"(1) Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. (2) Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). (3) Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)."
Ini adalah terjemahan dari QS. al-Kautsar (108). Surah ini kerap dibaca saat shalat tarawih. Biasanya di rakaat ke 7 --bagi madzhab tarawih 20 rakaat. Aku menjadikannya surah pembuka karena tarawih 8 rakaat di rumah.
Al-Kautsar kerap diartikan secara metaforik, sebagai nama telaga di surga, tempat untuk mengkompensasi orang-orang yang patuh melaksanakan perintahNya. Hanya saja, ini bukan satu-satunya tafsir.
Ada sebagian orang mengartikannya sebagai "keturunan dari Nabi Muhammad" Artinya, ayat ini, menurut kelompok ini, memuat konfirmasi Allah atas penganugerahan keturunan kepada Nabi Muhammad. Juga, ada pendapat ketiga; yang mengartikan al-kautsar sebagai "nikmat yang berlimpah,"
Bagi orang Islam yang pernah belajar membaca (to sound) al-Quran, surah ini pasti dihafalnya. Lha wong cuma 3 ayat saja. Gampang.
Menurut keumuman, al-Kaustar tergolong surah Makkiyah -- diturunkan saat nabi berada di Mekkah. Nabi Muhammad memang hidup di sana sebelum akhirnya pindah (hijrah) ke Madinah (Yathrib) -- wilayah mayoritas Yahudi.
Sewaktu di Mekkah, Nabi Muhammad dan pengikutnya dikabarkan mengalami aneka cacian dan makian dari penduduk sana, Kenapa dicaci? Ini yang menurutku menarik.
Selama ini aku dan orang Islam lainnya biasanya dijejali doktrin; mereka membenci Nabi karena kekafirannya. Menurutku itu tidak salah meski tidak seluruhnya benar, setidaknya menurut Tafsir Kementerian Agama 2019.
"Orang-orang kafir Mekah mencaci Nabi Muhammad bukanlah karena mereka tidak senang kepada pribadi Nabi, tetapi karena beliau mencela kebodohan mereka dan mencaci berhala-berhala yang mereka sembah serta mengajak mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala-berhala itu." (Juz 30, h. 794)
Terus terang saja aku agak kaget atas "keterusterangan" penjelasan tafsir ini. Penjelasan ini agak memberikan simpati atas kelompok non-Islam Mekkah. Sekaligus, meletakkan Nabi Muhammad saat itu sebagai pihak yang "selalu benar," Tidak biasanya ada kejujuran semacam ini dari kalangan mayoritas Islam jika menyangkut Nabi Muhammad.
Aku suka kejujuran tafsir ini, yang mencoba memotret peristiwa secara lebih fair, bukan potret yang fanatisme-membabi buta. Meski memiliki status sangat terhormat, Nabi Muhammad tetaplah manusia pada umumnya, yang berproses dengan segenap kekurangan dan kelebihannya.
Hanya Tuhan yang boleh mengklaim sebagai yang-tidak-pernah-salah. Kan ya agak tidak masuk akal jika kita diminta meneladani orang yang tidak pernah salah. Tidak apple to apple, kata kawanku.
Tafsir ini seperti ingin mengajak kita bersikap logis; bahwa prinsip resiprokalitas berlaku dalam kehidupan kita; bahwa tindakan atau perlakuan yang diberikan oleh satu pihak akan dibalas atau ditanggapi oleh pihak lain dengan tindakan atau perlakuan yang serupa.
Cacian dan makian kepada seseorang/kelompok akan membuahkan hal serupa pada pelakunya. Apalagi jika ini menyangkut hal-hal yang bersifat ketuhanan.
Kalau kita, orang Islam --baik sengaja maupun tidak -- mengejek Yesus, Sidharta Gautama, atau tuhan agama lain, maka hampir bisa dipastikan ada sebagian mereka akan mengejek balik.
Ketidakbolehan mengolok-olok sesembahan agama lain telah menjadi ketetapan ilahiah dalam al-Quran. Lihatlah QS. al-An'am 108.
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan."
Kita tidak diperbolehkan mengejek sesembahan "selain-Allah" -- apalagi mengejek kelompok yang menyembah Allah dengan cara dan penyebutan yang berbeda dengan kita orang Islam; tidak boleh.
Kristen, Katolik, Zoroaster, Bahai, Penghayat dan ratusan ribu agama teistik lainnya menyembah Tuhan yang sama. Yang beda, menurutku, hanyalah konstruksi teologi, ritual dan pelabelanNya saja -- ini semua hanyalah pinggiran, bukan substansi.
Hal lain yang menurutku menarik. Allah dalam surah ini juga menyatakan keberpihakan terhadap kelompok tertindas. Nabi Muhammad mungkin tengah menerima "konsekuensi" atas tindakannya.
Namun dalam konteks relasi minoritas - mayoritas saat itu, ia bisa dikategorikan sebagai kelompok minoritas yang tengah mengalami opresi mayoritas.
Ia dan pengikutnya tengah mengalami penderitaan, duka cita. Alih-alih membully atau menyalah-nyalahkan total Nabi Muhammad, atau mendorong ia melakukan caci-maki balik yang lebih hebat, Gusti Allah terasa memberikan semacam penghiburan kepadanya. Ia memerintahkan Nabi Muhammad agar terus berdoa (praying, salat) sembari tidak lupa berkorban (sacrifice) kepadaNya.
"Niscaya para pembencimu akan tumbang dengan sendirinya (terputus dari rahmatNya),' ujar Allah di akhir QS. Al-Kautsar.
Benarlah kata Matius, salah satu anggota Hawariyyun (duabelas murid Yesus), dalam salah satu ucapannya, "Berbahagialah orang yang berdukacita karena mereka akan dihibur,"
Bagiku, al-Kautsar, jika dilihat dari tafsirnya, bisa dijadikan semacam wirid kala kita dalam kondisi tertekan, mengalami opresi mayoritas atas minoritas, atau ketertekanan lainnya.
Demikian. Aku akan berusaha menulis reflektif surah-surah pendek lain yang biasa dibaca dalam tarawih.
Selamat berpuasa. Selamat menjalankan tarawih.(*)
https://medium.com/@gantengpolnotok/kejujuran-ketertindasan-dan-penghiburan-dalam-qs-al-kautsar-dbd2ebed001c
No comments:
Post a Comment