Pages

Monday, November 25, 2024

JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN



Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokohannya, melainkan betapa ia sedemikian pandai memilin jalinan cerita asmara dalam magnum opusnya "Hikajat Kadiroen" (HK)

Cerita pendek ini ditulis tahun 1920. Ini berarti ia masih berusian sekitar 20 tahunan. Masih begitu muda untuk bisa menulis karya sedemikian hebatnya. 

Tidak hanya itu, pada tahun yang sama ia mendirikan Perserikatan Komunis India (PKI) sebagai penjelmaan dari ISDV yang dibawa Sneevliet, bapak kuminisme Indonesia berkebangsaan Belanda. 

Aku belum selesai membaca HK. Baru sampai bab 2 saja. Aku putuskan menulis status ini karena itu tadi; kegeraman pada Semaoen. 

Aku geram kenapa Semaoen meletakkan Kadiroen dalam situasi percintaan yang sulit. Kadiroen pemimpin yang sangat baik. Sebagai asisten wedono, ia begitu mencintai rakyatnya sehingga mengesampingkan urusan asmara. Baginya kesejahteraan rakyat adalah yang paling utama, di atas segalanya. 

Namun hati lelaki ini menjadi tidak tentram. Otaknya tak mampu lagi tenang setelah ia bertemu perempuan bernama Ardinah di jalanan. 

Kadiroen sesadar-sadarnya ia jatuh cinta pada Ardinah. Dan ---ini yang membuatnya mabuk kepayang, Ardinah juga memiliki perasaan serupa.

Kadiroen langsung pingsan saat mengetahui Ardinah ternyata telah bersuami dengan bawahannya, seorang lurah. Hati Kadiroen makin meronta-ronta saat tahu Ardinah adalah korban KDRT yang dilakukan suaminya sendiri. 

---

Puluhan tahun aku sekolah dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, di Jombang. Tidak pernah sekalipun guruku memberitahuku ada novel keren jadul yang ditulis sedemikian bagusnya; bercerita tentang pemimpin yang dicintai rakyatnya, yang pusing tujuh keliling saat jatuh cinta. Beruntung sekali aku, dalam usia hampir setengah abad, mendapat kesempatan membacanya. 

Guru Bahasa Indonesia maupun Pendidikan Kewarganegaraan Nasional sudah saatnya mendorong anak didiknya membaca novel ini. Terdapat banyak pelajaran penting yang bisa diperoleh dari sana, termasuk menanyakan bagaimana harusnya Kadiroen menyelesaikan konflik batin dan asmaranya.

Selamat Hari Guru.(*)

https://www.facebook.com/share/p/gFBPasEVV7NoBEKD/

Friday, September 20, 2024

SILENTIUM INCARNATUM; Seputar Esa dan Kelahiran Gus Dur


Kata "esa" bisa dimaknai macam-macam. Namun kita harus sadar, pilihan pemaknaannya akan menimbulkan konsekuensi terhadap cara pandang dan perilaku keagamaan kita. 


**
Sabtu, 8 Agustus 2024, aku diundang peringatan hari lahir Gus Dur. Acara ini diselenggarakan di Rumah Rakyat (Rumah Dinas Walikota Mojokerto) oleh adik-adikku yang tergabung dalam Komunitas GUSDURian Mojokerto Raya.

Uniknya, dalam flyer maupun banner acara tidak disebutkan tahun ini merupakan harlah Gus Dur yang keberapa. Rasanya hampir tidak ada satu pun acara ulang tahun yang tidak menyebutkan angka pencapaiannya. 

Kalau kita merayakan ulang tahun ataupun hari jadi perkawinan, kita selalu menyebutkan berapa tahun perjalanan tersebut. Pasti. Yang paling baru, hari ulang tahun kemerdekaan kita; disebutkan yang ke-79 dan selalu konsisten tanggalnya; 17 Agustus. 

Hanya saja harlah Gus Dur sedikit problematik. Terdapat dua versi yang berkembang di masyarakat; tanggal 4 Agustus dan 7 September. 

"#UltahGusDur hari ini? Iya. 7 Sept, hari ulang tahun yang asli. 4 Agt, hari ulang tahun yang legal," kata mbak Alissa Wahid, sulung Gus Dur, seperti dikutip NU Online (4/8/2020). 

Untuk semakin memperumit keadaan, sebenarnya masih ada dua versi lagi tanggal dan tahun kelahiran Gus Dur, meskipun keduanya tidak banyak diketahui dan diperingati masyarakat, menurut situs tersebut. Yakni, 24 September sebagaimana dicatat dalam Ensiklopedia NU, dan 4 Juli 1939 menurut buku "KH Wahid Hasyim Karangan Tersiar"  karya Abubakar Atjeh.

Terhadap dua harlah pertama, keluarga Ciganjur selama ini tidak menunjukkan keberatan. Bahkan, mereka cenderung mengapresiasi siapa saja yang merayakan salah satu atau kedua tanggal tersebut.
Namun bagaimana sikap Ciganjur jika ada yang merayakan harlah Gus Dur berdasarkan dua opsi terakhir tadi?

"Saya kok merasa keluarga Ciganjur tidak akan melarang apalagi menuntut pelakunya secara hukum," ujarku saat ngobrol bersama Belinda dalam acara harlah di Mojokerto. 

Bahkan, tambahkku, seandanya ada temuan lain tanggal dan tahun kelahiran Gus Dur --selain empat opsi tadi -- aku yakin keluarga Ciganjur masih mampu mentoleransinya.

Entah kenapa keluarga tidak berniat membakukan satu opsi saja. Apakah mungkin ini berkaitan dengan ketidakmungkinan lagi Gus Dur mengejar aspek keduniawian yang berkaitan dengan tanggal kelahiran? Semua orang tahu, kepastian tanggal kelahiran berkaitan erat dengan berbagai aspek keduniawian. Misalkan saja, legalitas tindakan hukum --kita tidak bisa mendaftarkan diri sebagai calon gubernur, bupati hingga presiden jika umur kita dianggap tidak mememenuhi syarat. Menurutku, Gus Dur --dan keluarganya (?)-- sudah selesai dengan semua itu.

Dengan sikap yang demikian, kita bisa merasakan bagaimana sosok Gus Dur, yang awalnya berstatus privat --milik keluarga, pelan-pelan telah bertransformasi menjadi milik publik. 

Dengan demikian, sosok yang menawarkan begitu banyak perspektif pembacaan, membiarkan dirinya dibaca dan ditafsirkan sesuai kapasitas masyarakat. Penafsiran ini tentu saja memiliki motivasi yang sama, yakni untuk menyelebrasi, mengeksplorasi kembali kehadiran Gus Dur dalam konteks Indonesia. 

Kelonggaran penafsiran ini tak pelak membuat siapapun, pecinta Gus Dur, bisa leluasa mengekspresikan kecintaannya seturut dengan keyakinannya. Urusannya memang menjadi agak rumit manakala satu kelompok merasa paling benar tafsirnya atas kelahiran Gus Dur dan memaksakan kepada semua pihak. 

Cara luwes atas penafsiran kelahiran Gus Dur aku terapkan saat menjelaskan bagaimana Tuhan idealnya dipersepsikan oleh mereka yang percaya padaNya. 
"Gus Aan, bisakah dijelaskan penafsirannya atas kata esa yang sering disematkan bergandengan dengan kata Tuhan?" tanya Belinda.

Esa kerap dimaknai satu --dalam pemahaman bilangan. Padahal kata satu tersebut lebih tepat direpresentasikan dengan diksi eka. Pasti ada alasan kenapa dipilih kata esa ketimbang eka. 

Mungkin "gugatan," ini sama dengan kenapa Allah dalam al-Quran direpresentasi dengan kata "ahad," ketimbang, misalnya, "wahid," Apa perbedaan "ahad," dan "wahid,"?

Wahid biasanya dimaknai "satu" yang dapat kita bayangkan sebagai sebuah bilangan -- seperti halnya bilangan dua atau tiga. Sedangkan ahad, ia adalah satu yang tidak bisa dibayangkan. Bingung? Itu hal biasa. 

Kembali kepada esa. Kata ini, konon, merupakan serapan dari kata etad, bahasa Sansekerta. Artinya, "seperti itu, sebagaimana adanya," -- Bahasa Inggrisnya; suchness, as it is, as this. 

Dalam koridor ini, Tuhan yang esa berarti "Tuhan ya seperti itu, ya demikian halnya," Dalam istilah Jawa, kata esa dapat diartikan sebagai "tan kena kinaya apa" -- tak dapat disepertikan alias "ya begitu itu,"

Ia tidak bisa dideskripiskan namun ia tidak menolak untuk dideskripsikan. ia memberikan keleluasaan siapapun, yang percaya padanya, untuk menafsirkan eksistensinya dan bagaimana ia dimanifestasikan --sebagaimana Ciganjur bersikap atas kapan Gus Dur dilahirkan.

Jika esa dipahami seperti ini maka implikasinya akan dahsyat, terutama bagi kehidupan toleransi di Indonesia. Masyarakat, apapun agama dan kepercayaanya, diberi ruang oleh pemahaman ini untuk menafsirkan tuhan secara merdeka. 

Dan --ini yang paling penting, alih-alih berpihak pada penafsiran tafsir tertentu atasnya, Tuhan seperti memilih berada dalam posisi pasif; silentium incarnatum -- keheningan yang menjelma. Ia menjelma; ia hadir dalam setiap tafsir yang dipilih secara merdeka oleh manusia. Persis sebagaimana Gus Dur hadir dalam setiap tafsir yang dianut masyarakat atas tanggal kelahirannya.

Saturday, August 24, 2024

Cerita Seru Dari Mundusewu



Dalam seminggu terakhir ini Jombang dihebohkan beberapa peristiwa, mulai dari berita pengkondisian proyek di Diknas, penyegelan Ruko Simpang Tiga yang berimbas pada penutupan Gereja Allah Baik, hingga skandal video intim yang menyeret nama kepala Diknas dan sekretarisnya.

Rasanya tidak ada kabar positif yang aku rasakan hingga datang undangan dari SMP Kristen Petra Jombang. Sekolah ini mengundangku mengisi sesi latihan kepemimpinan dasar untuk siswa-siswinya.

"Bisa ngisi acara kami ya, Gus?" kata mbak Jackly, kepala sekolahnya.
"Dengan senang hati, mbak," ujarku.

Perasaanku membuncah manakala tahu di mana acara akan dilaksanakan. Yakni di dusun Banyuurip Mundusewu Bareng, sebuah wilayah di kaki pegunungan Anjasmoro, dekat Wonosalam.

Jumlah peserta yang terlibat sekitar 100 siswa/i. Separuh lebih merupakan etnis Tionghoa. 

"Mereka nginap di mana, mbak?" tanyaku penasaran.
"Di rumah-rumah warga, Gus," sahut mbak Jacklyn.
"Islam?"
"Iya,"

Aku kaget bercampur rasa senang. Betapa tidak, ini merupakan terobosan luarbiasa yang mungkin baru pertama kali dilakukan sekolah berbasis Kristen di Jombang. Aku senang sekali mendengarnya. 


Di dusun tersebut, mereka akan tinggal selama 2 hari 3 malam, hidup membaur dengan lingkungan yang benar-benar berbeda dari kehidupan mereka sehari-sehari. 

"Saya tadi ikut ngarit. Tangan saya terluka," cerita salah satu siswa disambut derai tawa kawannya.
"Saya dikasih makan kacang panjang," susul lain.
"Saya ikut ke sawah," yang lain tak mau kalah.

Mereka berlomba-lomba menceritakan pengalaman uniknya.

"Saya senang sekali bisa ngajari anak-anak pelajaran IPA," ujar siswi yang aku lupa namanya, mungkin Fransiska.

Selama di sana, siswa/i SMP Kristen Petra memang diarahkan bisa membantu siswa/i SD setempat dalam hal pendidikan. 

Kepada mbak Jacklyn aku angkat topi tinggi. Juga kepada mas Anisah, kepala desa Mundusewu. 

"Keren sampeyan ini, mas," pujiku sedikit berbisik kepadanya ketika kami duduk di depan sebagai narasumber. 


Mas Anis adalah warga GKJW Mindi, salah satu dari tiga gereja yang ada di Mundusewu. Mayoritas penduduk Mundusewu beragama Islam. Kepadaku ia mencerritakan sedikit kisahnya memenangkan pertarungan pilkades. 

Ia menurutku menerapkan kepemimpinan empatif, sejenis model memimpin yang berbasis pada ketulusan perhatian terhadap mereka yang dipimpinnya.

"Tidaklah mungkin orang bisa memimpin empatif jika ia bergaul dengan banyak kalangan dan memiliki nilai-nilai dasar (values) yang diimaninya," ujarku saat memapar materi di hadapan peserta. 

Aku melihat model live in yang diterapkan SMP Kristen Petra pada murid-muridnya merupakan bagian penting membangun karakter kepemimpinan empatif. Dengan berinteraksi di luar lingkungan sehari-hari, para murid akan belajar dan mengalami perjumpaan nyata. 

"Gus, ayo foto dulu," ajak beberapa orang tua siswa yang kebetulan hadir. 

Sebelum ke lokasi acara, aku menyempatkan diri sowan Pdt. Natan. Ia memiliki Gereja Isa Almasih yang berada di Mundusewu. Ia nampak begitu senang aku sowani. Bersama istrinya, kami bertiga membincang banyak hal, tak terkecuali seputar Ishak-Ismail bersama Sarah-Hagar-Abraham. 

"Aku antar ke lokasi acara, Gus," katanya, agak takut aku tersesat di tengah Mundusewu yang sedemikian luas, dingin dan lumayan gelap gulita. 

Kebahagiaanku malam itu terasa sempurna dengan kehadiran Rifan dan Rinto. Keduanya adalah adikku, penggerak GDian di Kandangan Kediri, bersusah payah menembus pekatnya malam melintasi hutan untuk menemuiku. 

Yang tidak aku sangka, Rinto telah menyandang gelar pendeta di GKJW. Ia baru saja ditahbis. 

"Selamat ya, Rinto, senang sekali aku," ujarku memeluknya.


Aku bertemu Rinto saat anak ini masih semester awal di Teologi UKSW. Aku kenalkan ia dkk. dengan Gusdurian ketika aku mengunjungi Salatiga lima tahun lalu. Memori indah pertemuanku dengannya pernah aku tulis di sini. 

https://www.facebook.com/1561443699/posts/pfbid0cNpHuV5yyCYFKvRBwsjjUX3vmr8fQ8F2u2dyueNeVT7iWzSVKGtq19JcXqfvCSR7l/?app=fbl

Sekitar jam 23.30, kami bertiga -- Rifan, aku dan Rinto-- sepakat bubar. Namun sebelum berpisah, aku berjanji pada keduanya akan mengunjungi GKJW Kandangan. Motor aku pacu menuju kota Jombang dengan menahan dingin merajami tubuhku tanpa jaket. 



Ketika Sinci Gus Dur Gagal Masuk Makam Gus Dur



Judulnya memang terasa kontradiktif. Namun itulah yang terjadi.

Sinci adalah papan arwah orang yang telah meninggal, yang kerap kita temukan dalam tradisi Tionghoa. Ia adalah simbol ilahiah untuk menghadirkan mereka yang telah mati.

Bagi hampir semua orang Tionghoa Indonesia, Gus Dur dianggap sosok suci. Itu sebabnya ia terus dikenang tak terkecuali bagi Perkumpulan Sosial Boen Hiang Tong Semarang. Mereka memiliki sinci Gus Dur dan dipasang di altar persemayaman.

Siang tadi, Sabtu (24/8), sinci ini dibawa ke Tebuireng oleh mereka, bersama lebih dari 30 orang, memakai bis. Sayangnya, sinci yang harus dipikul 4 orang ini gagal masuk ke areal makam Gus Dur di Tebuireng.

"Sudah diwanti-wanti sama pengelola makam, aturan baru menyatakan semua peziarah hanya boleh membawa bunga saja," ujar Ulin kepadaku sehari sebelumnya.

"Lho tapi gimana jadinya? Tanpa sinci, ritual cengbeng kalian pasti kurang lengkap," ujarku mencoba berempati sembari memutar otak mencari cara.

Aku berpesan kepada Ulin agar tetap membawa sinci tersebut ke Tebuireng. Sejam kemudian aku menghubunginya lagi, menawarkan format alternatif ritual cengbeng tanpa menabrak aturan pengelola makam.

"Di areal terminal ada batu besar, prasasti Gus Dur. Kita ritual di sana sebelum ritual doa bersama di makam," usulku. Usul ini diterima.

Aku teringat mengurus pembuatan prasasti ini saat kepemimpinan Bupati Suyanto, bersamaan dengan inisiasi perubahan Jalan Merdeka menjadi Jalan Presiden KH. Abdurrahman Wahid.

Sekitar jam 12.10 rombongan Semarang tiba di Terminal Makam Gus Dur. Mereka disambut puluhan rombongan Klenteng Gudo dan PSMTI Jombang, dipimpin langsung ketuanya, mas Toni.

Kami berbaris seperti pasukan kecil. Pasukan depan memegang sapu ijuk untuk menyapu jalan, diikuti rombongan yang menggotong sinci.

Kami berjalan sekitar 15 meter menuju prasasti. Sinci Gus Dur diletakkan di depan prasasti. Kami semua ada di bawahnya. Aku mendadak menjadi pengatur acara.

Ritual ini, meski singkat, berjalan cukup khidmat, diiringi tambur kecil yang ditabuh seperti dalam film-film kungfu saat ada orang mati. Doa dipimpin Ws. Andi Tjiok. Di akhir ritual semua orang menjura beberapa kali di hadapan sinci dan prasasti Gus Dur.

Rombongan kemudian bergerak menuju makam. Sinci dan hio ditinggal, menemani prasasti Gus Dur. Setiap orang dalam rombongan membawa bunga sedap malam. Kami menjadi pusat perhatian lara peziarah Islam dan para pedagang di areal makam.

"Umik...umik... Ini rombongan dari mana?" sapa penjual perempuan memakai jilbab kepada cece dan ai-ai Tionghoa. Aku ngakak dalam hati mendengar sapaan itu. "Udah jelas Tionghoa non-Islam kok dipanggil umik," aku membatin. Namun aku yakin tidak ada maksud apapun selain untuk menghormati rombongan.

Tiba di gerbang makam, aku lihat Bashori, orang kepercayaan Keluarga Ciganjur untuk urusan makam. Dia menyambut kami. Aku berkordinasi sebentar dengannya memastikan acara berlangsung lancar.

"Mas, nanti boleh masuk makam Gus Dur namun hanya 7 orang saja ya," ujarnya.

Aku kaget, tak menyangka dapat rejeki ini. Sebelumnya aku berpikir rombongan hanya boleh di luar pagar seperti peziarah lain. Pengelola makam ternyata mengizinkan kami masuk ke dalam pagar. Ini berarti kami bisa menabur bunga. Sebagai catatan, areal dalam-pagar biasanya hanya boleh diakses orang-orang pilihan saja. Aku bersyukur sekali.

Kami dilayani dengan sangat baik oleh pengelola makam. Rombongan dipilihkan lokasi luar pagar sebelah utara, tepat didekat "kepala" Gus Dur.

Lagi-lagi aku menjadi pengatur acara dadakan. Aku persilahkan perwakilan tokoh agama yang hadir untuk memimpin doa. Diawali dengan doa dari Buddha, dipimpin Bhante Sila. Mereka melantunkan pujian dengan bahasa yang aku tidak pahami. Pujian ini beradu dengan lantunan tahlil puluhan peziarah Islam.

Saat semua doa selesai, aku kemudian mengatur siapa saja yang boleh masuk ke makam Gus Dur. Semua berebut bisa masuk. Sayangnya aturan tetaplah aturan. 

Bashori bertugas menjaga pagar makam seperti security. Saat 7 orang telah selesai berdoa dan menabur bunga, ia mempersilahkan untuk keluar makam agar yang lain bisa masuk secara bergantian. Sungguh ia berbaik hati. 

Aku melihat seorang perempuan baya Tionghoa masuk makam. Aku tak kenal siapa dia. Ia langsung bersimpuh di dekat makam Gus Dur. 

Dua tangannya diangkat di atas kepala. Ia kemudian bergerak menyembah makam, seperti orang sujud. Ia lakukan berkali. Terlihat ia begitu emosional dan khusyuk melakukannya. 

Rombongan kemudian bergerak keluar areal makam dengan perasaan puas, begitu pula aku. Sementara itu, sinci Gus Dur tetap bersama prasasti Gus Dur di terminal makam, menunggu kami dengan sabar kembali dari makam. 

Saturday, August 3, 2024

HATI-HATI DENGAN SMP WIDYA WIYATA


Seperti yang pernah aku tulis sebelumnya di Facebook, mengisi acara seminar di sekolah menengah pertama (SMP) merupakan pengalaman pertamaku. 


Aku lebih sering mengisi forum-forum diskusi kampus maupun kamunitas beyond-kampus. Pernah aku mengisi beberapa acara di SMA. 

Bagiku, mengisi forum seminar atau diskusi memiliki keunikan dan tingkat kesulitan masing-masing, tergantung latarbelakang pendidikan audiennya. 

Semakin rendah latarbelakang formal pendidikannya, semakin menantang bagi narasumber, khususnya dalam menyampaikan gagasan-gagasannya.

"Aku mampu atau tidak ya menyampaikan gagasanku dan memengaruhi anak-anak SMP?" batinku. 

Aku takut mereka tidak mampu memahami apa yang aku omongkan, sungguhpun aku telah bersumpah akan menggunakan bahasa sesederhana mungkin, dan menggunakan analogi yang menurutku lebih mudah dipahami.


Aku tiba di SMP Widya Wiyata Sidoarjo sekitar pukul 08.49 menit. Aku motoran dari rumah sekira jam 7 pagi. Beberapa kali tersesat --meski sudah dipandu Google Map-- menjadi faktor kenapa cukup lama aku tiba. 

Tiba di sekolah tersebut aku disambut Mbak Dhenni Ines sang kepala sekolah. Sebelumnya aku sempat mengamati sekolah ini sekilas; banyak siswanya berjilbab namun tidak sedikit yang gundulan. Banyak Tionghoanya juga. Hmm... lumayan plural -- bagus. 

Bagiku semakin homogen sebuah sekolah semakin kita tidak perlu berharap toleransi akan terinternalisasi dengan baik. Paling-paling toleransi hanya muncul sebagai gincu administratif agar tidak terlalu dimarahi pemerintah pusat. Percayalahh..

Aku juga sempat mengamati beberapa tulisan yang digurat di kaki-kaki tangga. Isinya penanaman nilai pada siswa, yang --dari segi konten--  jarang aku temui baik di sekolah negeri apalagi sekolah Islam menengah pertama.

Aku berusaha tidak kaku saat membawakan materi. Beberapa aku ajak beberapa peserta berkomunikasi. Beberapa guru ada di sana, dijaga ketat ibu kepala sekolah. 

"Kenapa pakai warna merah?" tiba-tiba ada suara berat dari seorang siswa, tanpa rasa bersalah menyeruak saat aku menjelaskan materi. 

"Berani sekali anak ini," gumamku.

Dengan sedikit kaget, aku menghentikan materi dan menjawab pertanyaannya. Aku berterima kasih padanya.

"Adik-adik, bagi kalian yang berani berbicara, apa saja, akan mendapatkan poin tambahan dalam pelajaran. Setuju?" ujarku.
"Asyikkk.." sambut mereka gembira. 
"Boleh ya bu KS?" tanyaku dengan tatapan agak "memaksa" kepada bu KS. Ia mengangguk sembari tersenyum. Menyetujui.

Aku kemudian mempresentasikan hasil survei-pendek intoleransi. Responden survei ini adalah sebagian dari mereka. Sifat pengisiannya sukarela. Itu sebabnya aku mengusulkan agar siswa/i yang mengisi diberi tambahan poin. Mereka senang sekali. 

"Di forum ini, tidak ada hukuman. Yang ada justru penghargaan bagi kalian yang berani dan kreatif," ujarku.

Aku memberi 5 pertanyaan untuk dijawab. Tidak ada jawaban salah benar. Aku hanya ingin memetakan pemikiran mereka saja terkait toleransi. Survei ini menurutku  bertumpu pada model Implisit Bias Test atau Harvard Bias Test. Jumlah siswa/siswi yang mengisi survei sebanyak 28 orang.

Untuk pertanyaan "Aku merasa suku/etnis/rasku......", sebanyak 17,9% responden menjawab "lebih baik dari yang lain" sedangkan 74,3% responden menjawab "sama saja,". Yang menjawab  "tidak tahu dan "sedikit lebih baik dari kelompok lain sebanyak 17,9% dan 0%. 

Terhadap pertanyaan "Aku merasa agamaku....."" ada 14,3% menjawab "lebih baik dari agama lain," sebanyak 82,1% menjawab "sama saja," sedangkan yang menjawab "tidak tahu," dan "sedikit lebih baik dari agama lain," sebanyak 0% dan 3,6%. Untuk jawaban pertanyaan-pertanyaan lainnya dapat dilihat di gambar.

Aku sendiri secara umum sangat gembira melihat hasil ini. Betapa tidak, para mahasiswa di kampus, terutama yang beragama Islam, menunjukkan hasil teramat menyedihkan --menurut survei PPIM bertajuk Kebinekaan di Menara Gading - Toleransi Beragama di Perguruan Tinggi - PPIM UIN Jakarta 2021. Bahkan, aku berani bertaruh; seandainya survei ini dilaksanakan di SMPN atau --apalagi- SMP berbasis agama Islam hasilnya pasti di bawah SMP Widya Wiyata. 

"Betapa beruntungnya orangtua yang menyekolahkan anaknya di sini," gumamku.

Aku sendiri belum meneliti lebih detil bagaimana, misalnya, matapelajaran agama diajarkan terhadap murid-muridnya yang plural. Namun aku diberitahu bahwa sekolah ini memfasilitasi penyelenggaran, setidaknya, peringatan hari raya agama yang dianut murid-muridnya; ya natalan, ya riyoyoan, ya imlekan.

Bagaimana agama diajarkan di sekolah merupakan jantung bagi nyawa toleran tidaknya pelajar. Kesalahan dalam mengajarkan agama akan membuat anak didik menjadi korbannya. 

"Agama itu mirip lemak," ujarku pada mereka.

Lemak merupakan jenis nutrisi penting bagi tubuh. Meski demikian, lemak punya dua kepribadian; lemak jahat dan lemak baik. 

Yang jahat dapat menyebabkan aneka penyakit jika dikonsumsi. Itu sebabnya perlu dihindari. Sedangkan lemak baik --misalnya ikan, yogurt, kacang-kacangan, telur dan sejenisnya-- dipercaya akan sangat bermanfaat bagi tubuh. 

Agama kurang lebih juga demikian, memiliki dua ekspresi. Ekspresi jahat --kala agama dijadikan alat menindas dan merepresi kelompok marginal. 

Saat agama dijadikan instrumen melakukan kekerasan seksual, seperti dalam Islam Sontolo-nya Soekarno, di situlah agama diekspresikan bengis dan tak manusiawi. Jahat, sama jahatnya dengan mereka yang menutup gereja atas nama agama. 

Agama merupakan lemak baik saat ia digunakan menolong orang-orang yang sedang kesusahan, termasuk mereka yang tidak beribadah. 

"Jadi, kalau kamu Islam, membantu kawanmu ke gereja, itu hal yang superkeren. Sangat Pancasila," kataku 

Terhadap profil pelajar Pancasila (P5) pemerintah telah menetapkan enam cirinya; Bertuhan dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa (TYME) dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, berpikir kritis, gotong royong, mandiri dan kreatif. 

Ciri-ciri ini sangatlah dahsyat namun sekaligus berpotensi mengalami benturan di antara ciri tersebut --yang selanjutnya dapat mematikan salah satu ciri atas ciri lain yang dianggap lebih inferior. 

Contohnya, kataku; atas nama bertuhan dan beriman, seseorang dilarang mengucapkan selamat natal, membubarkan ibadah agama atau diminta mendiskriminasi kelompok minoritas gender tertentu. 

Padahal tindakan tersebut merupakan hal jelek yang menghina kemanusiaan, tidak selaras kebinekaan global, akhlak mulia, maupun gotong royong. 

"Itu sebabnya, aku menawarkan cara baca alternatif atas 6 ciri tersebut, bu kepsek," ujarku meninggi.

Tawaranku sederhana, yakni membaca 6 ciri ini dalam rumus JIKA-MAKA; jika kita bertuhan dan beriman kepada TYME maka kita wajib berakhlak mulia, mandiri, berpikir kritis, gotong royong, berkebinekaan global, dan kreatif. 

Cara baca ini, menurutku, akan lebih mendorong siswa berdialektika dengan keluaran --baik outcome maupun output-- dari caranya menghayati berketuhanan mereka. 

Alam bawah sadar mereka setidaknya, dengan cara baca ini, akan terus terpatri; bahwa tidaklah bertuhan dan beriman --setidaknya tidak sempurna, mereka yang gagal mengekspresikan 5 ciri lainnya.

Di akhir presentasi aku mengajak peserta menonton video 5 menit upaya gerakan lintas iman Surabaya di GKI Diponegoro Surabaya saat bangkit melawan teror bom Surabaya 2018 silam. 

"Demikian. Adakah diantara kalian yang berani mengacungkan tangan, baik untu bertanya atau sekedar mengomentari omonganku tadi?" tantangku.

Puluhan mereka mengangkat tangannya. Miss Sindy, moderator acara, terlihat kewalahan mencatat mereka. Sayangnya, tidak semua yang mengacungkan tangan berkesempatan menyampaikan pertanyaan maupun gagasannya, karena keterbatasan waktu. Aku merasa sedih.

Di akhir acara, aku mengajak mereka maju ke depan, nyanyi Padamu Negeri. 

Terima kasih SMP Widya Wiyata atas inspirasinya. Hormat!

Oh ya, hati-hati dengan SMP Widya Wiyata karena bisa jadi ia lebih unggul ketimbang sekolahmu. 

Monday, July 22, 2024

Perkawinan Beda Agama; Antara Tawaran Daniel Yusmic dan Teladan Nadiem Makarim


Daniel Yusmic P Foekh adalah hakim konstitusi saat ini. Setahuku perkawinannya seagama, sama-sama kristennya -- GPIB jika tidak salah.

Sedangkan Nadiem Makarim, menteri pendidikan kita, memilih mengikatkan diri dan istrinya melalui perkawinan beda agama (PBA).

Mana yang lebih bahagia diantara Hakim Yusmic dan Nadiem? Menurutku keduanya bahagia. Indikator paling sederhana mengukur kebahagiaan rumah tangga seseorang, menurutku, adalah perceraian.

Bersama dalam ikatan perkawinan belum tentu menunjukkan bahagia. Namun perceraian jelas mengekspresikan ketidakbahagiaan --ketidakbahagiaan sepakat untuk diakhiri.

Sunday, July 21, 2024

Kristen Ortodoks dan Pisang Rebus agak Gosong



"Mo, selamat datang. Mohon maaf, mau duduk di dalam atau luar? Di luar aja ya, agar aku bisa ngudud," ujarku menyambut Romo Stavros, Sabtu (20/7), sore hari.

Kami sudah janjian bertemu di rumahku. Setelah dari rumahku, ia berencana menjemput putrinya yang les bulutangkis di balai desaku.

Romo Stavros sudah lama aku tahu. Terakhir kali, aku mengundangnya saat buka bersama Bu Sinta Nuriyah ramadlan lalu. Ia berkenan memimpin doa lintas agama.

Ia adalah satu-satunya presbyter (pendeta/pastor/imam) Gereja Orthodoks Indonesia (GOI) di Jawa Timur. Ya, cum satu. Aku membayangkan betapa berat tugasnya merawat kedewasan spiritual ribuan jemaatnya.

Friday, July 19, 2024

Surat Untuk Muslimah Yang Tak Berjilbab


Saya mendapat banyak curhatan dari Muslimah yang mendapat cibiran, sindiran, risak, ancaman, bahkan dikucilkan karena memilih untuk tidak menutup kepala (jilbab atau sejenisnya). Banyak dari mereka yang tidak kuat, gentar dan surut, sehingga memilih “menyerah” pada kondisi seperti itu. Saya benar-benar prihatin dan simpati saya sepenuhnya untuk mereka.


Sebagai seorang Muslim, saya ingin mengatakan pada mereka bahwa tidak menutup kepala bukanlah tindak kejahatan (jarimah) yang bisa dipidana. Kalian sama sekali tidak melakukan apa pun yang merugikan orang lain. Jilbab sendiri adalah urusan yang masih diperdebatkan dalam hukum Islam. Ada yang mewajibkan, ada juga yang tidak. Keduanya punya argumentasi yang sama-sama kuat.

Wednesday, July 17, 2024

APA SALAHNYA MEREKA KE ISRAEL?



Lima orang kader NU babak-belur, dihujat netizen berjamaah. Gara-garanya, mereka  foto bareng Presiden Israel dan beberapa elit politik Israel, sembari tersenyum pula. 

Situasi ini membuat PBNU buru-buru mengklarifikasi dan memintakan maaf mereka ke publik? Apa sebenarnya kesalahan mereka? 

Dari lima orang kader NU, ada dua orang yang aku kenal agak mendalam --dalam arti pernah berkomunikasi; Munawir Azis dan Nurul Bahrul Ulum. 

Dengan Azis, aku pernah berproses di CEPDES milik alm. Lily Zakiyah Munir. Aku pernah mengisi kelas pemikiran Gus Dur bersamanya, jika tidak salah ingat. 

Sedangkan dengan Nurul, aku pernah ke rumahnya saat Kongres Ulama Perempuan I. Aku kenal Jacky, suaminya. Kami dulu sering ketemu di acara GUSDURian. Nurul kader NU yang cerdas dan kritis. Saat Facebooknya terblokir, aku ikut membantu membukanya.

Tuesday, July 9, 2024

Wayang Potehi Jombang ke Eropa ; Menampilkan Geger Pecinan Hingga Nyanyi Ya Lal Waton


Kiprah internasional Wayang Potehi FuHeAn Gudo Jombang semakin berkibar. Bulan lalu, tidak hanya mementaskan cerita geger Pecinan, mereka juga mengumandangkan Ya Lal Waton, mars kebangsaan milik Nahdlatul Ulama, saat manggung dalam Sidang Umum UNESCO di Paris, 11-12 Juni 2024.

Sunday, June 30, 2024

Rilis Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur terkait Upaya Percobaan Penghentian Ibadah Rumah Doa GPdI Mergosari Tarik Sidoarjo


Rilis Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur terkait Upaya Percobaan Penghentian Ibadah Rumah Doa GPdI Mergosari Tarik Sidoarjo


Setelah dua bulan lalu Jawa Timur diguncang aksi intoleransi di Cerme Gresik, provinsi ini kembali terguncang lagi  Baru saja viral video pendek di media sosial, isinya perdebatan antara dua orang yang diduga pengurus Rumah Doa (RD) GPdI Mergosari Tarik Sidoarjo dan diduga-kepala desa setempat. 

BERTAHAN DARI TOA DI GPIB HOSEA; AGITATIF DAN EMPATI-PEJORATIF



Selama lebih dari satu jam, sarasehan Pancasila dan Bhinneka tunggal ika di GPIB Hosea menghadapi dentuman toa dari masjid sebelahnya, Jumat (28/7). Suaranya begitu nyaring melindas ruangan, apalagi jika pintunya terbuka. 

Jarak masjid dengan gereja cukup dekat, sekitar kurang dari 10 meter. Diam-diam aku mengagumi kualitas toa tersebut, "Pakai merk apa masjid itu sehingga kualitas suaranya sedemikian dahsyat?" 

Tuesday, June 18, 2024

IDUL ADHA: PERAYAAN TERTAWANYA SARAH


Secara etimologi, aku baru tahu ternyata Idul Adha --hari raya yang identik dengan kurban dan penyembelihan-- erat kaitannya dengan tertawanya Sarah, istri Nabi Ibrahim -- ibunya Ishak. 


**

Selama ini aku tidak mempertanyakan, apalagi menyelidiki, kenapa Idul Adha diidentikkan dengan kisa penyembelihan salah satu anak Ibrahim. Aku mengira, semuanya sudah tertata dan terjustifikasi secara teologis maupun historis. bagiku tidak ada yang aneh dengan pengidentikan tersebut. 

Sunday, June 16, 2024

DUA IBU: SARAH DAN HAGAR



Khusus menyongsong Idul Adha 2024, entah kenapa, aku tergerak menonton kembali His Only Son, film kontroversial yang dilarang tayang di Indonesia. Aku perhatikan kembali apa yang terjadi antara Sarah, Ibrahim dan Hagar.

Aku baru menyadari kompleksitas kedalaman cinta Sarah terhadap Ibrahim. Kedalaman ini menyebabkan perempuan ini terlilit peliknya relasi dengan suaminya. Sarah begitu yakin dengan nubuat yang diterima Ibrahim; bahwa lelaki ini dipilih tuhan untuk sesuatu yang lebih besar dari rumah tangganya.

Wednesday, June 12, 2024

SOEMARNI SOERIAATMADJA: MUSLIMAH-MARTIR AWAL PERKAWINAN BEDA AGAMA


Mungkin titel ini terlalu bombastis untuk perempuan yang bahkan aku sendiri belum berhasil mendapatkan fotonya. Namun, tak dapat dipungkiri aku berdecak kagum atas upaya muslimah ini memperjuangkan cinta-matinya pada sang kekasih, Ursinus Elias Medellu, polisi Kristen. 

Wednesday, June 5, 2024

KETIKA AIR SUSU TERUS DIBALAS AIR TUBA

Bagaimana idealitas sikap kita manakala kebaikan kita terus dibalas dengan air tuba? Menyingkir dan berhenti berlaku baik pada mereka adalah langkah rasional.

Hanya saja, Nabi Muhammad kabarnya pernah memiliki pandangan lain atas hal tersebut. Kita orang Islam diminta terus berbuat baik pada mereka. Terus dan terus. 

Wednesday, May 15, 2024

EMPAT TIPE IDEAL PERKAWINAN BEDA AGAMA (PBA); KAMU ADA DI MANA?


Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2023 semakin menyulitkan mereka yang ingin PBA tanpa mengubah kolom agama di KTP. SEMA a quo secara spesifik melarang para hakim pengadilan negeri (PN) meluluskan permohonan PBA. Sebelumnya, PN masih menjadi jujugan terakhir pasangan PBA saat Dukcapil menolak mencatatkan. 

Tuesday, April 30, 2024

MENULIS SEPERTI BERAK!



Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta Toer.

Dengan mengambil tafsir agak longgar atas jargon tersebut, aku bayangkan betapa indahnya hidup seseorang seandainya ia bisa menulis rutin seperti halnya ia berak.

Jika semakin lama kita tidak bisa berak, kita pasti kuatir dan rela mengeluarkan berapapun untuk hal itu. Sebagai orang tua, aku pernah mengalami kekalutan saat Cecil-balita punya masalah rutinitas berak. Sedih, bingung, takut dan dunia terasa gelap.

Sayangnya, hal itu berbanding terbalik dengan rutinitas kita menulis. Sebagian besar dari kita tidak menganggap kebisaan dan kerutinan menulis sebagai hal yang urgen. Seurgen berak.

Saturday, April 27, 2024

FATIMAH DAN CHRISTIAN


"Entah kenapa aku selalu merasa inferior saat bertemu pasangan beda agama yang berkomitmen membakukan relasinya secara ideal," ujarku.
"Kenapa, gus?" celetuk mereka.
"Iya, salib mereka berat. Teraniaya secara sistematis. Orang teraniaya biasanya doanya lebih didengar Tuhan. Malati," tambahku.
****

Wednesday, April 3, 2024

PERTAMA KALI SEJAK GEREJA INI BERDIRI


Meski seringkali posting terkait gereja dan kekristenan selama Ramadlan namun baru tadi sore aku buka bersama di gereja. Acara ini murni inisiatif mereka. Inisiatif tersebut tidak pernah aku duga sebelumnya.


Sekitar seminggu lalu, telponku berdering. Panggilan dari seseorang yang telah lama aku tahu meski tidak kenal secara akrab. Namanya Mastuki Pandi. 

Aku tahu dia karena kami sama-sama di sebuah grup WA para aktifis dan jurnalis Jombang. Mastuki juga anggota komite sekolah di institusi tempat pasanganku pernah mengajar. 

Yang terbaru, aku dengar ini menjadi salah satu caleg dari partai oranye --partai yang aku tahu tidak terlalu dekat dengan isu pluralisme dan kebhinekaan. 

"Halo, mas. Ini aku, Mastuki. Sampeyan ngerti gereja GKA Zion di Tunggorono? Ini aku sedang bersama pendeta dan pengurusnya," ujarnya di ujung telpon.

Hatiku langsung tidak enak. Pikiranku sudah berpikir liar, "Duh, pasti ada masalah ini," 

Entah kenapa, aku selalu merasa bertanggung jawab jika ada kejadian persekusi terhadap rumah ibadah, khususnya di Jombang. Sangat mungkin hal itu disulut oleh obsesi personal melihat Jombang sebagai barometer toleransi; di mana setiap orang merdeka beribadah dan berkeyakinan. 

Sejak kemelut HKBP di Jombang beberapa tahun lalu, aku memang sudah tidak pernah mendengar lagi persekusi gereja di Jombang. Kemelut tersebut sempat membuat Jombang lumayan menghangat. 

Aku terus berpikir, ada urusan apa Mastuki bertemu dengan para elit GKA Zion Tunggorono. Jangan-jangan ia sedang menekan gereja ini agar tidak boleh beribadah. 

"Iya, aku kenal mereka. Onok opo yo, mas?" aku mencoba tetap tenang.

"Gini, mas. Aku kan ketua RT. Gereja mereka masuk di RTku," tambahnya.

Aku makin deg-degan. Dalam modus operandi persekusi rumah ibadah, seringkali RT dan RW menjadi garda terdepat kelompok mayoritas mendaratkan nafsu arogansinya. 

Yang aku tahu, mayoritas penghuni perumahan Tunggorono adalah orang Islam. "Wah cilaka! Bakal ramai lagi di media nih," batinku.

"Piye, mas? Ada masalah apa?" tanyaku memburu.

"Ini lho, kami sedang menggagas buka bersama di halaman gereja. Aku langsung teringat njenengan kalau urusan lintas agama,"

Ploonggg....

Tanpa berpikir lama, aku langsung menghamburkan apresiasi dan janji manis untuk datang dalam acara tersebut, padahal aku belum memeriksa jadwalku terlebih dahulu.


"Apa Pdt. Made ada di situ, mas?" tanyaku. Pdt. Made adalah gembala utama di GKA Zion Jombang. Aku cukup akrab dengannya.

"Nggak mas, ini ada Pendeta Suyanto dana beberapa pengurus," tambahnya.

"Tolong berikan telponnya ke dia. Aku ingin berbicara dengannya," jawabku. 

Otak dan pikiranku terus berputar mencari tahu apakah aku masih mengingat Pdt. Suyanto. Sayangnya, aku gagal menemukan wajahnya dalam memoriku. Meski demikian aku sangat percaya diri dia pasti mengenalku.

"Halo, gus..." ujarnya di ujung telepon.

Aku selanjutnya berbicara panjang lebar. Isinya, apresiasi besar atas inisiatifnya mengadakan buka bersama di depan gereja untuk warga sekitar. Menurutku, tidak semua geraja berani mengambil inisiatif tersebut. 

Sore tadi, Selasa (2/4), aku memacu motorku ditengah mendung pekat yang menyelimuti kota Jombang, mengarahkanya ke Perumahan Pondok Indah di Tunggorono. 

Aku telah ditunggu oleh Pak Sholeh, kawanku -- guru Injil GKJW Jombang. Ia memang aku ajak ikut acara karena rumahnya dekat dengan gereja tersebut. Sebelum ke lokasi, aku terlebih dahulu mampir ke rumahnya. 

Aku mengenal Pak Sholeh sudah sangat lama. Kami sama-sama aktif dalam gerakan lintas iman di Jombang. 

Sekitar pukul 17.00 kami mendatangi lokasi buka bersama. Ada terop lumayan besar di depan gereja. Gereja ini meski berstatus Pos PI namun bangunannya cukup megah. Mungkin lebih megah ketimbang gereja induk di Jl. Pahlawan.

Kursi telah ditata rapi, menghadap ke baliho depan. Kami berdua disambut dengan akrab oleh beberapa majelis termasuk Ev. Suyanto. 

Jam 17.05 belum ada warga yang hadir. Tak seberapa lama, Pak RT Mastuki datang. Ia mengenakan jaket Banser. Aku menyalami dan memeluknya. 

Lirih aku sampaikan rasa terima kasihku. Ini adalah buka bersama pertama kali yang dihelat sejak gereja ini berdiri lebih dari 25 tahun. 

Acara dimulai sekitar 17.15. Semua kursi terisi penuh. Sebagian besar perempuannya berjilbab. 

Setelah dua sambutan disampaikan Rev. Suyanto dan Cak Mastuki, pembawa acara mempersilahkanku maju, menyampaikan gagasan seputar acara ini. 

Aku maju saja meski tanpa punya konsep yang jelas. Pelan-pelan aku ceritakan pada forum kronologi acara dan apresiasiku pada acara ini.

Sebelumnya aku mengutip ayat tentang janji Gusti terhadap mereka yang mau bersyukur atas nikmat yang telah diberikannya. 

"Dalam al-Quran, Gusti pernah berjanji akan terus mengucurkan anugerah bagi siapa saja mau bersyukur. Jamuan buka bersama ini adalah ucapan rasa syukur. Gusti Alloh akan menambahkan rejekinya pada gereja ini," ucapku.

Selanjutnya aku mengupas ketersambungan perintah puasa dalam Islam dengan agama-agama sebelumnya. Artinya, orang Islam tidak bisa lagi merasa puasa adalah monopolinya. Dalam Kristen dan agama lain juga ada perintah puasa. 

"Dalam al-Quran, Tuhan meminta kita puasa agar menjadi pribadi yang bertaqwa. Taqwa bermakna; menjadi anugerah bagi sekelilingnya. Istilah al-Qurannya, rahmatan lil alamin. Kalau bahasa al-Kitabnya, menjadi terang, menjadi garam," tambahku. 


Aku menyampaikan gagasanku segayeng mungkin. Beberapa kali hadirin tertawa-tawa karena joke-joke yang aku berikan. Saking gayengnya, aku tak mampu menutup pidatoku dengan baik karena adzan tiba-tiba menyeruak. 

"Saya berharap buka bersama ini terus ditradisikan tiap tahun. Setuju nopo mboten?"

"Setujuuu uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu," respon semua peserta.

Sebelum pulang aku sempat berbincang dengan majelis gereja dan Pak RT, meminta mereka untuk terus menjadikan perumahan ini sebagai teladan dalam interaksi antaragama. Bagiku, orang Islam akan sangat sulit toleran tanpa bantuan orang Kristen dan penganut agama lain.(*)

Saturday, March 30, 2024

ANJANI DI ANTARA PELANGI


Perjalanan buka dan sahur keliling Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid (SNAW) senantiasa menjadi magnet bagi kelompok marginal, tak terkecuali mereka yang memiliki identitas gender dan seksual non-mainstream -- biasa dikenal sebagai kelompok pelangi. Anjani adalah call sign SNAW di lingkungan Paspampres yang rutin mengawalnya.


***


"Halo mbak, dari pengajian waria al-Ikhlas Surabaya ya? Monggo mlebet," sapaku kepada rombongan yang baru datang. Tampilan mereka beragam. Ada yang menggunakan jubah maskulin. Beberapa mengenakan busana muslimah mirip sosialita. Jumlah mereka sekitar 8-9 orang. 


Mereka diundang menghadiri acara buka bersama SNAW di Griya Rahmatan lil Alamin Prapen Pandaan, Jumat (29/3). Kehadiran mereka tampak cukup mencolok, membuat undangan lain, mau tidak mau, memperhatikan mereka. 


"Mas Aan!" 


Aku mendengar teriakan agak kenes. Rupanya dari Mbak Sofa Latjuba, salah satu pentolan pengajian yang hadir agak telat. Sampai saat ini aku tak ingat siapa nama aslinya. Sofa Latjuba adalah nama panggung dari aktifis transpuan senior berdarah Madura yang juga merupakan elit dari Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos).



Aku langsung menghampirinya, menyalami dan tak lupa cipika-cipiki. Buru-buru aku mempersilahkan masuk lokasi acara sebab SNAW sudah tiba di lokasi.


Saat sesi dialog, Sofa tampil mengajukan pertanyaan ke SNAW. Dengan gaya kenesnya, ia menceritakan ada dua pengajian yang ada di lingkungan waria Surabaya; satu pengajian Islam dan satunya untuk Kristen, namanya PHDI jika tidak salah. 


"Acara malam ini memang merepresentasikan Indonesia. Hampir semua komponen masyarakat hadir di sini," kata SNAW dalam ceramahnya. 


Selain komunitas pengajian waria al-Ikhlas, acara yang dihadiri lebih dari 500 orang itu juga dihadiri oleh komunitas Narasi Toleransi, dipimpin oleh Mikha, aktifis transpuan yang sudah malang melintang di kawasan Kediri, Tulungagung dan Trenggalek. 


Ia hadir bersama sekitar 8 orang anggota komunitasnya. Ada gay, transman, lesbian dan waria. Mereka datang dari Kediri, Blitar, Malang dan Surabaya.


Saat acara berlangsung, Narasi Toleransi ikut menyumbang musikalisasi puisi. Saking semangatnya mereka membawa sendiri satu gamelan untuk mengiringinya.  Seluruh rangkaian acara dapat dinikmati melalui channel Youtube NU Pasuruan. https://www.youtube.com/live/CTJ_pZnJ5JM?feature=shared


Al-Ikhlas dan Narasi Toleransi tidaklah sendiri. Masih ada satu komunitas pelangi lain; Peduli Napas -- didirikan oleh, salah satunya, Gus Fikri, seorang transman asal Mojokerto.


Setelah acara, aku sempat ngobrol bersama Narasi Toleransi dan Peduli Napas. Obrolan juga diikuti oleh beberapa panitia dari Gusdurian Pasuruan serta Ketua Griya Rahmatan lil 'alamin, Fatur.


Obrolan tentu saja masih seputar gender, seksualitas dan agama. Topik ini terasa seperti anggur (wine), semakin tua semakin enak dinikmati.


"Gus, ada salah satu anak yang menyangka sampeyan itu waria lho," ujar salah satu orang. Tentu saja aku tertawa kecil sembari menambahkan hal itu bukanlah yang pertama. 


"Terlalu sering aku disangka demikian. Aku juga pernah dituduh Tionghoa, Batak, dan Kristen karena sering bergaul dengan mereka. Aku menganggapnya sebagai bentuk apresiasi padaku. Terima kasih," ujarku


Sebagaimana ditegaskan Sofa Latjuba, Gus Dur dan Keluarga Ciganjur dikenal sebagai pembela militan kelompok minoritas gender dan seksual, khususnya waria. Ia berharap komitmen tersebut tetap dipegang selama-lamanya. 


Terima kasih, Anjani!(*)


** Beberapa foto aku ambil dari wall mbak Laura Perez Maholtra



https://www.facebook.com/share/p/Sf9D5bffqT1Nfi6v/?mibextid=oFDknk


 

ANJANI DI ANTARA PELANGI


Perjalanan buka dan sahur keliling Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid (SNAW) senantiasa menjadi magnet bagi kelompok marginal, tak terkecuali mereka yang memiliki identitas gender dan seksual non-mainstream -- biasa dikenal sebagai kelompok pelangi. Anjani adalah call sign SNAW di lingkungan Paspampres yang rutin mengawalnya.


***


"Halo mbak, dari pengajian waria al-Ikhlas Surabaya ya? Monggo mlebet," sapaku kepada rombongan yang baru datang. Tampilan mereka beragam. Ada yang menggunakan jubah maskulin. Beberapa mengenakan busana muslimah mirip sosialita. Jumlah mereka sekitar 8-9 orang. 


Mereka diundang menghadiri acara buka bersama SNAW di Griya Rahmatan lil Alamin Prapen Pandaan, Jumat (29/3). Kehadiran mereka tampak cukup mencolok, membuat undangan lain, mau tidak mau, memperhatikan mereka. 


"Mas Aan!" 


Aku mendengar teriakan agak kenes. Rupanya dari Mbak Sofa Latjuba, salah satu pentolan pengajian yang hadir agak telat. Sampai saat ini aku tak ingat siapa nama aslinya. Sofa Latjuba adalah nama panggung dari aktifis transpuan senior berdarah Madura yang juga merupakan elit dari Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos).



Aku langsung menghampirinya, menyalami dan tak lupa cipika-cipiki. Buru-buru aku mempersilahkan masuk lokasi acara sebab SNAW sudah tiba di lokasi.


Saat sesi dialog, Sofa tampil mengajukan pertanyaan ke SNAW. Dengan gaya kenesnya, ia menceritakan ada dua pengajian yang ada di lingkungan waria Surabaya; satu pengajian Islam dan satunya untuk Kristen, namanya PHDI jika tidak salah. 


"Acara malam ini memang merepresentasikan Indonesia. Hampir semua komponen masyarakat hadir di sini," kata SNAW dalam ceramahnya. 


Selain komunitas pengajian waria al-Ikhlas, acara yang dihadiri lebih dari 500 orang itu juga dihadiri oleh komunitas Narasi Toleransi, dipimpin oleh Mikha, aktifis transpuan yang sudah malang melintang di kawasan Kediri, Tulungagung dan Trenggalek. 


Ia hadir bersama sekitar 8 orang anggota komunitasnya. Ada gay, transman, lesbian dan waria. Mereka datang dari Kediri, Blitar, Malang dan Surabaya.


Saat acara berlangsung, Narasi Toleransi ikut menyumbang musikalisasi puisi. Saking semangatnya mereka membawa sendiri satu gamelan untuk mengiringinya.  Seluruh rangkaian acara dapat dinikmati melalui channel Youtube NU Pasuruan. https://www.youtube.com/live/CTJ_pZnJ5JM?feature=shared


Al-Ikhlas dan Narasi Toleransi tidaklah sendiri. Masih ada satu komunitas pelangi lain; Peduli Napas -- didirikan oleh, salah satunya, Gus Fikri, seorang transman asal Mojokerto.


Setelah acara, aku sempat ngobrol bersama Narasi Toleransi dan Peduli Napas. Obrolan juga diikuti oleh beberapa panitia dari Gusdurian Pasuruan serta Ketua Griya Rahmatan lil 'alamin, Fatur.


Obrolan tentu saja masih seputar gender, seksualitas dan agama. Topik ini terasa seperti anggur (wine), semakin tua semakin enak dinikmati.


"Gus, ada salah satu anak yang menyangka sampeyan itu waria lho," ujar salah satu orang. Tentu saja aku tertawa kecil sembari menambahkan hal itu bukanlah yang pertama. 


"Terlalu sering aku disangka demikian. Aku juga pernah dituduh Tionghoa, Batak, dan Kristen karena sering bergaul dengan mereka. Aku menganggapnya sebagai bentuk apresiasi padaku. Terima kasih," ujarku


Sebagaimana ditegaskan Sofa Latjuba, Gus Dur dan Keluarga Ciganjur dikenal sebagai pembela militan kelompok minoritas gender dan seksual, khususnya waria. Ia berharap komitmen tersebut tetap dipegang selama-lamanya. 


Terima kasih, Anjani!(*)


** Beberapa foto aku ambil dari wall mbak Laura Perez Maholtra



https://www.facebook.com/share/p/Sf9D5bffqT1Nfi6v/?mibextid=oFDknk


 

Tuesday, March 26, 2024

KURMA; BUAH SANG MESIAH?


Jika kalian, para pengikut Gusti Yesus, masih meneruskan tradisi war takjil, jangan lupa memasukkan kurma dalam daftar perburuan. Buah ini, dalam al-Quran, memiliki kaitan sangat erat dengan perjuangan hidup-mati Maryam saat melahirkan Isa/Yesus. 


** 
Kurma, sebagaimana unta, kerap diolok banyak orang sebagai salah satu buah yang memiliki agama; Islam. Sangat mungkin karena buah ini kerap dikaitkan dengan berbagai kuliner-ilahia Islam. Jangan pernah pulang dari berhaji tanpa membawa buah kurma. Sangat tidak afdhol. 

Pasanganku dan Cecil sangat doyan kurma. Ia bisa membelinya hingga 4-5 kilogram seketika di olshop. Kadang aku berpikir ia dan Cecil adalah penyuka kurma garis keras. 

"Bagus untuk diet, mas" katanya.

Tentu aku sudah tahu narasi di atas. Yang secara sadar baru aku ketahui adalah kaitan kurma dengan Maryam, mamanya Yesus. Adalah Ning Um, bu nyaiku di Tambakberas yang menyegarkan kembali ingatan ini melalui Facebook beberapa waktu lalu.  

Aku tak pernah berfikir bahwa pohon yang disandari Maryam saat melepas penat dalam perjalanan solo bersama Yesus dalam kandungan adalah kurma. 

Al-quran memang memiliki narasi sendiri seputar proses kehamilan dan kelahiran Yesus. Jika dibandingkan dengan Alkitab; ada bagian yang sama namun ada juga yang berbeda. 

Salah satu yang berbeda adalah Maryam, dalam al-Quran, digambarkan melalui masa-masa sulit hamil hingga melahirkan secara SENDIRIAN --hanya ditemani secara virtual oleh Jibril. 

Dalam Alkitab, penggambarannya agak berbeda. Maryam diceritakan kerap ditemani Yusuf --sang tunangan (yang bukan papanya Yesus?) -- termasuk saat melakukan perjalan jauh mengunjungi Elisabeth; dari Nazaret ke Yehuda. 

Terhadap penggambaran Maryam berjuang sendiri atas kehamilannya dalam al-Quran, aku hingga hari ini terus berpikir; kenapa al-Quran memilih cerita seperti ini? Kenapa ia berbeda dengan 4 Injil yang telah ada -- Matius, Markus, Lukas dan Yohanes? 

Saking penasarannya, aku sempat bertanya Gemini Google; jika ada, dari mana cerita ini kemungkinan diadaptasi oleh al-Quran. Gemini angkat tangan, "The Quranic story regarding the birth of Jesus (referred to as Isa in the Quran) isn't explicitly attributed to any one source," 

Pada tahap selanjutnya, rasa penasaranku terus menggulir; pesan substantif apa yang sesungguhnya ingin disampaikan al-quran? Apakah kitab ini sedang meyakinkan pembacanya bahwa kehamilan tanpa bapak biologis merupakan hal yang mahasulit bagi perempuan, yang oleh karenanya ia dan bayinya bersifat suci tak boleh diolok? Atau seperti apa? 

Seperti halnya Hagar yang digambarkan mengalami masa sulit sendirian tanpa pasangan, melalui cerita Maryam, apakah al-Quran sedang mengobarkan keteguhan dan kemandirian perempuan pada masa-asa yang sangat sulit dan kompleks? Entahlah.

Maka, dia (Maryam) mengandungnya, lalu mengasingkan diri bersamanya (bayinya) ke tempat yang jauh.

Saat rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma. Maryam berkata, “Oh, seandainya aku mati sebelum ini dan menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan (selama-lamanya). 

Di saat seperti ini, Jibril berseru kepadanya dari tempat yang rendah, meminta Maryam agar tidak bersedih, "Sungguh, Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menjatuhkan buah kurma yang masak kepadamu. Makan, minum, dan bersukacitalah engkau,"

Jibril mewanti-wanti kepada Maryam untuk menyiapkan semacam template jawaban seandainya bertemu orang dan ditanyai perihal bayinya,"Sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini."

Aku membayangkan Maryam berada di padang pasir, sendirian, bersusah payah dengan kehamilan 9 bulannya, hanya mengkonsumsi kurma dan air hingga ia melahirkan Isa/Yesus. Dua hal itu merupakan sumber nutrisinya, terutama kurma --buah yang berkontribusi pada kelahiran sang Mesiah.

**

Tidak. Aku tak hendak mengislamkan Yesus. Siapalah aku ini. Ia sudah bergelar Mesiah --sedemikan tinggi derajatnya. Bagiku, Islam juga mengakui hal itu dengan cara dan tradisinya sendiri --yang kadang masih dicurigai oleh mereka,  pengikut Yesus garis keras.

Sunday, March 10, 2024

Menganyam Kesucian Maryam


Dalam tradisi Islam, sosok Maryam (mamanya Yesus/Isa) sangatlah mentereng. Pangkatnya; perempuan terbaik sejagad raya (was thofaki ‘ala nisai al-‘alamin). Perempuan ini tetap dianggap suci sungguhpun ia --saat hamil Yesus/Isa-- dianggap tidak mengalami kelaziman proses sebagaimana manusia lainnya. Ia diyakini hamil tanpa intervensi lelaki, melainkan langsung "diintervensi" Tuhan. Uniknya, Al-Quran, pada kenyataannya, justru membuka peluang terbukanya tafsir terbalik; kehamilan Maryam dimungkinkan berjalan layaknya manusia biasa, dengan intervensi laki-laki yang tidak sembarangan.

Maryam 17

Ada satu ayat dalam al-Quran yang menarik untuk dieksplorasi menyangkut kehamilan Maryam. Ayat tersebut adalah QS. Maryam 17.


فَاتَّخَذَتۡ مِنۡ دُوۡنِهِمۡ حِجَابًا فَاَرۡسَلۡنَاۤ اِلَيۡهَا رُوۡحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا‏ ١٧


"lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menampakan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna."


Kenapa ayat ini menarik? Sebab, ayat ini barangkali menjadi jawaban atas mitos "kesucian" Maryam atas kelahiran Yesus/Isa dari rahimnya. Kesucian perempuan ini begitu kuat dipertahankan demi menjaga sebuah motivasi religius, salah satunya, untuk melindungi keistimewaan Yesus/Isa.


Doktrin kesucian Maryam selama ini dipahami dengan sederhana, yakni ia hamil tanpa "sentuhan seksual" lelaki. Dalam narasi klasik Kristen, Maryam dipersepsi tetap perawan meski ia sendiri diwartakan memiliki suami. Agak sulit diterima akal ada seorang suami tidak menggauli istrinya pada saat yang sama tidak ditemukan informasi akurat Yusuf( suami Maryam) seorang gay atau mengalami impotensi.


Mitos kesucian Maryam nampak semakin dipertegas dalam al-Quran. Kitab suci ini menggambarkan Maryam tidak memiliki pasangan --baik pacar maupun suami. Alih-alih sebagai perempuan binal penganut free sex, Al-quran justru dengan tegas mendeskripsikan Maryam sebagai perempuan sholihah. Pekerjaannya sehari-hari-hari adalah menyembah tuhannya. Siang dan malam. Tidak ada waktu untuk hal-hal yang bersifat rekreatif.


Lalu dari mana ia bisa mendapatkan kehamilan atas dirinya? Sim salabim; ia bisa hamil atas kehendak Tuhan. Kehendak tuhan terkadang bisa dinalar oleh logika dan akal sehat dan kadang juga tidak membutuhkan. Nampaknya, kehamilan Maryam selama ini dalam tradisi Islam dipahami dalam format kedua tadi. Kun fayakun --Jadilah, maka jadilah.


Saya termasuk orang Islam yang percaya al-Quran tidak mungkin bertabrakan dengan akal sehat, logika, maupun ilmu pengetahuan. Jika ada ayat yang memiliki nuansa melawan akal sehat, saya akan mencoba mencari celah jawaban agar ayat tersebut tidak bertabrakan dengan ilmu pengetahuan. Dalam pemahaman saya, sederhananya begini; secara teologis, Tuhan memiliki bahasaNya sendiri. Tidak ada satupun orang yang mengklaim tahu persisnya apa dan bagaimana bahasa tersebut. Namun, tatkala Tuhan memutuskan perlu "berbicara" kepada sebuah peradaban maka, secara logis, ia harus menggunakan bahasa yang bisa dipahami peradaban tersebut. Untuk apa Tuhan ngotot menggunakan bahasaNya jika pada akhirnya ia tahu kehendakNya tidak dapat dipahami peradaban tersebut? Tuhan tidaklah sebodoh itu.


Namun, bagaimana seandainya tidak berhasil merekonsiliasi ketegangan antara ayat dan logika, saya biasanya memilih "memarkir" ayat dan menggunakan ilmu pengetahuan (sains) sebagai pegangan sembari berharap mampu merekonsiliasi keduanya dalam titik tertentu.


Dalam konteks al-Quran yang berbicara atas kehamilan Maryam yang hidup sendiri (single), dan dipakai sandaran untuk sampai pada kesimpulan kehamilan Maryam adalah keajaiban atas kehendak tuhan tanpa melalui proses manusiawi bertemunya sperma dan sel telur, saya susah menerima kenyataan tersebut.


Peradaban ini telah memiliki hukum sendiri; kehamilan hanya terjadi manakala sperma bertemu sel telur. Jika Tuhan bersikukuh menabrak hukum tersebut, Dia bisa jadi akan dituduh tidak menghargai tatanan yang sedari awal telah ia izinkan berproses menjadikan ilmu pengetahuan sebagai instrumen pentingnya.


Celah Muasal Kehamilan Maryam

Ketika menelusuri proses kehadiran Yesus/Isa dalam QS. Maryam, saya menaruh sedikit kecurigaan terhadap ayat 17. Di sana terekam penggambaran kehadiran Roh Tuhan (Jibril) di depan Maryam, face to face, dalam kesempurnaan bentuknya (sawiyya) sebagaimana manusia pada umumnya. Dalam arti, Jibril menemui Maryam, yang pada waktu itu sendirian, tidak secara ghaib. Alih-alih, al-Quran, sekali lagi, menggambarkan Jibril hadir dalam rupa manusia. Sarjana Aisha Bewley bahkan menggunakan kata "handsome" saat menerjemahkan ayat 17 tersebut.


Jibril saat itu, menurut al-Quran, diutus Alloh menemui Maryam, untuk mengabari perempuan ini rencana Tuhan seputar kehamilannya. Menjadi layak diselidiki lebih jauh apakah perjumpaan ini berlangsung secara langsung ataukah melalui mimpi. Banyak para penafsir al-Quran mengindikasikan perjumpaan keduanya terjadi secara langsung, dalam posisi sadar. Namun demikian, ada satu penafsir al-Quran, Mawlana Muhammad Ali, mengatakan sebaliknya. Dalam "The Holy Quran with Commentary," Muhammad Ali meyakini keduanya bertemu dalam mimpi, "This shows that it was in a vision that the spirit came, and the conversation that follows also took place in a vision. The word tamaththala (“it appeared”) used here lends support to this, for the word signifies assuming the likeness of another thing, and this happens only in a vision. Further the spirit or angel of God appears to His chosen ones only in a vision, and angels are not seen by the physical eye."


Saya sendiri lebih memilih meyakini Maryam dan Jibril berjumpa secara langsung. Imam al-Mahalli dan al-Suyuti dalam Tafsir Jalalyn bahkan mendeskripsikan QS. Maryam 17 sebagai berikut;

فاِتَّخَذَتْ مِن دُونهمْ حِجابًا﴾ أرْسَلَتْ سِتْرًا تَسْتَتِر بِهِ لِتُفَلِّي رَأْسها أوْ ثِيابها أوْ تَغْتَسِل مِن حَيْضها ﴿فَأَرْسَلْنا إلَيْها رُوحنا﴾ جِبْرِيل ﴿فَتَمَثَّلَ لَها﴾ بَعْد لُبْسها ثِيابها ﴿بَشَرًا سَوِيًّا﴾ تامّ الخَلْق) (Demikianlah dia berhijab dari mereka, dia menyelubungi dirinya dengan kerudung untuk menyembunyikan dirinya saat dia mencuci rambutnya dari kutu atau mencuci pakaiannya atau membersihkan dirinya dari haid; kemudian Kami kirimkan kepadanya Ruh Kami Jibril dan dia tampak di hadapannya setelah dia mengenakan pakaiannya menyerupai manusia yang proporsional sempurna dalam bentuk fisik). 


Tafsir Ibn Abbas malah menginformasikan kehadiran Jibril dalam bentuk manusia terjadi sesaat setelah Maryam mandi suci sebagai tanda telah selesainya siklus menstruasinya, “(Dan telah memilih pengasingan dari mereka) agar dia bersuci setelah selesai haidnya. (Kemudian Kami kirimkan kepadanya Ruh Kami) Utusan Kami Jibril setelah dia selesai menyucikan dirinya (dan dia dianggap seperti manusia sempurna)”


Jika boleh membayangkan, perjumpaan Jibril dan Maryam barangkali seperti scene pertemuan antara Kata dan Algren dalam film The Last Samurai. Saat itu Algren menemui Kata sesaat setelah perempuan ini selesai mandi dari pancuran. Keduanya memang pada akhirnya saling jatuh cinta. 


Mungkin imajinasi ini terlalu vulgar untuk diposisikan menggambarkan relasi Jibril dan Maryam --dua entitas ciptaan yang berasal dari dua dimensi yang berbeda. Di sinilah krusialnya kata "sawiyya" yang disematkan Allah dalam al-Quran. Jibril saat bertemu Maryam tidak lagi sepenuhnya berupa malaikat namun ia telah bertransformasi menjadi manusia sepenuhnya --termasuk dengan segenap atribut seksualitas heteroseksualnya. Al-Quran sama sekali tidak menyebutkan secara literal apakah pada akhirnya Maryam dan Jibril --dua sosok suci tak tercela ini-- terlibat dalam adegan asmara.


Al-quran dalam hemat saya memang tidak perlu harus sedemonstratif itu untuk menggambarkan kehendak tuhan "berbahasa" yang dipahami ilmu pengetahuan dalam peradaban manusia. Tuhan telah saya anggap cukup jelas dengan maksudNya melalui simbol berupa kata "sawiyya," dalam QS.19:17 tadi.


Keder Karena Kader

Dengan kalimat yang lebih lugas, saya terprovokasi membayangkan bahwa kehamilan Maryam --dalam konteks al-Quran-- merupakan proses alamiah, hasil konsekuensi logis "hubungan," antara Maryam dan Jibril. Terus terang saja, saya tidak menemukan penafsir al-Quran yang berani memposisikan diri mendukung "kekurangajaran," cara pandang ini, sebelum akhirnya saya menemukan tulisan pendek Yulia Riswan, peneliti The Global Quran Universitas Freiburg Jerman, berjudul "Qur’an Translation Of The Week #186: Dutch Qur’an Translation: A Literary Adaptation Of The Qur’an By A Migrant Intellectual, Kader Abdolah,"


Yulia dalam tulisan tersebut mengabarkan pandangan Kader Abdolah, imigran Iran yang kini menetap di Belanda dan menghasilkan menerbitkan terjemahan al-Quran versinya sendiri, terhadap relasi Maryam dan Jibril. Abdollah tanpa malu-malu melukiskan perjumpaan keduanya dalam nuansa tafsir yang, menurut Yulia cukup dipengaruhi oleh corak Persia, terasa lebih vulgar dan lebih manusiawi.


"Maria stond naakt in de rivier. Opeens verscheen er een knappe man. Maria schrok en rende naar de struiken om zich te verstoppen. Wees niet bang, Maria, riep de man, ik ben de engel Ghabriel. Ik kom om je een kind te geven. De engel wist Maria over te halen, verleidde haar achter de dadelbomen en maakte haar zwanger." (Maria berdiri telanjang di sungai. Tiba-tiba seorang lelaki tampan muncul. Maria ketakutan dan berlari ke semak-semak untuk bersembunyi. Jangan takut, Maryam, lelaki itu berseru, akulah malaikat Ghabriel. Aku datang untuk memberimu seorang anak. Malaikat itu membujuk Maria, merayunya di balik pohon kurma dan menghamilinya.)


Belum pernah saya temukan tafsir atas diri Maryam terkait kehamilannya seperti ini. Jika Kader Abdolah hidup di Indonesia sangat mungkin karya kontroversinya akan memantik kemarahan publik secara luas. Bahkan, ia bisa dipenjarakan atas gagasannya ini. Namun seandainya kita mengamini tafsiran Kader Abdollah maka dengan demikian proses kehamilan Maryam atas bayi Yesus/Isa menjadi "selaras" dengan akal sehat dan kinerja ilmu pengetahuan seputar reproduksi manusia. Tidak ada lagi "kuasa misteri," dalam diri Maryam atas kelahiran Yesus/Isa. Dengan demikian, kelahiran sang juruselamat ini sepenuhnya melalui kelaziman proses reproduksi manusia pada umumnya. 


Lantas, akankah "kesucian," Maryam menjadi hilang, tergerogoti atas keterusterangan al-Quran melalui tafsir Kader Abdollah? Ini merupakan tantangan bagi kita semuanya. Sebab, selama ini doktrin menyangkut kesucian Maryam --yang bertumpu pada keperawanan-- bisa jadi merupakan konstruksi cara pandang klasik yang bias-patriarkhi. Bias ini mengguratkan garis sangat tegas untuk mengkategorisasi perempuan baik-baik dan suci dalam indikator yang sangat purbawi, yakni mampu menjaga keperawanannya atau tidak. Standar kebaikan moral perempuan yang selama ini acapkali diteropong dengan ukuran keperawanan telah lama dipertanyakan relevansinya. Para pendukung kesucian Maryam dalam skema klasik ini tak pelak akan menolak mentah-mentah tafsir Abdollah dan segenap upaya menjelaskan kehamilan Maryam secara lebih manusia --yang itu akan berakibat pada keniscayaan atas ketidakperawanan Maryam.


Tafsir Abdollah dengan demikian bisa jadi menawarkan alternatif cara pandang baru atas "kesucian" -- yakni, Yesus/Isa lahir dari dua manusia yang suci. Kesucian Maryam terletak pada ketaatannya mengabdi pada Tuhan. Sedangkan Jibril, ayah Yesus/Isa, merupakan duta besar resmi yang suci (“ruhana” --roh kudus Allah) yang menjelma sebagai manusia atas izin dari Tuhan. Meskipun begitu, kesucian ini senyatanya dapat dikritisi lebih jauh dalam perspektif ikatan perkawinan. Bisa jadi kekudusan dua insan ini ternyata belum dianggap suci mengingat relasi seksual mereka berdua tidak diikatkan pada institusi perkawinan pada saat itu. Keduanya bisa dituduh melakukan perzinahan non-perselingkuhan (adultery) --- Maryam dan Jibril tidak sedang terikat perkawinan dengan pihak lain pada saat peristiwa itu terjadi.


Mengunci Kesucian

Doktrin kesucian yang mengelilingi kehamilan Maryam atas diri Yesus/Isa selama ini lebih bertumpu pada aspek keperawanannya. Penjagaan atas doktrin ini sangat mungkin dipengaruhi oleh obsesi patriarki atas idealitas sosok perempuan. Perspektif ini, jujur saja, tak lagi relevan dipertahankan karena terlalu sederhana mengukur moralitas perempuan dari aspek tertentu ketubuhannya. Selain itu, yang juga tidak kalah pentingnya, memposisikan Maryam tetap perawan padahal ia senyatanya mengandung bayi sungguh bertentangan dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan yang berlaku universal. Al-Quran membuka peluang terjadinya rekonsiliasi antara dogma kesucian yang ada dalam teks dan ilmu pengetahuan seputar kehamilan Maryam atas diri Yesus/Isa. Dengan demikian, doktrin kesucian dan kekudusan Maryam sesungguhnya terletak pada sosok lelaki yang "bersama" Maryam saat itu, yaitu Jibril, utusan suci Tuhan yang disebut dalam QS.19:17 sebagai ruhuna (God's soul). Entah tafsir kesucian mana yang benar atas misteri kehamilan Maryam. Wallohu a'lam.()


-----

Daftar bacaan


Abdalhaqq, M., & Bewley, A. (1999). The Noble Qur’an: A New Rendering of its Meaning in English. Dubai: Bookwork.

Abdolah, K. (2008). De Koran. Een Vertaling.

Ali, M. M. (2002). The Holy Qur’ån. English Translation. https://www.ahmadiyya.org/english-quran/a-prelim.pdf

Hamza, F. (2007). Tafsir al-Jalalayn. Royal Aal Al-Bayt Institute for Islamic Thought Amman. Jordan.

Stowasser, B. F. (n.d.). Mary. In Encyclopaedia of the Qurʾān. Brill. Retrieved March 11, 2024, from https://referenceworks.brillonline.com/entries/encyclopaedia-of-the-quran/mary-EQCOM_00113?s.num=0&s.f.s2_parent=s.f.book.encyclopaedia-of-the-quran&s.au=%22Stowasser%2C+Barbara+Freyer%22&s.q=mary

Yulia Riswan. (2024, February 23). Qur’an translation of the week #186: Dutch Qur’an Translation: A Literary Adaptation of the Qur’an by a Migrant Intellectual, Kader Abdolah - GloQur- The Global Qur’an. https://gloqur.de/quran-translation-of-the-week-186-dutch-quran-translation-a-literary-adaptation-of-the-quran-by-a-migrant-intellectual-kader-abdolah/

تفسير الجلالين | 19:17 | الباحث القرآني. (n.d.). Retrieved March 4, 2024, from https://tafsir.app/jalalayn/19/17

موقع التفير الكبير. (n.d.). Altafsir.Com. Retrieved March 4, 2024, from https://Altafsir.com