Pages

Wednesday, July 17, 2024

APA SALAHNYA MEREKA KE ISRAEL?



Lima orang kader NU babak-belur, dihujat netizen berjamaah. Gara-garanya, mereka  foto bareng Presiden Israel dan beberapa elit politik Israel, sembari tersenyum pula. 

Situasi ini membuat PBNU buru-buru mengklarifikasi dan memintakan maaf mereka ke publik? Apa sebenarnya kesalahan mereka? 

Dari lima orang kader NU, ada dua orang yang aku kenal agak mendalam --dalam arti pernah berkomunikasi; Munawir Azis dan Nurul Bahrul Ulum. 

Dengan Azis, aku pernah berproses di CEPDES milik alm. Lily Zakiyah Munir. Aku pernah mengisi kelas pemikiran Gus Dur bersamanya, jika tidak salah ingat. 

Sedangkan dengan Nurul, aku pernah ke rumahnya saat Kongres Ulama Perempuan I. Aku kenal Jacky, suaminya. Kami dulu sering ketemu di acara GUSDURian. Nurul kader NU yang cerdas dan kritis. Saat Facebooknya terblokir, aku ikut membantu membukanya.
Aku haqqul yakin  Azis dan Nurul mengidolakan Gus Dur. Begitu pula tiga lainya; Izza, Zainal Arifim dam Syukron Makmun. 

Meskipun belum memiliki bukti yang cukup, aku yakin kelimanya pasti mengingat GD saat ke sana, membela Palestina. Dunia maya rasanya terlalu sesak dipenuhi kritik, hujatan dan cacian terhadap kelimanya. 

Saat tulisan ini diketik, aku belum menemukan satupun dari kelimanya berstatemen. Statemen dari mereka yang ada dalam foto merupakan hal penting, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, minimal; apa motivasi mereka ke sana, apa yang mereka sampaikan saat bertemu elit politik di sana.

Aku mengirimkan pesan ke Nurul dan Azis, sekedar untuk menanyakan apa yang sebenarnya mereka sampaikan saat bertemu elite politik Israel, termasuk presidennya. Pesanku telah centang dua meski belum ada jawaban. Semoga nomornya tidak berubah. Keduanya masih diam.

Kediaman mereka bisa jadi bermaksud baik; agar situasinya lebih adem, tidak terus menerus dikurung kemarahan. 

KENAPA KITA MARAH?
Jika dipilah, ada dua kategori kelompok masyarakat yang mengecam mereka. Pertama, elite NU. 

Mereka berang karena jangan-jangan kelima orang ini menyampaikan sesuatu yang keluar dari rel kebijakan umum NU terkait konflik Israel-Palestina. Hanya saja, saya agak meragukan alasan ini. 

Saya bertaruh; sebodoh-bodohnya kelima kader NU tadi, tidak mungkin mendukung penuh pembumihangusan Palestina dari muka bumi ini. Tidak mungkin! 

Namun demikian, elite NU, bagiku, sudah sewajarnya marah secara organisasi. Kehadiran kelimanya membuat PBNU seperti duduk di kursi pesakitan dihakimi jutaan netizen, dianggap tidak mampu mengendalikan kader-kadernya. Padahal, PBNU sudah cukup kewalahan bertempur soal tambang melawan kekuatan antitambang dari luar dan dalam tubuh NU sendiri. 

Personally, saya amat mengapresiasi Gus Ketum Yahya, yang setelah menjelaskan panjang kronologis keberangkatan 5 orang ini ke Israel, memintakan maaf kelimanya. 

Menurutku Gus Yahya telah menunjukkan kualitas kepemimpinan yang dewasa atas peristiwa ini. Sangat mungkin karena Gus Yahya memahami kelimanya hadir ke Israel dalam kapasitas pribadi mereka, bukan mewakili PBNU. Sangat mungkin Gus Ketum tahu apa saja yang kelimanya sampaikan ke elit Israel. 

Kelompok kedua yang marah atas aksi kelima orang ini adalah "publik non-PBNU dari kalangan politisi,"

Mereka marah --dan itu wajar-- karena secara politik elektoral, kemarahan lebih menguntungkan ketimbang diam apalagi membela kelimanya. 

Politisi pada banyak aspek begitu menuhankan elektabilitas. Pilihan sikap mereka seringkali dihitung berdasarkan pertimbangan keinginan dominan masyarakat.

Jangan melawan arus besar pemilik suara jika masih ingin dipilih dalam pemilu mendatang. Tentu saja mereka, para politisi ini, dapat membungkus argumentasinya dengan berbagai bentuk, tak terkecuali alasan yang terlihat masuk akal. Dalam konteks ini, secara politik, sikap mereka ini bisa aku pahami. 

Dalam kelompok kedua ini, juga terdapat "publik non-PBNU non-politisi," 

Siapa mereka? Ya seperti kalian yang merasa masuk kategori ini. Kalian marah kepada kelimanya karena merasa setiap orang harus satu suara DAN SATU CARA, seperti kalian, dalam membela Palestina. 

Pertanyaan kritisku pada kalian; apakah kalian tahu secara persis apa yang disampaikan kelima orang tersebut kepada elit Israel? 

Mungkin kalian akan jawab, "Itu tidak penting! Yang paling utama, mereka telah memgkhianati perjuangan Palestina karena berfoto sambil tersenyum dengan elit Israel!"

Aku berbaik sangka saja: jangan-jangan, mereka yang masuk kategori ini, sebenarnya memiliki hasrat terpendam untuk dapat menyuarakan pembelaannya terhadap Palestina LANGSUNG di hadapan Presiden Israel dan elit politik di sana. 

Aku berbaik sangka; benarkah kemarahan mereka atas nama pembelaan terhadap Palestina tidak tercampuri unsur-unsur antisemitisme --yakni kebencian mendalam terhadap apapun yang berkaitan dengan Yahudi?

Menurutku sikap Gus Dur dan Israel lebih dari sekedar memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Gus Dur, aku yakini, memiliki visi jauh dan progresif; menurunkan kadar kolesterol antisemitisme yang sedemikian tinggi merasuki tubuh Islam Indonesia.

Ketidakmampuan kelompok ini menerima realitas kelima kader NU ke Israel memantik alam bawah sadarnya untuk mengaktifasi nalar bumi-hangus; jika aku tidak bisa seperti kelimanya, maka yang lain juga tidak boleh bisa. 

Sungguh, cara berpikir seperti ini sangatlah toxic. Perjuangan Palestina, terus terang saja, tidak mendapatkan keuntungan optimal dengan model toxic seperti ini.

KABAR DARI RABBI BARUCH
Setelah mengirim pesan singkat ke dua kawanku di atas dan belum mendapatkan jawaban, aku berinisiatif mengontak Yaakov Baruch, pemimpin Yahudi di Tondano Minahasa. Ia ikut dalam rombongan ke Israel dan ada dalam foto.

Kepadanya, aku mengirimkan pesan sebagai berikut:

"Shalom, brader Rabbi. Saya Aan Anshori, GUSDURian Jombang Jawa Timur, dapat nomor brader dari xxxxx. Aku ikut prihatin atas berbagai risakan kepada 5 orang NU yang sekarang viral karena bertemu dengan elit politik Israel. Dua diantara mereka aku kenal secara personal; Munawir dan Nurul. Mengingat brader nampaknya hadir di sana, jika boleh tahu apa yang sebenarnya disampaikan oleh kelima kawan NU tersebut kepada para elit politik Israel? Secara personal, aku sangat mengapresiasi pertemuan tersebut. Shalom. Aan"

Kira-kira 10 menit kemudian ia membalasnya demikian; 

"Shalom. Kami tidak membahas politik krn Presiden bukan bagian dari Pemerintahan hanya simbol Negara, lebih banyak membahas soal hubungan Yahudi dan Muslim di Indonesia dan Israel. Kami semua menyampaikan harapan yg sama agar kiranya perang segera berhenti dan tercipta perdamaian antara Israel & Palestina dan hal itu diamini oleh Presiden Israel. Sekedar info agenda utama kami bertemu tokoh2 agama Israel & Palestina lalu ada agenda dadakan bertemu Presiden Israel, infonya pun sehari sebelum pertemuan. Tokoh2 muda NU tersebut sangat getol dalam menyampaikan solidaritas terhadap Palestina dalam pertemuan2 dengan tokoh agama Israel dan Palestina dan juga Presiden Israel,"

Awalnya, Rabbi Baruch agak keberatan pernyataannya aku kutip. Alasannya sungguh dewasa; situasinya biar reda dulu. 

Namun demikian, aku agak sedikit ngotot, membalasnya demikian.

"Saya justru berpikir sedikit terbalik; publik perlu tahu yang sebenarnya. Saya sedih publik menyerang begitu membabi buta tanpa tahu dari sumber pertama. Sebagai bagian dari keluarga besar NU, saya merasa berkewajiban menyuarakan dari sumber pertama. Saya berusaha kontak Azis dan Nurul dengan pertanyaan serupa namun belum berbalas. Saya berharap brader Rabbi mengizinkan saya mengutip utuh pernyataan di atas. Namun jika tidak boleh, saya sangat bisa memahami. Terima kasihku kepada brader Rabbi atas upaya mengkampanyekan kemanusiaan dan toleransi," 

Aku sudah agak lemas ia tidak segera membalas responku di atas. Hanya saja Allah berkehendak lain. Ia membalas dan memberikan lampu hijau pada pukul 20.20 kemarin malam (17/7) --atau 32 menit dari pesanku di atas.

Bagiku, semuanya sudah sangat jelas: kelima kader NU datang ke Israel dan Palestina untuk kepentingan Palestina. "Sayangnya," mereka bukan politisi, sehingga tidak perlu merasa tersandera oleh kalkulasi-kalkulasi elektoral sesaat. Mungkin seperti itu yang dialami Gus Dur dan Gus Yahya saat itu, mungkin.(*)

No comments:

Post a Comment