Pages

Thursday, February 20, 2025

Di Balik Dapur Perumusan Pancasila dan Syariat Islam: Latuharhary Berteriak Diredam Soekarno, Agoes Salim dan Wahid Hasyim



Latuharhary memang pemberani. Ia mungkin satu-satunya wakil Kristen dan Indonesia Timur yang punya nyali mempertanyakan sila pertama (Piagam Jakarta) secara terbuka dalam rapat panitia BPUPK. 

Aku membayangkan ia mungkin agak gusar dengan A.A. Maramis, yang terkesan diam saja dalam rapat besar. Padahal Maramis merupakan satu-satunya wakil Kristen Indonesia yang masuk dalam Panitia 8 dan Panitia 9 yang merumuskan draft awal pembukaan UUD 1945 (preambule). 

Keberanian Latuharhary menyatakan keberatannya atas Piagam Jakarta tidak hanya membuat repot Soekarno (ketua sidang) namun juga memaksa Agoes Salim dan Wahid Hasyim "turun gunung" meminta Latuharhary tidak mempersoalkan Piagam Jakarta.

Bahan tulisan ini ada dua buku; Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 karya RM. A.B. Kusuma (2004) dan "Islam dan Kristen di Indonesia" karya M. Natsir (1969) 

****

Setelah BPUPK dibentuk 28 Mei 1945 atas arahan Pemerintah Jepang di Indonesia pada, ke-66 anggotanya mulai bersidang. Tanggal 29 Mei hingga 1 Juni forum sidang memberikan kesempatan para anggotanya u menyampaikan aspirasi dan ekspektasi menyangkut negara yang diidealkan. Pimpinan rapat ada dua; Radjiman Wediodiningrat dan R.P. Soeroso. 

Nama-nama ini menyampaikan pandangannya 29 Mei 1945; Muh. Yamin, R.M. Margono Djojohadikoesoemo, Drs. K.R.M.A. Sosrodiningrat, R.A,A. Soemitro Kolopaking Poerbonegoro, R.A.A Wiranatakoesoema, K.R.M. LH. Woerjaningrat, R.M.T.A Soerjo, Mr. Soesanto, R. Soedirman, A.M. Dasaad, Prof. Ir. R. Rooseno dan M. Aris

Sedangkan pada 30 Mei , berikut nama-nama yang menyampaikan pandangannya; M. Hatta, H. Agoes Salim, Samsoedin, Wongsonagoro, Soerachman, Soewandi, A. Rachim, Soekiman, dan Soetardjo. Disusul kemudian pada 31 Mei; Abdul Kadir, Soepomo. Sanoesi, Hendro Martono, Dahler, Liem Koen Hian, Moenandar, Koesoema Atmadja, M. Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Oei Tjong Hauw, Parada Harahap, dan Dr. Boentaran. 

Pada hari terakhir, 1 Juni, giliran Baswedan, Muzaki, Otto lskandardinata, Latuharhary, Soekardjo, dan Soekarno menyampaikan gagasannya. Namun dari keenam pembicara ini, hanya naskah pidato Soekarno yang dimuat dalam buku tersebut.

ALMIGHTY SOEKARNO
Soekarno tampil menggebu-gebu, mengkritik usulan pembicara pendahulunya yang cenderung njlimet. Ia berpandangan perumusan dasar-dasar pemerintahan harus dilakukan selekas-lekasnya. Lebih cepat lebih baik. 

Ia menawarkan pendirian Negara Kebangsaan. Dengan terang-terangan, secara khusus, suami Fatmawati ini menabrak pandangan Ki Bagus Hadikusumo yang pada waktu dianggap menawarkan bentuk negara yang lebih sempit (Negara Islam). 

"Satu Nationale Staal Indonesia bukan berurti staal yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuan pun adalah orang Indonesia, nenek tuan pun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan Negara Indonesia." (h. 157)

Soekarno seperti tengah bertiwikrama, menghipnotis forum. Beberapa kali tepuk tangan dihadiahkan peserta sidang padanya. Dalam pidatonya, ia tidak hanya mengajak peserta sidang "belajar sejarah" kemerdekaan negara lain. Namun juga, ia, mengutip banyak tokoh-tokoh besar dalam pidatonya; Lenin, Hitler, Renan, Ibn Saud, Bauer, Gandhi hingga Sun Yat Sen. 

Dalam forum ini, Soekarno menawarkan gagasan --yang belakangan kita sebut sebagai-- Pancasila, Isinya; kebangsaan lndonesia, Internasionalisme atau perkemanusiaan. Mufakat atau demokasi, Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan.

"Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara lndonesla ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme-agama'. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!" (h. 163)

Tepuk tangan riuh rendah menghantar Soekarno mengakhiri pidatonya. Untuk menindaklanjuti perumusan dasar negara, Ketua Sidang Radjiman membentuk panitia kecil berjumlah 8 orang, diketuai Soekarno. Bahan utama perumusan adalah pidato Soekarno. Ini adalah panitia resmi. 

Kedelapan orang tersebut adalah Soekarno, Hatta, Yamin, Soetardjo, Otto Iskandar, dan Maramis -- kubu Nasionalis. Ditambah Wahid Hasyim serta Bagus Hadikusumo, yang dikenal sebagai kelompok Islamis. 

Namun demikian, entah kenapa Soekarno membentuk kelompoknya sendiri, berjumlah 9 orang, panitia tidak resmi.  Kesembilan orang tersebut adalah Soekarno, Hatta, Yamin, Maramis, Soebarjo dari barisan Nasionalis (Otto dan Soetardjo dicoret) serta Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, Agus Salim dan Abikusno dari kalangan Islamis (Bagus Hadikusumo dicoret).



Sangat mungkin pembentukan panitia 9 ini dilatarbelakangi ketidaknyamanannya pada beberapa individu. Namun dalam analisis komposisi anggota, Soekarno yang dikenal tokoh Nasionalis malah justru menambah porsi anggota kubu Islamis. Sangat mungkin ia sadar tegaknya syariah tidak bisa lagi dibendung. Perlawanan atas syariah malah justru membuat sidang kedepannya berlarut-larut, padahal ia menghendaki rumusan kemerdekaan dapat terselesaikan secepatnya. Panitia tidak resmi ini bekerja cepat dibawah komando Soekarno dan menghasilkan Mukaddimah/Piagam Jakarta/Gentlemen's Agreement pada sidang 22 Juni 1945. 

SNOWBALL STRATEGY
Isyarat mendekorasi dasar negara dengan corak syariat Islam memang sangat terasa pada pertemuan 22 Juni. Pertemuan tersebut adalah sidang resmi panitia kecil (Panitia 8 dan Panitia 9) yang dihadiri 38 orang anggota Cuo Sangi In yang juga merangkap anggota BPUPK. Cuo Sangi In merupakan Dewan Pertimbangan Pusat bentukan Pemerintah Jepang September 1943. Salah satu tugasnya adalah menjawab pertanyaan pemerintah Jepang menyangkut situasi politik di Indonesia sebagai tanah jajahannya.

Dalam pembahasan mengenai Dasar Negara di sidang tersebut, aspirasi  negara-agama (Islam) cukup kuat. Banyak anggota sidang memberikan sinyal Indonesia kedepan adalah Indonesia bersyariah. Notulensi sidang, salah satunya mencatat, "Pemerintah memperkuat perintah Tuhan dan tidak boleh melanggar hukum Islam" (h.175). Kuatnya aspirasi forum ini pada titik tertentu menambah konfidensi Soekarno untuk membawanya ke forum yang lebih besar lagi (pleno). Soekarno sepertinya menggunakan taktik snowball; menciptakan gundukan besar diawali oleh gulungan kecil, mirip bola salju.

MUKADDIMAH AKHIRNYA DIBACAKAN
Rapat Pleno BPUPK dilangsungkan 10-17 Juli 1945. Salah satunya, meminta pertanggungjawaban Panitia 8 yang diketuai Soekarno. Pada tanggal 10 Juli, hari pertama rapat, secara formal dia melaporkan telah membuat Panitia 9 atas mandat pertemuan 22 Juni. Untuk pertama kalinya, draft Mukaddimah/ Piagam Jakarta/Gentlemen's Agreement disampaikan. "Marilah sekarang saya bacakan usul rancangan pembukaan itu kepada tuan-tuan," kata Soekarno. 

"Pembukaan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusian dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat-sentausa mengantarkan Rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dcngan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kernerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan Sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan Rakyat, dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sekianlah tuan-tuan yang terhormat, paduka tuan Kaityoo yang termulia, rancangan prembule yang diusulkan oleh Panitia Kecil Penyelidik usul-usul." (h. 213-214)

Ki Bagus Hadikusumo yang dikenal sebagai pendukung utama Indonesia bersyariah menyatakan mufakat dengan draft tersebut. (222-223). Soekiman, satu kubu dengan Ki Bagus Hadikusumo, juga merasa lega dengan draft dan menyebutnya sebagai Gentlement Agreement. Tidak ada satu pun peserta sidang keberatan dengan draft Mukaddimah yang disampaikan Soekarno. Rapat selanjutnya lebih banyak menyoal apakah negara akan berbentuk republik, kerajaaan atau lainnya. Tidak ada kata sepakat sehingga memaksa Radjiman melaksanakan voting. Hasilnya; 55 setuju republik, 6 kerajaan, 2 lain-lain dan 1 kosong. (h. 238). 

GEGERAN KETUHANAN
Gegeran Piagam Jakarta akhirnya berlangsung pada sidang hari kedua, 11 Juli 1945. Saat itu topik sidang yang dibahas seputar warga negara. Dalam rapat ini, untuk pertama kalinya Latuharhary menentang "Ketuhanan" setelah Soekarno bertanya pada forum, "... Apakah tuang-tuan mufakat dengan pokok-pokok sekaligus dari preambule?"

"Saya tidak setuju dengan semuanya, yaitu dengan perkataan tentang 'Ke-tuhanan',"  sahut Latuharhary. (h. 306)

Salah satu anggota sidang, Sartono, menimpali Latuharhary;  bahwa kalimat-kalimat tersebut akan dibicarakan nanti. Yang dimaksud dengan "kalimat-kalimat tersebut," adalah "...ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,"

Soekarno, sebagai pimpinan rapat, mengemukakan hal yang disinggung Latuharhary dapat melambatkan ikhtiar pembahasan ini. "Jadi tentang pokok-pokok sudah setuju? Kemudian apakah tuan Latuharhary sudah memikirkan kalau ini diubah maka melambatkan ikhtiar kita menyusun hukum dasar, artinya pihak Islam tidak mufakat. 

Latuharhary tampat tidak menggubris "injakan rem" yang dilakukan Sartono dan Soekarno. Alih-alih, ia justru mengungkap pergulatan pikirannya. "Akibatnya akan besar sekali. Umpamanya terhadap pada agama lain. Maka dari tiu saya harap supaya dalam hukm dasat, meskipun in berlaku buat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan apapun juga yang dapat membawa perasaan tidak senang pada golongan-golongan yang bersangkutan,"

Laturhary terus saja berbicara, tak mau berhenti. "Umpamanya dalam hal ini '...yang mewajibkan syariat Islam pada pemeluk-pemeluknya' yaitu bagaimana mewajibkan untuk menjalankan? Salah satu anggota menyatakan pada saya bahwa terhadap pada adat istiadat di Minangkabau, rakyat yang menjalankan agama Islamnya harus meninggalkan adat istiadatnya,"

Pria ini terus saja berbicara. Kali ini ia mencoba mengeksplorasi lebih lanjut terkait konskuensi atas adat istiadat. "...Dan umpamanya di Maluku hak tanah bersandar atas adat istiadat sepenuhnya. Agama Islam maupun Kristen dalam hal ini tidak mencampuri. Kalau diwajibkan pada pemeluknya-pemeluknya agama Islam untuk menjalankan syariat Islam, sudah tentu kalimat ini akan digunakan terhadap pada adat istiadat di sini, umpamanya terhadap hak tanah. Tanah itu bukan saja diwariskan pada anak-anak yang beragama Islam tetapi juga yang beragama Kristen. Jadi kalimat semacam itu dapat membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap pada adat istiadat. Oleh sebab itu baiklah kita mencari modus lain yang tidak membawa akibat yang bisa mengacaukan rakyat."

Soekarno tidak merespon isi argumentasi Latuharhary terkait tanah dan syariat Islam. Alih-alih, ia terlihat sedemikian kuatir keinginan Latuharhary mendapat tentangan kelompok Islam dan sekaligus ini berarti akan memperlambat proses persidangan.

"Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam. Jadi manakala kalimat ini tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini, jadi perselisihan nanti terus." timpal Soekarno. (h. 306)

Latuharhary memang tidak masuk Panitia 8, tim resmi bentukan sidang, maupun Panitia 9, tim tidak resmi bentukan Soekarno. Dalam dua kepanitiaan yang bertugas menyusun draft Dasar Negara dibawah Soekarno, sebagai ketua panitia, tercatat hanya A.A. Maramis saja yang beragama Kristen dan sekaligus wakil Indonesia Timur. 

Saya tidak memahami kenapa hanya ada 1 orang yang mewakili Kristen dan wilayah Indonesia Timur. Terkait Maramis, dalam buku tersebut, tidak satu kalipun ia bersikap menyangkut aspek syariat Islam. Ia hanya bersuara terkait daerah mana saja yang akan masuk wilayah Indonesia Merdeka (h. 259-260) dan mendukung usulan Soekarno agar Yamin masuk dalam Panitia Hukum Dasar (h. 298) serta terkait pentingnya trias politica. (h. 309)

Meski juga tidak masuk dalam Panitia 8 dan Panitia 9, Agoes Salim yang hadir dalam rapat tersebut mencoba mengemukakan pikirannya, berupaya merasionalisasi kenapa perlu ada jaminan syariat Islam dalam preambule. 

"Orang Minangkabau bukan Islam sejak sekarang, malah orang Minangkabau dapat nama paling Islamnya di Indonesia ini. Berhubung dengan adat Minangkabau dan pertikaian atau sasaran adat Minangkabau dengan hukum Islam bukanlah masalah baru. Hal itu tidak dapat dijalankan dengan paksaan. Cuma saja saya percaya bahwa perubahan aliran adat pada kita pihak Islam kepada syariat Islam adalah satu perkara yang dengan sengaja harus dijaga oleh kekuasaan pemerintah, sehingga kalau boleh dijalankan dengan jernih dan tegas, pertikaian di Minangkabau itu sudah selesai, bisa ditentukan dimana dasar hukum adat dan dimana dasar hukum Agama. Jadi itu suatu perkara yang tidak akan menerbitkan kekacauan sebagaimana yang disangkakan,"

Agoes Salim bahkan menyatakan umat Islam wajib menjalankan syariat biarpun tidak ada Indonesia merdeka. "Kedua, wajib umat Islam menjalankan syariat, biarpun tidak ada Indonesia Merdeka, biarpun tidak ada hukum dasar Indonesia itu adalah satu hak umat Islam yang dipegangnya. Cuma kalau kita sesuaikan pikiran kita tentang itu, umat Islam menjalankan haknya dalam persetujuan pikiran dengan segala orang Indonesia. Dan kalau kita tidak membenarkan itu, umat Islam akan merasa berkeajiban menjalankan itu. Disamping itu riwayat adat dan agama kita memberi kepercayaan sedikit bahwa umat Islam di negeri-negeri adat tidak akan berlaku dengan......(sic!) melainkan kalau diakui, lebih tenang perjalanannya daripada kalau dihalangi agamanya seperti seperti dirasakan di jaman yang lalu. Saya rasa buat membikin sakit tidak aman, sebab saya yakin keamanan bangsa-bangsa yang tidak beragama Islam dalam 300 tahun yang lalu itu tidak berdasar kepada kekuasaan Balatentara, tetapi pada adat-istiadatnya umat Islam yang 90% itu." 

Kekuatiran Salim orang Islam Indonesia akan menderita lagi sepertinya didasarkan pada bagaimana perlakuan rezim Hindia Belanda terhadap umat Islam selama ini. Rezim yang dikendalikan Pemerintah Belanda dengan corak kekristenannya tidak bisa dikatakan adil terhadap umat Islam, setidaknya menurut M. Natsir dalam bukunya "Islam dan Kristen di Indonesia" terbit 1969.

Baik Soekarno maupun Latuharhary tidak merespon panjang lebar pikiran Agus Salim.  Namun beberapa anggota sidang ikut merespon masalah ini.

"Seandainya tidak diubah tetapi ditambahi lagi pemeluk-pemeluk agama lain dengan mencoret agamanya masing-masing," kata Wongsonagoro, anggota rapat lainnya, mencoba mencarikan jalan keluar. 

Prof. Hosein Djajadiningrat juga mencoba melontarkan pertanyaan kritis, mendukung Latuharhary, "Apakah ini tidak bisa menimbulkan fanatisme, misalnya memaksa sembahyang, memaksa sholat dan lain-lain,"

Soekarno dan Latuharhary masih terdiam. Justru Wahid Hasyim, bapaknya Gus Dur, yang juga merupakan anggota Panitia 8 dan Panitia 9, angkat bicara, berusaha melunakkan Latuharhary dan menormalisasi ketegangan forum.

"Ini semuanya tergantung kepada jalannya dan oleh karena kita sudah berkali-kali menegaskan diantara kita semua bahwa sususnan pmenerintahan didasarkan tas perwakilan dan permusyawaratan, jadi kalau ada kejadian paksaan, soal ini dapat dimajukan dan diselesaikan.,"

Putra K.H. Hasyim Asyari ini kemudian melanjutkan pembicaraannya. "Dalam hal ini saya perlu memberikan keterangan sedikit. Seperti kemarin telah dikatakan oleh anggota Sanoesi, kalimat ini baginya kurang tajam. Saya sudah mengemukaan bahwa ini hasil kompromis yang kita peroleh, dan jika dijadikan lebih tajam, bisa menimbulkan kesukaran."

Wahid Hasyim menambahkan, "Kita tidak usah khawatir dan saya rasa bagi kita masih banyak daya upaya untuk menjaga jangan sampai kejadian hal-hal yang kita kuatirkan, malah  saya yakin tidak akan terjadi apa yang dikuatirkan. Saya sebagai orang yang banyak sedkitnya memmpunyai perhubungan dengan masyarakat Islam dapat mengatakan bahwa jika masih ada badan perwakilan, kejadian itu tidak akan terjadi. Saya kemukakan ini supaya soal ini tidak menjadi pembicaraan panjang lebar, hingga menimbulkan macam-macam kekuatiran yang sebenarnya tidak dirasa."

Wahid Hasyim bahkan mengatakan, "Dan jika yang kurang puas karena seakan-akan terlalu tajam, saya katakan bahwa masih ada yang berpikir sebaliknya, sampai ada yang menanyakan pada saya apakah dengan ketetapan yang demikian itu orang Islam sudah boleh berjuang menyeburkan jiwanya untuk negara yang kita dirikan ini. Jadi, dengan ini saya minta supaya hal ini jangan diperpanjang."

Latuharhary tetap tidak merespon. Penegasan Wahid Hasyim supaya masalah ini tidak lagi diungkit-ungkit, seakan memberi angin segar pada Soekarno sebagai ketua sidang.

"Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat 'dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' sudah dterima oleh panitia ini. Kemudian pokok lain, saya kira tidak ada yang menolaknya. Dengan demikian semua pokok-pokok pikiran yang termasuk dalam prembule dibenarkan oleh Panitia sekarang." (h. 308)

Rapat ini kemudian membahas hal lainnya. Rapat ini adalah sebagian dari berbagai fragmen persidangan BPUPK terkait syariat Islam. Dalam rapat besar (pleno) 15 Juli, membahas perancangan Undang-Undang Dasar, Wahid Hasyim bertindak lebih jauh. Ia mengusulkan Presiden tidak hanya harus Indonesia asli namun juga beragama Islam. Begitu pula, agama negara adalah agama Islam. 

Bagaimana kelanjutannya? Akankan BPUPK yang digawangi Soekarno dan Radjiman meloloskannya?.(*)

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Kejujuran, Ketertindasan dan Penghiburan dalam QS. Al-Kautsar

"(1) Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. (2) Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebaga...