainya Dukcapil Solo loyo seperti Dukcapil di hampir semua kota/kabupaten di Indonesia. Loyo, tidak mau menjalankan kewajibannya padahal pasangan PBA telah memenuhi semua syarat administratifnya.

"Alhamdulillah pencatatan PBA di Dukcapil Solo berjalan lancar, informatif dan sangat membantu. Pelayanannya juga bagus," ujarnya.
"Ya Alloh, ikut sueenang aku, Firdaus," balasku, "Jadi sama sekali tidak ada kerumitan-kerumitan ya?"

"Enggak ada kerumitan, gus, lancar banget prosesnya,"
"Berarti kamu berdua membawa testimonium matrimoni dari Paroki K*******g ke Dukcapil Solo ya?"
"Enggeh, gus,"

Aku sangat senang mendengar informasi ini. Lebih-lebih karena masih ada Dukcapil seperti Solo, yang masih mau melayani PBA saat pintu pengadilan negeri untuk PBA tertutup semua.

Firdaus bisa mencatatkan PBAnya karena ia berdomisili di Solo. Artinya, berKTP Solo. Bagi kalian yang sudah mengantongi surat pemberkatan PBA dari pemuka agama selain Islam, kalian memiliki kesempatan mencatatkannya di Solo. Tentunya setelah salah satu dari kalian mengurus perpindahan dokumen kependudukan ke Solo.

"Ini gus kutipan akta perkawinannya," tulis Firdaus, sembari mengirimkan foto dokumen kepadaku.

Aku perhatikan agak seksama. Persis seperti dokumen akta perkawinan PBA milik Riyan dan Ara yang dikeluarkan Dukcapil Sleman.

Tertulis di dokumen milik Firdaus, perkawinan dicatatkan pada 26 Januari 2024 di Dukcapil Surakarta berdasarkan perkawinan yang telah dilangsungkan dihadapan pemuka agama Katholik yang bernama RD.SK pada 13 Januari 2024.

"Thanks, Firdaus. Salam ke Fransisca ya. Semoga kalian senantiasa berbahagia," tulisku mengapresiasi dan mendoakan pasangan ini.

Demikianlah tulisan ini aku buat, semata-mata agar aku dapat mengamalkan jargon; menulis adalah berak!. Semoga bisa istiqomah berak eh, menulis.

No comments:

Post a Comment

Featured Post

JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN

Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...