Pages

Sunday, June 30, 2024

BERTAHAN DARI TOA DI GPIB HOSEA; AGITATIF DAN EMPATI-PEJORATIF



Selama lebih dari satu jam, sarasehan Pancasila dan Bhinneka tunggal ika di GPIB Hosea menghadapi dentuman toa dari masjid sebelahnya, Jumat (28/7). Suaranya begitu nyaring melindas ruangan, apalagi jika pintunya terbuka. 

Jarak masjid dengan gereja cukup dekat, sekitar kurang dari 10 meter. Diam-diam aku mengagumi kualitas toa tersebut, "Pakai merk apa masjid itu sehingga kualitas suaranya sedemikian dahsyat?" 
Aku merasa cukup gelagapan dengan toa tersebut. Maklumlah, meski rumahku dikepung dua mushalla dan 2 masjid, aku tidak pernah merasa sedemikian "dekatnya" dengan suara toa seperti ini. 

Aku sangat yakin masjid tersebut milik saudara-saudaraku NU meski aku tidak sempat masuk. Keyakinanku ini didasarkan atas apa yang keluar dari toa tersebut, yakni penggalan syair-syair diba'. 


Hanya masjid/mushalla NU saja yang selama ini bergairah mensyiarkan diba'. Aku tahu karena sejak kecil di Kauman, diba'an adalah rutinitasku; dari satu masjid dan mushalla; dari ya rabbi sholli 'ala muhammad, makhallul qiyam hingga ya badro timmin khaza kulla kamali.  

Ketidaknyamananku atas kuatnya suara ini berbanding terbalik dengan puluhan warga GPIB Hosea yang hadir malam itu. Mereka terlihat santai-santai saja. Mungkin mereka sudah relatif mampu beradaptasi dengan hal seperti ini. 

Puluhan tahun gereja ini hidup bertetangga dengan masjid tersebut. Gereja ini terbukti memiliki toleransi sangat tinggi.

Toleransi di sini aku maknai sebagai kemampuan menahan ketidaknyamanan yang bersifat obyektif. Tidak peduli apapun agamanya, kerasnya suara toa, secara obyektif, dianggap sebagai faktor yang membuat seseorang tidak nyaman. Dengan demikian, kerasnya suara toa tidaklah beragama.

Aku membayangkan bagaimana jika kondisinya dibalik; GPIB Hosea memasang toa serupa, termasuk ukuran desibelnya, dan memutar lagu-lagu rohani lima kali sehari semalam. 

Aku bertaruh, dalam waktu kurang dari 24 jam, gereja tersebut pasti akan didatangi tetangga sekitar, meminta agar toa dimatikan. Mengganggu!

"Aku tahu sebagian dari kalian mungkin merasa terganggu dan memilih bertahan dengan hal ini. Itu bagus. Namun jika ada inisiatif untuk mendiskusikannya dengan pihak masjid, menurutku itu menunjukkan upaya menaikkan kualitas relasi gereja dn masjid. Ini PR," ujarku.

Dalam acara sarasehan tersebut, aku blak-blakan menunjukkan beberapa faktor kenapa cukup banyak orang Islam yang memandang kekristenan dalam kerangka yang belum pas; yakni agitatif dan empatif-pejorative.

Agitatif menunjukkan sikap yang menganggap seseorang/kelompok dalam suasana permusuhan, sungguhpun sikap tersebut belum tentu dilandasi oleh pengalaman interaksi langsung. 

Sikap ini, dalam teori kebencian dupleks milik Sternberg, sangat mungkin disebabkan oleh reproduksi narasi tentang kekristenan dalam kerangka permusuhan dengan Islam. 

Di Indonesia, kita tahu Islam-Kristen/Katolik memiliki daftar permusuhan sangat panjang sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini. Daftar ini bisa dibaca, salah satunya, dalam kumpulan tulisan M. Natsir, "Islam dan Kristen di Indonesia," maupun disertasi Mujiburrahman, "Feeling Threatened. Muslim-Christian Relations in Indonesia's New Order," 

"Selain itu, saat masih berada dalam kuasa intolernasi, aku melihat orang Kristen dengan paradigma kasihan --Kasihan melihat mereka pada akhirnya akan masuk neraka sungguhpun mereka memenuhi hidupnya dengan kebaikan selama di dunia," ujarku. 

Pengakuan ini aku sebut sebagai empati-pejoratif -- kerangka kedua yang pernah aku alami sebagai orang Islam saat berjumpa dengan kekristenan. Empati pejoratif ini tak pelak memantik reaksi peserta sarasehan. Aku melihat ada keragaman raut muka mereka; ada ekspresi tegang, gundah, senyum kecut, dan sebagaimanya.

Ada banyak pertanyaan terlontar dari peserta. Semuanya berbobot. 

Aku merasakan secara umum suasana malam itu sungguh membahagiakan. Apalagi, menurut kabar, sarasehan islam-Kristen seperti ini belum terlalu sering dilakukan GPIB Hosea.

Aku mengucapkan terima kasih, khususnya kepada kawanku, Alva Tomasoa, yang cukup lihai memandu acara dan mempersiapkannya secara umum. Majulah GPIB Hosea dan kehidupan toleransi di Menanggal.(*)

No comments:

Post a Comment

Featured Post

JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN

Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...