Sinci adalah papan arwah orang yang telah meninggal, yang kerap kita temukan dalam tradisi Tionghoa. Ia adalah simbol ilahiah untuk menghadirkan mereka yang telah mati.
Bagi hampir semua orang Tionghoa Indonesia, Gus Dur dianggap sosok suci. Itu sebabnya ia terus dikenang tak terkecuali bagi Perkumpulan Sosial Boen Hiang Tong Semarang. Mereka memiliki sinci Gus Dur dan dipasang di altar persemayaman.
Siang tadi, Sabtu (24/8), sinci ini dibawa ke Tebuireng oleh mereka, bersama lebih dari 30 orang, memakai bis. Sayangnya, sinci yang harus dipikul 4 orang ini gagal masuk ke areal makam Gus Dur di Tebuireng.
"Sudah diwanti-wanti sama pengelola makam, aturan baru menyatakan semua peziarah hanya boleh membawa bunga saja," ujar Ulin kepadaku sehari sebelumnya.
"Lho tapi gimana jadinya? Tanpa sinci, ritual cengbeng kalian pasti kurang lengkap," ujarku mencoba berempati sembari memutar otak mencari cara.
Aku berpesan kepada Ulin agar tetap membawa sinci tersebut ke Tebuireng. Sejam kemudian aku menghubunginya lagi, menawarkan format alternatif ritual cengbeng tanpa menabrak aturan pengelola makam.
"Di areal terminal ada batu besar, prasasti Gus Dur. Kita ritual di sana sebelum ritual doa bersama di makam," usulku. Usul ini diterima.
Aku teringat mengurus pembuatan prasasti ini saat kepemimpinan Bupati Suyanto, bersamaan dengan inisiasi perubahan Jalan Merdeka menjadi Jalan Presiden KH. Abdurrahman Wahid.
Sekitar jam 12.10 rombongan Semarang tiba di Terminal Makam Gus Dur. Mereka disambut puluhan rombongan Klenteng Gudo dan PSMTI Jombang, dipimpin langsung ketuanya, mas Toni.
Kami berbaris seperti pasukan kecil. Pasukan depan memegang sapu ijuk untuk menyapu jalan, diikuti rombongan yang menggotong sinci.
Kami berjalan sekitar 15 meter menuju prasasti. Sinci Gus Dur diletakkan di depan prasasti. Kami semua ada di bawahnya. Aku mendadak menjadi pengatur acara.
Ritual ini, meski singkat, berjalan cukup khidmat, diiringi tambur kecil yang ditabuh seperti dalam film-film kungfu saat ada orang mati. Doa dipimpin Ws. Andi Tjiok. Di akhir ritual semua orang menjura beberapa kali di hadapan sinci dan prasasti Gus Dur.
Rombongan kemudian bergerak menuju makam. Sinci dan hio ditinggal, menemani prasasti Gus Dur. Setiap orang dalam rombongan membawa bunga sedap malam. Kami menjadi pusat perhatian lara peziarah Islam dan para pedagang di areal makam.
"Umik...umik... Ini rombongan dari mana?" sapa penjual perempuan memakai jilbab kepada cece dan ai-ai Tionghoa. Aku ngakak dalam hati mendengar sapaan itu. "Udah jelas Tionghoa non-Islam kok dipanggil umik," aku membatin. Namun aku yakin tidak ada maksud apapun selain untuk menghormati rombongan.
Tiba di gerbang makam, aku lihat Bashori, orang kepercayaan Keluarga Ciganjur untuk urusan makam. Dia menyambut kami. Aku berkordinasi sebentar dengannya memastikan acara berlangsung lancar.
"Mas, nanti boleh masuk makam Gus Dur namun hanya 7 orang saja ya," ujarnya.
Aku kaget, tak menyangka dapat rejeki ini. Sebelumnya aku berpikir rombongan hanya boleh di luar pagar seperti peziarah lain. Pengelola makam ternyata mengizinkan kami masuk ke dalam pagar. Ini berarti kami bisa menabur bunga. Sebagai catatan, areal dalam-pagar biasanya hanya boleh diakses orang-orang pilihan saja. Aku bersyukur sekali.
Kami dilayani dengan sangat baik oleh pengelola makam. Rombongan dipilihkan lokasi luar pagar sebelah utara, tepat didekat "kepala" Gus Dur.
Lagi-lagi aku menjadi pengatur acara dadakan. Aku persilahkan perwakilan tokoh agama yang hadir untuk memimpin doa. Diawali dengan doa dari Buddha, dipimpin Bhante Sila. Mereka melantunkan pujian dengan bahasa yang aku tidak pahami. Pujian ini beradu dengan lantunan tahlil puluhan peziarah Islam.
Saat semua doa selesai, aku kemudian mengatur siapa saja yang boleh masuk ke makam Gus Dur. Semua berebut bisa masuk. Sayangnya aturan tetaplah aturan.
Bashori bertugas menjaga pagar makam seperti security. Saat 7 orang telah selesai berdoa dan menabur bunga, ia mempersilahkan untuk keluar makam agar yang lain bisa masuk secara bergantian. Sungguh ia berbaik hati.
Aku melihat seorang perempuan baya Tionghoa masuk makam. Aku tak kenal siapa dia. Ia langsung bersimpuh di dekat makam Gus Dur.
Dua tangannya diangkat di atas kepala. Ia kemudian bergerak menyembah makam, seperti orang sujud. Ia lakukan berkali. Terlihat ia begitu emosional dan khusyuk melakukannya.
Rombongan kemudian bergerak keluar areal makam dengan perasaan puas, begitu pula aku. Sementara itu, sinci Gus Dur tetap bersama prasasti Gus Dur di terminal makam, menunggu kami dengan sabar kembali dari makam.
No comments:
Post a Comment