"Biar dapat berkahnya, nduk," kataku. Ia bersedia. Selain dia, aku juga mengajak Alvin, kolega ngajar di UC. Selain keduanya, aku juga mengundang dua kawanku dari komunitas pelangi; mbak Sofa dan Gus Fikri.
Mereka transpuan dan transmen. Sayangnya, Gus Fikri mendadak tidak bisa hadir karena ada saudaranya yang meninggal dunia.
Aku memang sengaja melibatkan kelompok pelangi. Sebab, uskup baru ini memang dikenal dekat dengan siapa saja, termasuk kelompok tadi.
"Nanti kalau ditanya panitia, tunjukkan undangan ini. Bilang saja; rombongan dari Jaringan Islam Antidiskriminasi Jawa Timur," kataku pada mbak Sofa dan Gus Fikri sebelum acara.
Aku memang hanya mendapat 1 undangan. Namun berlaku bagi 5 orang atas kemurahan panitia. Entah berapa ratus orang hadir malam itu. Aku melihat cukup banyak kawan aktifis lintas agama hadir. Yang tidak hadir juga cukup banyak, mungkin tidak mendapat undangan.
Aku melihat Monsinyur Didik (Modik), uskup baru, berjalan menghampiri meja para tamu di barisan depan. Ia menyalami dan membiarkan dirinya menjadi obyek foto bagi para tamunya.
Ia tiba di mejaku. Kami memintanya untuk berfoto bersama. "Sehat-sehat selalu ya, Modik," ujarku.
Kepada siapa saja yang aku temui malam itu, aku selalu memperkenalkan Cecil kepada mereka. Aku berharap gadisku bisa berkesempatan belajar dari mereka.
"Kalau ingin belajar bahasa Ibrani dan Perjanjian Lama, kamu perlu belajar dari Dr. Rita," ujarku ke Cecil sembari memperkenalkan pada Dr. Rita Wahyu, Tionghoa ampyang yang selalu dengan jarik dan kebaya dipadu kerudung.
Aku juga memperkenalkan anakku kepada Sonya, dosen Komunikasi UKWMS yang sering mengundangku sebagai dosen tamu di kelasnya. Malam ini dia tampil lumayan syar'i. Persis seperti Dr. Rita. Yang mengagetkanku ia juga mengenakan tanda panitia.
"Cecil, kenalkan; satu-satunya hajjah yang masuk jadi panitia malam ini," ujarku sembari tertawa. Keduanya pun saling berkenalan dan bercakap-cakap. Suasananya menjadi semakin gayeng saat Dr. Erlyn Erawan, kawan lamaku ikut bergabung. Ia juga panitia.
"Nah, kalau dia ini, Cil, yang pegang urusan internasional di kampus UWM," ujarku.
"Lho Cecil dapat IISMA tahun lalu? Di kampus mana?" tanya Erlyn.
Cecil dan Erlyn bercakap-cakap seputar IISMA. Nyambung -- karena keduanya sama-sama bergelut di beasiswa tersebut.
Yang barangkali tidak pernah Cecil sangka, malam itu, ia bertemu kawannya secara tidak sengaja.
"Kak Ceciiilll...." sapa seorang gadis muda Tionghoa. Ia memakai tanda panitia. Cecil terperanjat sewaktu melihat gadis tadi.
"Lho Anabel.. Kamu kok di sini?"
"Lha kamu sendiri ngapain di sini, kak? Aku panitia,"
"Aku diajak bapakku ke sini,"
Keduanya kemudian terlibat dalam percakapan. Ternyata Anabel adalah adik tingkat Cecil beda jurusan. Keduanya sama-sama di Retorika, majalah FISIP Unair. Cecil redaktur. Anabel jurnalis.
Malam itu aku cukup sering meninggalkan lokasi acara. Gara-garanya, tidak ada lokasi untuk merokok. Cukup banyak kawanku yang tersiksa karena hal ini.
Kampus UWM memang menerapkan larangan cukup ketat di sana. Aku menganggap kampus seperti ini memakai Perjanjian Baru sebagai madzhab penafsiran atas rokok. Rokok dianggap merusak tubuh. Tubuh adalah bait Allah.
"Kita pindah ke gedung sebelah saja. Kita bebas merokok di sana," ajakku kepada beberapa perokok.
Kami berjalan sekitar 300-400 meter menuju Providensia Dei atau seminari, tempat berkumpulnya para romo dan frater yang "menjaga" Fakultas Filsafat dan Teologi. Kami bebas merokok di sana.
Tubuh dan jiwa adalah bait Allah, kami sangat setuju. Itu sebabnya, bait Allah perlu didupai --sebagaimana pernah disinggung Perjanjian Lama. Rokok adalah dupa bagi bait Allah.
Selain rokoan bersama kawan-kawan GP Ansor Jawa Timur, aku juga ngudud bareng dengan para elit Pemuda Katolik Jawa Timur. Dalam obrolan, aku dorong mereka buka cabang/komisariat di Jombang. Tawaran serupa pernah juga aku sampaikan ke GMKI.
"Ayolah, buka perwakilan kalian di Jombang, supaya kotaku lebih dinamis," tawarku.
Aku bersyukur sempat bertemu dan ngobrol agak lama dengan Romo Kurdo, kawan lama yang sekarang akan menjabat sebagai unsur penting dalam ke-vikjend-an. Ia kabarnya akan menjadi kepala vikaris pastoral, posisi yang dulu ditempati Romo Didik sebelum ditunjuk sebagai uskup.
Romo Kurdo banyak bercerita seputar rencana keuskupan Surabaya dalam 15 tahun mendatang. Begitu asyiknya kami berbincang hingga aku melewatkan sesi foto bersama di lokasi acara.
"Tak mengapa. Nanti bikin acara seperti ini lagi dan berfoto," batinku menghibur diri.(*)
No comments:
Post a Comment