Lawang adalah bahasa Jawa dari pintu. Selama 3 jam ratusan orang menggedor lawang langit dalam acara Haul Gus Dur.
***
Aku agak kaget saat Dani mengundangku sebagai salah satu narasumber Hau Gus Dur di gerejanya, GKJW Lawang Malang. Gereja tersebut dilayani istrinya, Pdt. Sevi. Kekagetan itu muncul saat tahu gereja tersebut sebagai inisiator utama, sekaligus menjadi tempat berlangsungnya acara haul, Minggu (23/2).
Selama ini, biasanya keterlibatan gereja dan agama non-Islam dalam acara haul GD hanya sebatas pelaksana dari aliansi besar acara: gereja ditunjuk sebagai lokasi acara dan menjalankan perintah aliansi. Biasanya begitu. Namun untuk kasus GKJW Malang, situasinya berbeda; gereja ini menjadi inisiator dan mengajak organisasi-organisasi lainnya.
Inisiatif seperti ini sungguh mulia sekaligus tidak mudah. Inisiator akan bertanggung jawab pada semua hal, terutama kesuksesan acara. Salah satu ciri kesuksesannya seberapa banyak dan beragam tokoh-tokoh lintas agama/kepercayaan, tak terkecuali pesertanya.
Menurutku ada banyak yang hadir. Sekitar seratusan orang. Semuanya lesehan, mirip acara di kalangan NU. Selain aku, ada 3 narasumber di flyer; Ilmi Najib -- aktifis senior GDian Malang, Pdt. Sevi, dan Kiai Mahpur -- PCNU Kota Malang.
Namun demikian, di panggung, ada cukup banyak tokoh selain kami berempat. Sebagai host acara, menurutku Pdt. Gideon telah melakukan tugasnya dengan sangat baik. Ia bisa mengayun pertanyaan sehingga hampir semua yang di panggung mendapat kesempatan berbicara.
Tidak hanya ada banyak representasi kelompok Penghayat, forum tersebut juga dihadiri kawan-kawan dari GPIB, GKA, dan gereja Protestan lain. Dari Katolik ada romo cum aktifis, Romo Gani, dari Paroki St. Theresia Pandaan.
Selain itu, hadir juga Habib Hasan bersama rombongan Ahlul Bait Indonesia (ABI) Malang dan kawan-kawan Bahai dipimpin mbak Susi. Perwakilan dari Forkopimcam Lawang juga hadir beserta utusan dari kelurahan setempat.
"Apa sih problem utama yang dirasakan masyarakat Indonesia yang patut direfleksikan dalam haul Gus Dur tahun ini?" tanya Pdt. Gideon padaku.
"Ketidakadilan," jawabku pendek.
Dalam hal toleransi antaragama, konflik senantiasa muncul akibat ketidakadilan yang memanfaatkan satu perasaan psikilogis.
"Apa itu, gus?"
"Perasaan lebih unggul, lebih benar, lebih suci ketimbang kelompok lain," ujarku.
Menurutku, pola pendidikan agama selama ini, harus diakui, masih mendasarkan dirinya pada keinginan "merasa dirinya paling benar," Padahal perasaan ini senantiasa meminta tumbal kelompok lain sebagai pihak yang dianggap lebih rendah, alias inferior.
Perasaan peng-inferior-an ini selanjutnya memicu kelompok superior melakukan penindasan. Akibatnya, tambahku, kelompok inferior kerap dikuyo-kuyo.
Aku kemudian meminta Ipda Hartono, wakil Kapolsek Lawan, bercerita model pendidikan di kepolisian. Ia menceritakan pengalamannya bagaimana pembauran terjadi saat pendidikan. Semua agama dan entis membaur jadi satu, belajar hidup bersama.
Diskusi berlangsung gayeng, berjalan sekitar 3 jam. Doa lintas agama dipanjatkan di akhir acara. Aku pun kembali ke Pandaan, nebeng Romo Gani, menuju parokinya.
Terima kasih GKJW Lawang. Semoga kita bersua kembali pada haul tahun depan.(*)
https://medium.com/@gantengpolnotok/mengetuk-lawang-langit-di-gkjw-lawang-581ada06f3f8
No comments:
Post a Comment