Pages

Saturday, August 3, 2024

HATI-HATI DENGAN SMP WIDYA WIYATA


Seperti yang pernah aku tulis sebelumnya di Facebook, mengisi acara seminar di sekolah menengah pertama (SMP) merupakan pengalaman pertamaku. 


Aku lebih sering mengisi forum-forum diskusi kampus maupun kamunitas beyond-kampus. Pernah aku mengisi beberapa acara di SMA. 

Bagiku, mengisi forum seminar atau diskusi memiliki keunikan dan tingkat kesulitan masing-masing, tergantung latarbelakang pendidikan audiennya. 

Semakin rendah latarbelakang formal pendidikannya, semakin menantang bagi narasumber, khususnya dalam menyampaikan gagasan-gagasannya.

"Aku mampu atau tidak ya menyampaikan gagasanku dan memengaruhi anak-anak SMP?" batinku. 

Aku takut mereka tidak mampu memahami apa yang aku omongkan, sungguhpun aku telah bersumpah akan menggunakan bahasa sesederhana mungkin, dan menggunakan analogi yang menurutku lebih mudah dipahami.


Aku tiba di SMP Widya Wiyata Sidoarjo sekitar pukul 08.49 menit. Aku motoran dari rumah sekira jam 7 pagi. Beberapa kali tersesat --meski sudah dipandu Google Map-- menjadi faktor kenapa cukup lama aku tiba. 

Tiba di sekolah tersebut aku disambut Mbak Dhenni Ines sang kepala sekolah. Sebelumnya aku sempat mengamati sekolah ini sekilas; banyak siswanya berjilbab namun tidak sedikit yang gundulan. Banyak Tionghoanya juga. Hmm... lumayan plural -- bagus. 

Bagiku semakin homogen sebuah sekolah semakin kita tidak perlu berharap toleransi akan terinternalisasi dengan baik. Paling-paling toleransi hanya muncul sebagai gincu administratif agar tidak terlalu dimarahi pemerintah pusat. Percayalahh..

Aku juga sempat mengamati beberapa tulisan yang digurat di kaki-kaki tangga. Isinya penanaman nilai pada siswa, yang --dari segi konten--  jarang aku temui baik di sekolah negeri apalagi sekolah Islam menengah pertama.

Aku berusaha tidak kaku saat membawakan materi. Beberapa aku ajak beberapa peserta berkomunikasi. Beberapa guru ada di sana, dijaga ketat ibu kepala sekolah. 

"Kenapa pakai warna merah?" tiba-tiba ada suara berat dari seorang siswa, tanpa rasa bersalah menyeruak saat aku menjelaskan materi. 

"Berani sekali anak ini," gumamku.

Dengan sedikit kaget, aku menghentikan materi dan menjawab pertanyaannya. Aku berterima kasih padanya.

"Adik-adik, bagi kalian yang berani berbicara, apa saja, akan mendapatkan poin tambahan dalam pelajaran. Setuju?" ujarku.
"Asyikkk.." sambut mereka gembira. 
"Boleh ya bu KS?" tanyaku dengan tatapan agak "memaksa" kepada bu KS. Ia mengangguk sembari tersenyum. Menyetujui.

Aku kemudian mempresentasikan hasil survei-pendek intoleransi. Responden survei ini adalah sebagian dari mereka. Sifat pengisiannya sukarela. Itu sebabnya aku mengusulkan agar siswa/i yang mengisi diberi tambahan poin. Mereka senang sekali. 

"Di forum ini, tidak ada hukuman. Yang ada justru penghargaan bagi kalian yang berani dan kreatif," ujarku.

Aku memberi 5 pertanyaan untuk dijawab. Tidak ada jawaban salah benar. Aku hanya ingin memetakan pemikiran mereka saja terkait toleransi. Survei ini menurutku  bertumpu pada model Implisit Bias Test atau Harvard Bias Test. Jumlah siswa/siswi yang mengisi survei sebanyak 28 orang.

Untuk pertanyaan "Aku merasa suku/etnis/rasku......", sebanyak 17,9% responden menjawab "lebih baik dari yang lain" sedangkan 74,3% responden menjawab "sama saja,". Yang menjawab  "tidak tahu dan "sedikit lebih baik dari kelompok lain sebanyak 17,9% dan 0%. 

Terhadap pertanyaan "Aku merasa agamaku....."" ada 14,3% menjawab "lebih baik dari agama lain," sebanyak 82,1% menjawab "sama saja," sedangkan yang menjawab "tidak tahu," dan "sedikit lebih baik dari agama lain," sebanyak 0% dan 3,6%. Untuk jawaban pertanyaan-pertanyaan lainnya dapat dilihat di gambar.

Aku sendiri secara umum sangat gembira melihat hasil ini. Betapa tidak, para mahasiswa di kampus, terutama yang beragama Islam, menunjukkan hasil teramat menyedihkan --menurut survei PPIM bertajuk Kebinekaan di Menara Gading - Toleransi Beragama di Perguruan Tinggi - PPIM UIN Jakarta 2021. Bahkan, aku berani bertaruh; seandainya survei ini dilaksanakan di SMPN atau --apalagi- SMP berbasis agama Islam hasilnya pasti di bawah SMP Widya Wiyata. 

"Betapa beruntungnya orangtua yang menyekolahkan anaknya di sini," gumamku.

Aku sendiri belum meneliti lebih detil bagaimana, misalnya, matapelajaran agama diajarkan terhadap murid-muridnya yang plural. Namun aku diberitahu bahwa sekolah ini memfasilitasi penyelenggaran, setidaknya, peringatan hari raya agama yang dianut murid-muridnya; ya natalan, ya riyoyoan, ya imlekan.

Bagaimana agama diajarkan di sekolah merupakan jantung bagi nyawa toleran tidaknya pelajar. Kesalahan dalam mengajarkan agama akan membuat anak didik menjadi korbannya. 

"Agama itu mirip lemak," ujarku pada mereka.

Lemak merupakan jenis nutrisi penting bagi tubuh. Meski demikian, lemak punya dua kepribadian; lemak jahat dan lemak baik. 

Yang jahat dapat menyebabkan aneka penyakit jika dikonsumsi. Itu sebabnya perlu dihindari. Sedangkan lemak baik --misalnya ikan, yogurt, kacang-kacangan, telur dan sejenisnya-- dipercaya akan sangat bermanfaat bagi tubuh. 

Agama kurang lebih juga demikian, memiliki dua ekspresi. Ekspresi jahat --kala agama dijadikan alat menindas dan merepresi kelompok marginal. 

Saat agama dijadikan instrumen melakukan kekerasan seksual, seperti dalam Islam Sontolo-nya Soekarno, di situlah agama diekspresikan bengis dan tak manusiawi. Jahat, sama jahatnya dengan mereka yang menutup gereja atas nama agama. 

Agama merupakan lemak baik saat ia digunakan menolong orang-orang yang sedang kesusahan, termasuk mereka yang tidak beribadah. 

"Jadi, kalau kamu Islam, membantu kawanmu ke gereja, itu hal yang superkeren. Sangat Pancasila," kataku 

Terhadap profil pelajar Pancasila (P5) pemerintah telah menetapkan enam cirinya; Bertuhan dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa (TYME) dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, berpikir kritis, gotong royong, mandiri dan kreatif. 

Ciri-ciri ini sangatlah dahsyat namun sekaligus berpotensi mengalami benturan di antara ciri tersebut --yang selanjutnya dapat mematikan salah satu ciri atas ciri lain yang dianggap lebih inferior. 

Contohnya, kataku; atas nama bertuhan dan beriman, seseorang dilarang mengucapkan selamat natal, membubarkan ibadah agama atau diminta mendiskriminasi kelompok minoritas gender tertentu. 

Padahal tindakan tersebut merupakan hal jelek yang menghina kemanusiaan, tidak selaras kebinekaan global, akhlak mulia, maupun gotong royong. 

"Itu sebabnya, aku menawarkan cara baca alternatif atas 6 ciri tersebut, bu kepsek," ujarku meninggi.

Tawaranku sederhana, yakni membaca 6 ciri ini dalam rumus JIKA-MAKA; jika kita bertuhan dan beriman kepada TYME maka kita wajib berakhlak mulia, mandiri, berpikir kritis, gotong royong, berkebinekaan global, dan kreatif. 

Cara baca ini, menurutku, akan lebih mendorong siswa berdialektika dengan keluaran --baik outcome maupun output-- dari caranya menghayati berketuhanan mereka. 

Alam bawah sadar mereka setidaknya, dengan cara baca ini, akan terus terpatri; bahwa tidaklah bertuhan dan beriman --setidaknya tidak sempurna, mereka yang gagal mengekspresikan 5 ciri lainnya.

Di akhir presentasi aku mengajak peserta menonton video 5 menit upaya gerakan lintas iman Surabaya di GKI Diponegoro Surabaya saat bangkit melawan teror bom Surabaya 2018 silam. 

"Demikian. Adakah diantara kalian yang berani mengacungkan tangan, baik untu bertanya atau sekedar mengomentari omonganku tadi?" tantangku.

Puluhan mereka mengangkat tangannya. Miss Sindy, moderator acara, terlihat kewalahan mencatat mereka. Sayangnya, tidak semua yang mengacungkan tangan berkesempatan menyampaikan pertanyaan maupun gagasannya, karena keterbatasan waktu. Aku merasa sedih.

Di akhir acara, aku mengajak mereka maju ke depan, nyanyi Padamu Negeri. 

Terima kasih SMP Widya Wiyata atas inspirasinya. Hormat!

Oh ya, hati-hati dengan SMP Widya Wiyata karena bisa jadi ia lebih unggul ketimbang sekolahmu. 

No comments:

Post a Comment