Dalam seminggu terakhir ini Jombang dihebohkan beberapa peristiwa, mulai dari berita pengkondisian proyek di Diknas, penyegelan Ruko Simpang Tiga yang berimbas pada penutupan Gereja Allah Baik, hingga skandal video intim yang menyeret nama kepala Diknas dan sekretarisnya.
Rasanya tidak ada kabar positif yang aku rasakan hingga datang undangan dari SMP Kristen Petra Jombang. Sekolah ini mengundangku mengisi sesi latihan kepemimpinan dasar untuk siswa-siswinya.
"Bisa ngisi acara kami ya, Gus?" kata mbak Jackly, kepala sekolahnya.
"Dengan senang hati, mbak," ujarku.
Perasaanku membuncah manakala tahu di mana acara akan dilaksanakan. Yakni di dusun Banyuurip Mundusewu Bareng, sebuah wilayah di kaki pegunungan Anjasmoro, dekat Wonosalam.
Jumlah peserta yang terlibat sekitar 100 siswa/i. Separuh lebih merupakan etnis Tionghoa.
"Mereka nginap di mana, mbak?" tanyaku penasaran.
"Di rumah-rumah warga, Gus," sahut mbak Jacklyn.
"Islam?"
"Iya,"
Aku kaget bercampur rasa senang. Betapa tidak, ini merupakan terobosan luarbiasa yang mungkin baru pertama kali dilakukan sekolah berbasis Kristen di Jombang. Aku senang sekali mendengarnya.
Di dusun tersebut, mereka akan tinggal selama 2 hari 3 malam, hidup membaur dengan lingkungan yang benar-benar berbeda dari kehidupan mereka sehari-sehari.
"Saya tadi ikut ngarit. Tangan saya terluka," cerita salah satu siswa disambut derai tawa kawannya.
"Saya dikasih makan kacang panjang," susul lain.
"Saya ikut ke sawah," yang lain tak mau kalah.
Mereka berlomba-lomba menceritakan pengalaman uniknya.
"Saya senang sekali bisa ngajari anak-anak pelajaran IPA," ujar siswi yang aku lupa namanya, mungkin Fransiska.
Selama di sana, siswa/i SMP Kristen Petra memang diarahkan bisa membantu siswa/i SD setempat dalam hal pendidikan.
Kepada mbak Jacklyn aku angkat topi tinggi. Juga kepada mas Anisah, kepala desa Mundusewu.
"Keren sampeyan ini, mas," pujiku sedikit berbisik kepadanya ketika kami duduk di depan sebagai narasumber.
Mas Anis adalah warga GKJW Mindi, salah satu dari tiga gereja yang ada di Mundusewu. Mayoritas penduduk Mundusewu beragama Islam. Kepadaku ia mencerritakan sedikit kisahnya memenangkan pertarungan pilkades.
Ia menurutku menerapkan kepemimpinan empatif, sejenis model memimpin yang berbasis pada ketulusan perhatian terhadap mereka yang dipimpinnya.
"Tidaklah mungkin orang bisa memimpin empatif jika ia bergaul dengan banyak kalangan dan memiliki nilai-nilai dasar (values) yang diimaninya," ujarku saat memapar materi di hadapan peserta.
Aku melihat model live in yang diterapkan SMP Kristen Petra pada murid-muridnya merupakan bagian penting membangun karakter kepemimpinan empatif. Dengan berinteraksi di luar lingkungan sehari-hari, para murid akan belajar dan mengalami perjumpaan nyata.
"Gus, ayo foto dulu," ajak beberapa orang tua siswa yang kebetulan hadir.
Sebelum ke lokasi acara, aku menyempatkan diri sowan Pdt. Natan. Ia memiliki Gereja Isa Almasih yang berada di Mundusewu. Ia nampak begitu senang aku sowani. Bersama istrinya, kami bertiga membincang banyak hal, tak terkecuali seputar Ishak-Ismail bersama Sarah-Hagar-Abraham.
"Aku antar ke lokasi acara, Gus," katanya, agak takut aku tersesat di tengah Mundusewu yang sedemikian luas, dingin dan lumayan gelap gulita.
Kebahagiaanku malam itu terasa sempurna dengan kehadiran Rifan dan Rinto. Keduanya adalah adikku, penggerak GDian di Kandangan Kediri, bersusah payah menembus pekatnya malam melintasi hutan untuk menemuiku.
Yang tidak aku sangka, Rinto telah menyandang gelar pendeta di GKJW. Ia baru saja ditahbis.
"Selamat ya, Rinto, senang sekali aku," ujarku memeluknya.
Aku bertemu Rinto saat anak ini masih semester awal di Teologi UKSW. Aku kenalkan ia dkk. dengan Gusdurian ketika aku mengunjungi Salatiga lima tahun lalu. Memori indah pertemuanku dengannya pernah aku tulis di sini.
https://www.facebook.com/1561443699/posts/pfbid0cNpHuV5yyCYFKvRBwsjjUX3vmr8fQ8F2u2dyueNeVT7iWzSVKGtq19JcXqfvCSR7l/?app=fbl
Sekitar jam 23.30, kami bertiga -- Rifan, aku dan Rinto-- sepakat bubar. Namun sebelum berpisah, aku berjanji pada keduanya akan mengunjungi GKJW Kandangan. Motor aku pacu menuju kota Jombang dengan menahan dingin merajami tubuhku tanpa jaket.