Pages

Showing posts with label gusdurian. Show all posts
Showing posts with label gusdurian. Show all posts

Sunday, August 2, 2020

Orientasi Seksual; Takdir atau Konstruksi? Belajar dari Chrisye

Ini pertanyaan klasik seputar seksualitas yang hingga kini belum ada kata sepakat. Para ahli kejiwaan dan masyarakat awam sepertiku terbelah menjadi dua kubu. Kubu konstruksi sosial mencibir lawannya --kubu takdir-- malas berfikir. 


Ya, jawaban "takdir," memang seperti response jalan pintas. Persis seperti orang yang gagal mengoptimalisasi akalnya. Kenapa orang menjadi miskin? Takdir! Kenapa perempuan tidak boleh melampaui laki-laki? Takdir! Kenapa orang Kristen kerap tertindas di tengah mayoritas Muslim? Takdirnya memang seperti itu! 

Pendekatan "takdir," sangat beda dengan kubu konstruksi sosial. Kubu kedua ini bersusah payah menelisik, membongkar dan menyatukan kepingan untuk mencari penjelasan ilmiah atasnya. Kerapkali cara ini berhasil pada banyak persoalan. 

Namun untuk urusan orientasi seksual, menurutku, kedua kubu harus berdamai dan  menerima kenyataan mereka tidak bisa egois untuk menang secara mutlak dan binerik. 

Belajar dari Chrisye"

Kalian tahu siapa ini?" tanyaku sembari menampilkan foto penyanyi legendaris Indonesia yang sudah meninggal.

"Bukannya itu Chrisye?" jawab Lidya Kandowangko yang malam itu menjadi moderator Zoominar "Haruskah Kita Memusuhi LGBT," Selasa (14/6).

Aku membenarkan tebakan Lidya. Namun apakah kita pernah menyangka Chrisye adalah Tionghoa? Jika Anda tidak pernah berpikir demikian, maka sama denganku. Tak pernah terlintas dibenakku penyanyi bersuara emas ini ternyata keturunan Tionghoa.

Aku baru tahu ketika salah satu kawan Tionghoa, peneliti, mengabarkan kisah dramatis bagaimana Chrisye memberi pengakuan. Chrisye dikabarkan mengaku Tionghoa kepada penulis biografinya di detik-detik terakhir proses penyelesaian buku tersebut. Dengan perasaan sangat berat, Chrisye menceritakan alasan kenapa ia selama ini cenderung tidak mau terbuka ke publik menyangkut ketionghoaannya. Hal ini berkaitan dengan pengalaman buruk yang pernah ia terima. 

"Itu peristiwa yang menancap cukup dalam di benak saya," kata Chrisye, sebagaimana ditulis tirto.id "Biografi Chrisye, Keturunan Cina dan Kisah Buruknya Jadi Minoritas,"

Chrisye kecil pernah mengalami perundungan hebat pada suatu siang. Segerombolan anak meneriakinya "Cina Lo," setelah sebelumnya menyambit kepala Chrisye dengan batu hingga berdarah. Chrisye memilih tidak menceritakan hal itu kepada siapapun. Ketionghoaannya dikunci rapat belasan tahun hingga ia tidak lagi kuat menahannya. Ambrol di depan penulis biografinya.

"Lalu apa hubungannya Chrisye, orientasi seksual, takdir dan konstruksi sosial?" tanyaku kembali di forum.

Orientasi seksual, dalam pendapatku, sama seperti identitas ketionghoaan Chrisye, atau kejawaanku. Identitas kesukuan maupun orientasi seksual tidak bisa dipilih atau dinegosiasikan. Ia sepenuhnya given. Langsung datang dari Tuhan. 

Yang tidak kalah penting, sebagaimana halnya Chrisye, setiap orang memiliki kemerdekaan untuk mengakui --atau tidak mengakui-- atas identitas tersebut. Selama kurang lebih 30 tahun Chrisye memilih menyembunyikan jatidirinya. 

Ia mungkin berfikir dan merasa tidak aman manakala ketionghoaannya diketahui publik. Konstruksi sosial senyatanya telah begitu memengaruhi keputusan Chrisye, baik saat menyembunyikan diri maupun ketika memutuskan berterus terang, pada akhirnya.

Begitu pula terkait orientasi seksual. Tuhan selama ini telah memasangnya pada setiap orang. Kebanyakan memang heteroseksual. Konstruksi sosial telah menyebabkan individu yang diberi anugerah orientasi non-heteroseksual mengalami persekusi selama 1.973 tahun lamanya -- bahkan hingga sekarang. Selama itu pula mereka dilabeli sebagai pendosa dan mengidap penyakit jiwa. 

Label ini kemudian di review para psikiater di Amerika pada 23 Desember 1973 dan, melalui voting ketat, telah menghasilkan konsensus baru terkait orientasi seksual. Heteroseksual tidak lagi dianggap supreme, sebagai satu-satunya yang benar, karena homoseksualitas dan orientasi seksual lainnya telah diakomodasi. Para agamawan juga mulai melihat dan menyesuaikan kembali tafsiran teks kitab suci mereka 

Namun demikian, meski secara legal orientasi non-heteroseksual telah dinyatakan bukan sebagai penyakit, namun tidak berarti individu non-heteroseksual bisa merdeka dengan sendirinya. Konstruksi sosial yang dialami masing-masing dari mereka sangat menentukan apakah mereka mau terbuka atau tidak dengan identitas yang ia miliki. 

Tuhan telah memberi orientasi seksual kepada kita semunya. Kita sepenuhnya memiliki kemerdekaan untuk mengakui dan merayakannya, seperti halnya Chrisye dengan ketionghoaannya.

Thursday, June 25, 2020

Mei 98 di Surabaya; Raja Pengemis dan Vagina Yang Terkoyak


Bulan Mei baru saja pergi. Namun memori kelamnya tetap tinggal di sana. Abadi. Di bulan itu, titik penting dalam sejarah peradaban Indonesia dimulai.

Saat itu Orde Baru tumbang digantikan Reformasi. Ibarat bayi yang lahir, transisi ini diiringi oleh pertaruhan nyawa. Ada darah yang meleleh, terutama dari tubuh banyak perempuan Tionghoa. Lelehan ini menuntut kita untuk terus terjaga dan berefleksi.

Meski terus menjadi kontroversi karena tidak pernah terselesaikan secara hukum, aroma kekerasan seksual Mei 1998 di Surabaya tetap menyeruak, melalui laporan TGPF Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

Catatan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) menyebut korban terbanyak ada di Jakarta, sekitar 152 orang. Di Solo, Medan dan Surabaya secara akumulatif ada 16 korban. Menurut penelitian Usman Hamid dkk. terdapat 2 korban di Surabaya. Namun benarkah hanya dua, dan sejauhmana kebenarannya?

Geger Dunia Persilatan
Dari disertasi Jemma Purdey, Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999, dapat diketahui kerusuhan terjadi malam hari 14 Mei hingga hampir subuh. Sekitar 6-7 truk bergerak menuju wilayah Semampir Surabaya Utara, diiringi beberapa sepeda motor.

Penjarahan pun terjadi di banyak toko milik Tionghoa. Pelakunya berusia antara 18-30 tahun dengan dialek bahasa daerah tertentu. Rumor yang berkembang, mereka selama ini dikenal kerap mengkonsolidasi diri untuk hajatan kriminal, istilah lain dari geng.

Entah apa yang sesungguhnya terjadi malam itu selain penjarahan. Yang pasti, setelah 6 minggu pascaperistiwa, tepatnya 1 Juli 1998, harian Jawa Pos memuat tulisan dengan judul yang mengagetkan "Ketua Konghucu Surabaya Ungkap Perkosaan Surabaya," Koran Surya pada hari yang sama juga menerbitkan tulisan dengan judul "WNI Cina Diperkosa dalam Kerusuhan Surabaya,"

Adalah Bingky Irawan yang berani mengatakan peristiwa itu melalui media. Tokoh agama yang dikenal dekat dengan Gus Dur tersebut mengaku dicurhati orang tua para korban. Ia menyatakan ada ketakutan dan kepedihan luar biasa di kalangan Tionghoa atas peristiwa perkosaan tersebut, meski ia tidak bersedia menyebutkan peristiwa tersebut secara detil, termasuk jumlahnya.

Atas pemberitaan ini, aparat kepolisian terlihat gusar dengan pria ini. Bingky diancam akan dipenjarakan jika tidak bisa mempertanggungjawabkan statemen di media. "It is hope that people do not make comments which are without evidence and fact. This can cause people to become restless. Let us work to creating an atmosphere of calm," kata M. Dayat, Kapolda Jawa Timur di Harian Surabaya Post 1 Juli 1998 dengan judul "Bingky akan Dipanggil Kapolda," sebagaimana saya kutip dalam disertasi Purdey.

Pada tanggal 2 Juli, harian Suara Indonesia menurunkan berita dengan judul, "Yang Ada Hanya Pengrusakan, Bingky Ditunggu Pasal Kebohongan," Di dalamnya, wartawan mengutip seseorang bernama Mahmud, penduduk setempat. "I am convinced that there is an aim to discredit certain member of society. If indeed this is the case, why not just report it to the authorities. This is era of reform,"

Nampaknya Mahmud merasa tersinggung dengan sinyalemen Bingky yang menyebut pelaku kerusuhan menggunakan dialek bahasa lokal tertentu. Sangat mungkin Mahmud adalah pengguna dialek tersebut, yang secara tak sadar telah menggeser isu; dari kekerasan seksual menjadi konflik berbasis etnis. Jawa Pos di hari yang sama juga memuat berita "Jika Tak Benar, Bingky Bisa Dituntut," Isinya, statemen aparat kepolisian yang mengancam Bingky akan dituntut jika pernyataannya fitnah belaka.

Saya membayangkan betapa berkecamuknya hati dan pikiran senior saya ini saat itu. Ia tengah menghadapi konsekuensi berat atas kejujuran dan keberaniannya menyatakan apa yang menimpa kelompoknya.

Bingky akhirnya menghadap aparat kepolisian sekitar tanggal 10 Juli 1998. Entah apa yang mereka obrolkan selama di dalam. Saat keluar, Bingky tetap tidak mau menjelaskan lebih detil atas pernyataannya, "Ya nanti saja. Jika saya bicara sekarang, bisa geger dunia kang ouw (persilatan) nanti," ujarnya seperti ditulis dalam Surabaya Post 11 Juli, "Geger Dunia Kang Ouw,"

Silat Sang Pengemis
Menariknya, saat ia mendatangi kantor polisi, alih-alih menggunakan setelan jas atau pakaian resmi lainnya, Bingky malah justru memakai setelan yang oleh Jawa Pos ditulis sebagai "kaipang" atau " jiang bao".

Kaipang adalah perkumpulan para pengemis dalam cerita silat Tionghoa. "Ya betul jubah rohaniwan. Jadi Kaipang saat itu, raja pengemis, wong cino kere kata Gus Dur," katanya ketika saya konfirmasi via whatsapp Menurut Bingky, ia diberi gelar ICMI oleh Gus Dur, kepanjangan dari Ikatan Cino Melarat Indonesia.

Dengan pakaian seperti itu, Binky seperti ingin menyatakan pesannya ke publik secara gamblang; Tionghoa sedang mengemis keadilan atas peristiwa 14-15 Mei, dan rohaniawannya sendiri yang maju. Sendirian. Bingky nampak sengaja berlaku satir.

Kedekatannya dengan Gus Dur saat itu tak pelak mendekatkan pria ini dengan jaringan kerjanya, terutama di lingkaran NU Jawa Timur. Dugaan saya, dengan modalitas inilah Bingky mempercayai Choirul Anam, Ketua PW GP Ansor Jawa Timur saat itu, bertemu korban dan saksi. Dan benar, sekitar tiga hari setelah Bingky mendatangi panggilan polisi, Cak Anam memberikan statement yang dimuat Jawa Pos esoknya, 14 Juli, dengan judul sangat kuat "Ansor Benarkan Adanya Perkosaan,"

Saya melihat Bingky tengah memainkan jurusnya dengan lihai; dengan cara "meminjam" otoritas pemimpin puluhan ribu pasukan Banser untuk memperkuat ceritanya, tanpa perlu berhadapan dengan polisi, atau membahayakan identitas para Korban.

Simpang-siur Korban
Lalu berapa jumlah korban menurut Bingky? Menurut wawancara Purdey dengannya, jumlahnya sekitar 10an. Angka ini lebih besar ketimbang laporan yang ditulis Usman Hamid dkk. namun lebih sedikit dari temuan Gema Sukma dan Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (KPPD).

Dari hasil investigasinya, keduanya mengklaim terdapat 19 korban perkosaan dan 6 penyerangan seksual. Aksi memalukan yang semuanya terjadi di Surabaya Barat itu kebanyakan dilakukan di dalam ruko. Ansor Jawa Timur juga mengklaim terdapat 2 perempuan etnis Arab yang juga menjadi sasaran kekerasan dalam peristiwa 14-15 Mei tersebut.

Baik Bingky maupun Hesti, aktifis Gema Sukma, keduanya kerap menerima teror untuk tidak meneruskan aktifitasnya. "I received a lot of threatening telephone calls, they started by asking what my ethnicity was, then they threatened me if I continued my involvement in this problem," kata Hesti dalam berita koran Surya 14 Juli 1998, "Hesti: Tak Akan Terpejam," sebagaimana dikutip Purdey.

Hingga disertasi Purdey dipublikasikan, hanya 20% saja Korban memilih tetap tinggal di Surabaya, sisanya hidup di berbagai kota di Indonesia. Saat delegasi Taiwan datang ke Surabaya dan bertemu Bingky, beberapa dari korban mendapat tawaran dukungan medis maupun tempat mengungsi.

***
Peristiwa ini sudah 20 tahun terjadi. Mungkin luka fisik para Korban sudah mulai membaik. Kondisi psikologisnya ditekan sedemikian rupa agar bisa menerima kenyataan ini. Situasinya pasti sungguhlah berat; hidup dalam ketakutan dan bayang-bayang aib jika menyampaikan ke publik. Bangsa ini berhutang banyak permintaan maaf pada mereka.

Sedangkan bagi pelaku, mereka mungkin telah melupakannya, atau malah justru menceritakan "kegagahan" itu dengan bangga ke temannya. Saya berharap akan ada salah satu dari mereka yang berani melakukan testimoni ke publik dan meminta maaf. Sebab, bangsa ini perlu terus diuji apakah bisa memberi pengampunan atau tetap tidak dewasa memandang kesalahan. (*)



**** pernah dimuat di asumsi.co sebelum akhirnya raib :D

Saturday, June 6, 2020

MENGHORMAT SUMATERA BARAT


Aplikasi Injil berbahasa Minangkabau seketika lenyap dari playstore setelah surat Gubernur Sumatera ramai di media sosial. 

Siapapun pejabat publiknya ---apalagi selevel menteri-- sepanjang KTPnya tidak Islam, akan mengkeret jika disomasi untuk urusan yang dianggap sensitif. 

Pancasila, UUD 45, UDHR, dan aneka kovenan yang menjamin kesetaraan dan kemerdekaan ekspresi keagamaan, minggir dulu. Fokus utama Menteri, bagaimana agar si Bungsu di Sumatera Barat yang susah dewasa berhenti tantrum karena fobia.

Ini tidak berarti  sang menteri takut, namun sebaliknya, aku melihat ia merupakan kakak yang sangat perhatian pada adiknya. Tidak tega melihat si bungsu kepanasan melihat ada alkitab berbahasa Minang. Pak Menteri seperti tengah menjalankan perannya sebagai seorang Katolik sejati; work out his own salvation with fear and trembling (Phillipians 2 12).


Benarlah adanya. Orang yang sedang tantrum karena fobia tidak boleh dibully, dimaki, dicemooh atau dikritik. Itu sangatlah tidak bijak. Semakin ia diperlakukan seperti itu, semakin sulit sembuh, dan yang terparah, semakin lukanya menganga. 

Entah tantrum karena fobia atau motif politik elektoral, namun ketakutan terhadap kekristenan adalah nyata. Orang seperti Gubernur Sumatera Barat perlu diajak bicara, dilawat, diajak ngobrol, disowani, terutama oleh PGI atau KWI dengan ditemani ormas Islam Sumbar yang masih moderat --jika ada. 

Semakin interaksi antara Islam dan Kristen/Katolik terjadi di sana, semakin besar peluang fobia akan sembuh. Tanpa interaksi yang intensif, Pancasila hanya akan jadi pajangan. 

Hal ini tentu tidaklah mudah. Ketakutan dan rasa gentar selalu akan mengiringi hal tersebut. Padahal, dua perasaan itu kerap membuat kita tidak nyaman dan sering memaksa kita menghindarinya. 


Pagi ini, aku akhirnya bisa menginstal aplikasi Injil Minangkabau yang sudah raib dari playstore. Dengan cara ini, dan menuliskannya untuk publik, aku merasa telah menghormat Sumatera Barat, sebagai seorang Muslim.

Aku buka beberapa halama aplikasi tersebut dan membayangkan teman-temanku berbicara dengan logat Minang. Aku tertawa-tawa sendiri membayangkannya. 

Selanjutnya aku mencari salah satu ayat yang aku kenal. Ayat ini telah lama aku dengar --baik ketika digunakan melengkapi citra rasa humor atau saat khotbah. Ayat ini pula yang menjadi pusat perhatianku sewaktu menonton "Imitation Game," karena digunakan sebagai kunci enkripsi sandi dalam film tersebut.

"Mintaklah, mako angkau ka mana-rimo. Carilah, mako angkau ka man-dapek. Tokoklah pintu, mako pintu ka dibukakkan untuak angkau."

*** warkop pasar pithik

Friday, March 20, 2020

TOLONG GUS


Aku tak tahan untuk tidak menuliskannya. Cerita ini --cerita tentang keinginan seorang ayah agar anaknya bisa dikembalikan sebagai perempuan "sejati," yang feminin dan menyukai lawan jenis. Bukan sebaliknya.

"Tolong gus...." ia memohon begitu tulusnya dengan intonasi tersebut.

Aku benar-benar bingung dan trenyuh atas permohonan ini. Intonasi itu mengingatkanku pada Priam, raja Troy, ketika memohon kepada Achilles agar dizinkan membawa pulang mayat Hector anaknya. Mayat itu tergeletak bersimbah darah di depan tenda Achilles setelah keduanya duel satu lawan satu.

Aku bingung karena aku bukan Achilles dan ia juga bukan Priam, King of Troy.

---

Ini adalah kedatangannya kedua kali ke rumahku. Kedatangan yang pertama sekitar setahun lalu. Ia bersama istri dan putrinya yang ia minta aku "sembuhkan,"

Saat itu sang putri, sebut saja Steve, baru saja bertengkar hebat dengannya. Terjadi kontak fisik, meski keduanya saling menyesali atas peristiwa itu sesudahnya. Sang bapak, panggil saja Priam, begitu frustasi melihat Steve tidak juga kembali ke "kodrat,"nya sebagai perempuan pada umumnya.  Keduanya sama-sama emosional dan sedikit lepas kendali. 

"Dari dulu aku selalu diajak ayah berkunjung ke kiai-kiai pilihan ayah, aku turuti. Sekarang giliranku mengajak ayah ke kiaiku, namanya Gus Aan," Steve bercerita. 

Priam sangat berharap ada kekuatan dari langit, semacam larikan roh kudus, yang bisa membuat Steve putrinya menjadi apa yang ia idealkan. Itu sebabnya ia meretas kekuatan tersebut melalui kanal para kiai-kiai, para orang-orang tua. Dari mereka, Priam berharap Steve akan sembuh. 

Kecintaan Priam terhadap putrinya membuat pria ini begitu sangat bersemangat mengubah Steve. Namun sayangnya kecintaan ini malah membuat Steve begitu tertekan.

"Nek koyok ngene aku tak bunuh diri aja, gus" katanya sembari mendengus di hadapan kami bertiga. Terdengar ada sesenggukan tangis. Tidak dari Steve namun dari orang di sampingnya. Sang ibu. 

Perempuan ini terus mengelus Steve sembari menangis. Menangis dan menangis. Ia tampak sedang mentransfer energi kedamaian kepada putrinya ini. Cinta mati betul kedua orang ini pada Steve, batinku.


"Mas, tak banyak kiai, gus atau ustadz yang pernah belajar ilmu gender dan seksualitas, meski mereka menguasai fikih," kataku. 

Tanpa ilmu tersebut, tambahku, fikih hanya akan menjadi arena penghakiman bagi Steve.  Jika diteruskan, itu berarti sampeyan berdua harus siap-siap kehilangan Steve. Entah mereka siap atau tidak. Ibunya makin tersengguk-sengguk.

"Sampeyan itu wataknya keras, mas. Pemberani. Ksatria. Siapapun akan sampeyan hadapi sepanjang sampeyan tidak merasa bersalah. Sampeyan juga perlu menyadari Steve mewarisi itu. Aku nyuwun tulung, jangan bersikap keras pada Steve," pintaku.

Selanjutnya aku memberikan perspektif SOGIE-SC pada mereka. Steve tentu  sudah menguasai ilmu tersebut dan aku meyakini ia sudah menyampaikan ke orang tuanya. Selain SOGIESC, aku juga menawarkan cara pandang baru dalam berislam, khususnya dalam perspektif keadilan minoritas gender dan seksualitas.

Meyakinkan mereka tentu tidaklah mudah, sesulit meyakinkan orang yang bertuhan secara membabi buta dalam isu corona. Padahal aku merasa sudah sangat gamblang dan rasional menjelaskan hal tersebut.

Malam itu, Priam melakukan resistensi padaku di hadapan anak dan istrinya. ia menahan rasa marah yang meluap-luap dan terlihat sangat kecewa dengan "kiai," yang dianggapnya tidak sejalan dengan pikirannya.

Aku diam saja sembari tersenyum, mendengarkan ia membentak-bentakku, di rumahku. Aku meminta maaf padanya karena tidak seperti yang ia bayangkan, sembari terus mempersilahkannya berbicara, mengeluarkan uneg-unegnya. 

Dalam hatiku, aku hanya membatin, betapa Tuhan sangat menyayangiku dengan cara memberiku tamu yang unik pada tuan rumahnya. Kadang aku masih suka senyum-senyum sendiri mengingatnya.

Ketiganya lalu pamit pulang. Priam nampak begitu bersalah padaku. Berkali-kali ia minta maaf. Namun aura kemaraham tetap tinggal di raut wajahnya. 

"Ndak popo mas, aku bisa memahami sampeyan kok. Tolong jangan ada lagi kekerasan saat berbeda pandangan dengan Steve," ujarku. ".... Mbak, aku nitip bojo sampeyan dan Steve ya. Siramlah air kala mereka sedang panas," kataku pada perempuan ini. Ia hanya mengangguk sambil terus menyeka matanya dengan tisu.

Itu kejadian setahun lalu. 


Sore itu, Priam datang membawa seplastik besar krupuk menemuiku kembali. Aku benar-benar tidak menyangka. Pengharapanku pupus setelah peristiwa itu.

"Mas, aku senang sampeyan ke sini lagi. Sungguh," ujarku menyapanya. Ia langsung meminta maaf.

Jika boleh jujur, tiga hari sebelum Priam ke sini, aku merasa telah mendapat pertanda dari alam raya. Secara tak sengaja, aku melihat postingan di IG Steve. Mereka sekeluarga tampak sedang menunggu makanan di meja restoran. Uniknya, tidak hanya ada Priam, istrinya dan Steve di foto itu. Ada satu sosok perempuan berwajah oriental feminim duduk di samping Steve. 

Kami segera larut dalam obrolan yang bernas, penuh canda diselingi negoisasi-negoisasi agak alot.

"Tolong ya gus...."
(*)

Saturday, March 14, 2020

Jawa KW yang Keminter


Betapa senang dan masygulnya aku menerima tawaran dari mas Otto, tokoh senior kelompok Penghayat Jawa Timur. Doktor ini memintaku bersedia menjadi pembicara dalam musyawarah Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) -- semacam federasi kelompok penghayat yang punya kepengurusan hingga level pusat.

Aku masygul karena organisasi tersebut telah aku anggap pewaris dan pelestari tradisi dan spiritualitas Jawa. Core of the core.

Ya, gara-gara ada "Jawa"nya itulah aku merasa galau, sebab aku juga Jawa namun kerap merasa minder dengan kejawaanku.

"Ngapunten, saya nggak bisa bahasa Jawa, apalagi jika disuruh menulis, apalagi jika ditanya filosofi dan hal subtil lainnya. Saya merasa Jawa KW," ujarku memulai sesi. Entah apa yang ada dalam pikiran ratusan orang di hadapanku, Kamis (12/3), di Malang.


Tak ada yang lebih ironis ketimbang Jawa sepertiku, jika dipikir; dididik lebih takut nggak bisa ngaji Arab ketimbang nggak mampu menulis honocoroko; dilatih untuk lebih tahu sejarah Islam (Arab) ketimbang leluhurnya sendiri; dan, dikondisikan untuk tidak merasa malu dengan ironi itu.

Dalam sesi pendek bersama satu narasumber lainnya, aku mempresentasikan beberapa slide berjudul "Mewujudkan Keluhuran Jawa Timur; Peran MLKI dalam pandangan seorang GUSDURian," -- panjang sekali judulnya. Sok pintar.

Dalam presentasi tersebut aku berusaha menawarkan gagasan idealitas peran MLKI agar Jawa Timur lebih toleran. Tawaran dimulai dengan paparanku menyangkut peringkat Indeks Demokrasi Jawa Timur yang masuk dalam kategori sedang.

Kemudian aku susuli dengan data potret keislaman Indonesia yang semakin miring ke "kanan," dalam kurun 20 tahun terakhir ini. Kemiringan ini berimplikasi terhadap kebencian muslim dewasa terhadap non-muslim (termasuk Penghayat), Tionghoa, Tertuduh-Komunis, dan LGBT.

"Anda sekalian termasuk kelompok yang terkena imbas karena dianggap beragama secara nyleneh dan keminter," kataku. Nyleneh berarti berbeda dari kelaziman, khususnya yang ada sangkut pautnya dengan Islam, tambahku.

Jika mau jujur, Islam dan penghayat di Jawa seperti Milea dan Dilan. Keduanya tak bisa dipisahkan. Aku pernah membaca, tapi entah di buku apa, bahwa tidak ada suku yang memeluk Islam terbanyak di dunia melebihi Jawa. Islamisasi Jawa berjalan sangat massif, setidaknya menurut catatan MC. Ricklefs.

Jawa yang telah punya sistem ketuhanan sendiri sebelum Islam datang menjadi babak belur atas ekspansi agama Arab ini. Uniknya, meski babak belur, Jawa ternyata masih sangguh bernegoisasi dengan Islam.

Hal ini terlihat dalam sinkretisme mistis sebagaimana hipotesis Ricklefs. Sinkretisme mistis adalah semacam doktrin yang mencakup tiga hal; menjadi Jawa adalah menjadi Islam; menjadi Islam berarti melakukan tuntunannya (rukun Islam); dan, tetap mempercayai makhluk adikodrati.

Sedangkan "keminter," dalam hal ini aku maksudkan untuk menunjukkan kemampuan hampir semua anggota penghayat menemukan maksud "sejati," dari sebuah agama, TANPA harus tergantung dengan khazanah intelektual Islam klasik.

Jika tasawwuf adalah level keislaman tertinggi, dan untuk mencapai hal ini muslim Sunni kerap meminta bantuan Imam Ghazali dengan Ihya Ulum al-din dan Bidayah al-Hidayah, atau al-Hikam milik Ibnu Atha'illah al-Sakandari, maka kelompok Penghayat cukup menggunakan kemampuan rasio dan nurani. Keminter adalah olokan yang dinisbatkan banyak orang Islam kepada Penghayat.

Dalam pandangan orang Islam, mereka dianggap telah offside dan diminta segera kembali berislam secara "benar," meninggalkan cara-cara yang menjurus syirik. Itu sebabnya, saat Mahkamah Konstitusi memutuskan Penghayat bisa mendapatkan kolom agamanya di KTP secara mandiri, MUI dan beberapa ormas lain tidak setuju. Bagi mereka, "agama," punya derajat lebih tinggi ketimbang Penghayat.

"Tapi kan tidak semua ormas Islam memusuhi kami, misalnya NU?" ujarku mencoba menebak apa yang mereka pikirkan. NU dalam pandangan mereka, tebakanku, masih dianggap sebagai ormas Islam yang relatif terdepan dalam upaya merawat kebinekaan, ketimbang yang lain. Persepsi ini sungguhlah benar adanya meskipun butuh penggambaran yang lebih utuh.

Survei LSI-Denny JA menempatkan Nahdlatul Ulama sebagai ormas paling banyak pengikutnya, meninggalkan ormas-ormas Islam lainnya. Bagi sebagian banyak orang, hasil survei ini disambut gembira.

Aku sendiri mencoba berfikir agak mendalam hingga tiba pada sebuah perenungan; jika kami dianggap sebaga ormas terbesar Islam di Indonesia, kenapa praktek intoleransi di negeri makin meninggi? Benarkah pelakunya Islam non-NU atau sebenarnya ada hal yang tidak kami ketahui, atau bahkan enggan kami ungkapkan?

“Saya membagi ormas Islam kaitannya dengan toleransi dan Pancasila dalam 3 kuadran,” ujarku pada mereka.

Pertama, kuadran konservatif. Ormas model ini sangat kental nuansa islamismenya. Mereka adalah pendukung utama perubahan republik ini menjadi negara Islam. Semua, bagi mereka, harus serba Islam, dari urusan makanan, ranjang hingga panggung politik.

Mereka juga masih menggunakan diksi binerik, misalnya, Islam – Kafir, yang-benar – yang-salah. Itu sebabnya, dakwahnya kental nuansa konversif –sangat senang dan bergairah mengislamkan pemeluk agama lain. Jangan ditanya pendapat mereka terkait pemimpin publik; apakah harus seagama atau tidak. Jawaban mereka sudah sangat pasti; emoh pemimpin non-Muslim.

Kuadran kedua adalah moderat. Kelompok ini tidak setuju jika Indonesia diganti sistem Islam sebagaimana tawaran HTI. Namun mereka tidak keberatan dengan maraknya regulasi syariah di daerah-daerah. Kelompok ini lebih politis dan pada banyak hal, tanpa mereka sadari, sepakat negara ini menganakemaskan umat Islam, meskipun banyak diantara mereka yang sudah mengganti diksi “kafir,” menjadi “muwaththinun – warganegara,”

Bagaimana pandangan mereka menyangkut pemimpin non-Islam? Sekali, lebih politis, sangat tergantung dari kepentingan politik yang berkembang saat itu.

Kuadran terakhir, progresif. Kelompok ini posisinya sangat jelas; antiislamisme. Mereka percaya demokrasi merupakan sistem yang relatif fair untuk membangun tujuan syariah yang adil dan setara untuk semua orang, apapun identitasnya.

Dalam pandangan mereka, Islam dianggap bukan satu-satunya jalan kebenaran. Setiap agama adalah jalan menuju keselamatan jika diikuti dengan baik. Bahkan, pada titik tertentu, kelompok ini juga menyuarakan pentingnya affirmative action dalam bentuk ketidakberatannya dipimpin oleh kelompok minoritas.

Mereka tidak menggunakan kata "kafir," untuk menyebut orang non-Islam, melainkan “orang yang beriman,”

“Ibu Bapak, tiga kuadran ini saya gunakan untuk memetakan ormas Islam, tanpa melihat afiliasi mereka apakah dari NU, Muhammadiyah, Persis, atau yang lain,” ujarku. Aku senyatanya berusaha membekali para peserta dengan alat ukur agar bisa lebih memahami ormas Islam di tempat mereka masing-masing.

Kenapa tiga kuadran tersebut penting bagi MLKI? Sebab umat Islam yang kini tengah “sakit,” akan sangat sulit “sembuh,” tanpa bantuan elemen lain. Di hadapan mereka aku meminta peserta bersabar atas perlakuan tidak mengenakkan dari banyak orang Islam. “Kalau ibu bapak mulai menyerah mengajak kami berbuat baik, lunas sudah republik ini,” kataku sembari tertawa.

Dalam forum tersebut, aku juga mengajak MLKI mempertimbangkan empat indikator peran yang bisa dilakukan secara berjenjang; dari indikator terendah sampai tertinggi --sebagaimana dalam gambar. “Jika MLKI mampu mengajak ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah atau MUI bisa ngopi jagongan di sekretariat MLKI, Jawa Timur akan jauh menjadi lebih harmonis lagi,” kataku, seorang Jawa KW yang sok pintar ini.

Diluar presentasiku, Ada peristiwa menarik di saat tersebut. Adalah narasumber yang duduk di sebelahku. Perempuan berjilbab modis. Namanya Meithi, seorang doktor. Aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya. Mendengar namanya saja baru kali ini.

Namun ketika bertemu denganku di atas panggung, ia berkata lirih sembari tersenyum, “Oooo ini tho namanya Aan Anshori yang kemarin diusir dari kolam renang gara-gara sempakan,”

Kami pun terpingkal-pingkal bersama.(*)

Tuesday, September 11, 2018

SURAT UNTUK CECIL DAN GALANG; AYO BERHIJRAH


Dear Cecil dan Galang,
Aku lewatkan tahun baru hijriyah kali ini di Purwokerto, ibukota kabupaten Banyumas.

Meski selevel kecamatan, cukup banyak jejak institusi besar yang sangat jarang dimiliki kecamatan-kecamatan lain. Ada katedral dan ada Bank Indonesia. Kabupaten ini juga memiliki dua pengadilan negeri serta dua pengadilan agama.

Sebelum digabungkan menjadi satu dengan Banyumas, sangat nampak Purwokerto merupakan kota yang cukup penting di masa lalu, semacam situs berperadaban tinggi yang membuat banyak orang tertarik berhijrah ke sini.

Purwoketo mengingatkan Ayah kepada Madinah, kota tempat Nabi Muhammad berhijrah 1440 tahun lalu. Madinah adalah kota Yahudi berperadaban tinggi. Salah satu cirinya, perempuan Madinah dikenal kritis dan tidak gampang tunduk pada nalar patriarki.

Itu sebabnya mereka relatif punya posisi tawar yang setara dengan laki-laki. Kabarnya, Umar bin Khattab sempat gusar dengan istrinya yang berubah menjadi kritis padanya. "Ini pasti karena terkontaminasi perempuan Anshar (Madinah)," kata Umar

Ada sekitar 66 klan Yahudi di sana sebelum akhirnya mereka digilas dan digantikan komunitas muslim. Transisi ini sendiri tidak membutuhkan waktu lama, kurang dari 10 tahun sejak Nabi hijrah ke kota ini tahun 622 masehi.

Dear Cecil dan Galang,
Saat di Purwokerto kemarin, ayah melihat pawai dari sekolah-sekolah Islam. Mereka berbaris dan berarak menyusuri jalanan kota itu. Persis seperti hijrah Nabi.
Hijrah bisa diartikan "berpindah," atau "meninggalkan," Ayah memaknainya sebagai kesediaan seseorang meninggalkan era kegelapan menuju peradaban yang lebih manusiawi. Istilah Quraniknya; min al-dlulumati ila al-nuur.

Kelak jika besar nanti, kamu berdua akan tahu betapa Negeri yang terlihat tenang dan adem ayem ini sebenarnya menyimpan keganasan akut.

Tidak sedikit dari orang yang seagama dengan kalian melakukan kekerasan dan persekusi kepada pemeluk agama minoritas. Ngeri sekali datanya.

Itu sebabnya, Senin (10/9) ayahmu sangat bersyukur bisa membawa hampir 100 orang berhijrah agar tidak menjadi predator atas nama agama. Mereka adalah mahasiswa/mahasiswi jurusan Studi Agama-agama IAIN Purwokerto, kampus yang belum pernah ayah singgahi.

Bersama teman-teman GUSDURian Banyumas, ayah mengajak mereka untuk mengenal 9 nilai Gus Dur di Klenteng Hok Tek Bio Pasar Wage. Ayah melihat sendir mereka tidak lagi canggung masuk ke klenteng, berdiskusi dengan Js. Mariyati dan selfie di sudut-sudut klenteng.

Mereka juga sangat antusias mengikuti kesaksian Bhikku Agus dari padepokan Astha Brata Kemutug Baturaden. "Te, ceritain dong ke mereka bagaimana pergulatan spiritualitas panjenengan hingga akhirnya menjadi Buddhist," kataku kepada laki-laki jebolan beberapa pesantren ini.

Usai di klenteng, ayah membawa mereka ke tempat paling menyeramkan bagi banyak orang Islam; gereja! Ayah memilih GKI Gatot Subroto yang tidak jauh dari Klenteng. Pendetanya, Adon, adalah teman ayah. GKI Gatsu sudah seperti rumah sendiri karena ayah bisa numpang tidur di salah satu kamarnya, kapan saja.

Kunjungan di gereja ini tidak kalah hebohnya dengan di klenteng. Para mahasiswa sangat antusias bertanya dan mengomentari soal kekristenan; dari Trinitas hingga film The Nun. Diakhir acara, tiga pendeta yang hadir di acara tersebut; Adon, Maria (GKJ), dan Stefanie, berdoa dan mengangkat tangannya untuk memberi berkat semua yang hadir.

Pertemuan di GKI Gatsu yang merupakan destinasi akhir dari hijrah hari itu ditutup dengan peneguhan keindonesian. Kami menyanyikan lagu "Satu Nusa Satu Bangsa" berjamaah.

Dear Cecil dan Galang,

Itulah sekelumit cerita dari perjalanan ayahmu yang terus berupaya menjadikan dunia ini lebih baik, di mana setiap orang bisa saling menghormati dan mencintai. Namun demikian, tidak semua orang bisa memahami ayahmu. Kelak, sangat mungkin kalian berdua akan mendengar pengakuan orang yang mengagetkan. "Ooooo jadi kamu anaknya Aan Anshori ya. Bapakmu dulu itu tukang ngajak orang Islam ke gereja dan membela kelompok LGBT,"

Ayah hanya berharap kalian tidak malu dengan cibiran itu. Sebab, kalian berdua harus tahu, tidak sedikit orang yang membenci ayahmu. Sangat mungkin karena mereka belum memahami visi yang kami bangun dalam beragama. Andai mereka memahami visi ayah, niscaya mereka akan bahu-membahu membantu banyak orang untuk berhijrah.

Namun jangan kuatir, ayah tidak sendirian. Selain 3 pendeta tadi, ada banyak orang seperti ayah GUSDURian Banyumas, misalnya Mbak Ory, Gus Chumedy Yusuf, Kholis, Zahro, Ester dan puluhan lainnya. Mereka nantinya adalah teman-teman kalian jika sudah dewasa. Semoga kalian berdua bisa mengenal mereka.(*)

Sunday, May 20, 2018

Cerita Dibalik Aksi Solidaritas di GKI Diponegoro


Tanggal 16 Mei, saat mengunjungi Paroki SMTB bersama kawan-kawan, sebuah pesan masuk ke nomorku,dari Andri Purnawan, pendeta GKI Darmo Satelit. Isinya, draft _broadcast_ undangan woro-woro kegiatan di GKI Diponegoro, salah satu lokasi pengeboman.

Aku agak kaget mengingat Andri bukanlah pendeta di GKI Dipo. Ia juga bukan pejabat struktural sinode wilayah yang punya kewenangan menjelajah di luar gereja yang diampunya. Namun aku memahami situasi saat ini, pascapemboman, butuh figur yang mau bergerak.

Adalah Michael Andrew yang terus memotivasi Andri agar GKI Dipo membuka pintunya untuk aksi solidaritas pascatragedi. Michael memang paling suka memprovokasi orang untuk berbuat baik. Dan nampaknya Andri terlecut olehnya. Aku tahu, tak mudah bagi Andri meyakinkan internal GKI.

Drat woro-woro aku kirim balik ke Pdt. Andri, dengan menambahkan beberapa narahubung selain dirinya. Ada tiga nama yang aku masukkan; Michael, Yuska dan Mas Irianto. Lengkap dengan nomor telponnya. "Nama-nama itu sudah dikonfirmasi?" tanya Andri via WA. Aku mengiyakan karena saat itu aku bersama ketiganya di SMTB.

Selanjutnya aku membuat poster sederhana untuk acara di GKI Dipo itu. Foto dua perempuan berjilbab yang salah satunya mencium mawar, hasil jepretan Andy Budiman. Aku memakai foto itu dengan intensi tunggal; menunjukkan betapa kami, umat Islam, ingin membayar dosa bom itu. Tak ada yang lain.

Tanggal 18 malam aku meluncur ke GKI Dipo motoran bersama Adi Acong. Aku melihat penjagaan cukup ketat di depan gereja. Situasi ini seakan menunjukkan betapa alotnya negoisasi psikologis pascapemboman. Aku menduga.

Di sana, sudah menunggu banyak teman dari berbagai elemen. Aku memeluk dan menyalami sebagian dari mereka, sebelum ranselku digeledah metal-detector dan disuruh membuka. "Ini kabel charger laptop, mas," karaku pada petugas yang agak melotot melihat kabel hitam menyembul dari ransel hitamku.

Masuk di halaman GKI Dipo, situasinya mirip pasar malam. Begitu banyak orang yang hadir. Campur bawur. Aku sangat senang sekaligus agak tersiksa. Tersiksa karena aku melihat tanda "No Smoking" di halaman. "Matek aku," rutukku.

Memang, sebagian besar gereja milik GKI ditata dengan konsep tidak ramah perokok. Aku bisa memahaminya. Betapa besar cinta-kasih mereka terhadap kami, para perokok. "Tubuhmu itu bait Allah. Jangan kau rusak dengan rokok," demikian yang kerap aku dengar.

Itu sebabnya, perokok bisa dikatakan hidup dalam ketertindasan. Dan menariknya, Yesus yang aku tahu justru bersama orang-orang yang tertindas. Aku menghibur diriku sendiri, sembari menuju ruang ibadah, tempat acara berlangsung.

Aku mengambil tempat duduk di lantai atas. Menjauhi kiri-kanan panggung yang sudah diisi ratusan orang. Ada yang ndoprok di lantai dan ada yang duduk di kursi. Ruang gereja itu benar-benar penuh sesak orang. _"Cuk, akehe wong sing teko,"_ batinku merasa senang.

Aku larut bersama ratusan dari mereka. Di balkon atas tempatku duduk, aku bisa dengan leluasa menikmati pemandangan di bawah. Suasananya begitu larut penuh emosi ketika beberapa orang mulai memberi kesaksian saat bom meledak. Aku tak bisa menyembuyikan rasa maluku. Sebelumnya, Andri sudah mengingatkanku bahwa sangat mungkin teman-teman Dipo akan sedikit ekspresif mengungkapkan kedukaannya. Dan itu memang benar-benar terjadi.

Aku menundukkan kepala. Guilty feeling. Rasanya aku tak berani menghadapi begitu banyak orang Kristen di ruangan itu. Malu. "Aku di sini saja," batinku.

Namun takdir berkehendak lain. Pdt. Andri yang sudah naik panggung dekat mimbar memanggil namaku dengan mikrofon. "Saya minta kawan saya dari Jombang maju bersama saya di sini," ucapnya keras sembari memanggil namaku.

Aku pun turun dari balkon dituntun ratusan pasang mata. Kami berdua kemudian mulai menjadi jenderal panggung mengorkestrasi acara selama beberapa jam.

_The pain will make us much stronger._

I love you, GKI Dipo!

Monday, March 12, 2018

Undangan Narasi Memori "Melampaui Rasa Takut"


Project narasi memori "Melampaui Rasa Takut" adalah inisiatif menuliskan pengalaman unik/menegangkan seputar interaksi dengan kekristenan, misalnya pertama kali masuk gereja, ikut natal, berteman dengan orang Kristen, dll. Contoh tulisan yang bisa dirujuk adalah "Termenung di hadapan Salib GKJW Banyuwangi" karya Fina Mawaddah PMII Untag Banyuwangi

Tujuan project ini adalah untuk memperkuat dialog hubungan Islam - Kristen di Indonesia melalui penarasian memori kader/alumni PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).

Project ini bersifat mandiri, tidak didukung oleh lembaga donor, parpol atau institusi sejenis lainnya.

Beberapa hal penting:
1. ‎Penulis adalah kader/alumni PMII dari mana saja.
2. ‎Tulisan merupakan pengalaman pribadi (melihat, melakukan, mendengar) penulis, non-fiksi, dan belum pernah dipublikasi sebelumnya.
3. ‎Ditulis dalam gaya bebas, memenuhi kriteria 5W+1H (what, when, where, who/whom, why, and how), sebanyak 700-1000 kata, dan dikirim ke pmii4diversity@gmail.com PALING LAMBAT 5 Mei 2018
4. ‎Editor berhak mengedit tulisan jika diperlukan
5. ‎Penulis menyertakan profil pendek yang memuat sekurang-kurangnya data identitas PMII, misal, _Aan Anshori, Mapaba 2000 Komisariat Pattimura PC PMII Jombang_
6. ‎Penulis akan mendapat buku gratis jika sudah diterbitkan
7. ‎Informasi lebih lanjut bisa mengontak WA/Telegram 08155045039

Thank

Aan Anshori

Wednesday, January 3, 2018

NU Queer di Warung Daun

Saat usai perhelatan ngopi bareng di Warung Daun Kediri, Kamis (16/11), saya bilang ke Mas Sanusi, direktur LSM Suar, "Mas, kalau mau jujur, NU iki queer lho dalam isu LGBTIQ," ujar saya sembari terbahak-bahak. Queer itu istilah dalam dunia gender dan seksualitas yang merujuk pada sesuatu di luar kebiasaan, aneh, antik, unik, atau kontradiktif.

Contoh gampangnya begini, Bunda Maria dipercaya mengandung tanpa proses yang ghalib, nah itu aneh, queer namanya. Atau, ada mobil yang bisa jalan dengan bahan bakar air, bukan bensin, itu juga queer.

Atau, ada tiang listrik tetap kokoh berdiri sedangkan Fortunernya ringsek dan Setnov katanya benjol sebesar bakpao, itu juga queer, aneh bin ajaib. Dalam isu LGBTIQ, sikap PBNU sudah sangat tegas; menolak dan mengutuk keras. Bahkan merekomendasi Negara untuk aktif membantu rehabilitasi "penderitanya," Anda bisa cek pemberitaan sekitar 26 Februari 2016.

Sungguhpun demikian, yang menarik, sikap ini tidak serta merta diikuti oleh jajaran di bawahnya di banyak daerah. Beberapa badan otonom, lajnah maupun lembaga di level propinsi maupun kabupaten/kota, terlibat dalam berbagai kegiatan yang melibatkan kelompok LGBTIQ, terutama di isu penanggulangan HIV/AIDS.

Bagi saya, ini queer. Ke-queer-an juga terjadi kemarin di acara cangkrukan di Warung Daun Kediri. Yang datang sangat beragam; perwakilan pemkab, mahasiswa STAIN Kediri, gay, trangender, lesbian, pekerja seks, germo, aktivis, dan lain-lain.

Hampir semuanya pakai qunut kalau subuhan, atau setidaknya nyekar ke kuburan dan melaksanakan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari kematian. Saya yang didapuk memantik diskusi, ya wong NU, begitu juga moderatornya, Mas Sanusi. Yang berdoa malah ketua GP Ansor Kabupaten Kediri, Munasir Huda.

Ancen NU iki Queer kok...:)

Saturday, August 19, 2017

Al-Falah diantara Philadelphia dan Filadelfia

"Mas, aku jemput sekarang ya, mumpung aku senggang. Karena nanti malam kami ada yasinan di Masjid Al-Falah," pesan pendek masuk ke ponsel segera setelah aku mendapat free wifi hotel. Aku memang hanya mengandalkan internet gratisan selama di AS. Paket data di negeri ini lumayan mehong (mahal). Aku harus ngirit, hidup mengandalkan uang saku #IVLP yang tidak bisa dikatakan melimpah ruah. *hais

Pesan itu datang dari Mas Aditya, warga Suroboyo yang tinggal lama di Philly bersama istri dan seorang anak. "Aku melok Yasinan, Mas," sahutku tanpa berfikir panjang. Yasin adalah salah satu surat panjang yang wajib aku hapal jika ingin lulus Tsanawiyah di Tambakberas puluhan tahun lalu. Jangan tanya apakah aku paham artinya dan kandungannya, selain bahwa surat ini diyakini cukup ampuh mempermudah kepergian orang dari dunia ini.

Setelah acara keliling kota singkat, kami pun meluncur ke Masjid al-Falah. Jangan dibayangkan masjidnya seperti Istiqlal. Untuk ukuran musholla di kampungku Mojongapit saja, al-Falah masih lebih kecil.

Bangunan ini tidak lebih merupakan apartemen yang terintegrasi dengan deretan apartemen lain di South Philly. Letaknya bisa Anda temukan di Google Map dengan keyword "alFalah Philadelphia".

Setelah menunaikan sholat Maghrib, kami Yasinan dan Waqi'ahan sebentar, dilanjut shalat Isya' dan makan bersama ala pesantren. Selama di AS baru kali ini saya membaui aroma beras yang sangat saya kenal. "Dari baunya, ini jenis Bramu. Kalau di Indonesia, ini beras kelas atas," kataku tanpa ditanya.

Kewangian Bramu hanya bisa dikalahkan oleh jenis Menthik Wangi -- tolong jangan dikacaukan dengan Kuntilanak Wangi karya Saskia Eleanor Wieringa. Jamaah yang hadir ternyata tidak kenal dengan nama Bramu. "Iki beras Thailand, Mas," kata Hani White, salah satu aktifis masjid.

Hani yang datang malam itu bersama suaminya terbilang unik. Dia pakai celana panjang, kaosan dan tidak menutup kepala (jilbab) di acara tersebut. Dia ikut dari awal hingga akhir. Penerimaan al-Falah terhadap keragaman busana malam itu menggembirakanku.

"Di Jawa, kamu akan sulit bertahan dengan pilihan tanpa berkerudung saat ikut Yasinan dan Waqiahan. Aku senang itu tidak terjadi di sini. Keislaman perempuan tidak bisa sepenuhnya dilihat dari busananya," sahutku mengomentari sembari terus melahap gado-gado.

Aku senang sekali saat diminta menjelaskan apa itu Jaringan GUSDURian di forum itu. Tidak lupa, aku memberikan konteks kontemporer situasi intoleransi Indonesia. Pluralitas peserta yang hadir --dari NU dan Muhammadiyah, memberiku landasan realitas untuk menukik pada isu keragaman yang telah lama ada di belantara hukum Islam.

"Kamu tarawih 8, saya tarawih 20, mana sebenarnya yang benar-benar Islam?" tanyaku menggoda. Aku menegaskan hal ini untuk melucuti model berfikir biner "hanya satu Islam" yang kerap menyerimpung nalar sehat umat Islam Indonesia akhir-akhir ini.

Cara berfikir biner kerap menyandera kewajiban seseorang untuk mengedepankan respect terhadap liyan. Aku secara jujur menyampaikan betapa beruntungnya mereka yang hadir dirawat oleh kemajemukan Philadelphia. Sebab di Indonesia, nama Filadelfia justru menjadi ikon intoleransi atas sebuah gereja HKBP.(*)

*Logan Park, PA, August 19th, 7:49am.

Friday, June 30, 2017

Doa Fitri dari Pdt. Ari Mustyorini

Sudah dua kali rombongan Forum Masyarakat Gresik Pecinta Keberagaman (FORMAGAM) bersilaturahmi lebaran ke rumah mertua saya di Ngampel Manyar Gresik. Tahun kemarin dan lebaran barusan.

Formagam adalah motor gerakan toleransi di luar struktur negara, semacam FKUB swasta. Saat deklarasi beberapa tahun lalu, mereka memanfaatkan momentum kedatangan ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman dalam acara sahur bersama di Pemkab Gresik. Naskah deklasinya ditandatangani istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid.

Saya masih ingat, kala itu, sempat dikritik paspampres gara-gara menyisipkan acara penandatangan deklarasi. Tidak sesuai rundown yang tertera. "Mas, harusnya kami diberitahu sejak awal supaya bisa lapor komandan," kata anggota paspampres sembari memfoto naskah deklarasi, 30 menit sebelum ditandatangani. Saya nyengir kuda. Panitia lokal berharap-harap cemas, kuatir nggak diloloskan.

Mungkin itu sebabnya, saya merasa sangat dekat dengan Formagam hingga sekarang. Saya merasa dipelakukan seperti saudara, termasuk oleh Pdt. Ari Mustyorini, pendeta di GKJW Gresik.

Pagi itu, Kamis (29/6) ia memimpin rombongan Formagam menuju rumah mertua saya. Ia datang bersama seluruh keluarganya, dan beberapa teman Formagam; Mbak Nunik, Mbak Christina Ariani, si mungil Febe, dan Pak Eko dari Paroki Gresik.

Saya sadar rute rumah mertua saya agak rumit karena harus membelah Pasar Sembayat yang super meliuk-liuk. Itu sebabnya, meski sudah saya kirimi koordinat dari GoogleMap,  saya tetap merasa perlu menyanggong rombongan di mulut desa. "Desa Ngampel Manyar. Masuk Pasar Sembayat 1 km. Nanti tanya saja desa Ngampel. Setelah sampai  Ngampel, nanya saja rumah Amiroh, Hj. Askonah / (alm) Kiai Adnan," begitu bunyi WA saya ke dia, disusul dengan "share location".

Saya tunggui mereka di Warkop Mat Seri yang letaknya di tanggul desa. Desa Ngampel memang punya tanggul besar untuk mencegah luberan banjir dari Bengawan Solo.

Datang ke rumah, rombongan lantas saya perkenalkan dengan keluarga besar the Adnans, termasuk pasangan saya, Amiroh. Sayang sekali hampir semua kakak ipar saya tidak bisa ikut  jagongi rombongan. Mereka harus melawat ke Bungah untuk bersilaturahmi dengan keluarga pesantren di sana. Riyayan ke Bungah adalah kewajiban bagi the Adnans. Dulu yang menikahkan saya dengan Amiroh adalah alm. Kiai Maimun Bungah, sebab alm. ayah mertua mengalami masalah kesehatan --sebelum akhirnya meninggal dunia sehari setelah akad nikah.

Rasanya, baik Amiroh maupun saya, telah dirawat oleh tradisi menghormati orang yang kami anggap punya integritas-relijius. Kepada mereka, kami kerap meminta barokah doa. Benar bahwa setiap orang bisa memanjatkan doanya langsung pada Alloh, namun secara sosiologis, tetap saja selalu ada aktor-aktor intermediari (bahasa prokemnya; makelar) antara Tuhan dan manusia.

"Mbak, sebelum pamit, tolong aku minta barokah doanya ya," kata saya ke Mbak Ari. Mungkin ia tidak menyangka diminta demikian, sehingga saya kembali memperkuatnya, "Iya, sampeyan doain saya dan keluarga di sini,"

Maka Mbak Ari pun memimpin doa bersama --doa yang saya pahami, dengan khitab yang jelas dlomirnya. Disamping saya ada Mas Bas, ia adalah menantu the Adnans, suami kakaknya Amiroh. Saya tidak tahu apakah ia ikut mengamini atau tidak. Saya tidak terlalu memperhatikannya karena terus menunduk khusyuk saat doa diluncurkan.

Setelah berdoa, kami melakukan ritual wajib; berfoto ria --di rumah dan di pinggir tambak.

Monday, June 26, 2017

Histori dan Memori: Undangan Menulis Pengalaman Bergumul dengan Tionghoa

Saat diundang BDC Surabaya mengisi forum diskusi "Tionghoa dalam Lintasan Sejarah Indonesia", Jum'at (22/6), begitu banyak refleksi personal dari peserta. Kebanyakan mereka adalah Tionghoa-non Muslim. Usai acara, saya ngobrol dengan beberapa peserta, terutama untuk mendorong mereka berani menuliskan pergumulannya dengan identitas ketionghoaan. Namun bagaimanapun, tradisi oral tidak akan bertahan lama sepanjang tidak dituliskan. Peradaban hanya akan kokoh jika ada pengalaman yang dirujuk sebagai pondasi.

Undangan ini adalah ikhtiar menarasikan memori personal agar keragaman di Indonesia --terutama dalam isu Tionghoa-- menjadi lebih kaya dan semakin kokoh. Kami sadar, sangat mungkin narasi-narasi nanti berisi kepiluan dan kepedihan, namun bukankah hal itu akan menjadi lokomotif-ingatan utama agar cerita kelam tersebut tidak terulang kembali? Project ini bertajuk "Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia".

Siapa yang bisa menjadi penulis?
Anda tidak perlu terlebih dulu menjadi Tionghoa untuk bisa menulis di project ini. Siapapun yang merasa pernah bersinggungan dengan identitas ketionghoaan bisa menulis kisahnya. All are invited. Yang terpenting, tulisan tersebut berbasis kisah nyata. Bukan fiksi.

Seperti apa format penulisannya?
Tidak ada format baku. Anda bisa menulis dengan berbagai gaya sepanjang menggunakan bahasa Indonesia sesuai EYD (ejaan yang disempurnakan). Tulislah sesuai kata hati. Anda bisa gunakan resep William Wallace dalam film Finding Forrester (2000), "First, you have to write with your HEART. Then rewrite it with your HEAD". Intinya, m-e-n-u-l-i-s. Jangan terlalu dipusingkan dengan apapun. Pokoknya, menulis..menulis dan menulis.

Berapa panjang tulisannya?
Anda bisa menulis minimal 600 kata  (spasi tidak dihitung), atau sekitar 1,5 halaman quarto. Maksimal? Tidak terbatas.

Apakah penulis akan mendapat honor (uang)?
Kami tidak punya anggaran dana untuk itu. Bahkan, untuk mencetaknya sebagai buku, kami belum punya uang. Namun kami yakin masih ada orang baik yang akan berdonasi untuk menerbitkannya. Hal yang kami tawarkan sebagai honor adalah kehormatan dan keabadian para penulis untuk berkontribusi bagi dialog kultural Tionghoa dan Indonesia.

Apakah nama penulis akan tercantum?
Jelas, nama setiap penulis akan dicantumkan dalam karyanya. Buku kumpulan cerita ini akan menjadi milik para penulis, khususnya. Serta menjadi milik peradaban dunia, pada umumnya.

Jika buku ini dicetak dan dijual, siapa yang mengantongi royaltinya?
Royalti akan menjadi milik para penulis. Kami belum tahu teknis pembagiannya. Namun jika boleh usul, royalti bisa digunakan untuk mendanai promosi buku ini, misalnya dengan cara mengadakan event bedah buku atau sejenisnya. Mari kita tidak mencari rejeki di proyek ini. Slogannya; dari kita untuk peradaban Indonesia.

Siapa saja yang telah bersedia menjadi penulis?
Banyak, diantaranya adalah; Acong Sudjatmika (Aktifis), Andreas Kristianto (GKI, GUSDURian), Samanera Chang Shi (BDC), Affandi (Dosen UNIM, GUSDURian), Mefangna W (praktisi SDM), Muliasari Kartikawati (Dosen UC, GUSDURian), Michelle Angelia (mahasiswi pascasarjana), Kristanto Tatok (teolog, GUSDURian), Sujoko Efferin (Dosen Ubaya), Robi Dharmawan (INTI Muda), Aan Anshori (JIAD, GUSDURian).

Batas Akhir Pengiriman
Diharapkan seluruh tulisan telah terkumpul paling lambat 15 Agustus 2017, dan dikirim ke tulisantionghoa@gmail.com

Kontak Inisiator
Siapa saja yang berminat menulis, silahkan menghubungi Aan Anshori 08155045039 (WA), Twitter @aananshori FB. aan.anshori@gmail.com atau http://www.aananshori.web.id

Penutup
Jangan pernah minder menuliskan pengalaman diri!

Thanks.

Monday, June 19, 2017

Beasiswa Training Penggerak Perdamaian dan Keberagaman Berbasis Komunitas

Latar Belakang
Pandangan bahwa ideologi dan gerakan radikal menjadi ancaman terpenting bukanlah hal yang berlebihan, mengingat rentetan aksi terorisme pada tataran internasional, regional dan nasional tetap menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Dalam konteks Indonesia, terorisme yang terjadi ditengarai meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif setelah reformasi bergulir, dan tidak dapat diabaikan bahwa gerakan terorisme tersebut membawa serta ideologi radikal yang mengancam kesatuan bangsa.      

Ideologi-ideologi dan gerakan radikal tersebut dalam kenyataannya jelas telah mampu menggerakkan aktor-aktor dari masyarakat sipil menjadi pelaku teror dan radikalisme. Hal ini terlihat dengan semakin meluasnya praktek intoleransi yang semakin masif berlangsung.

Berkembangnya aksi-aksi radikalisme dan terorisme ini pada akhirnya akan mengoyak kebinekaan, yang akibatnya, muncul ego sektarian, rasa curiga, bahkan aksi balas dendam. Jika ini terus dibiarkan maka dapat mengancam keutuhan NKRI.

Menyadari makin meningkatnya radikalisasi melalui aksi-aksi kekerasan berbasis agama dan keyakinan di Indonesia, menjadikan sebuah keprihatinan tersendiri bagi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Sebagai sebuah lembaga keumatan, PGI tetap berkeinginan memberikan kontribusi penyelesaian persoalan-persoalan ditengah kehidupan berbangsa.

Salah satu kontribusi PGI atas maraknya kasus intoleransi yang berujung pada radikalisme tersebut, mendasari PGI bersama dengan lembaga-lembaga keumatan lain seperti NU, KWI, Walubi, PHDI dan Matakin, melakukan penyusunan modul “Agama-agama Melawan Intoleransi dan Radikalisme”.

Penyusunan modul yang telah dibuat ini bebasis pada pembentukan komunitas muda lintas iman dan agama sebagai agen perubahan dan agen perdamaian untuk menjadi komunitas pioneer yang toleran. Maka dalam proses pelatihan dan sosialisasi modul ini, sekaligus juga menjadi sarana membentuk komunitas-komunitas antar iman muda yang akan menjadi fasilitator perdamaian dan kelompok yang toleran bagi komunitas mereka berasal dan diutus.

PGI menyadari bawah bekerja di hulu untuk menangani masalah intoleransi dan radikalisme adalah pekerjaan yang tidak mudah. Dibutuhkan sebuah revolusi mental umat beragama untuk menyadari keberagaman yang menjadi esensi dan kekayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, perlu upaya komprehensif dari berbagai pihak untuk mencegah gerakan radikalisme dan terorisme semakin berkembang yang dapat mengancam NKRI.

Tujuan
1. Mengenal dan memahami berbagai gerakan radikalisme berbasis identitas primordial yang berkembang di indonesia.
2. Belajar dan hidup bersama antar agama sebagai jalan mengurangi kecurigaan antar kelompok yang menjadi dasar bisa saling menghargai dan anti pada tindakan intoleransi
3. Membentuk komunitas lintas iman sebagai wadah kader-kader lintas iman agar bisa menjadi pioneer perdamaian.
4. Membentuk dan membangun kapasitas bagi kader yang bisa melakukan sosialisasi konsep toleransi dan melakukan kampanye tentang hidup di dalam kebhinnekaan.

Strategi Pelaksanaan
Persiapan
Perekrutan pemuda lintas agama yang dilakukan di daerah tempat pelaksanaan pelatihan. Rekrutmen ini dilakukan bersama dengan lembaga mitra di daerah pelaksanaan kegiatan. 
Pelaksanaan pelatihan modul toleransi kepada para pemuda pilihan yang akan menjalankan live in.

Lokasi live-in akan ditentukan di daerah pelaksanaan kegiatan yang mengambil rumah ibadah, pesantren, perkampungan masyarakat dan lain-lain yang disesuaikan untuk mencapai tujuan kegiatan.

Peserta
Peserta terdiri dari 35 orang (dari komunitas lintas iman/agama dan keseimbangan jender) di wilayah Jawa Timur. Mereka adalah kelompok usia muda antara 20-30 tahun.

Live In 
Live in adalah strategi yang dipilih untuk proses training ini. Strategi ini mejadi pilihan untuk memaksimalkan interaksi dan ralasi para peserta dengan masyarakat yang dikemuadian hari akan manjadi ruang bagi kampanye-kampanye perdamaian dan  melawan radikalisme.

Selama live-in kegiatan yang akan dilakukan oleh para pemuda lintas agama antara lain FGD : focus group disscusion (diskusi terarah) membahas isu-isu dan strategi adaptasi/bahan modul pelatihan untuk memperdalam pemahaman tentang hidup bersama dalam keberagaman dsb. Penyusunan strategi aksi yang dapat dilakukan bersama untuk meningkatkan toleransi antar umat beragama sebagai bentuk kampanye mengembangkan hidup toleran dan perdamaian dalam bingkai kebhinnekaan.

Gerakan Aksi dan Kampanye
Pelaksanaan gerakan aksi pada akhir puncak live in sesuai rancangan aksi saat FGD seperti : gotong royong membersihkan tempat ibadah lintas agama, pembuatan gambar, publikasi atau kreasi ruang publik dengan tema kebersatuan dalam keberagaman.

Mengunjungi situs-situs keagamaan yang ada di daerah lokasi kegiatan (makam Gus Dur, GKJW Mojowarno dan Pura Amartya Ngepeh).

Monitoring dan Evaluasi
Identifikasi hasil dampak pelatihan dan kegiatan live in serta aksi nyata melalui kuesioner

Tempat Pelaksanaan 
Training ini akan dilaksanakan di Klenteng Hong San Kiong Gudo Jombang, Jawa Timur pada tanggal 11-14 Juli 2017.

Pelaksana
Kegiatan ini dilaksanakan oleh PGI bekerjama dengan GUSDURian Jombang dan Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur.

Fasilitator
- Pdt. Penrad Siagian (PGI)
- Aan Anshori (JIAD)
- Amin Siahaan (JKLPK)

Pendaftaran
Pendaftaran dapat dilakukan melalui formulir online SEBELUM tanggal 5 Juli 2017. Hanya pelamar terpilih yang akan dihubungi panitia. Bagi pelamar terpilih, panitia akan menanggung akomodasi selama training, live in, field trip dan dukungan transportasi lokal.

Kontak Panitia
Affandi 085649770810 (WA) 
Susi 081217604928

Penutup
Demikian kerangka acuan ini dibuat untuk menjadi panduan pelaksanaan kegiatan.

Saturday, June 17, 2017

Rilis Buka Bersama Kebangsaan bersama Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid di Kampung Pecinan Tambakbayan Bubutan Surabaya


Bertempat di Kampung Pecinan Tambakbayan Surabaya, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid melakukan buka bersama, Jumat (16/6). Acara ini dihadiri lebih dari seratus orang dari kalangan lintas agama, etnis maupun kelompok marginal lainnya.

Dalam pidatonya, ibu negara RI ke-4 menekankan pentingnya kesadaran berbangsa dan bernegara. Demokrasi dan kebhinnekaan adalah fitrah Indonesia. "Kita harus saling mengasihi, menyayangi dan menghormati di atas segenap perbedaan yang ada," kata Sinta Nuriyah.

Menurutnya, penyeragaman bertentangan dengan ruh bangsa ini dan perlu dilawan. Setiap orang perlu menyadari hal ini.

Menurut Irianto Susilo, salah satu panitia, kehadiran Sinta Nuriyah merupakan stimulasi luar biasa. Terutama untuk meneguhkan Demokrasi dan Kebhinnekaan yang tengah diobok-obok akhir-akhir ini;
"Kami masyarakat sipil Surabaya bersama Ibu Sinta berkomitmen menjaga Pancasila dan NKRI meski dengan taruhan nyawa sekalipun," kata salah satu aktifis Keuskupan Surabaya ini.

Hal senada juga disampaikan oleh Aan Anshori, aktifis GUSDURian yang juga sterring committe acara. Menurutnya bangsa ini tengah mengalami cobaan serius dalam mengelola keragaman dan intoleransi. Ia yang menyerukan seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersatu padu menjaga Pancasila dan NKRI dan tetap mengedepankan dialog dalam menyelesaikan berbagai praktek kekerasan maupun persekusi atas nama apapun.

"Kami mendesak aparat hukum tetap waspada dan tidak membiarkan siapapun menyebar kebencian atas nama apapun," ujar mantan aktifis PMII ini. Demokrasi menurutnya adalah cara paling beradab bagi Indonesia untuk mengelola kebhinnekaan secara setara.

Selain orasi dari istri Gus Dur, acara yang didukung 50 elemen ini juga diisi berbagai penampilan kesenian lintas etnis, agama dan kepercayaan.

Monday, June 12, 2017

Menjemput Lailatul Qadar di GKJW Banyuwangi

Oleh. Subhan Bastomi

Malam itu, Sabtu (10/6), aku mendapat undangan dari sahabatku gus Aan hadir dalam sebuah acara yang sangat asing bagiku, beribadah dari dalam gereja. Jujur, itu pertama kali aku lakukan walaupun sebelumnya aku sering keluar masuk gereja, tapi malam ini berbeda karena sebelumnya aku hanya berfikir ketika gereja memanggilku itu berarti aku mendapat pekerjaan dan dapurku bisa mengepul. Maklum kita hanya lelaki pemuas (tembok) atau bahasa kerennya painters (tukang cat).

Sebelum berangkat aku sempat bingung baju apa yang harus kukenakan untuk menghormati mereka dan gus Aan tidak malu punya kawan seperti saya. Karena maaf, saya tidak punya baju yang sopan. Dalam lemari saya hanya bertumpukan kaus yang bertuliskan merk cat, beberapa jersey adventure trail dan mungkin itu yang menggambarkan pekerjaan dan hobi saya. Ada beberapa hem tapi sudah tidak proporsional dengan ukuran tubuh saya, cuma satu batik andalan tapi di saku depan pas di dada tertulis MWC NU Tegalsari beserta lambang jagad berbintang sembilan.

Saya merasa baju-baju sangat tidak mungkin, "Ahh masa bodolah tentang pakaian...yang penting pantes walaupun pepatah; mengatakan ajining rogo soko busono,"

Ketika sampai di gereja pas waktu berbuka puasa. Dari beberapa teman rombonganku mungkin aku yang paling pede, mungkin karena aku yang paling sering masuk gereja. Namun sungguh, saya agak ndredek ketika kami disambut dengan senyum dan pecah suasana ketika kami dihampiru Gus Aan dengan cerah-ceria khas beliau.

Dari raut wajahnya tercermin sebuah kalimat welcome in my home. Kami pun masuk ruang makan dan dikenalkan kepada pengurus jemaat serta pendeta Krispong. Mereka berkumpul menemani kami berbuka puasa. 

Ketika pendeta Kris berkata bahwa acara dimulai pukul 18.00, kami memohon izin sebentar untuk menunaikan sholat maghrib. Mereka mempersilahkan dengan penuh hormat seakan kami adalah rombongan Raja salman yang di sambut oleh para alumni 212.

Setelah sholat magrib kami sudah ditunggu jemaat gereja. Kami dipersilahkan duduk paling depan seperti seorang kiai yang hadir dalam pengajian peringatan hari besar Islam. Saya mencoba berdamai dengan keadaan memandang sekeliling sambil menghela nafas panjang.

Dalam hati saya berkata; "Sudah kafirkah aku?" Saya tidak lupa terus beristighfar. Bukan tanpa alasan aku berfikir seperti itu. Maaf, aku nyantri di PP Darussalam 6 tahun, setelah itu berlanjut di Pesantren Al-Falah Jember. Pendidikan awalku adalah TK Khadijah, MI Miftahul Ulum, MTs Al-Amiriyyah, MA Alamiriyyah -- semuanya berafiliasi dengan Lembaga Pendidikan Maarif NU.

Anda bisa bayangkan, dengan latar belakang seperti itu, barangkali sangat normal ketika terjadi pergumulan batin yang bermuara.  Suudzon dan khusnudzon campur aduk berproses menjadi rasa pengen kentut, kencing, menjadi satu dan tidak bisa keluar. (Coba anda bayangkan sejenak rasanya)

Tapi jujur saja, memang benar itulah yang saya alami dan insyaAllah akan menjadi cerita pengantar tidur bagi anak cucuku kelak.
Kemudian, sebagai pembuka kedua, sahabat kami yang hadir diperkenalkan oleh Pdt. Kris, serta diundang ke depan beserta Pdt. Natael untuk menjadi narasumber. Acara malam itu dalam rangka bulan Kesaksian dan Pelayanan (Kespel) dengan tema "Menyongsong Masa Depan NKRI".

Kemudian oleh Pdt. Kris, kami diperkenalkan satu persatu kepada seluruh jemaat yang hadir. Mereka menyambut dengan senyum ramah serta tepuk tangan tanda penghargaan bagi kami yang telah sudi nenghadiri dan menghormati acara yang mereka.

Pendeta Natael membuka saresehan pada malam hari itu dengan lembut khas seorang ayah yang sedang memberi petuah kepada anak anaknya. Beliau memaparkan tentang sejarah Pancasila, rumusan dasar dan keragaman idenya dalam tubuh BPUPKI masa itu.

Menurut Pdt. Natael, semua pada akhirnya bermuara pada satu rumusan lima sila yang terbingkai dalam Bhineka Tunggal Ika. Natae juga mengejawantahkan tentang konsep anak kandung dan anak angkat, mayoritas dan minoritas. Dia memberikan satu kesimpulan; kita adalah satu. Ada quote dari almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid; tidak penting apa agamamu, apa sukumu. Ketika engkau bisa berbuat baik, mereka tidak akan bertanya apa agamamu dan apa sukumu. Kemudian Pdt. Natael menutup sesinya dengan quote KH. Hasim Muzadi; "Pancasila bukan agama tapi tidak bertentangan dengan agama. Pancasila bukan jalan tapi titik temu antara semua perbedaan jalan, beda suku budaya agama dan bahasa. Hanya Pancasila yang mampu menyatukan,"

Kemudian sesi dilanjut oleh junior saya, Tedjo Rifa'i, mantan mubaligh cilik yang sangat kondang bahkan sering satu pentas dengan Rhoma Irama dengan Nada dan Dakwahnya. Sekarang job dakwahnya sepi. Dia yang pernah sedikit "murtad" kala bergumul di rayon Al Hikam PMII Unisma Malang, merupakan seorang  advokat yang punya hubungan baik dengan beberapa tokoh ring satu Banyuwangi.

Tedjo memang punya kualifikasi berbeda dengan yang lain. Ia pernah mengikuti beberapa kursus diantaranya diklat pengacara HAM dan kursus auditor hukum yang diammpu langsung oleh Prof. Jimly Assidiqi.

Malam ini dengan sedikit ndredeg dia membawakan tema sesuai dengan kualifikasinya yaitu tentang kesetaraan dan hak asasi manusia. Tema ini sangat matching dengan materi yang disampaikan oleh pemateri sebelumnya.

Forum berjalan khidmat dan audien semakin semangat karena materi Tedjo adalah pengetahuan penting yang bisa digunakan sebagai alat melawan bullying ataupun persekusi. Harus diakui, penyampaian materinya masih sangat normatif namun cukup lumayan. Saya meyakini Tedjo menyampaikannya sembari ndredeg, ngempet kentut dan kencing.

Sesi terahir yang sangat ditunggu-tunggu jemaat adalah pemaparan sahabat saya, Aan Anshori. Katanya dia NU tapi saya belum pernah tahu ia menunjukan kartanunya hehehe...

Dengan penuh antusias seluruh jemaat menyimak apa yang disampaikan beliau dengan gaya khas LGBT --walaupun sejatinya sudah terbukti ada Galang dan Cecil. Ia sangat komunikatif memaparkan tentang bahaya radikalisme dan data-data tentang perkembangan radikalisme di Indonesia.

Wow saya sangat ngeri dengan data tersebut dan saya hampir mengangkat tangan untuk ampun menyerah tidak kuat menahan emosi kebangsaan saya yang rasanya tercabik-cabik. Namun saya tetap tegar karena saya seorang Banser yang telah lulus Diklatsus.
Benar apa yang dikatakan gus Aan ketika kita mengupas kitab suci kita dengan setengah-setengah maka itulah yang terjadi, dan saya pernah mengalami fase itu.

Saya berfikir ketika hal tersebut tidak segera kita benahi maka ancaman serius sedang mengintai bumi kita tercinta ini. Maka ada hal hal yang harus kita mulai dari kita sendiri yaitu mencoba mengimplementasikan secara utuh apa itu rahmatan lil 'alamiin. Di sana tersimpan sebuah mutiara yang bernama cinta. Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Rumi bahwa Tuhan adalah segalanya Ia menganugerahi kebaikan kepada siapapun yang senantiasa tenggelam dalam lautan cinta.

Sesi dilanjut dengan tanya-jawab. Ada beberapa penanya mengungkap tentang apa yang pernah dia alami yang cukup membuat diri saya malu di hadapan tuhan. Sadar atau tidak aku atau pun kawanku yang lainnya sering bersuudzon tentang mereka. Padahal dari ungkapan mereka,  sebenarnya mereka lebih tahu dan lebih bisa mengamalkan apa itu ajaran agama kasih sebagai wujud inti dari rahmatan lil alamiin.

Bahkan jika mereka berkenan aku kan meminta maaf atas apa yang pernah aku prasangkakan terhadap mereka.

Ketika kita sadar bahwa manusia tercipta dengan segenap kekurangan; apakah pantas ketika kita selalu merasa "Akulah yang paling benar. Ketika engkau tidak seperti aku maka engkau kafir..?"

Harus kita ingat pula bahwa manusia dicipta dengan berbagai perbedaan dan bersuku-suku bangsa itu adalah haq (kebenaran). Mungkin sekarang ini urat malu kita sudah tertutup dan terlapisi lemak jahat, kolesterol atau asam urat yang menggerogoti sehingga urat malu kiat putus.

Puisi persaksian dari Taufiq WR Hidayat menjadi refleksi bahwa kita tidak akan sempurna menunaikan hidup ketika tanpa perbedaan yang saling melengkapi. Aku teringat sahabat karib saya, MHW, seorang pelukis seniman yang selalu mengajarkan cinta kasih terhadap saya. Teman saya ini terbiasa bekerja menghias ornamen pada pura seperti patung, atau pun altar untuk gereja, klenteng ataupun tempat-tempat ibadah lain.

Kadang setiap Natal dia mengajak saya untuk mendekor GPDI di Desa Jajag. Ia seorang hafidz al-Quran 30 juz (untuk yang ini hanya saya, istrinya dan Alloh saja yang tau serta itu alasan saya pake inisial).

MHW selalu mengajarkan kepada saya; cintailah apapun yang menurut nuranimu baik karena nurani tak pernah bohon. Yang membuat saya kadang merasa aneh, ketika dia melukis salib, Yesus atau ketika sedang membikin patung ogoh-ogoh, mulut MHW tidak pernah berhenti melafalkan ayat al-Quran yang dia hafal.

Saya kemarin bertanya pada dia apakah kamu tidak menista alquran dengan seperti itu? Dia hanya menjawab; fafirru ilallah (larilah menuju Allah). Jawaban itu seperti memukul telak uluhati saya karena baru sadar alam semesta beserta isinya adalah ciptaan tuhan dan hanya tuhan yang berhak menghakimi.

Pernahkah kita terfikir kenapa kita begitu mudah lupa akan perintah-perintah Allah di saat kita tersasar dan melakukan kesilapan yang berkali-kali? Pernahkah kita berfikir, kenapa begitu mudah kita melakukan perbuatan yang kita tahu akan dosanya dan silapnya? Pernahkan terlintas di benak kita kenapa kerap kali hati kita merasa begitu mudah untuk membeku hingga terlepas dari peluang-peluang membuat kebaikan?
Apakah yang telah terjadi saat itu? Apakah yang memberhentikan masa sehingga kita tersilap dan terus membuat kesilapan.

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang telah melupakan (perintah-perintah) Allah, lalu Allah menjadikan mereka melupakan (amal-amal yang baik untuk menyelamatkan) diri mereka. Mereka itulah orang-orang yang fasik – derhaka” – Al- Hasyr: 19

Gereja beserta jemaatnya pada malam itu memberikan pelajaran kepada saya betapa berharganya sebuah kehidupan, indahnya toleransi dan sucinya cinta. Setelah sekian tahun saya tidak menulis, hari ini saya menulis dan ingin memprasastikan pengalaman berharga dalam hidup ini. Sebab dalam setiap fase kehidupan saya, harus ada prasasti yang bermanfaat untuk saya.

Maaf saudaraku aku pernah menista kalian. Maaf tuhanku, kami belum mampu mengurai benang kusut perselisihan. Semoga rahmatmu bisa kami implemetasikan terhadap sesama dengan penuh cinta.

Sunday, June 4, 2017

Rilis Konsolidasi Kebangsaan Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dalam acara Buka dan Sahur Keliling Ramadlan 2017 di Surabaya dan Sidoarjo

Salam Kebangsaan,

Merespon situasi kebangsaan akhir-akhir ini, Ibu Negara RI-4 Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid akan mengunjungi Surabaya dan Sidoarjo. Kunjungan ini akan dikemas dalam acara konsolidasi kebangsaan bersama elemen masyarakat sipil di dua kota tersebut.

Di Surabaya, Bu Sinta akan bertemu dan berdialog dengan komponen lintas agama/etnis dan masyarakat marginal di Kampung Pecinan Tambakbayan Alun-alun Contong Bubutan, Jumat (16/6) , jam 15-18.00, diakhiri buka bersama.

Selain memberi santunan, kegiatan ini juga akan dimeriahkan  bazar lintas agama/etnis, art performances, barongsay, pembacaan macapat dan penyalaan 1000 lilin

Selanjutnya pada 17 Juni dini hari, Bu Sinta dan rombongan akan meluncur ke Klenteng Teng Swie Bio di Jln. Imam Bonjol No.124 Krian Sidoarjo untuk sahur bersama para _dluafa_, tokoh lintas agama dan etnis, serta pemangku kebijakan. Acara yang juga dimeriahkan art performance dan santunan ini diperkirakan mulai sejak pukul 23.00 (16/8) hingga 04.00 (17/8).

Tahun ini merupakan tahun ke-17 pelaksanaan buka dan sahur yang dilakukan Ibu Sinta Nuriyah. Untuk kaki ini, tema yang diusung adalah "Dengan Berpuasa Kita Genggam Erat Nilai Demokrasi dan Pluralisme". Bu Sinta ingin bersama-sama warga memperkuat keyakinan dalam meneguhkan demokrasi dan pluralisme.

Secara khusus, kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Puan Amal Hayati milik Sinta Nuriyah yang bekerja sama dengan puluhan organisasi pro demokrasi di tiap kabupaten/kota ini bertujuan (1)  memperkuat tali persaudaraan dan kerukunan antar warga masyarakat, (2) melakukan pendidikan warga (civic education) tentang sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan serta anti kekerasan, serta (3) membangun jaringan kerja sama kemanusiaan dan antikekerasan antarumat beragama.

Acara ini bersifat terbuka. Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi masing-masing kordinator acara; Irianto Susilo (Surabaya) +62 817-0362-5368, dan Zen Haq (Sidoarjo) +62 812-3111-2390

Terima kasih

@aananshori
GUSDURian

Monday, May 22, 2017

Konstruksi Gelap Pemurtadan Rosnida

NAMA Rosnida tiba-tiba mencuat ke publik. Dosen Fakultas Da'wah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Aceh ini dianggap “mempermalukan” institusi tempat ia mengajar. Doktor jebolan Flinders University ini -bahkan- dituduh telah melukai dan tidak menghormati tradisi Aceh. Media online beraliran kanan menudingnya telah melakukan pemurtadan terhadap mahasiswanya. Kenapa demikian?

Dari mana Pesona Lady Sukayna Bermula?

TULISAN SAYA tentang kontroversi Lady Sukayna al-Husayn diakses lebih dari 6000 kali dalam waktu kurang dari 10 hari. Terima kasih.  Ini rekor baru melampaui artikel lain saya, Mewahidkan Nusron.

Ada banyak yang belum bisa menerima potret Lady Sukayna dalam tulisan tersebut. "Mana mungkin cicit Nabi bisa sesembrono itu? Tidak patuh pada suami dan mempermalukan keluarga besarnya," kira-kira demikian. Faksi ini berusaha sekuat tenaga menolak citra-sungguh Sukayna karena berbeda dengan imajinasi idealitas perempuan/istri yang selama ini ada.

MADINAH KOTA RAMAH GENDER
Encyclopaedia of Islam tidak menyebut pasti di mana Sukayna lahir dan kapan. Ini agak aneh mengingat buku berjilid-jilid ini dikenal cukup komplit. Namun berpijak pada wilayah di mana keluarga Sukayna hidup sebelum Peristiwa Karbala, maka saya meyakini Sukayna lahir dan besar di Madinah.

Anda tahu, pada zaman Nabi, Madinah dikenal unik dan sangat kontras dengan Makkah dalam hal kuatnya kultur patriarkhal. Madinah lebih kosmopolit dan -katakanlah- relatif sensitif gender. Para perempuannya lebih ekspresif, laki-lakinya tidak bebal dan egois. Bahkan transgender bisa hidup berdampingan dan malahan bersosialita dengan para istri nabi

Sedangkan Makkah justru sebaliknya. "We men of Quraysh dominate our women," kata Umar bin Khattab. Itulah kenapa ia kaget dan gusar sekali mendapati perempuan Madinah yang dianggap suka membantah laki-laki dan protesan. Misalnya saja, dalam hal nusyuz atau seputar tarik-ulur kebolehan suami menyodomi istri.
"When we arrived in Medina we saw that Ansar let themselves be dominated by theirs. Then our women began to copy their habits," kritik Umar seperti direkam Sahih Bukhari dalam hadith panjang yang
dinarasikan Abdullah bin Abbas.

Umar memang pantas kuatir karena istrinya sendiri, yang diam-diam
ternyata mengagumi style perempuan Madina, sudah berani memprotesnya ketika merasa diperlakukan tidak adil. Umar juga dikenal resisten atas gaya egalitarian Nabi terhadap perempuan. 

Kelak saat menjadi khalifah kedua, Umar dikenal memiliki kebijakan cukup represif terhadap perempuan. 

Fetima Mernissi sendiri membungkus cara pandang Umar bin Khattab kira-kira demikian; Islam hanya mengatur urusan publik dan spiritualitas an sich. Sedangkan urusan privat --rumah tangga, tetap disandarkan sepenuhnya pada tradisi pra-Islam, yang misoginis
sebagaimana saat ini. Bagi saya, perspektif Umar ini merupakan langkah mundur.

Nah, Lady Sukayna hidup dalam sisa-sisa kejayaan feminisme awal Islam Madinah.

DIRAWAT AJARAN MUHAMMAD
Di samping itu, ia juga tumbuh dikelilingi komunitas ahl al-bayt yang terkenal pandai merawat warisan ajaran positif buyutnya, Muhammad SAW, termasuk dalam hal bagaimana memperlakukan perempuan.

Nabi diceritakan bukan tipikal suami yang antikritik dari para istrinya. A’isha, istri Nabi, pernah memprotes suaminya karena dianggap tidak sensitif gara-gara sering menceritakan mendiang Khadijah dihadapannya.

Hafsa, istri nabi yang lain, pernah merajuk pada suaminya. Ketika Umar bin Khattab, ayah Hafsah, meminta Nabi menggunakan cara laki-laki Quraisy untuk menundukkan istri-istrinya, Nabi hanya tersenyum, emoh mengikuti saran Umar.  .

Nabi bahkan pernah dikabarkan meminta Umar berhenti memukul
perempuan-perempuan yang ikut takziyyah ke makam Ruqayya, putri Nabi. Umar rupanya tidak suka melihat perempuan menangis-duka di kuburan. "Let them weep, Umar. But beware of braying of Satan" cegah Nabi.

Lady Sukayna juga sangat mungkin tahu cerita betapa buyutnya, Muhammad SAW, membiarkan rombongan perempuan Madinah dan Makkah berjalan di depan rombongan laki-laki Anshar dan Muhajirin saat mengarak perkawinan nenek-kakeknya, Fatimah-Ali, menuju masjid Madinah.

Formasi perempuan di depan laki-laki, menurut saya, merupakan simbol 'sepele' yang punya makna serius dalam arus besar perubahan yang dinginkan Islam seputar relasi laki-laki dan perempuan, sebelum akhirnya dibonsai Umar. Pendek kata, Lady Sukayna tumbuh dan berkembang dengan hal-hal itu.

Disamping itu, saya meyakini ia secara khusus mewarisi keberanian dari bapak dan ibunya. Al-Husayn, bapaknya, dikenal sosok pemberani dan ekspresif dalam menyatakan ketidaksetujuannya pada rezim Umayyah, ketimbang kakaknya –al-Hassan- yang cenderung pacifis dan
kompromistis.

Meski ibunya meninggal dunia setahun pasca-Karbala, karena kedukaan mendalam ditinggal suaminya, namun darah seni ibunya mengalir deras di nadi Lady Sukayna. Itu pula yang menjelaskan alasan nama Sukayna terbakukan dalam A History of Arabian Music to the XIIIth Century karya George Farmer.

Di buku ini, ia tercatat sebagai sosok penting supporter kesenian, bersama-sama nama-nama lain, seperti A'isha bint Abu Bakar, al-Hasan, Sa'ad bin Abi Waqqas, A'isha bint Sa'd, Mus'ab bin al-Zubair, A'isha bint Talhah, dan Abdallah ibn Ja'far.

ANTARA ZAYNAB DAN KARBALA
Pelacakan saya menunjukkan Peristiwa Karbala tidak bisa diabaikan dalam pembentukan watak dan karakter Lady Sukayna. Karbala merupakan tragedi pembantaian massal keluarga Sukayna oleh rezim Umayyah yang dipimpin Yazid I. 

Perbedaan pandangan politik menyebabkan lebih dari 70an orang terbunuh mengenaskan, termasuk ayahnya sendiri dan 17 orang saudara Sukayna. Ia sendiri ada di sana menyaksikan kekejaman itu.

Sukayna bersama yang selamat –kebanyakan perempuan—ditawan dan mengalami berbagai pengalaman yang tidak mengenakkan. Dengan tubuh terluka, mereka diarak menuju Kufah -170 km utara Baghdad Irak. 

Tawanan perempuan dipaksa tidak mengenakan burqa untuk dipermalukan di hadapan publik. Yang lebih menyesakkan, mereka diarak bersama puluhan penggalan kepala milik ayah dan saudara-saudaranya.

Ada sosok penting yang juga ikut ditawan, yakni Lady Zaynab, tantenya Sukayna, cucu Nabi Muhammad. Zainab dikenal sebagai the heroine of Karbala mengingat jasa besarnya melindungi para tawanan. Dia tidak hanya seorang ibu rumah tangga handal namun juga seorang intelektual cum tukang debat handal dengan keberanian mengagumkan.

Historikus seperti Badr Shahin dan Ibrahim Muhammad Khalifeh mendeskripsikannya 'She was marvellous in intelligence and cleverness".
Kepiawaiannya berdebat dan orasi pernah ditulis oleh Ali Qa'emi,
sebagaimana dikutip Peter Chelkowski, "There was no other more eloquent woman than Zaynab; when she spoke, men held their breath. One person who heard her speak said, 'I swear to God that I have never heard a woman with such lucid, clear, and accurate language and such logical rhetoric in my life,"

Zaynab mendemonstrasikan kemampuan-kemampuannya ini untuk melindungi dan membebaskan para tawanan dari rezim Yazid I. Beberapa kali ia bentrok argumen dengan khalifah Yazid I dan lingkaran elitnya di
hadapan publik maupun pengadilan.

Sewaktu para tawanan dan yang tewas dihadapkan ke pengadilan, Khalifah Yazid hadir dan menginspeksi jejeran kepala di lantai sembari memukul-mukulkan tongkatnya ke kepala-kepala tersebut. 

Rupanya Yazid terganggu saat mendengar ada yang keberatan atas tingkahnya itu. “Siapa perempuan arogan ini? “ Yazid bertanya keras ke kerumunan
perempuan yang juga hadir menyaksikan. 

Lady Zaynab langsung berdiri, menghampiri Yazid face to face, "Kenapa tanya ke mereka? Tanya langsung ke aku dong. Aku kasih tahu; Aku adalah cucu Muhammad, anak Fatimah. Ayo mau tanya apa ke aku, Yazid?"

Pengunjung sidang sontak tercengang dengan keberanian Zaynab yang terus berorasi menyatakan sikapnya.


Zaynab juga sengit melawan petinggi anak buah Yazid yang meminta Fatimah bint Husayn, tawanan perempuan paling muda (dan cantik), saudari Lady Sukayna, untuk dijadikan selir/istri. “Orang Damaskus tidak pantas
(worthy) dan juga tidak punya otoritas untuk itu,” ketus jawabnya.

Mendengar hal tersebut, Yazid langsung berusaha membela anak buahnya dengan mengatakan dialah yang berwenang dan satu-satunya orang yang bisa menentukan semuanya di sidang. Namun dengan sinis, Lady Zaynab membalasnya, “You, a commander who has authority, are vilifying unjustly and oppress with your authority,"

Masih banyak sekuel indah perlawanan Lady Zainab pasca-Karbala yang saya yakini disaksikan para keponakannya, termasuk Lady Sukayna. Kita rasanya tidak akan kesulitan membayangkan betapa kuatnya pengaruh peristiwa-peristiwa ini menggurati pribadi Lady Sukayna saat dewasa .

Apalagi, setelah para tawanan dibebaskan, Lady Zaynab mengajak Sukayna menjelajahi Mesir dan menetap di sana beberapa tahun. Gubernur Mesir menjadikan Zainab sosok penting sebagai sumber pengetahuan bagikeluarga dan warganya.

ANTIBIOTIK POLIGINI
Dalam konteks poligini, saya punya hipotesis personal; semakin
perempuan punya posisi tawar --terutama dari aspek ekonomi atau status sosial, serta pendidikan dan keberanian, maka (harusnya) semakin kecil kemungkinan ia bersedia dimadu. Saya menyebutnya sebagai tiga
antibiotik poligini.

Beberapa perempuan kontemporer yang memiliki antibiotik ini ini, saya
kira, adalah Dewi Yull dan Maia Esthianti. Keduanya menolak tunduk
pada hasrat-kuno-laki-laki yang ditawarkan suami mereka; Ray Sahetapy dan Ahmad Dhani.

Dari mana Sukayna memiliki antibiotik ini? Harus diakui terdapat banyak versi kisah hidup Sukayna. Namun saya belum pernah menemukan cerita di mana ia hidup meringkuk di bawah rezim poligini. Belum pernah. 

Dugaan saya, monogami adalah prinsip utama perempuan ahl al-bayt –yang mewarisi darah suku Quraish.
Perempuan Quraish dikenal tangguh, terhormat, dan punya self-esteem kuat. 

Dengan kualifikasi mentereng seperti itu, amatlah wajar jika perempuan Quraysh punya kontrol penuh pada dirinya untuk menentukan; dengan siapa mereka menikah dan bagaimana mereka ingin diperlakukan. Beberapa dari mereka malah dikenal punya banyak suami (tidak dalam arti poliandri), misalnya Khadijah dan Sukayna.

Saya melacak dua perempuan Qurays yang kemungkinan besar menjadi patron Sukayna dalam monogami; Khadijah bint Khuwaylid –buyutnya, istri Muhammad SAW, dan Fatimah bint Muhammad –neneknya, istri dari Ali bin Abi Thalib. 

Keduanya berhasil membangun keluarga monogami hingga akhir hayat. Lebih jauh, Khadijah malah justru terlihat sangat percaya diri menyatakan perasaan cintanya pada Muhammad. Beginilah ucapannya saat bertemu Muhammad atas jasa Nufaysa, teman Khadijah yang juga mak comblangnya.

"O son of my uncle! I love you for your kinship with me, and for that
you are ever in the center, not being a partisan among the people for
this or for that. And I love you for your trustworthiness, and for the
beauty of your character and the truth of your speech."

Saya kira, hanya perempuan pilih-tandinglah yang berani menyatakan
gejolak hatinya tanpa pernah merasa minder menerima resiko penolakan.
Prinsip “ogah-dimadu” juga diikuti oleh Fatimah, putri Khadija dan Nabi. 

Saat mengarungi biduk rumah tangganya dengan Ali, Fatimah tidak
terima akan dipoligini, dan melaporkannya ke Muhammad SAW. Nabi kemudian mengatakan siapapun yang menyakiti Fatimah berarti menyakiti dirinya. Ali pun surut. Belakangan, setelah Fatimah tiada, Ali melakukan poligini.

Lady Sukayna –sebagaimana Khadijah, Fatimah dan tantenya, Lady Zainab- dikenal antipoligini. Ia bahkan terkesan melampaui zamannya dalam upaya melindungi hak-haknya dalam perkawinan. 

Sulit membayangkan ada perempuan yang sukses bernegoisasi dengan laki-laki terkait monogami hingga level perjanjian pra-nikah. Tidak mudah juga menemukan perempuan di Semenanjung Arabia pada tahun 700an masehi yang berani membawa laki-laki ke pengadilan gara-gara kepergok selingkuh.

KABUT “TAK BER-CHADOUR"
Integritas, keberanian, dan intelektualitas Lady Sukayna bahkan mengilham berdirinya sebuah majlis taklim perempuan di Rawalpindi Pakistan, semacam forum khusus di mana anggotanya bisa bertukar
gagasan, menyanyikan pujian, bahkan menghelat perayaan bagi Lady Sukayna. Rata-rata mereka tidak memakai burqa, jilbab atau chadour -pakaian khas yang biasa dikenakan perempuan Iran.

Nmaun detil ringan yang belum terpecahkan hingga saat ini adalah Lady Zaynab digambarkan selalu memakai chadour, dan jika sosoknya begitu kuat memahat kepribadian keponakannya, kenapa Lady Sukayna memilih tidak
berchadour? Apakah ini berkaitan dengan pengalaman pahitnya saat
dipaksa tidak berhijab oleh tentara Yazid? Apakah ia tengah melawan
sesuatu dengan menjadi barza? Ikuti tulisan selanjutnya. 

Wallohu a’lam.


-----
Bahan Bacaan
1. Mernissi, F., 1996. Women's rebellion & Islamic memory.
 2. Mernissi, F., 1991. The veil and the male elite: A feminist
interpretation of women's rights in Islam. Basic Books.
 3. A. Arazi, Sukayna bt. Al-husayn, Lewis, B. and Pellat, J.S., The
Encyclopedia of Islam, vol. VIII, (Leiden: EJ Brill & London:
Luzac&Co, 1971).
 4. Bahrul Uloom, Mohammad, the Tale of the Martyrdom of Imam Hussain: "The Kerbala Epic", [translation by Najim al-Khafaji], London : AB Cultural Institute for Arabic, 1977.
5. Pinault, D., 1998. Zaynab Bint Ali and the Place of the Women of
the Households of the First Imams in Shi'ite Devotional Literature.
Women in the Medieval Islamic World, ed. Gavin RG Hambly (New York: St. Martin's, 1998), pp.80-81.
6. Hyder, S.A., 2006. Reliving Karbala: Martyrdom in South Asian
Memory. Oxford University Press.
7. Aisha Othman, Reflections of a Wayfarer: Poetry of Islamic
Excellence, 2010, ISBN: 9781452007472.
8. Abd al-Malik Ibn Hishām and Isḥāq, M.I., 1967. The life of
Muhammad. Pakistan Branch, Oxford University Press.
9. Talhami, G., "Sukayna". 2012. Historical dictionary of women in
the Middle East and North Africa. Scarecrow Press.
10. Farmer, H.G., Weir, R., MA, B. and GRATITUDE, I.T.O., 1929. A
History of Arabian Music to the XIIIth Century.
10. Hamdar, A., 2009. Jihad of Words: Gender and Contemporary Karbala Narratives. The Yearbook of English Studies, pp.84-100.
11. Chelkowski, Peter. "Iconography of the Women of Karbala: Tiles,
Murals, Stamps, and Posters." The Women of Karbala: Ritual Performance and Symbolic Discourses in Modern Shi'i Islam, ed. Kamran Scot Aghaie (Austin: U of Texas P, 2005)
12. Rowson, Everett K. "The Effeminates of Early Medina." Journal of the American Oriental Society 111, no. 4 (1991): 671-93.
13. Stowasser. B.F., 1994. Women in the Qur’an, Tradition, and Interpretation. Oxford University Press.

14. Abbas, Shemeem Burne, “Sakineh The Narrator of Karbala: An
Ethnographic Description of a Women's Majles Ritual in Pakistan”, in Aghaie, Kamran Scot, ed. The Women of Karbala: Ritual Performance and Symbolic Discourses in Modern Shi'i Islam. University of Texas Press,
2009.
15. W. Montgomery Watt, "Khadija", the Encyclopaedia of Islam,
Brill-Leiden, Vol.IV.
16. L. Veccia Vaglieri, "Fatima", the Encyclopaedia of Islam New
Edition, Vol.II. p.841-859, Brill-Leiden.
17.  L. Veccia Vaglieri, "Husayn N. 'Ali B. Abi Talib", The Encyclopaedia of Islam New Edition, p.607-615, Brill-Leiden
18. Al-Mufid, S., 1981. Kitāb al-irshād: the Book of Guidance into the Lives of the Twelve Imams. Tahrike Tarsile Quran. Translated by I.K.A. Howard, University of Edinburgh
19. Hatab, Z., 1978. Evolution of the Structures of the Arab Family.
Al-Raida Journal, pp.8-9.
20. Dictionary, M.W.S.C., 1996. Merriam-Webster. Incorporated 10th
edition edition.
21. Aceh, A., 1971. Sekitar Masuknja Islam ke Indonesia. Ramadhani.
22. Hilloowala, Y., 1993. Women's role in politics in the medieval Muslim world.
23. Madelung, W., 2012. Husayn B.‘Ali: Life and Significance in Shi
‘ism. This is an edited version of an article originally published in the Encyclopedia Iranica on December 15, 2004 available at http://www.
iranicaonline.org; print, 12, p.2.
   
26. Aan Anshori, “Warna-warni Waria Zaman Nabi; Dari Makcomblang
hingga Pengusiran”,
http://www.rappler.com/indonesia/124228-waria-zaman-Nabi-muhammad
26. Book of Oppression, No. 2468, Sahih Bukhari,http://sunnah.com/bukhari/46/29

Featured Post

Janji Pengharaman Jual Beli Jabatan WarSa, Hanya Gimmick?

Kita patut mengapresiasi pasangan WarSa, yang berani berkomitmen menolak --bahkan mengharamkan-- jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Jomb...