Pages

Friday, February 28, 2025

Mengetuk Lawang Langit di GKJW Lawang



Lawang adalah bahasa Jawa dari pintu. Selama 3 jam ratusan orang menggedor lawang langit dalam acara Haul Gus Dur.
***

Aku agak kaget saat Dani mengundangku sebagai salah satu narasumber Hau Gus Dur di gerejanya, GKJW Lawang Malang. Gereja tersebut dilayani istrinya, Pdt. Sevi. Kekagetan itu muncul saat tahu gereja tersebut sebagai inisiator utama, sekaligus menjadi tempat berlangsungnya acara haul, Minggu (23/2).

Selama ini, biasanya keterlibatan gereja dan agama non-Islam dalam acara haul GD hanya sebatas pelaksana dari aliansi besar acara: gereja ditunjuk sebagai lokasi acara dan menjalankan perintah aliansi. Biasanya begitu. Namun untuk kasus GKJW Malang, situasinya berbeda; gereja ini menjadi inisiator dan mengajak organisasi-organisasi lainnya.

Inisiatif seperti ini sungguh mulia sekaligus tidak mudah. Inisiator akan bertanggung jawab pada semua hal, terutama kesuksesan acara. Salah satu ciri kesuksesannya seberapa banyak dan beragam tokoh-tokoh lintas agama/kepercayaan, tak terkecuali pesertanya.

Menurutku ada banyak yang hadir. Sekitar seratusan orang. Semuanya lesehan, mirip acara di kalangan NU. Selain aku, ada 3 narasumber di flyer; Ilmi Najib -- aktifis senior GDian Malang, Pdt. Sevi, dan Kiai Mahpur -- PCNU Kota Malang.

Namun demikian, di panggung, ada cukup banyak tokoh selain kami berempat. Sebagai host acara, menurutku Pdt. Gideon telah melakukan tugasnya dengan sangat baik. Ia bisa mengayun pertanyaan sehingga hampir semua yang di panggung mendapat kesempatan berbicara.

Tidak hanya ada banyak representasi kelompok Penghayat, forum tersebut juga dihadiri kawan-kawan dari GPIB, GKA, dan gereja Protestan lain. Dari Katolik ada romo cum aktifis, Romo Gani, dari Paroki St. Theresia Pandaan.

Selain itu, hadir juga Habib Hasan bersama rombongan Ahlul Bait Indonesia (ABI) Malang dan kawan-kawan Bahai dipimpin mbak Susi. Perwakilan dari Forkopimcam Lawang juga hadir beserta utusan dari kelurahan setempat.

"Apa sih problem utama yang dirasakan masyarakat Indonesia yang patut direfleksikan dalam haul Gus Dur tahun ini?" tanya Pdt. Gideon padaku.
"Ketidakadilan," jawabku pendek.

Dalam hal toleransi antaragama, konflik senantiasa muncul akibat ketidakadilan yang memanfaatkan satu perasaan psikilogis.
"Apa itu, gus?"
"Perasaan lebih unggul, lebih benar, lebih suci ketimbang kelompok lain," ujarku.

Menurutku, pola pendidikan agama selama ini, harus diakui, masih mendasarkan dirinya pada keinginan "merasa dirinya paling benar," Padahal perasaan ini senantiasa meminta tumbal kelompok lain sebagai pihak yang dianggap lebih rendah, alias inferior.



Perasaan peng-inferior-an ini selanjutnya memicu kelompok superior melakukan penindasan. Akibatnya, tambahku, kelompok inferior kerap dikuyo-kuyo.

Aku kemudian meminta Ipda Hartono, wakil Kapolsek Lawan, bercerita model pendidikan di kepolisian. Ia menceritakan pengalamannya bagaimana pembauran terjadi saat pendidikan. Semua agama dan entis membaur jadi satu, belajar hidup bersama.

Diskusi berlangsung gayeng, berjalan sekitar 3 jam. Doa lintas agama dipanjatkan di akhir acara. Aku pun kembali ke Pandaan, nebeng Romo Gani, menuju parokinya.

Terima kasih GKJW Lawang. Semoga kita bersua kembali pada haul tahun depan.(*)

https://medium.com/@gantengpolnotok/mengetuk-lawang-langit-di-gkjw-lawang-581ada06f3f8

Thursday, February 20, 2025

Di Balik Dapur Perumusan Pancasila dan Syariat Islam: Latuharhary Berteriak Diredam Soekarno, Agoes Salim dan Wahid Hasyim



Latuharhary memang pemberani. Ia mungkin satu-satunya wakil Kristen dan Indonesia Timur yang punya nyali mempertanyakan sila pertama (Piagam Jakarta) secara terbuka dalam rapat panitia BPUPK. 

Aku membayangkan ia mungkin agak gusar dengan A.A. Maramis, yang terkesan diam saja dalam rapat besar. Padahal Maramis merupakan satu-satunya wakil Kristen Indonesia yang masuk dalam Panitia 8 dan Panitia 9 yang merumuskan draft awal pembukaan UUD 1945 (preambule). 

Keberanian Latuharhary menyatakan keberatannya atas Piagam Jakarta tidak hanya membuat repot Soekarno (ketua sidang) namun juga memaksa Agoes Salim dan Wahid Hasyim "turun gunung" meminta Latuharhary tidak mempersoalkan Piagam Jakarta.

Bahan tulisan ini ada dua buku; Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 karya RM. A.B. Kusuma (2004) dan "Islam dan Kristen di Indonesia" karya M. Natsir (1969) 

****

Setelah BPUPK dibentuk 28 Mei 1945 atas arahan Pemerintah Jepang di Indonesia pada, ke-66 anggotanya mulai bersidang. Tanggal 29 Mei hingga 1 Juni forum sidang memberikan kesempatan para anggotanya u menyampaikan aspirasi dan ekspektasi menyangkut negara yang diidealkan. Pimpinan rapat ada dua; Radjiman Wediodiningrat dan R.P. Soeroso. 

Nama-nama ini menyampaikan pandangannya 29 Mei 1945; Muh. Yamin, R.M. Margono Djojohadikoesoemo, Drs. K.R.M.A. Sosrodiningrat, R.A,A. Soemitro Kolopaking Poerbonegoro, R.A.A Wiranatakoesoema, K.R.M. LH. Woerjaningrat, R.M.T.A Soerjo, Mr. Soesanto, R. Soedirman, A.M. Dasaad, Prof. Ir. R. Rooseno dan M. Aris

Sedangkan pada 30 Mei , berikut nama-nama yang menyampaikan pandangannya; M. Hatta, H. Agoes Salim, Samsoedin, Wongsonagoro, Soerachman, Soewandi, A. Rachim, Soekiman, dan Soetardjo. Disusul kemudian pada 31 Mei; Abdul Kadir, Soepomo. Sanoesi, Hendro Martono, Dahler, Liem Koen Hian, Moenandar, Koesoema Atmadja, M. Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Oei Tjong Hauw, Parada Harahap, dan Dr. Boentaran. 

Pada hari terakhir, 1 Juni, giliran Baswedan, Muzaki, Otto lskandardinata, Latuharhary, Soekardjo, dan Soekarno menyampaikan gagasannya. Namun dari keenam pembicara ini, hanya naskah pidato Soekarno yang dimuat dalam buku tersebut.

ALMIGHTY SOEKARNO
Soekarno tampil menggebu-gebu, mengkritik usulan pembicara pendahulunya yang cenderung njlimet. Ia berpandangan perumusan dasar-dasar pemerintahan harus dilakukan selekas-lekasnya. Lebih cepat lebih baik. 

Ia menawarkan pendirian Negara Kebangsaan. Dengan terang-terangan, secara khusus, suami Fatmawati ini menabrak pandangan Ki Bagus Hadikusumo yang pada waktu dianggap menawarkan bentuk negara yang lebih sempit (Negara Islam). 

"Satu Nationale Staal Indonesia bukan berurti staal yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuan pun adalah orang Indonesia, nenek tuan pun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan Negara Indonesia." (h. 157)

Soekarno seperti tengah bertiwikrama, menghipnotis forum. Beberapa kali tepuk tangan dihadiahkan peserta sidang padanya. Dalam pidatonya, ia tidak hanya mengajak peserta sidang "belajar sejarah" kemerdekaan negara lain. Namun juga, ia, mengutip banyak tokoh-tokoh besar dalam pidatonya; Lenin, Hitler, Renan, Ibn Saud, Bauer, Gandhi hingga Sun Yat Sen. 

Dalam forum ini, Soekarno menawarkan gagasan --yang belakangan kita sebut sebagai-- Pancasila, Isinya; kebangsaan lndonesia, Internasionalisme atau perkemanusiaan. Mufakat atau demokasi, Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan.

"Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara lndonesla ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme-agama'. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!" (h. 163)

Tepuk tangan riuh rendah menghantar Soekarno mengakhiri pidatonya. Untuk menindaklanjuti perumusan dasar negara, Ketua Sidang Radjiman membentuk panitia kecil berjumlah 8 orang, diketuai Soekarno. Bahan utama perumusan adalah pidato Soekarno. Ini adalah panitia resmi. 

Kedelapan orang tersebut adalah Soekarno, Hatta, Yamin, Soetardjo, Otto Iskandar, dan Maramis -- kubu Nasionalis. Ditambah Wahid Hasyim serta Bagus Hadikusumo, yang dikenal sebagai kelompok Islamis. 

Namun demikian, entah kenapa Soekarno membentuk kelompoknya sendiri, berjumlah 9 orang, panitia tidak resmi.  Kesembilan orang tersebut adalah Soekarno, Hatta, Yamin, Maramis, Soebarjo dari barisan Nasionalis (Otto dan Soetardjo dicoret) serta Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, Agus Salim dan Abikusno dari kalangan Islamis (Bagus Hadikusumo dicoret).



Sangat mungkin pembentukan panitia 9 ini dilatarbelakangi ketidaknyamanannya pada beberapa individu. Namun dalam analisis komposisi anggota, Soekarno yang dikenal tokoh Nasionalis malah justru menambah porsi anggota kubu Islamis. Sangat mungkin ia sadar tegaknya syariah tidak bisa lagi dibendung. Perlawanan atas syariah malah justru membuat sidang kedepannya berlarut-larut, padahal ia menghendaki rumusan kemerdekaan dapat terselesaikan secepatnya. Panitia tidak resmi ini bekerja cepat dibawah komando Soekarno dan menghasilkan Mukaddimah/Piagam Jakarta/Gentlemen's Agreement pada sidang 22 Juni 1945. 

SNOWBALL STRATEGY
Isyarat mendekorasi dasar negara dengan corak syariat Islam memang sangat terasa pada pertemuan 22 Juni. Pertemuan tersebut adalah sidang resmi panitia kecil (Panitia 8 dan Panitia 9) yang dihadiri 38 orang anggota Cuo Sangi In yang juga merangkap anggota BPUPK. Cuo Sangi In merupakan Dewan Pertimbangan Pusat bentukan Pemerintah Jepang September 1943. Salah satu tugasnya adalah menjawab pertanyaan pemerintah Jepang menyangkut situasi politik di Indonesia sebagai tanah jajahannya.

Dalam pembahasan mengenai Dasar Negara di sidang tersebut, aspirasi  negara-agama (Islam) cukup kuat. Banyak anggota sidang memberikan sinyal Indonesia kedepan adalah Indonesia bersyariah. Notulensi sidang, salah satunya mencatat, "Pemerintah memperkuat perintah Tuhan dan tidak boleh melanggar hukum Islam" (h.175). Kuatnya aspirasi forum ini pada titik tertentu menambah konfidensi Soekarno untuk membawanya ke forum yang lebih besar lagi (pleno). Soekarno sepertinya menggunakan taktik snowball; menciptakan gundukan besar diawali oleh gulungan kecil, mirip bola salju.

MUKADDIMAH AKHIRNYA DIBACAKAN
Rapat Pleno BPUPK dilangsungkan 10-17 Juli 1945. Salah satunya, meminta pertanggungjawaban Panitia 8 yang diketuai Soekarno. Pada tanggal 10 Juli, hari pertama rapat, secara formal dia melaporkan telah membuat Panitia 9 atas mandat pertemuan 22 Juni. Untuk pertama kalinya, draft Mukaddimah/ Piagam Jakarta/Gentlemen's Agreement disampaikan. "Marilah sekarang saya bacakan usul rancangan pembukaan itu kepada tuan-tuan," kata Soekarno. 

"Pembukaan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusian dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat-sentausa mengantarkan Rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dcngan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kernerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan Sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan Rakyat, dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sekianlah tuan-tuan yang terhormat, paduka tuan Kaityoo yang termulia, rancangan prembule yang diusulkan oleh Panitia Kecil Penyelidik usul-usul." (h. 213-214)

Ki Bagus Hadikusumo yang dikenal sebagai pendukung utama Indonesia bersyariah menyatakan mufakat dengan draft tersebut. (222-223). Soekiman, satu kubu dengan Ki Bagus Hadikusumo, juga merasa lega dengan draft dan menyebutnya sebagai Gentlement Agreement. Tidak ada satu pun peserta sidang keberatan dengan draft Mukaddimah yang disampaikan Soekarno. Rapat selanjutnya lebih banyak menyoal apakah negara akan berbentuk republik, kerajaaan atau lainnya. Tidak ada kata sepakat sehingga memaksa Radjiman melaksanakan voting. Hasilnya; 55 setuju republik, 6 kerajaan, 2 lain-lain dan 1 kosong. (h. 238). 

GEGERAN KETUHANAN
Gegeran Piagam Jakarta akhirnya berlangsung pada sidang hari kedua, 11 Juli 1945. Saat itu topik sidang yang dibahas seputar warga negara. Dalam rapat ini, untuk pertama kalinya Latuharhary menentang "Ketuhanan" setelah Soekarno bertanya pada forum, "... Apakah tuang-tuan mufakat dengan pokok-pokok sekaligus dari preambule?"

"Saya tidak setuju dengan semuanya, yaitu dengan perkataan tentang 'Ke-tuhanan',"  sahut Latuharhary. (h. 306)

Salah satu anggota sidang, Sartono, menimpali Latuharhary;  bahwa kalimat-kalimat tersebut akan dibicarakan nanti. Yang dimaksud dengan "kalimat-kalimat tersebut," adalah "...ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,"

Soekarno, sebagai pimpinan rapat, mengemukakan hal yang disinggung Latuharhary dapat melambatkan ikhtiar pembahasan ini. "Jadi tentang pokok-pokok sudah setuju? Kemudian apakah tuan Latuharhary sudah memikirkan kalau ini diubah maka melambatkan ikhtiar kita menyusun hukum dasar, artinya pihak Islam tidak mufakat. 

Latuharhary tampat tidak menggubris "injakan rem" yang dilakukan Sartono dan Soekarno. Alih-alih, ia justru mengungkap pergulatan pikirannya. "Akibatnya akan besar sekali. Umpamanya terhadap pada agama lain. Maka dari tiu saya harap supaya dalam hukm dasat, meskipun in berlaku buat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan apapun juga yang dapat membawa perasaan tidak senang pada golongan-golongan yang bersangkutan,"

Laturhary terus saja berbicara, tak mau berhenti. "Umpamanya dalam hal ini '...yang mewajibkan syariat Islam pada pemeluk-pemeluknya' yaitu bagaimana mewajibkan untuk menjalankan? Salah satu anggota menyatakan pada saya bahwa terhadap pada adat istiadat di Minangkabau, rakyat yang menjalankan agama Islamnya harus meninggalkan adat istiadatnya,"

Pria ini terus saja berbicara. Kali ini ia mencoba mengeksplorasi lebih lanjut terkait konskuensi atas adat istiadat. "...Dan umpamanya di Maluku hak tanah bersandar atas adat istiadat sepenuhnya. Agama Islam maupun Kristen dalam hal ini tidak mencampuri. Kalau diwajibkan pada pemeluknya-pemeluknya agama Islam untuk menjalankan syariat Islam, sudah tentu kalimat ini akan digunakan terhadap pada adat istiadat di sini, umpamanya terhadap hak tanah. Tanah itu bukan saja diwariskan pada anak-anak yang beragama Islam tetapi juga yang beragama Kristen. Jadi kalimat semacam itu dapat membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap pada adat istiadat. Oleh sebab itu baiklah kita mencari modus lain yang tidak membawa akibat yang bisa mengacaukan rakyat."

Soekarno tidak merespon isi argumentasi Latuharhary terkait tanah dan syariat Islam. Alih-alih, ia terlihat sedemikian kuatir keinginan Latuharhary mendapat tentangan kelompok Islam dan sekaligus ini berarti akan memperlambat proses persidangan.

"Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam. Jadi manakala kalimat ini tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini, jadi perselisihan nanti terus." timpal Soekarno. (h. 306)

Latuharhary memang tidak masuk Panitia 8, tim resmi bentukan sidang, maupun Panitia 9, tim tidak resmi bentukan Soekarno. Dalam dua kepanitiaan yang bertugas menyusun draft Dasar Negara dibawah Soekarno, sebagai ketua panitia, tercatat hanya A.A. Maramis saja yang beragama Kristen dan sekaligus wakil Indonesia Timur. 

Saya tidak memahami kenapa hanya ada 1 orang yang mewakili Kristen dan wilayah Indonesia Timur. Terkait Maramis, dalam buku tersebut, tidak satu kalipun ia bersikap menyangkut aspek syariat Islam. Ia hanya bersuara terkait daerah mana saja yang akan masuk wilayah Indonesia Merdeka (h. 259-260) dan mendukung usulan Soekarno agar Yamin masuk dalam Panitia Hukum Dasar (h. 298) serta terkait pentingnya trias politica. (h. 309)

Meski juga tidak masuk dalam Panitia 8 dan Panitia 9, Agoes Salim yang hadir dalam rapat tersebut mencoba mengemukakan pikirannya, berupaya merasionalisasi kenapa perlu ada jaminan syariat Islam dalam preambule. 

"Orang Minangkabau bukan Islam sejak sekarang, malah orang Minangkabau dapat nama paling Islamnya di Indonesia ini. Berhubung dengan adat Minangkabau dan pertikaian atau sasaran adat Minangkabau dengan hukum Islam bukanlah masalah baru. Hal itu tidak dapat dijalankan dengan paksaan. Cuma saja saya percaya bahwa perubahan aliran adat pada kita pihak Islam kepada syariat Islam adalah satu perkara yang dengan sengaja harus dijaga oleh kekuasaan pemerintah, sehingga kalau boleh dijalankan dengan jernih dan tegas, pertikaian di Minangkabau itu sudah selesai, bisa ditentukan dimana dasar hukum adat dan dimana dasar hukum Agama. Jadi itu suatu perkara yang tidak akan menerbitkan kekacauan sebagaimana yang disangkakan,"

Agoes Salim bahkan menyatakan umat Islam wajib menjalankan syariat biarpun tidak ada Indonesia merdeka. "Kedua, wajib umat Islam menjalankan syariat, biarpun tidak ada Indonesia Merdeka, biarpun tidak ada hukum dasar Indonesia itu adalah satu hak umat Islam yang dipegangnya. Cuma kalau kita sesuaikan pikiran kita tentang itu, umat Islam menjalankan haknya dalam persetujuan pikiran dengan segala orang Indonesia. Dan kalau kita tidak membenarkan itu, umat Islam akan merasa berkeajiban menjalankan itu. Disamping itu riwayat adat dan agama kita memberi kepercayaan sedikit bahwa umat Islam di negeri-negeri adat tidak akan berlaku dengan......(sic!) melainkan kalau diakui, lebih tenang perjalanannya daripada kalau dihalangi agamanya seperti seperti dirasakan di jaman yang lalu. Saya rasa buat membikin sakit tidak aman, sebab saya yakin keamanan bangsa-bangsa yang tidak beragama Islam dalam 300 tahun yang lalu itu tidak berdasar kepada kekuasaan Balatentara, tetapi pada adat-istiadatnya umat Islam yang 90% itu." 

Kekuatiran Salim orang Islam Indonesia akan menderita lagi sepertinya didasarkan pada bagaimana perlakuan rezim Hindia Belanda terhadap umat Islam selama ini. Rezim yang dikendalikan Pemerintah Belanda dengan corak kekristenannya tidak bisa dikatakan adil terhadap umat Islam, setidaknya menurut M. Natsir dalam bukunya "Islam dan Kristen di Indonesia" terbit 1969.

Baik Soekarno maupun Latuharhary tidak merespon panjang lebar pikiran Agus Salim.  Namun beberapa anggota sidang ikut merespon masalah ini.

"Seandainya tidak diubah tetapi ditambahi lagi pemeluk-pemeluk agama lain dengan mencoret agamanya masing-masing," kata Wongsonagoro, anggota rapat lainnya, mencoba mencarikan jalan keluar. 

Prof. Hosein Djajadiningrat juga mencoba melontarkan pertanyaan kritis, mendukung Latuharhary, "Apakah ini tidak bisa menimbulkan fanatisme, misalnya memaksa sembahyang, memaksa sholat dan lain-lain,"

Soekarno dan Latuharhary masih terdiam. Justru Wahid Hasyim, bapaknya Gus Dur, yang juga merupakan anggota Panitia 8 dan Panitia 9, angkat bicara, berusaha melunakkan Latuharhary dan menormalisasi ketegangan forum.

"Ini semuanya tergantung kepada jalannya dan oleh karena kita sudah berkali-kali menegaskan diantara kita semua bahwa sususnan pmenerintahan didasarkan tas perwakilan dan permusyawaratan, jadi kalau ada kejadian paksaan, soal ini dapat dimajukan dan diselesaikan.,"

Putra K.H. Hasyim Asyari ini kemudian melanjutkan pembicaraannya. "Dalam hal ini saya perlu memberikan keterangan sedikit. Seperti kemarin telah dikatakan oleh anggota Sanoesi, kalimat ini baginya kurang tajam. Saya sudah mengemukaan bahwa ini hasil kompromis yang kita peroleh, dan jika dijadikan lebih tajam, bisa menimbulkan kesukaran."

Wahid Hasyim menambahkan, "Kita tidak usah khawatir dan saya rasa bagi kita masih banyak daya upaya untuk menjaga jangan sampai kejadian hal-hal yang kita kuatirkan, malah  saya yakin tidak akan terjadi apa yang dikuatirkan. Saya sebagai orang yang banyak sedkitnya memmpunyai perhubungan dengan masyarakat Islam dapat mengatakan bahwa jika masih ada badan perwakilan, kejadian itu tidak akan terjadi. Saya kemukakan ini supaya soal ini tidak menjadi pembicaraan panjang lebar, hingga menimbulkan macam-macam kekuatiran yang sebenarnya tidak dirasa."

Wahid Hasyim bahkan mengatakan, "Dan jika yang kurang puas karena seakan-akan terlalu tajam, saya katakan bahwa masih ada yang berpikir sebaliknya, sampai ada yang menanyakan pada saya apakah dengan ketetapan yang demikian itu orang Islam sudah boleh berjuang menyeburkan jiwanya untuk negara yang kita dirikan ini. Jadi, dengan ini saya minta supaya hal ini jangan diperpanjang."

Latuharhary tetap tidak merespon. Penegasan Wahid Hasyim supaya masalah ini tidak lagi diungkit-ungkit, seakan memberi angin segar pada Soekarno sebagai ketua sidang.

"Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat 'dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' sudah dterima oleh panitia ini. Kemudian pokok lain, saya kira tidak ada yang menolaknya. Dengan demikian semua pokok-pokok pikiran yang termasuk dalam prembule dibenarkan oleh Panitia sekarang." (h. 308)

Rapat ini kemudian membahas hal lainnya. Rapat ini adalah sebagian dari berbagai fragmen persidangan BPUPK terkait syariat Islam. Dalam rapat besar (pleno) 15 Juli, membahas perancangan Undang-Undang Dasar, Wahid Hasyim bertindak lebih jauh. Ia mengusulkan Presiden tidak hanya harus Indonesia asli namun juga beragama Islam. Begitu pula, agama negara adalah agama Islam. 

Bagaimana kelanjutannya? Akankan BPUPK yang digawangi Soekarno dan Radjiman meloloskannya?.(*)

Tuesday, February 11, 2025

Cinta Dua Dunia


Bagiku Meet Joe Black adalah salah satu film paling romantis. Tak bosan aku menontonnya. Entah sudah berapa kali.

Kisah percintaan Susan san Joe terbilang unik; relasi antara yang-profan dan yang-ilahiah. Susan manusia, sedangkan Joe adalah malaikat yang ditugasi mencabut nyawa Bill Parrish -- ayah Susan.


Untuk bisa masuk dalam dunia manusia, Joe, si malaikat "meminjam tubuh" manusia yang sudah mati, diperankan Brad Pitt yang masih sangat unyu. Peminjaman ini merupakan hal tak terelakkan. Jika tidak, bagaimana mungkin yang tak kasat mata bisa direngkuh oleh yang kasat mata? Dalan teologi, mungkin ini disebut inkarnasi.

Inkarnasi biasanya dekat dengan kekristenan. Namun sebenarnya, konsep ini merupakan hal yang sangat lumrah dan setiap hari terjadi dalam kehidupan kita, terutama untuk mengkonkritkan apa yang masih abstrak.

Cinta, kangen, setia merupakan hal abstrak yang ada dalam diri kita. Kesemuanya berkaitan dengan orang lain yang membutuhkan pembuktian, butuh "tubuh" -- seperti halnya Joe.

"Kamu sayang, kangen dan cinta padaku? Buktikan!"

Ketika seseorang mengucapkan kalimat ini pada kekasihnya, ia sebenarnya meminta bentuk konkrit dari ketiganya yang masih abstrak dan nggak jelas.

Manusia telah diciptakan sedemikian rupa, termasuk hanya bisa memahami apa yang dianggapnya sejalan dengan pikiran umum dan masuk akal. Dalam perkembangannya pikiran umum dan masuk akal ini (seharusnya) dinavigasi ilmu pengetahuan.

Jadi, kalau ada perempuan hamil, padahal ia tidak punya suami atau pacar, dan mengaku kehamilan tersebut akibat bersetubuh dengan gendruwo atau malaikat, maka hal tersebut sulit diterima akal publik, --sama sulitnya menerima pengakuan kehamilan tanpa campur tangan laki-laki.

Publik dan akal sehat akan bisa menerima manakala gendruwo atau malaikat tadi terlebih dahulu "meminjam" tubuh manusia, dan melakukan tindakan-tindakan manusiawiah.

Di titik ini, tidak mengherankan manakala narasi al-Quran seputar kehamilan Maryam begitu kuat menyebut kehadiran Jibril (roh kudus) dalam bentuk manusia yang sempurna -- mirip cerita Joe Black. Maryam tetap kudus, bukan karena ia hamil tanpa intervensi manusia. Melainkan, kekudusan tersebut bisa jadi disebabkan ia mengandung benih suci dari Tuhan "melalui" perantar Jibril yang sebelumnya menjelma dalam tubuh manusia.

Cara berpikir seperti ini ditawarkan Abdul Kadeer saat memahami teks Alquran seputar kehamilan Maryam. Kadeer nampaknya begitu kuat mewarisi tradisi Maturidi; akal sehat (rasio) adalah satu-satunya piranti dalam memahami teks suci. Tidak ada piranti lain.


Demikian juga halnya dengan Tuhan; ia adalah konsep yang super duper abstrak dan mustahil bisa dikenal, apalagi disayang dan disembah, oleh manusia. Agar Tuhan bisa mendarat mulus dalam akal manusia maka proyek awal dan krusial banyak agama adalah perlombaan "meminjami" Tuhan berbagai atribut manusiawiah, agar ia bisa dikenal, ditakuti dan disayang --bahkan dijadikan alat kooptasi manusia atas-- manusia.

Namun demikian, harap dicatat; sekuat dan segamblang apapun manusia menginkarnasikan Tuhan dalam wujud apapun, kita tetap perlu menyadari bahwa Tuhan memiliki bentuknya sendiri, yang hanya dia yang tahu. Inilah aspek misteriusitasnya.

Tanpa misteriusitas, perlombaan dalam mendefinisikan Tuhan akan berakhir. Tak jarang kita terobsesi memutlakkan apa yang sebenarnya berstatus misterius. Pemutlakan ini, padahal, kerapkali berujung pada ketidaktoleranan kita atas tafsir lain yang berbeda dengan kita.

Joe dan Susan, di akhir cerita, menjalani takdir hidup bersama, setelah Joe "mengantarkan" ayah Susah bertemu Tuhan. Joe kembali menjadi Joe karena malaikat pencabut nyawa tidak lagi membutuhkan tubuhnya.

Thursday, February 6, 2025

Kardinal Benitez, "Pope Innocentia" yang Memiliki Rahim



Dalam film Conclave (2024) besutan Edward Berger, gelar Innocentia dipilih Kardinal Benitez saat ia dinobatkan sebagai Paus terpilih, pemimpin tertinggi Katolik di Vatikan. 


Meski tentu saja Conclave merupakan film fiksi, namun dalam realitasnya tercatat setidaknya ada 13 Paus bergelar Innocent. Yang terakhir adalah Pope Innocent XIII (1721-1724) 


“..it’s a name of purity without any preconceptions," kata sutradara Berger ketika ditanya alasan memilih gelar Innocentia bagi Kardinal Benitez yang diperankan Carlos Diehz, seperti dikutip Vanity Fair (10/2024).


Film Conclave dengan keberaniannya mendeskripsikan keunikan Benitez. Ia digambarkan memiliki rahim, meski "tampilan luar"nya terlihat sedemikian maskulin. 


Dalam percakapan personal dengan Kardinal Lawrence, Benitez mengakui dirinya pernah diminta khusus, bahkan dibiayai secara personal, oleh Paus sebelumnya untuk melakukan apa yang disebut histerektomi laparoskopi. 


Istilah ini merujuk pada prosedur pembedahan minimalis-invasif. Sayatan kecil dibuat di perut untuk memasukkan alat yang dilengkapi kamera (laparoskopi), untuk tujuan mengangkat rahim (histerektomi). Laparoskopi juga dikenal dengan sebutan bedah teropong.


Dalam dunia medis, pengangkatan rahim setidaknya bisa dilakukan menggunakan tiga prosedur; histerektomi vaginal, histerektomi abdominal dan histerektomi laparoskopi. 


Prosedur terakhir tadi diklaim memiliki beberapa keunggulan, misalnya; waktu pemulihan lebih cepat, rasa sakit yang lebih sedikit, serta risiko infeksi yang lebih rendah. Kardinal Benitez disarankan Paus sebelumnya memilih prosedur ini. Namun ia tidak melakukannya. Artinya ia membiarkan dirinya memiliki rahim.


Pertanyaan pentingnya; bagaimana mungkin seorang kardinal, yang wajib berjenis kelamin secara biologis, ternyata memiliki rahim -- yang kita tahu merupakan perangkat biologis wanita (female).


Di sinilah inti dari film Conclave. Kita tengah disuguhi berbagai kemungkinan terjadinya peristiwa yang selama ini sangat jarang kita pikirkan. 


Aku haqqul yakin Kardinal Benitez merasa dirinya laki-laki (man). Namun demikian ia tidak bisa menolak anugerah organ reproduksi wanita (female) dalam bentuk rahim dari Gusti. Identitas yang ia rasakan dan yakini tidak linear dengan karakteristik seksual yang ia miliki. 


Dalam dunia gender dan seksualitas, Kardinal Benitez dapat disebut sebagai seorang interseks, yang memiliki situasi female to male transsexual (FtM) -- yakni mereka yang dianggap berjenis kelamin wanita (female) saat lahir -- biasanya karena dianggap memiliki ciri biologis wanita-- namun saat dewasa pemilik tubuh merasa dirinya laki-laki -- baik karena ia merasa jiwanya laki-laki dan/atau karena ia meyakini punya ciri seksual laki-laki (male).


Salah satu pakar yang mendedikasikan diri meriset terkait hal ini adalah Aaron Holly Devor, University of Victoria British Columbia Kanada. Ia, pada 1997, menerbitkan buku berjudul "FTM : female-to-male transsexuals in society ," Isinya, memuat pengalaman hidup 45 orang yang dianugerahi keunikan seperti Kardinal Benitez.


Yang aku ketahui, biasanya saat dewasa, pemilik tubuh menginginkan adanya kepastian dan, untuk itu, ia memilih operasi penyesuaian jenis kelamin (sex reassigment surgery).


Saat meneliti berbagai dokumen dua tahun terakhir ini, aku menemukan lebih dari 25 orang Indonesia memiliki kondisi FtM. Dengan berani mereka memutuskan maju ke pengadilan untuk "merebut" identitas yang diinginkannya. Hanya saja, aku belum menemukan mereka yang melakukan histerektomi laparoskopi. 


Ada satu nama muncul dari data Mahkamah Agung. Namanya Dela, terlahir perempuan --setidaknya menurut identitas jenis kelamin di KTP dan Akta Kelahiran -- pada 1992. Ia melakukan proses histerektomi; tidak jelas apakah laparoskopi, vaginal atau abdominal. 


Dela melakukan transisi FtM sebagai bagian menjadi dirinya seutuhnya. Setelah operasi histerektominya selesai ia mengakukan permohonan perubahan identitas -- dari perempuan menjadi laki-laki -- ke PN. Jakarta Timur Oktober 2020. 


Permohonan Dela dikabulkan. Ia mengubah namanya menjadi Rafardhan.


Tidak perlu berimajinasi Kardinal Benitez akan maju ke pengadilan, menegaskan identitas yang diinginkan sebagaimana Rafardhan. Sebab, pilihan Benitez mempertahankan rahimnya sudah merupakan ketegasan yang harus dihormati setiap orang, termasuk kita.(*)





Tuesday, February 4, 2025

CONCLAVE (2024): HARUSNYA MASUK KATEGORI FILM "PENISTAAN AGAMA"


Imajinasi Robert Harris memang liar, namun patut diacungi jempol. Meski tidak membacanya, aku benar-benar menikmati ketegangan film Conclave. Film tersebut diambil berdasarkan novel dengan judul sama karya Harris. 


Sebagai sutradara, Edward Berger bisa dikatakan nyaris sempurna mengadaptasinya ke layar lebar. Musik dan sinematografi berpadu serasi. Para pemainnya sangat optimal berakting. 


Dan yang paling utama; alur ceritanya! Berger membuat fim ini sanggup menahan penonton berdebar-debar; siapa yang akhirnya terpilih menjadi Paus. 


Tentu saja Conclave adalah film fiksi. Ceritanya tidak benar-benar terjadi. Namun pengetahuan penulis novel dan sutradara terhadap rumah tangga Vatikan tidak bisa disepelekan.


Conclave bercerita seputar pemilihan Paus yang penuh intrik. Dalam imajinasi Harris, forum Katolik paling sakral untuk memilih wakil Tuhan digambarkan begitu manusiawi; mirip kontestasi politik elektoral.


Money politik, black campaign, dan aneka intrik politik lainnya ditampilkan cukup benderang meski tidak vulgar. 



Ada kandidat yang meraup suara terbanyak dalam pemilihan awal, akhirnya mundur dari kompetisi. Ia nangis sesunggukan saat Kardinal Lawrence, pemimpin pemilihan, mendatanginya sembari mengungkit aib kandidat yang terjadi 30 tahun lalu. 


Satu per satu para kandidat ia rontokkan karena dianggap tidak pantas menduduki orang nomor satu di Vatikan.


Cerita film ini dipusatkan pada sosok Kardinal Lawrence dan upayanya memastikan Paus terpilih tidak menyisakan masalah di kemudian hari. 


Conclave menurutku menawarkan ketegangan tersendiri. Aku belum pernah merasakan ketegangan unik seperti ini. Ketegangan serupa pernah aku rasakan ketika menonton film Katolik lainnya, Spotlight. 


Keteganganku sebenarnya sudah cukup terpuaskan atas terpilihnya Kardinal Benitez, uskup agung Kabul Afghanistan, yang unik kemunculannya sejak awal. 


Bayangkan saja, ia tiba-tiba muncul ke Vatikan, dengan pakaian lusuh, mengaku sebagai seorang kardinal dan, tidak ada satupun dari seratusan lebih kardinal yang mengenalnya, termasuk Kardinal Lawrence sendiri. 


Lawrence tak bisa berbuat banyak karena Benitez menunjukkan surat pengangkatan resmi yang ditandatangi Paus terdahulu. 


Dalam catatan Vatikan, Benitez dianggap memiliki masalah kesehatan. Ia pernah diminta Paus sebelumnya pergi ke Swiss terkait hal itu. 



Benitez yang awalnya tidak diperhitungkan dalam kompetisi ini berhasil mencuri perhatian di menit-menit terakhir pemilihan. Ia akhirnya terpilih menjadi Paus baru.


Saat Lawrence menanyai kesediaan Benitez memangku jabatan barunya sebagai Paus, ia tidak langsung menjawabnya. 


Lawrence menanyakan lagi dan akhirnya dijawab Benitez. Paus baru memilih "Innocentia" sebagai gelar barunya. 


Aku pikir semua sudah selesai. Ternyata tidak. 


Monsinyur Ray yang selama ini menjadi tangan kanan Lawrence mendatangi Lawrence dengan tergopoh-gopoh. 


"I wonder if I could have a word in private. I should have told you this morning when I found out, but with everything that-- and I didn't dream that Cardinal Benitez

would become..." kata Ray dengan muka tegang dan galau.



"Ray, please tell me what's troubling you." sahut Kardinal Lawrence. 

"I found out.. Switzerland..." ujar Ray terbata-bata terlihat menanggung perasaan bersalah yang cukup berat.


Sontak aku tergeragap, memelototkan mata, padahal laptop sudah hampir aku matikan karena film aku anggap sudah usai. 


Aku merasa ada yang salah dengan Kardinal Benitez, Paus terpilih. Aku menebak-nebak sekuat tenaga namun tak pernah menduga Benitez mengalami situasi unik dan komplek seperti ini. 


Kepada Kardinal Lawrence, Benitez buka-bukaan atas situasinya, tak terkecuali kenapa Paus terdahulu memintanya melakukan 'pengobatan" ke Swiss -- meski ia memilih tidak melakukan hal tersebut. 


Kamu boleh percaya boleh tidak. Aku sempat mempause film sejenak, hanya untuk menggoogling istilah yang disampaikan Benitez. Tidak hanya itu, aku pergi ke Youtube untuk lebih memahami prosedur teknis dari istilah tersebut.


"...Laparoscopic hysterectomy. I am what God made me. And perhaps it is my difference that will make me more useful. I think again of your sermon. I know what it is to exist," ujar Benitez kepada Lawrence yang telihat masih syok dengan pengakuan Benitez. 



Benitez memang tidak salah merujuk khotbah Kardinal Lawrence saat membuka acara pemilihan Paus. Ia sempat membuat kehebohan gara-gara khotbah kontroversialnya -- aku tersengat ketika mendengarnya.


"..there is one sin which I have come to fear above all others. Certainty. Certainty is the great enemy of unity. Certainty is the deadly enemy of tolerance. Even Christ was not certain at the end. He cried out in his agony at the ninth hour on the cross. Our faith is a living thing precisely because it walks hand in hand with doubt. If there was only certainty and no doubt, there would be no mystery. And therefore no need for faith. Let us pray that God will grant us a pope who doubts. And let him grant us a pope who sins and asks for forgiveness and who carries on."

Conclave menurutku menawarkan kemungkinan --bahkan terhadap sesuatu yang selama ini telah kita anggap bersifat pasti sekalipun; termasuk dalam hal kepastian jenis kelamin. Kemungkinan hanya bisa terjadi kalau kita kita tidak mengunci semuanya dengan label "kepastian," 


Tidak ada yang pasti, bahkan terhadap jaminan keselamatan yang selama ini, katakanlah, ditawarkan oleh agama/keyakinan kita. 


Keyakinan bahwa semua bersifat pasti akan membuat kita tidak toleran dan mematikan peradaban. Harris dan Berger telah melakukan "kekurangajaran yang sempurna" dengan cara menawarkan kemungkinan radikal di tubuh kepausan. 


Jika tidak ingin mengalami misteriusitas yang intens dalam beragama, sebaiknya tidak perlu menonton Conclave. Sangat mungkin film ini akan dilabeli menista agama seandainya terjadi di agamaku.

CONCLAVE (2024): HARUSNYA MASUK KATEGORI FILM "PENISTAAN AGAMA"


Imajinasi Robert Harris memang liar, namun patut diacungi jempol. Meski tidak membacanya, aku benar-benar menikmati ketegangan film Conclave. Film tersebut diambil berdasarkan novel dengan judul sama karya Harris. 


Sebagai sutradara, Edward Berger bisa dikatakan nyaris sempurna mengadaptasinya ke layar lebar. Musik dan sinematografi berpadu serasi. Para pemainnya sangat optimal berakting. 


Dan yang paling utama; alur ceritanya! Berger membuat fim ini sanggup menahan penonton berdebar-debar; siapa yang akhirnya terpilih menjadi Paus. 


Tentu saja Conclave adalah film fiksi. Ceritanya tidak benar-benar terjadi. Namun pengetahuan penulis novel dan sutradara terhadap rumah tangga Vatikan tidak bisa disepelekan.


Conclave bercerita seputar pemilihan Paus yang penuh intrik. Dalam imajinasi Harris, forum Katolik paling sakral untuk memilih wakil Tuhan digambarkan begitu manusiawi; mirip kontestasi politik elektoral.


Money politik, black campaign, dan aneka intrik politik lainnya ditampilkan cukup benderang meski tidak vulgar. 



Ada kandidat yang meraup suara terbanyak dalam pemilihan awal, akhirnya mundur dari kompetisi. Ia nangis sesunggukan saat Kardinal Lawrence, pemimpin pemilihan, mendatanginya sembari mengungkit aib kandidat yang terjadi 30 tahun lalu. 


Satu per satu para kandidat ia rontokkan karena dianggap tidak pantas menduduki orang nomor satu di Vatikan.


Cerita film ini dipusatkan pada sosok Kardinal Lawrence dan upayanya memastikan Paus terpilih tidak menyisakan masalah di kemudian hari. 


Conclave menurutku menawarkan ketegangan tersendiri. Aku belum pernah merasakan ketegangan unik seperti ini. Ketegangan serupa pernah aku rasakan ketika menonton film Katolik lainnya, Spotlight. 


Keteganganku sebenarnya sudah cukup terpuaskan atas terpilihnya Kardinal Benitez, uskup agung Kabul Afghanistan, yang unik kemunculannya sejak awal. 


Bayangkan saja, ia tiba-tiba muncul ke Vatikan, dengan pakaian lusuh, mengaku sebagai seorang kardinal dan, tidak ada satupun dari seratusan lebih kardinal yang mengenalnya, termasuk Kardinal Lawrence sendiri. 


Lawrence tak bisa berbuat banyak karena Benitez menunjukkan surat pengangkatan resmi yang ditandatangi Paus terdahulu. 


Dalam catatan Vatikan, Benitez dianggap memiliki masalah kesehatan. Ia pernah diminta Paus sebelumnya pergi ke Swiss terkait hal itu. 



Benitez yang awalnya tidak diperhitungkan dalam kompetisi ini berhasil mencuri perhatian di menit-menit terakhir pemilihan. Ia akhirnya terpilih menjadi Paus baru.


Saat Lawrence menanyai kesediaan Benitez memangku jabatan barunya sebagai Paus, ia tidak langsung menjawabnya. 


Lawrence menanyakan lagi dan akhirnya dijawab Benitez. Paus baru memilih "Innocentia" sebagai gelar barunya. 


Aku pikir semua sudah selesai. Ternyata tidak. 


Monsinyur Ray yang selama ini menjadi tangan kanan Lawrence mendatangi Lawrence dengan tergopoh-gopoh. 


"I wonder if I could have a word in private. I should have told you this morning when I found out, but with everything that-- and I didn't dream that Cardinal Benitez

would become..." kata Ray dengan muka tegang dan galau.



"Ray, please tell me what's troubling you." sahut Kardinal Lawrence. 

"I found out.. Switzerland..." ujar Ray terbata-bata terlihat menanggung perasaan bersalah yang cukup berat.


Sontak aku tergeragap, memelototkan mata, padahal laptop sudah hampir aku matikan karena film aku anggap sudah usai. 


Aku merasa ada yang salah dengan Kardinal Benitez, Paus terpilih. Aku menebak-nebak sekuat tenaga namun tak pernah menduga Benitez mengalami situasi unik dan komplek seperti ini. 


Kepada Kardinal Lawrence, Benitez buka-bukaan atas situasinya, tak terkecuali kenapa Paus terdahulu memintanya melakukan 'pengobatan" ke Swiss -- meski ia memilih tidak melakukan hal tersebut. 


Kamu boleh percaya boleh tidak. Aku sempat mempause film sejenak, hanya untuk menggoogling istilah yang disampaikan Benitez. Tidak hanya itu, aku pergi ke Youtube untuk lebih memahami prosedur teknis dari istilah tersebut.


"...Laparoscopic hysterectomy. I am what God made me. And perhaps it is my difference that will make me more useful. I think again of your sermon. I know what it is to exist," ujar Benitez kepada Lawrence yang telihat masih syok dengan pengakuan Benitez. 



Benitez memang tidak salah merujuk khotbah Kardinal Lawrence saat membuka acara pemilihan Paus. Ia sempat membuat kehebohan gara-gara khotbah kontroversialnya -- aku tersengat ketika mendengarnya.


"..there is one sin which I have come to fear above all others. Certainty. Certainty is the great enemy of unity. Certainty is the deadly enemy of tolerance. Even Christ was not certain at the end. He cried out in his agony at the ninth hour on the cross. Our faith is a living thing precisely because it walks hand in hand with doubt. If there was only certainty and no doubt, there would be no mystery. And therefore no need for faith. Let us pray that God will grant us a pope who doubts. And let him grant us a pope who sins and asks for forgiveness and who carries on."

Conclave menurutku menawarkan kemungkinan --bahkan terhadap sesuatu yang selama ini telah kita anggap bersifat pasti sekalipun; termasuk dalam hal kepastian jenis kelamin. Kemungkinan hanya bisa terjadi kalau kita kita tidak mengunci semuanya dengan label "kepastian," 


Tidak ada yang pasti, bahkan terhadap jaminan keselamatan yang selama ini, katakanlah, ditawarkan oleh agama/keyakinan kita. 


Keyakinan bahwa semua bersifat pasti akan membuat kita tidak toleran dan mematikan peradaban. Harris dan Berger telah melakukan "kekurangajaran yang sempurna" dengan cara menawarkan kemungkinan radikal di tubuh kepausan. 


Jika tidak ingin mengalami misteriusitas yang intens dalam beragama, sebaiknya tidak perlu menonton Conclave. Sangat mungkin film ini akan dilabeli menista agama seandainya terjadi di agamaku.

Saturday, February 1, 2025

Lucas Magalhaes; Toleransi Sampai Mati




Bahkan ketika telah meninggal pun, Pak Lucas, Katolik taat ini, masih tetap mengundang para tetangga islamnya untuk mendoakan dirinya secara Islam, sebagaimana yang biasa ia lakukan untuk almarhumah istrinya.

** 

Pak Lucas adalah penganut Katolik taat, kelahiran NTT, kerap mengundangku memimpin doa secara Islam untuk almarhum istrinya, mbak Yayuk. Istrinya juga Katolik taat, konversi dari Islam. Pak Lucas adalah PNS yang memiliki pangkat eselon tertinggi di Pemkab Jombang; IVE. 

"Kalau dalam militer, ia mungkin sudah setara dengan laksamana. Pak Sekda saja belum segitu eselonnya," tutur mas Rudy, koleganya, saat memberikan kesaksian dalam 40 hari wafat Pak Lucas, Rabu (29/1). 

Aku sendiri baru tahu ia memiliki pangkat sedemikan tinggi. Selama ini, sebagai ASN, ia memilih berkarir secara fungsional, bukan struktural. Ia memilih sebagai peneliti yang menginduk di Bappeda. 

Kabarnya ia adalah satu-satunya ASN peneliti di Pemkab Jombang, Padahal, dengan eselon sedemikian tinggi, ia harusnya cukup layak menjabat sebagai kepala dinas. 

Mungkin ia memilih nyaman sebagai peneliti, meninggalkan aneka kenikmatan dan kerumitan sebagai pejabat struktural. Atau, bisa jadi ia tidak terpilih sebagai kepala dinas karena agamanya. Birokrasi Pemkab Kota Santri kadang memiliki logikanya sendiri menyangkut ASN non-Islam.

Pertemuan pertamaku dengannya terjadi sekitar awal tahun 2000an. Kami berdua kerap beradu pendapat dalam forum-forum diskusi kebijakan publik. 

Aku berlatar belakang LSM, ia merepresentasi pemerintah yang selalu aku kritisi, Perjumpaan kami berdua semakin membuat kami tidak lagi saling menganggap "musuh," 

Ketika ia di Bappeda Jombang, terutama selama kepemimpinan Pak Yanto dan Ali Fikri, beberapa kali aku menemuinya untuk memberikan masukan seputar berbagai kebijakan. Senyum senantiasa menghiasi wajahnya setiap kali kami ketemu. 


Sekitar seminggu lalu, Mbak Uut. wakil keluarganya mengontakku. Ia menyampaikan semacam wasiat dari alm. Pak Lucas; agar mengundangku dalam aneka ritual eskatologis Islami berkaitan dengan dirinya dan istrinya, termasuk ketika dia meninggal dunia.

Tentu saja aku tidak bisa menolak --bahkan merasa terhormat menerima -- wasiat tersebut. Pak Lucas adalah kawanku. Wasiatnya adalah legasi luarbiasa atas toleransi praktis yang belum tentu bisa dijalankan semua orang. 

"Kulo dewe durung mesti iso nglakoni sing sak niki dilakoni almarhum," kataku saat memberikan kesaksian di hadapan sekitar 50 orang, warga sekitar dan kolega, dalam acara 40 hari Doa Arwah, Rabu (29/1), sore hari, di rumah duka. Acara tersebut juga bertepatan dengan ulang tahun ke-61 almarhumah Mbak Yayuk, istri Pak Lucas.

Saat menerima undangannya, aku sedikit kaget karena judul undangannya "Doa Arwah," Istilah ini, bagi yang paham, merupakan kosakata terbatas di lingkungan Katolik. 

Kosakata ini nampaknya tidak terlalu dipakai oleh sebagian besar denominasi Protestan. Dalam urusan kematian Protestan terasa seperti Muhammadiyah; lebih fokus kepada yang hidup (keluarga yang ditinggalkan). Sedangkan Katolik, mirip NU; fokus pada yang mati dan yang hidup. 

Dalam dugaan awalku, undangan tersebut adalah doa arwah dalam lingkup Katolik. Aku diundang hadir untuk terlibat di sana, sama seperti perayaan Natal. 

Dugaanku meleset. 

Ternyata acara tersebut khusus dihadiri oleh para tetangga dan kolega Islam. 

"Tahlilan. Nanti Gus Aan dipun suwun keluarga menjadi MCnya," kata mbak Uut.
"Nggih, mbak. Tolong dikirimi rundownnya serta nama kiai yang akan memimpin tahlil," sahutku melalui WA.

Tiba di sana, aku masih belum mendapatkan rundown tersebut. Aku berpikir ini akan seperti acara tahlilan sebagaimana biasanya. 

Melalui Mas Teguh, adik dari istri Pak Lukas, aku mendapatkan gambaran format acaranya. Mas Teguh selalu hadir dan menjadi jangkar setiap acara ritual Islam di keluarga Pak Lucas. Dia adalah kolega istriku di SMKN 3 Jombang.

"Mas, aku usul, tahlilannya 5-7 menit saja. Sebelum tahlilan dimulai, kita bisa talk-show 10-15 menit," ujarku.
"Hah?! Talkshow?!" ia kaget.
"Betul, Kita bisa ngobrol seputar kenangan bersama almarhum. Nanti kita persilahkan beberapa orang bercerita kenangannya bersama almarhum dan pelajaran penting yang bisa kita petik bersama," 
"Wah menarik ini,"

Format tahlilan dicampur penyampaian narasi memori alamarhum(ah) ---apalagi dalam bentuk talkshow -- tidak terlalu dikenal dalam tradisi akarrumput Islam-Sunni-Jawa. 

Yang kerap terjadi, tahlilan dalam tradisi akarrumput biasanya berjalan dengan format baku; kiai/modin membuka acara, pembacaan tahlil, makan, pulang. Tidak ada ruang yang berani dibuka untuk mengenang kebaikan atau jasa almarhum(ah). 

Sangat mungkin karena ia dianggap terlalu suci untuk dibincang atau kekuatiran bisa memicu kesedihan lanjutan keluarga. Dalam amatanku, penyampaian narasi dalam ritual tahlil biasanya hanya terjadi di sebagian kecil kalangan elit --seandainya almarhum(ah) dianggap tokoh yang berpengaruh. 

Penyampaian narasi tersebut juga senantiasa mengambil mmodel monolog, sperti pengajian, dengan menunjuk satu tokoh. Model talkshow dalam ritual tahlilan, setahuku, hanya terjadi pada sosok Gus Dur oleh beberapa komunitas GDian.

"Pastikan, keluarga setuju dengan format ini ya, Mas," ujarku pada Mas Teguh. Ia kemudian memanggil Dhika, sulung Pak Lucas, untuk berdiskusi singkat dengan kami berdua. Ia nampak senang dengan usulan ini. 

Acara berjalan dengan sukse. Durasinya kurang lebih 30-40 menitan. Setelan pembukaan dan sambutan keluarga, mas Teguh memimpin talkshow. 

Ia membawakannya dengan cukup bagus. Kenang-kenangan indah banyak bermunculan. 

Aku melihat hampir semua undangan menikmatinya. Dalam kesaksian, aku menyatakan ke publik imajinasi kegembiraan Pak Lukas dan istrinya melihat forum sore hari ini. 

Dua Katolik taat yang telah berjumpa dengan Gustinya ini tetap dikenang dan didoakan tetangga dan kolega Islamnya.

"Mari kita melarungkan doa tahlil singkat kepada Pak Lukas dan Bu Yayuk nggih," kataku mulai memimpin tahlil.

Setelah acara selesai, aku disapa kawanku, salah satu undangan. Ia adalah Arif, tetangga Pak Lucas. 

Kami ngobrol, mengenang masa lalu saat sama-sama melayani di PCNU Jombag periode alm. Kiai Isrofil Amar. Aku bersyukur ia bisa hadir dalam acara ini.

"Tadi kalau masih ada waktu, aku sebenarnya ingin testimoni terkait Pak Luca, gus." ujarnya. 

Ia mengaku memiliki kesan mendalam terkait almarhum. Aku berjanji akan mengusulkan format talkshow seandainya keluarga Pak Lucas menyelenggarakan Doa Arwah seperti ini lagi. 

Pak Lucas dan Mbak Yayuk, pasangan Katolik taat ini, memang telah tiada, bertemu dengan gustinya. Namun demikian, keduanya tetap merawat legasi toleransinya melalui anak-anaknya serta keluarga besarnya. 

Keduanya senyatanya membawa kesejukan dan kedamaian bagi lingkunganya. Menurutku, ini sangatlah Katolik.

Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.

Terima kasih, Pak Lucas.(*)

Featured Post

Janji Pengharaman Jual Beli Jabatan WarSa, Hanya Gimmick?

Kita patut mengapresiasi pasangan WarSa, yang berani berkomitmen menolak --bahkan mengharamkan-- jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Jomb...