Pages

Friday, September 20, 2024

SILENTIUM INCARNATUM; Seputar Esa dan Kelahiran Gus Dur


Kata "esa" bisa dimaknai macam-macam. Namun kita harus sadar, pilihan pemaknaannya akan menimbulkan konsekuensi terhadap cara pandang dan perilaku keagamaan kita. 


**
Sabtu, 8 Agustus 2024, aku diundang peringatan hari lahir Gus Dur. Acara ini diselenggarakan di Rumah Rakyat (Rumah Dinas Walikota Mojokerto) oleh adik-adikku yang tergabung dalam Komunitas GUSDURian Mojokerto Raya.

Uniknya, dalam flyer maupun banner acara tidak disebutkan tahun ini merupakan harlah Gus Dur yang keberapa. Rasanya hampir tidak ada satu pun acara ulang tahun yang tidak menyebutkan angka pencapaiannya. 

Kalau kita merayakan ulang tahun ataupun hari jadi perkawinan, kita selalu menyebutkan berapa tahun perjalanan tersebut. Pasti. Yang paling baru, hari ulang tahun kemerdekaan kita; disebutkan yang ke-79 dan selalu konsisten tanggalnya; 17 Agustus. 

Hanya saja harlah Gus Dur sedikit problematik. Terdapat dua versi yang berkembang di masyarakat; tanggal 4 Agustus dan 7 September. 

"#UltahGusDur hari ini? Iya. 7 Sept, hari ulang tahun yang asli. 4 Agt, hari ulang tahun yang legal," kata mbak Alissa Wahid, sulung Gus Dur, seperti dikutip NU Online (4/8/2020). 

Untuk semakin memperumit keadaan, sebenarnya masih ada dua versi lagi tanggal dan tahun kelahiran Gus Dur, meskipun keduanya tidak banyak diketahui dan diperingati masyarakat, menurut situs tersebut. Yakni, 24 September sebagaimana dicatat dalam Ensiklopedia NU, dan 4 Juli 1939 menurut buku "KH Wahid Hasyim Karangan Tersiar"  karya Abubakar Atjeh.

Terhadap dua harlah pertama, keluarga Ciganjur selama ini tidak menunjukkan keberatan. Bahkan, mereka cenderung mengapresiasi siapa saja yang merayakan salah satu atau kedua tanggal tersebut.
Namun bagaimana sikap Ciganjur jika ada yang merayakan harlah Gus Dur berdasarkan dua opsi terakhir tadi?

"Saya kok merasa keluarga Ciganjur tidak akan melarang apalagi menuntut pelakunya secara hukum," ujarku saat ngobrol bersama Belinda dalam acara harlah di Mojokerto. 

Bahkan, tambahkku, seandanya ada temuan lain tanggal dan tahun kelahiran Gus Dur --selain empat opsi tadi -- aku yakin keluarga Ciganjur masih mampu mentoleransinya.

Entah kenapa keluarga tidak berniat membakukan satu opsi saja. Apakah mungkin ini berkaitan dengan ketidakmungkinan lagi Gus Dur mengejar aspek keduniawian yang berkaitan dengan tanggal kelahiran? Semua orang tahu, kepastian tanggal kelahiran berkaitan erat dengan berbagai aspek keduniawian. Misalkan saja, legalitas tindakan hukum --kita tidak bisa mendaftarkan diri sebagai calon gubernur, bupati hingga presiden jika umur kita dianggap tidak mememenuhi syarat. Menurutku, Gus Dur --dan keluarganya (?)-- sudah selesai dengan semua itu.

Dengan sikap yang demikian, kita bisa merasakan bagaimana sosok Gus Dur, yang awalnya berstatus privat --milik keluarga, pelan-pelan telah bertransformasi menjadi milik publik. 

Dengan demikian, sosok yang menawarkan begitu banyak perspektif pembacaan, membiarkan dirinya dibaca dan ditafsirkan sesuai kapasitas masyarakat. Penafsiran ini tentu saja memiliki motivasi yang sama, yakni untuk menyelebrasi, mengeksplorasi kembali kehadiran Gus Dur dalam konteks Indonesia. 

Kelonggaran penafsiran ini tak pelak membuat siapapun, pecinta Gus Dur, bisa leluasa mengekspresikan kecintaannya seturut dengan keyakinannya. Urusannya memang menjadi agak rumit manakala satu kelompok merasa paling benar tafsirnya atas kelahiran Gus Dur dan memaksakan kepada semua pihak. 

Cara luwes atas penafsiran kelahiran Gus Dur aku terapkan saat menjelaskan bagaimana Tuhan idealnya dipersepsikan oleh mereka yang percaya padaNya. 
"Gus Aan, bisakah dijelaskan penafsirannya atas kata esa yang sering disematkan bergandengan dengan kata Tuhan?" tanya Belinda.

Esa kerap dimaknai satu --dalam pemahaman bilangan. Padahal kata satu tersebut lebih tepat direpresentasikan dengan diksi eka. Pasti ada alasan kenapa dipilih kata esa ketimbang eka. 

Mungkin "gugatan," ini sama dengan kenapa Allah dalam al-Quran direpresentasi dengan kata "ahad," ketimbang, misalnya, "wahid," Apa perbedaan "ahad," dan "wahid,"?

Wahid biasanya dimaknai "satu" yang dapat kita bayangkan sebagai sebuah bilangan -- seperti halnya bilangan dua atau tiga. Sedangkan ahad, ia adalah satu yang tidak bisa dibayangkan. Bingung? Itu hal biasa. 

Kembali kepada esa. Kata ini, konon, merupakan serapan dari kata etad, bahasa Sansekerta. Artinya, "seperti itu, sebagaimana adanya," -- Bahasa Inggrisnya; suchness, as it is, as this. 

Dalam koridor ini, Tuhan yang esa berarti "Tuhan ya seperti itu, ya demikian halnya," Dalam istilah Jawa, kata esa dapat diartikan sebagai "tan kena kinaya apa" -- tak dapat disepertikan alias "ya begitu itu,"

Ia tidak bisa dideskripiskan namun ia tidak menolak untuk dideskripsikan. ia memberikan keleluasaan siapapun, yang percaya padanya, untuk menafsirkan eksistensinya dan bagaimana ia dimanifestasikan --sebagaimana Ciganjur bersikap atas kapan Gus Dur dilahirkan.

Jika esa dipahami seperti ini maka implikasinya akan dahsyat, terutama bagi kehidupan toleransi di Indonesia. Masyarakat, apapun agama dan kepercayaanya, diberi ruang oleh pemahaman ini untuk menafsirkan tuhan secara merdeka. 

Dan --ini yang paling penting, alih-alih berpihak pada penafsiran tafsir tertentu atasnya, Tuhan seperti memilih berada dalam posisi pasif; silentium incarnatum -- keheningan yang menjelma. Ia menjelma; ia hadir dalam setiap tafsir yang dipilih secara merdeka oleh manusia. Persis sebagaimana Gus Dur hadir dalam setiap tafsir yang dianut masyarakat atas tanggal kelahirannya.

Featured Post

SEPUTAR LOKASI KELAHIRAN YESUS; MENYINGKAP KLAIM AL-QURAN

Sebelum aku menemukan tulisan Mustafa Akyol, "Away in a Manger... Or Under a Palm Tree?" terbit 7 tahun lalu di The New York Times...