Sebagai sutradara, Edward Berger bisa dikatakan nyaris sempurna mengadaptasinya ke layar lebar. Musik dan sinematografi berpadu serasi. Para pemainnya sangat optimal berakting.
Dan yang paling utama; alur ceritanya! Berger membuat fim ini sanggup menahan penonton berdebar-debar; siapa yang akhirnya terpilih menjadi Paus.
Tentu saja Conclave adalah film fiksi. Ceritanya tidak benar-benar terjadi. Namun pengetahuan penulis novel dan sutradara terhadap rumah tangga Vatikan tidak bisa disepelekan.
Conclave bercerita seputar pemilihan Paus yang penuh intrik. Dalam imajinasi Harris, forum Katolik paling sakral untuk memilih wakil Tuhan digambarkan begitu manusiawi; mirip kontestasi politik elektoral.
Money politik, black campaign, dan aneka intrik politik lainnya ditampilkan cukup benderang meski tidak vulgar.
Satu per satu para kandidat ia rontokkan karena dianggap tidak pantas menduduki orang nomor satu di Vatikan.
Cerita film ini dipusatkan pada sosok Kardinal Lawrence dan upayanya memastikan Paus terpilih tidak menyisakan masalah di kemudian hari.
Conclave menurutku menawarkan ketegangan tersendiri. Aku belum pernah merasakan ketegangan unik seperti ini. Ketegangan serupa pernah aku rasakan ketika menonton film Katolik lainnya, Spotlight.
Keteganganku sebenarnya sudah cukup terpuaskan atas terpilihnya Kardinal Benitez, uskup agung Kabul Afghanistan, yang unik kemunculannya sejak awal.
Bayangkan saja, ia tiba-tiba muncul ke Vatikan, dengan pakaian lusuh, mengaku sebagai seorang kardinal dan, tidak ada satupun dari seratusan lebih kardinal yang mengenalnya, termasuk Kardinal Lawrence sendiri.
Lawrence tak bisa berbuat banyak karena Benitez menunjukkan surat pengangkatan resmi yang ditandatangi Paus terdahulu.
Dalam catatan Vatikan, Benitez dianggap memiliki masalah kesehatan. Ia pernah diminta Paus sebelumnya pergi ke Swiss terkait hal itu.
Saat Lawrence menanyai kesediaan Benitez memangku jabatan barunya sebagai Paus, ia tidak langsung menjawabnya.
Lawrence menanyakan lagi dan akhirnya dijawab Benitez. Paus baru memilih "Innocentia" sebagai gelar barunya.
Aku pikir semua sudah selesai. Ternyata tidak.
Monsinyur Ray yang selama ini menjadi tangan kanan Lawrence mendatangi Lawrence dengan tergopoh-gopoh.
"I wonder if I could have a word in private. I should have told you this morning when I found out, but with everything that-- and I didn't dream that Cardinal Benitez
would become..." kata Ray dengan muka tegang dan galau.
"I found out.. Switzerland..." ujar Ray terbata-bata terlihat menanggung perasaan bersalah yang cukup berat.
Sontak aku tergeragap, memelototkan mata, padahal laptop sudah hampir aku matikan karena film aku anggap sudah usai.
Aku merasa ada yang salah dengan Kardinal Benitez, Paus terpilih. Aku menebak-nebak sekuat tenaga namun tak pernah menduga Benitez mengalami situasi unik dan komplek seperti ini.
Kepada Kardinal Lawrence, Benitez buka-bukaan atas situasinya, tak terkecuali kenapa Paus terdahulu memintanya melakukan 'pengobatan" ke Swiss -- meski ia memilih tidak melakukan hal tersebut.
Kamu boleh percaya boleh tidak. Aku sempat mempause film sejenak, hanya untuk menggoogling istilah yang disampaikan Benitez. Tidak hanya itu, aku pergi ke Youtube untuk lebih memahami prosedur teknis dari istilah tersebut.
"...Laparoscopic hysterectomy. I am what God made me. And perhaps it is my difference that will make me more useful. I think again of your sermon. I know what it is to exist," ujar Benitez kepada Lawrence yang telihat masih syok dengan pengakuan Benitez.
"..there is one sin which I have come to fear above all others. Certainty. Certainty is the great enemy of unity. Certainty is the deadly enemy of tolerance. Even Christ was not certain at the end. He cried out in his agony at the ninth hour on the cross. Our faith is a living thing precisely because it walks hand in hand with doubt. If there was only certainty and no doubt, there would be no mystery. And therefore no need for faith. Let us pray that God will grant us a pope who doubts. And let him grant us a pope who sins and asks for forgiveness and who carries on."
Conclave menurutku menawarkan kemungkinan --bahkan terhadap sesuatu yang selama ini telah kita anggap bersifat pasti sekalipun; termasuk dalam hal kepastian jenis kelamin. Kemungkinan hanya bisa terjadi kalau kita kita tidak mengunci semuanya dengan label "kepastian,"
Tidak ada yang pasti, bahkan terhadap jaminan keselamatan yang selama ini, katakanlah, ditawarkan oleh agama/keyakinan kita.
Keyakinan bahwa semua bersifat pasti akan membuat kita tidak toleran dan mematikan peradaban. Harris dan Berger telah melakukan "kekurangajaran yang sempurna" dengan cara menawarkan kemungkinan radikal di tubuh kepausan.
Jika tidak ingin mengalami misteriusitas yang intens dalam beragama, sebaiknya tidak perlu menonton Conclave. Sangat mungkin film ini akan dilabeli menista agama seandainya terjadi di agamaku.
No comments:
Post a Comment