Pages

Showing posts with label gkjw. Show all posts
Showing posts with label gkjw. Show all posts

Monday, June 12, 2017

Menjemput Lailatul Qadar di GKJW Banyuwangi

Oleh. Subhan Bastomi

Malam itu, Sabtu (10/6), aku mendapat undangan dari sahabatku gus Aan hadir dalam sebuah acara yang sangat asing bagiku, beribadah dari dalam gereja. Jujur, itu pertama kali aku lakukan walaupun sebelumnya aku sering keluar masuk gereja, tapi malam ini berbeda karena sebelumnya aku hanya berfikir ketika gereja memanggilku itu berarti aku mendapat pekerjaan dan dapurku bisa mengepul. Maklum kita hanya lelaki pemuas (tembok) atau bahasa kerennya painters (tukang cat).

Sebelum berangkat aku sempat bingung baju apa yang harus kukenakan untuk menghormati mereka dan gus Aan tidak malu punya kawan seperti saya. Karena maaf, saya tidak punya baju yang sopan. Dalam lemari saya hanya bertumpukan kaus yang bertuliskan merk cat, beberapa jersey adventure trail dan mungkin itu yang menggambarkan pekerjaan dan hobi saya. Ada beberapa hem tapi sudah tidak proporsional dengan ukuran tubuh saya, cuma satu batik andalan tapi di saku depan pas di dada tertulis MWC NU Tegalsari beserta lambang jagad berbintang sembilan.

Saya merasa baju-baju sangat tidak mungkin, "Ahh masa bodolah tentang pakaian...yang penting pantes walaupun pepatah; mengatakan ajining rogo soko busono,"

Ketika sampai di gereja pas waktu berbuka puasa. Dari beberapa teman rombonganku mungkin aku yang paling pede, mungkin karena aku yang paling sering masuk gereja. Namun sungguh, saya agak ndredek ketika kami disambut dengan senyum dan pecah suasana ketika kami dihampiru Gus Aan dengan cerah-ceria khas beliau.

Dari raut wajahnya tercermin sebuah kalimat welcome in my home. Kami pun masuk ruang makan dan dikenalkan kepada pengurus jemaat serta pendeta Krispong. Mereka berkumpul menemani kami berbuka puasa. 

Ketika pendeta Kris berkata bahwa acara dimulai pukul 18.00, kami memohon izin sebentar untuk menunaikan sholat maghrib. Mereka mempersilahkan dengan penuh hormat seakan kami adalah rombongan Raja salman yang di sambut oleh para alumni 212.

Setelah sholat magrib kami sudah ditunggu jemaat gereja. Kami dipersilahkan duduk paling depan seperti seorang kiai yang hadir dalam pengajian peringatan hari besar Islam. Saya mencoba berdamai dengan keadaan memandang sekeliling sambil menghela nafas panjang.

Dalam hati saya berkata; "Sudah kafirkah aku?" Saya tidak lupa terus beristighfar. Bukan tanpa alasan aku berfikir seperti itu. Maaf, aku nyantri di PP Darussalam 6 tahun, setelah itu berlanjut di Pesantren Al-Falah Jember. Pendidikan awalku adalah TK Khadijah, MI Miftahul Ulum, MTs Al-Amiriyyah, MA Alamiriyyah -- semuanya berafiliasi dengan Lembaga Pendidikan Maarif NU.

Anda bisa bayangkan, dengan latar belakang seperti itu, barangkali sangat normal ketika terjadi pergumulan batin yang bermuara.  Suudzon dan khusnudzon campur aduk berproses menjadi rasa pengen kentut, kencing, menjadi satu dan tidak bisa keluar. (Coba anda bayangkan sejenak rasanya)

Tapi jujur saja, memang benar itulah yang saya alami dan insyaAllah akan menjadi cerita pengantar tidur bagi anak cucuku kelak.
Kemudian, sebagai pembuka kedua, sahabat kami yang hadir diperkenalkan oleh Pdt. Kris, serta diundang ke depan beserta Pdt. Natael untuk menjadi narasumber. Acara malam itu dalam rangka bulan Kesaksian dan Pelayanan (Kespel) dengan tema "Menyongsong Masa Depan NKRI".

Kemudian oleh Pdt. Kris, kami diperkenalkan satu persatu kepada seluruh jemaat yang hadir. Mereka menyambut dengan senyum ramah serta tepuk tangan tanda penghargaan bagi kami yang telah sudi nenghadiri dan menghormati acara yang mereka.

Pendeta Natael membuka saresehan pada malam hari itu dengan lembut khas seorang ayah yang sedang memberi petuah kepada anak anaknya. Beliau memaparkan tentang sejarah Pancasila, rumusan dasar dan keragaman idenya dalam tubuh BPUPKI masa itu.

Menurut Pdt. Natael, semua pada akhirnya bermuara pada satu rumusan lima sila yang terbingkai dalam Bhineka Tunggal Ika. Natae juga mengejawantahkan tentang konsep anak kandung dan anak angkat, mayoritas dan minoritas. Dia memberikan satu kesimpulan; kita adalah satu. Ada quote dari almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid; tidak penting apa agamamu, apa sukumu. Ketika engkau bisa berbuat baik, mereka tidak akan bertanya apa agamamu dan apa sukumu. Kemudian Pdt. Natael menutup sesinya dengan quote KH. Hasim Muzadi; "Pancasila bukan agama tapi tidak bertentangan dengan agama. Pancasila bukan jalan tapi titik temu antara semua perbedaan jalan, beda suku budaya agama dan bahasa. Hanya Pancasila yang mampu menyatukan,"

Kemudian sesi dilanjut oleh junior saya, Tedjo Rifa'i, mantan mubaligh cilik yang sangat kondang bahkan sering satu pentas dengan Rhoma Irama dengan Nada dan Dakwahnya. Sekarang job dakwahnya sepi. Dia yang pernah sedikit "murtad" kala bergumul di rayon Al Hikam PMII Unisma Malang, merupakan seorang  advokat yang punya hubungan baik dengan beberapa tokoh ring satu Banyuwangi.

Tedjo memang punya kualifikasi berbeda dengan yang lain. Ia pernah mengikuti beberapa kursus diantaranya diklat pengacara HAM dan kursus auditor hukum yang diammpu langsung oleh Prof. Jimly Assidiqi.

Malam ini dengan sedikit ndredeg dia membawakan tema sesuai dengan kualifikasinya yaitu tentang kesetaraan dan hak asasi manusia. Tema ini sangat matching dengan materi yang disampaikan oleh pemateri sebelumnya.

Forum berjalan khidmat dan audien semakin semangat karena materi Tedjo adalah pengetahuan penting yang bisa digunakan sebagai alat melawan bullying ataupun persekusi. Harus diakui, penyampaian materinya masih sangat normatif namun cukup lumayan. Saya meyakini Tedjo menyampaikannya sembari ndredeg, ngempet kentut dan kencing.

Sesi terahir yang sangat ditunggu-tunggu jemaat adalah pemaparan sahabat saya, Aan Anshori. Katanya dia NU tapi saya belum pernah tahu ia menunjukan kartanunya hehehe...

Dengan penuh antusias seluruh jemaat menyimak apa yang disampaikan beliau dengan gaya khas LGBT --walaupun sejatinya sudah terbukti ada Galang dan Cecil. Ia sangat komunikatif memaparkan tentang bahaya radikalisme dan data-data tentang perkembangan radikalisme di Indonesia.

Wow saya sangat ngeri dengan data tersebut dan saya hampir mengangkat tangan untuk ampun menyerah tidak kuat menahan emosi kebangsaan saya yang rasanya tercabik-cabik. Namun saya tetap tegar karena saya seorang Banser yang telah lulus Diklatsus.
Benar apa yang dikatakan gus Aan ketika kita mengupas kitab suci kita dengan setengah-setengah maka itulah yang terjadi, dan saya pernah mengalami fase itu.

Saya berfikir ketika hal tersebut tidak segera kita benahi maka ancaman serius sedang mengintai bumi kita tercinta ini. Maka ada hal hal yang harus kita mulai dari kita sendiri yaitu mencoba mengimplementasikan secara utuh apa itu rahmatan lil 'alamiin. Di sana tersimpan sebuah mutiara yang bernama cinta. Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Rumi bahwa Tuhan adalah segalanya Ia menganugerahi kebaikan kepada siapapun yang senantiasa tenggelam dalam lautan cinta.

Sesi dilanjut dengan tanya-jawab. Ada beberapa penanya mengungkap tentang apa yang pernah dia alami yang cukup membuat diri saya malu di hadapan tuhan. Sadar atau tidak aku atau pun kawanku yang lainnya sering bersuudzon tentang mereka. Padahal dari ungkapan mereka,  sebenarnya mereka lebih tahu dan lebih bisa mengamalkan apa itu ajaran agama kasih sebagai wujud inti dari rahmatan lil alamiin.

Bahkan jika mereka berkenan aku kan meminta maaf atas apa yang pernah aku prasangkakan terhadap mereka.

Ketika kita sadar bahwa manusia tercipta dengan segenap kekurangan; apakah pantas ketika kita selalu merasa "Akulah yang paling benar. Ketika engkau tidak seperti aku maka engkau kafir..?"

Harus kita ingat pula bahwa manusia dicipta dengan berbagai perbedaan dan bersuku-suku bangsa itu adalah haq (kebenaran). Mungkin sekarang ini urat malu kita sudah tertutup dan terlapisi lemak jahat, kolesterol atau asam urat yang menggerogoti sehingga urat malu kiat putus.

Puisi persaksian dari Taufiq WR Hidayat menjadi refleksi bahwa kita tidak akan sempurna menunaikan hidup ketika tanpa perbedaan yang saling melengkapi. Aku teringat sahabat karib saya, MHW, seorang pelukis seniman yang selalu mengajarkan cinta kasih terhadap saya. Teman saya ini terbiasa bekerja menghias ornamen pada pura seperti patung, atau pun altar untuk gereja, klenteng ataupun tempat-tempat ibadah lain.

Kadang setiap Natal dia mengajak saya untuk mendekor GPDI di Desa Jajag. Ia seorang hafidz al-Quran 30 juz (untuk yang ini hanya saya, istrinya dan Alloh saja yang tau serta itu alasan saya pake inisial).

MHW selalu mengajarkan kepada saya; cintailah apapun yang menurut nuranimu baik karena nurani tak pernah bohon. Yang membuat saya kadang merasa aneh, ketika dia melukis salib, Yesus atau ketika sedang membikin patung ogoh-ogoh, mulut MHW tidak pernah berhenti melafalkan ayat al-Quran yang dia hafal.

Saya kemarin bertanya pada dia apakah kamu tidak menista alquran dengan seperti itu? Dia hanya menjawab; fafirru ilallah (larilah menuju Allah). Jawaban itu seperti memukul telak uluhati saya karena baru sadar alam semesta beserta isinya adalah ciptaan tuhan dan hanya tuhan yang berhak menghakimi.

Pernahkah kita terfikir kenapa kita begitu mudah lupa akan perintah-perintah Allah di saat kita tersasar dan melakukan kesilapan yang berkali-kali? Pernahkah kita berfikir, kenapa begitu mudah kita melakukan perbuatan yang kita tahu akan dosanya dan silapnya? Pernahkan terlintas di benak kita kenapa kerap kali hati kita merasa begitu mudah untuk membeku hingga terlepas dari peluang-peluang membuat kebaikan?
Apakah yang telah terjadi saat itu? Apakah yang memberhentikan masa sehingga kita tersilap dan terus membuat kesilapan.

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang telah melupakan (perintah-perintah) Allah, lalu Allah menjadikan mereka melupakan (amal-amal yang baik untuk menyelamatkan) diri mereka. Mereka itulah orang-orang yang fasik – derhaka” – Al- Hasyr: 19

Gereja beserta jemaatnya pada malam itu memberikan pelajaran kepada saya betapa berharganya sebuah kehidupan, indahnya toleransi dan sucinya cinta. Setelah sekian tahun saya tidak menulis, hari ini saya menulis dan ingin memprasastikan pengalaman berharga dalam hidup ini. Sebab dalam setiap fase kehidupan saya, harus ada prasasti yang bermanfaat untuk saya.

Maaf saudaraku aku pernah menista kalian. Maaf tuhanku, kami belum mampu mengurai benang kusut perselisihan. Semoga rahmatmu bisa kami implemetasikan terhadap sesama dengan penuh cinta.

Saturday, April 15, 2017

Jalan Salib --dari Tebuireng ke GKJW

Begitu mendapat undangan prosesi arakan salib Paskah di GKJW Jombang, aku langsung mencatat tanggalnya di kalender, Sabtu (15/4). Selama ini aku tak pernah melihat secara langsung bagaimana episode penting Yesus di Bukit Golgota. Paling-paling hanya bisa menyaksikannya melalui koran, internet atau saat film Passion of Christ-nya Mel Gibson diputar.

Itu sebabnya, aku sudah berencana memenggal kuliahku yang memang merendeng dari jam 8.30 - 16.00 hari ini. Memang berat mengkompromikan jadwal nonton prosesi dengan kewajiban masuk kelas --apalagi hari ini dimulainya matakuliah baru 'Filsafat Hukum Keluarga Islam'.

Tuhan ternyata masih berpihak padaku. Matakuliah Dr. Miftah diakhiri jam 15.30 setelah lelaki asal Lamongan ini menutupnya dengan membagi tugas presentasi.

"Antum coba bikin presentasi gegerannya Imam Ghazali vs Ibnu Rusyd ya. Dan jangan lupa menautkan implikasi filosofisnya terhadap formasi sistem hukum keluarga Islam," ujarnya sembari menunjuk kepadaku.

"Matek!" aku merutuk dalam hati. Namun demi percepatan bubarnya kelas maka aku iyain saja.

Segera aku memacu Shogun bututku ke arah kota, menjauhi Tebuireng, kampus Sabtu-Mingguku.

Aku tak mau kehilangan moment bersejarah ini. Bagi GKJW Jombang --gereja tempat banyak temanku berproses-- prosesi Paskah ini adalah yang pertama kalinya sejak gereja ini didirikan. Kalian tahu berapa usianya? 95 tahun! Dan baru kali ini mereka punya keberanian melakukan arakan.

Mereka selalu diliputi kecemasan antara menggelar atau tidak. Dan kecemasan itu telah menyandera mereka selama 94 tahun hingga hari ini.

Seperti aku duga, polisi telah berjaga-jaga menutup akses ke jalan Adityawarwan dari pertigaan Kartini. Ada beberapa tentara dan tentu saja cukup banyak intel berseliweran. Dari mana aku tahu mereka intel? Aku punya radar untuk itu:).

Segera aku hubungi kawanku di Jawa Pos agar meliput momentum bersejarah ini. Aku memang tak pernah mampu membayangkan arakan salib bisa dihelat di Kota Santri ini, apalagi ditengah mengamuknya badai intoleransi Pilkada Jakarta. Sungguh.

Bersyukur aku bisa menyaksikan dari awal hingga "Yesus" diturunkan dan acara bubar. Kalian tahu siapa yang berperan jadi Yesusnya? Dia adalah Nanda, calon pendeta yang tengah vikar di gereja tersebut. Nanda adalah pengisi Ngaji Gus Dur putaran III. Saat itu ia mempresentasikan skripsinya tentang Gus Dur dan pluralisme.

"Cuk, ternyata kamu to yang tadi disalib," sapaku tertawa saat usai acara dan ia menghampiriku yang sedang makan soto dengan Pendeta Chrysta Andrea --senior di GKJW.

Nanda hanya cengengas-cengenges saja, "Suwun rawuhipun, Gus".

Rasanya hanya aku saja undangan yang datang dari Muslim, tidak termasuk aparat keamanan yang menjaga prosesi itu.

Memang ada banyak perempuan berkerudung sebagaimana tampak di foto. Namun mereka bukanlah muslimah, melainkan jemaat perempuam GKJW yang tengah berbusana dalam konteks zaman Yesus hidup.

Sepanjang pengetahuanku, wafat atau tidaknya Yesus/Isa merupakan polemik yang tak berkesudahan. Ada banyak teori tentang kematian sosok penting bagi umat Kristiani. Jangankan antara Kristen dan Islam, di internal Islam sendiri saja belum ada kata sepakat. Para penafsir al-Quran yang hidup ratusan/ribuan tahun pasca Yesus masih bersitegang mengartikan diksi 'mutawaffika' di Surah Maryam. Beginilah jika aspek historis dan teologis diaduk-aduk tak karuan. Rumit.

Aku sendiri pernah menulis artikel pendek menyangkut misteri penyaliban Yesus dari perspektif Islam, judulnya "Kematian Berkabut; Refleksi Personal Menghormat Paskah". Anda mungkin akan menemukan sesuatu yang sangat mungkin tidak diajarkan selama anda di SD hingga kuliah di institusi Islam, termasuk di pesantren.

Aku benar-benar menikmati perayaan ini, sebagaimana aku larut bersama ratusan warga Hindu Senduro di kaki Gunung Semeru saat pawai ogoh-ogoh kemarin. Aku benar-benar merasakan bagaimana menjadi minoritas di tengah lautan manusia ---seberapa sering kita mendapat pengalaman seperti ini?

Maka, segera aku kirim impresi ke kawanku yang menjadi jurnalis, melalui whatsapp, "Sebagai umat Islam, aku mengapresiasi perayaan keagamaan ini, sebagaimana aku mengapresiasi perayaan Maulid, Nyepi, atau yg lain. Perayaan ini sekaligus makin mengokohkan Jombang sebagai Kota Santri sekaligus Kota Toleransi,"

Semoga beritanya bisa kalian nikmati di Radar Jombang Jawa Pos esok pagi, Minggu.

Happy Easter, fellas!

Saturday, March 25, 2017

Pluralisme Sarung dan Celana Pendek

Untuk kesekian kalinya saya menghadiri diskusi bedah film yang diselenggarakan Staramuda, sekitar dua minggu lalu. Kali ini film besutan Ari Sihasale, Di Timur Matahari, yang mendapat giliran.

Jika biasanya penyelenggaraan diskusi berada di tengah kota, kali ini cukup jauh bergeser. Yakni mengambil posisi di Kepanditan Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno. Jaraknya sekitar 17 km dari pusat kota Jombang.

Mojowarno ini eksotik secara historis. Setelah 'ditaklukkan' oleh Ditrotuno (Kyai Abisai) -murid Coolen- sekitar akhir 1843, wilayah yang awalnya hutan lebat bernama Dagangan ini menjadi milestone penting dalam penyebaran kristen bumiputra di Jawa Timur.

Di Mojowarno inilah proses rekonsiliasi Kristen Jawa Timur terjadi pada 4-6 Agustus 1946. Setelah sebelumnya, GKJW terbelah menjadi dua kubu – Raad Pasamuan Kristen dan Majelis Agung GKJW- akibat perbedaan pandangan menyikapi politik kolonial saat penjajahan Jepang.

Entah sudah berapa judul film yang pernah dijadikan titik diskusi oleh Staramuda. Seingat saya ada beberapa. Agora, Long Walk to Freedom, Five Minarets in New York, "Tanda Tanya", 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, Freedom Writer, cin(T)a, dan beberapa film lainnya.

Rata-rata adalah film berlatar belakang pluralisme dengan tarikan nafas anak muda. Romantis pelik, gairah dan perbedaan, serta kerumitan memilih merupakan beberapa kualifikasi yang kerap dijadikan instrument penapis film yang dipilih. Khas anak muda.

Maklumlah, Staramuda ini kumpulan individu yang mendaku dirinya sebagai anak muda dengan beragam latar belakang. Tak hanya agama serta etnis, mereka pun punya orientasi seksual dan identitas gender yang tidak tunggal. Islam, Kristen, Hindu, Budha, gay, straight, lesbian dan transgender ada di organisasi ini.

Dalam catatan saya, Staramuda merupakan satu-satunya organisasi yang berada di lingkar Jaringan GUSDURian dengan corak pelangi yang begitu kental.

Sungguhpun demikian, film dan perhelatan diskusinya bukanlah fokus yang ingin saya tulis. Namun, lebih kepada apa yang saya kenakan saat mendatangi event tersebut.

Sebenarnya tidak ada istimewanya dengan sarung yang membalut tubuh saya. Memakainya merupakan kelaziman, semacam pakaian dinas harian. Terutama saat menemui tuhan dan rapat resmi NU.

Pada perkembangan lanjutan, sarungan dalam kontinum-subyektif bagaimana saya membusanai tubuh telah menjelma sebagai titik kompromi; antara keengganan memakai celana panjang dan kerikuhan untuk terus-menerus berparade mengenakan celana pendek.

On the record, saya senang sekali memakai celana pendek dan berkaos. Rute terjauh yang pernah saya tempuh dengan memakai celana pendek, kaos plus ransel terjadi minggu lalu, Hotel Harris Tebet - Pancoran - Soetta- Juanda - Bungurasih - Jombang. Ini jalur keramat dalam memorabilia percelanapendekan saya.

Anda tidak perlu mengandaikan tokoh sekaliber Gus Sholah atau Gus Mus akan menapaktilasi rute bersejarah tersebut dengan bercelana pendek. Disamping ngoyo woro (percuma), membayangkan keduanya seperti itu bisa dianggap su'ul adab.

Sungguh, tak ada yang istimewa dengan bercelana pendek dan berkaos --selain hanya berpotensi mendegradasi status seseorang di hadapan publik.

Masih ingat cibiran miring sebagian orang saat Presiden Gus Dur melambaikan tangan -bersama anaknya Yenny- di hadapan para pendukungnya sesaat sebelum meninggalkan Istana Presiden?

Gus Dur dianggap telah mengalami disorientasi. Mentalitasnya dituduh oleng akibat kekuasaannya dilucuti. Lalu Gus Dur diyakini tidak lagi sanggup mengendalikan cara berbusananya.

Saya memilih tidak percaya cibiran itu.

Dia bukan sosok ambisius. Tidak mengharap jabatan namun tidak akan menolak jika diberi mandat. Gus Dur tidak pernah meniati dirinya menjadi presiden sehingga cukup naïf jika dia dituduh terpukul saat kekuasaannya dilucuti.

Gus Dur adalah simbol kemerdekaan dan keserderhanaan dalam banyak hal. Dia seringkali memilih tidak cerewet dalam berbagai urusan. Anda tahu, dia rela berjam-jam menunggu kerumitan staf rumgapres menyulap jas lusuhnya saat sesi foto kepresidenan, sampai akhirnya disetrika sendiri oleh Mbak Ratih – Sekretaris Presiden- di hadapan puluhan staff tersebut? Padahal, Gus Dur sangat punya otoritas dan alasan kuat memecat staf-staf tersebut karena ketidakprofesionalan mereka berdampak pada penelantaran presiden. Namun, jangankan dipecat, dimarahipun tidak.

Di jaman Pak Harto, seorang staff dipastikan akan suram nasibnya hanya karena dianggap gagal menginterpretasi dehem Pak Harto.
Jika bercelana pendek identik sebagai symbol kejelataan, maka Gus Dur sangat mungkin tengah melakukan apa yang didengungkan sebagai desakralisasi istana kepresidenan. Yakni penjebolan mitos aristokrasi Istana Presiden, tempat di mana harga seseorang akan sangat ditentukan oleh busana yang dikenakannya.

Atau jangan-jangan, celana pendek Gus Dur ini adalah sublimasi dari apa yang kerap disuarakan oleh Emha Ainun Najib; "gak dadi presiden, gak pathe'en".

Wallohu 'alam. Hanya Gus Dur dan Tuhan saja yang tahu soal misteri celana pendek itu.
**

Saya tak hendak menyejajarkan diri dengan Gus Dur. Berfikir ke arah sana pun tidak berani. Namun, sejarah celana pendeknya memberikan snapshot penting untuk diimani; pada beberapa hal, melepaskan diri dari kekaprahan dan keumuman terkadang penting.
Resiko berbanding lurus dengan dampak yang akan dihasilkan.

Saat para kiai memilih resisten dan diam atas tuntutan korban 65, Gus Dur malah melakukan pembelaan, dengan sepenuhnya sadar. Hujatan dan cacian menderanya. Alih-alih mendukung, semua fraksi di DPR berbalik menentang gagasan ini, termasuk "fraksi" Kramat Raya. Gus Dur pun bergeming, bahkan saat beberapa korban 65 malah menggugatnya ke pengadilan.

Gus Dur, bagi saya, telah mencatatkan dirinya dalam sejarah gerakan pembelaan peristiwa 65. Dampaknya, membincang isu ini tidak akan pernah bisa mengabaikan legasi yang telah ditanam Gus Dur.

Nyatapun demikian, keberanian Gus Dur bercelana pendek tidak mampu menginjeksi nyali saya meneruskan
laku-katho'an ke acara bedah film Staramuda. Sungkan jika harus bertemu Pdt. Wimbo, pendeta senior pemangku gereja setempat.

Bercelana panjang rasanya bukan opsi yang menarik hati. Pilihan rasional yang tersedia adalah memakai sarung. Jika acara selesai, sarung bisa dilipat, dimasukkan jok motor dan saya bisa kembali bercelana pendek lagi.

Tiba di GKJW Mojowarno, dari kejauhan saya melihat sekumpulan orang berjejer duduk di teras kepanditan. Dari posenya yang tertib, saya sudah menduga mereka bukan peserta bedah film.

Feeling saya benar. Deretan itu terisi oleh para pendeta dan beberapa majelis gereja yang hendak ke luar kota termasuk tuan rumah, pendeta Wimbo. Saya teramat sangat bersyukur kenapa akhirnya memilih memakai sarung.

Kasus sarung ini terus berlanjut paginya. Adalah seorang pendeta perempuan yang ikut berderet kemarin. Dia yg saya kenal progresif dan tengah intens bergumul dengan isu politik tubuh, menceritakan jemaatnya yang melihat saya di bedah film.

"Bu ndito, mas ingkang ndamel sarung sat wingi niku pendito (GKJW) pundi?"

Saya sendiri tidak menganggap pertayaan polos tersebut sebagai hal aneh. Pergulatan historis sejak pertengahan abad 19 menjadikan gereja ini kental dengan tradisi lokal.

Sebutan kiai cukup populer sebagai representasi ketokohan kristen kala itu. Kiai Sadrach atau Radin Abas adalah sosok yang tidak akan ditinggalkan jika membincang historisitas genre kekristenan ini.

Bangunan gereja berarsitektur menyerupai masjid juga dapat dengan mudah ditemukan. Meski tidak lagi lazim, aksi kontemporer bernuansa Islami sering dilakukan "kakak" saya, Mas Chrysta Andrea. Dia adalah pendeta senior GKJW yang memangku wilayah Sitiharjo, sebuah desa di ujung selatan Kabupaten Malang.

Mas Chrysta kerap memakai songkok hitam a la Islam-NU pada pertemuan-pertemuan lintas iman. Dengan jenggot yg dibiarkan tumbuh cukup lebat, performanya persis gus atau kiai, aristokrat muslim. Saya melihat adaptifitas GKJW menerima kultur yang berkembang secara dialektis mempengaruhi pendetanya menjadi lebih lentur dalam mengapresiasi simbol-simbol agama/kebudayaan lain.

Dia, kawan-pendeta saya yang ditanya jemaatnya tadi, menilai aksi sarungan saya saat itu terasa unik dan memberikan corak warna lain. Sarungan tersebut ia yakini telah mengintrodusir kembali kedamaian, utamanya saat digunakan dalam momen relijius-heterogenistik dengan semangat pluralisme dan kemanusiaan.

Refleksinya itu mendorong saya berefleksi balik. Mungkinkah dia sudah muak melihat simbol-simbol agama diparadekan sebagai alasan menghancurkan agama dan keyakinan liyan, seperti halnya pada Peristiwa Situbondo 1996?

Dia barangkali begidik membaca brutalitas invasi kelompok Wahabi ke tanah Batak Selatan sepanjang tahun 1816-1820 dimana darah tertumpah sangat atas nama agama. Atau bahkan, dia limbung akibat membayangkan pembantaian massal yang dialami oleh Suku Qurayza pada tahun 627 masehi.

Saya, pada titik ini berharap ia tidak sedang termangu galau karena berhasil menelusuri jejak amok 65 di Jawa Timur dan Bali, yang sebegitu dahsyat pembantaiannya hingga Sarwo Edhie harus turun tangan menghentikannya.

Laksana gangbang, kodrat agama sebagai wajah agung tuhan telah diperkosa sedemikian rupa. Dihinakan kesuciannya melampaui batas terendah yg bisa dinalar manusia waras. Mungkin kekagumannya atas aksi-sarungan saya hanya basa-basi. Sebatas etika berelasi antarkawan.

Namun siapa yang bisa menjamin dia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya? Siapa yang bisa menggaransi dia - dan mungkin ratusan juta penduduk Indonesia lainnya- tidak sedang mendamba negeri ini terbebas dari kutukan kekerasan berbasis agama? Dia bisa saja menaruh asa pluralisme merekah melalui salah satu simbol penting Islam jawa; sarung.(**)

Featured Post

Janji Pengharaman Jual Beli Jabatan WarSa, Hanya Gimmick?

Kita patut mengapresiasi pasangan WarSa, yang berani berkomitmen menolak --bahkan mengharamkan-- jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Jomb...