Pages

Saturday, February 27, 2021

MENGUKUR KADAR ELJIBITI DI KOHATI

"Sekarang, mari kita main survei kecil-kecilan. Silahkan masuk mentimeter untuk ikut polling ini. Jangan Kuatir, identitas kalian terlindungi," ucapku di akhir presentasi pada peserta sekolah gender Korps HMI-Wati (KOHATI) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya di layar zoom, Sabtu (27/2/2021).


Sejak awal aku sudah deg-degan memikirkan apa hasilnya nanti. Yang terlintas, mereka akan memilih apa yang aku kuatirkan. Survei ini sebenarnya merupakan post-test untuk melihat sejauhmana materi yang aku sampaikan mendarat dengan baik.


Acara tadi tidak hanya diikuti anak KOHATI saja. Peserta umum bisa ikut bergabung. Namun aku tidak bisa mengindentifikasi satu per satu mereka. Kekuatiranku makin bertambah manakala aku hanya memiliki waktu terbatas untuk mempresentasikan gagasanku. Bagaimana mengharapkan perubahan besar dalam waktu singkat? Perubahan pemikiran seseorang biasanya berjalan gradual, evolutif, bukan revolutif.


Rupanya kekuatiranku tak terbukti. Banyak dari mereka menjatukan pilihan yang luarbiasa; tidak setuju tentara tersebut dipecat.


Ya, aku menanyakan respon mereka atas peristiwa pemecatan salah satu tentara dari kesatuannya. Ia, oleh pengadilan militer, dianggap terbukti melanggar pasal 103 KUHP Militer atau pasal 281 KUHP tentang perbuatan asusila. Tidak hanya dipecat, tentara ini juga dihukum penjara selama 8 bulan.


"Aku tidak akan banyak ngomong soal pasal. Alih-alih, aku mendorong kalian sebagai seorang scholar cum activist untuk berani mempertanyakan pasal. Berpikirlah lebih substantif. Mainlah di arena filsafat hukum," kataku menggebu-gebu.


Dengan menggunakan trisula kekerasan yang pernah ditawarkkan Galtung, aku yakinkan mereka bahwa kekerasan langsung dipicu oleh kekerasan struktural. Kekerasan struktural sangat tergantung kekerasan kultural.


"Kekerasan kultural bisa berbentuk norma dan epistemologi serta model bergama yang kita anut," ujarku.


Pelan-pelan aku kuliti; bagaimana pekatnya narasi klasik keislaman yang masih sangat bias identitas gender dan seksualitas prokreasi. Narasi didistribusikan secara massif dan sistematis melalui kanal-kanal pendidikan formal maupu pesantren.


"Siapa yang tidak hujjatul Islam Imam Ghazali dengan karya agungnya Ihya 'Ulumuddin? Jika kita tidak hati-hati menjelaskan pandangannya terkait perempuan di kitab tersebut, peradaban ini akan mundur kembali," kataku sembari menampilkan slide berisi 11 poin "idealitas," perempuan versi Imam Ghazali.


"Namun aku tidak akan berhenti mencukupkan penjelasanku soal perempuan tanpa menyinggung mereka yang lesbian, biseksual, aseksual, atau mereka yang memilih tidak mau bereproduksi. Aku tidak yakin dosenmu di UB memberimu informasi terkait hal ini. Begini....." aku pun mulai berbusa-busa menjelaskan panjang lebar latar belakang ketakutan nalar Islam klasik terhadap LGBT dan seksualitas yang tidak reproduktif.


Entah karena pemaparanku atau faktor lainnya, mereka seyatanya telah memilih posisinya atas kasus LGBT dan tentara. Gambaran polling ini merupakan potret yang harus kita syukuri. Berkali-kali aku mengatakan rasa syukurku, di forum, atas kesediaan HMI-Wati mendengar suara alternatif yang aku yakini.


"Ingat, jangan pernah biarkan orang lain menentukan apa yang terbaik bagi tubuhmu, bahkan dengan membawa-bawa agama sekalipun. Kalian diberi akal dan nurani. Biarkan keduanya menuntun kalian," tutupku.

Thursday, February 25, 2021

Majulah Pemudi-Pemuda Nahdlatul Ulama!

Sebagai anak aktifis NU, mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus "terseret," juga di arena organisasi ini. Almarhum orangtuaku termasuk cukup aktif di NU Mojoagung, khusus kakek dan bapak; Kiai Abd. Wahab Babut Sumobito dan Mashudan Dar.

Posisi terakhirnya, jika tidak salah, sekretaris Majelis Wakil Cabang -- kepengurusan level kecamatan. Itu sebabnya, barangkali hanya dia yang memiliki mesin ketik di desa kami, awal 80an. Aku kagum dengan kemampuan ngetiknya. Kelas 3 MI (SD) aku sudah bisa ngetik.

Rumah kami sering ditempati aneka rapat. Aku tidak tahu rapat apa saja. Pokoknya ngomong politik dan kemasyarakatan. Tahun-tahun itu NU dan PPP memang seperti dua sisi matauang. Persis saat ini. NU dan PKB. Urusan organisasi dan partai politik campur-aduk.

Setelah lulus MI, aku meninggalkan kecamatan Mojoagung. Keluar. Pergi ke pesantren hingga lulus SMA. Begitulah tradisi kami keluarga santri. Namun nampaknya tidak semua keluarga santri demikian. Ada banyak yang memilih mendidik anaknya di sekolah sekitar rumah. 

Selesai SMA, sekitar pertengahan 90an, aku pulang ke Mojoagung. Sebelum akhirnya aku harus ke Pare beberapa saat untuk kursus bahasa Inggris dan mondok. Pada saat itulah aku mencoba aktif mengikuti berbagai kegiatan para pemuda/i Nahdlatul Ulama Mojoagung. 

Salah satu kegiatan yang aku sukai adalah Kajian Islam Intensif, semacam forum mendialogkan berbagai isu publik dikaitkan dengan respon agama (Islam). Ada semacam semangat membara agar agama tidak berhenti hanya pada ritualitas. 

Yang juga aku ingat, saat itu isu antaragama masih terlalu pelik untuk ditawarkan. Kami sama sekali tidak menyentuh, misalnya, isu relasi Islam-Kristen atau isu rasial seperti Tionghoa-Jawa. Apalagi isu keragaman gender dan seksualitas. Masih jauh sekali untuk menyentuh hal itu.


Puluhan tahun aku sudah tidak lagi tahu perkembangan IPPNU-IPNU Mojoagung, hingga deklarasi GUSDURian Mojoagung , 11 November 2020.

Aku senang sekali melihat banyak eksponen dari mereka ikut hadir. Padahal acaranya dilaksanakan di dalam gereja. Mereka agak canggung awalnya. Namun itu tidak berlangsung lama. Mereka dengan cepat sekali membaur. 

Meskipun demikian, aku tahu keberadaan mereka saat itu dipersoalkan banyak senior di wilayah Mojoagung. Sebagaimana cara berpikir faksi NU model tradisionalis, senior-senior tersebut keberatan jika Islam (NU) terlihat terlalu dekat dengan kekristenan. 

Sangat mungkin mereka takut para kader IPPNU-IPNU akan tergerus imannya dan jatuh menjadi Kristen. Ketakutan tersebut perlu diapresiasi; tidak dengan menyalahkan, tidak dengan menghindari gereja, namun justru dijadikan pelecut uuntuk membuktikan kebesaran religiusitas ber-NU dengan cara tetap membangun relasi baik antaragama.


Majulah para pemudi/pemuda Nahdlatul Ulama! 

Monday, February 15, 2021

DILINDUNGI! Jangan Malah Digerayangi dan Dicabuli

*Rilis Jaringan Alumni Santri Jombang (JASiJO) terkait kekerasan seksual di pesantren Ngoro Jombang*

*DILINDUNGI! Jangan Malah Digerayangi dan Dicabuli*


Jaringan Alumni Santri Jombang (JASiJO) mengapresiasi kinerja kepolisian yang berhasil meringkus Subechan (50). Ia diduga kuat melakukan kekejian seksual terhadap belasan santriwati sejak dua tahun terakhir. Subechan adalah pimpinan pesantren, kiai, di kecamatan Ngoro Jombang.

Peristiwa ini menunjukkan betapa rapuhnya perempuan dan anak di lingkungan pendidikan, bahkan dengan label pesantren sekalipun. Sebelumnya, peristiwa serupa terjadi di pesantren Shiddiqiyyah Ploso Jombang, yang hingga kini terkesan mandek penyelesaian hukumnya. 

JASiJO mendukung kepolisian membongkar kasus ini secara lebih dalam. Sangat mungkin terdapat Korban lain dalam peristiwa ini. Penyelidikan dan penyidikan harus bersifat transparan dan akuntabel. Pelaku harus dihukum seberat-beratnya. Hak para Korban harus dipulihkan.

Pemerintah kabupaten, Bupati dan DPRD, tidak boleh diam. Begitu juga asosiasi pesantren seperti Rabitathul Maahid Islamiyyah di Jombang. 

Mereka jelas memiliki lebih dari sekedar kewajiban moral --atas nama agama maupun pesantren-- untuk memastikan hal ini tidak terjadi lagi. Pesantren harus bersedia menerapkan standard pendidikan ramah anak. Tidak bisa tidak. 

Sebagai catatan, diperkirakan ada sekitar 124 pesantren yang terdata di Kemenag (kabarjombang.com 26/10/2020) dengan total santri 41.874 -- 22.511 santri putra dan 19.363 santriwati.

Dua peristiwa ini merupakan tamparan keras bagi Jombang yang selalu membanggakan dirinya sebagai Kota Santri. Santri(wati) harusnya dilindungi bukan malah digerayangi atau dicabuli.

Hidup santri(wati)!

Aan Anshori / 085780314559
Pernah nyantri di Tambakberas dan Kedungmaling Mojokerto

Wednesday, February 10, 2021

TAK BISA JAUH-JAUH DARI SETIJADI

Entah siapa Setijadi itu. Yang pasti ia tentu lelaki. Aku berani bertaruh. Tak pernah aku bertemu dengannya, baik maya ataupun nyata. 

Dua minggu lalu, aku diminta para senior Tionghoa menemani  perempuan Tionghoa, dosen di Singapura. Namanya Charlotte Setijadi. Never heard that name

Saat aku lacak di Google Scholar, karyanya bertebaran bak cendawan di musim hujan. "Pinter sekali nonik satu ini," batinku. Forum online kami dengan tajuk "Menganalisis Survei Relasi Tionghoa-Non Tionghoa," berjalan cukup lancar. 

Ya, terbukti, Charlotte memang pintar. Kalau tidak, mana mungkin Prof. Robin Bush berkehendak menjadikannya sebagai asisten mengajar. Kami hanya bertemu maya saat itu. Tidak ada kontak lanjutan.

Dua hari setelah itu, kira-kira, aku mendapat pesan privat di instagram, dari perempuan yang bukan temanku. Namanya Sasha. Ia memintaku bersedia menjadi salah satu narasumber untuk riset tesisnya, di UPH Jakarta. Ia mengambil jurusan komunikasi, sedang menulis tentang pesan toleransi sebuah tayangan yang sempat kontroversial.

"Iya boleh, silahkan," kataku. 

Ia sangat senang atas kesediaanku. Sejurus kemudian aku penasaran kenapa dan dari mana ia memperoleh informasi tentangku. 

"Aku disarankan oleh mom Naniek, pembimbingku, Gus," katanya riang.
"Mom Naniek? Siapa dia?" kataku makin penasaran. Iki sopo maneh --aku membatin.

"Naniek Setijadi, Gus. Itu lho mamanya Charlotte Setijadi -- yang baru saja seforum sama gus Aan," katanya dengan percaya diri.

Aku googling sebentar. Naniek Setijadi ternyata dekan FISIP UPH Jakarta. Aku stalking nama tersebut di Facebook. Ia tidak cukup aktif. Pastilah. Mana mungkin dekan universitas seserius UPH lebih fokus ke FB ketimbang urusan kampus --aku menduga.

Namun meski aku tidak mengenalnya, aku sempat melihat interaksinya di FB, khususnya dengan beberapa nama yang aku kenal lama. "Ooohh ternyata masih dalam lingkaran yang sama. Santai." aku membatin.

Dua hari setelah berinteraksi dengan Sasha, tak kusangka anaknya Mom Naniek Setijadi, yakni Charlotte Setijadi, mengirim email padaku. Isinya undangan nongkrong di kelasnya. 

"Ya awwohh kenapa aku tidak bisa jauh-jauh dari Setijadi?" batinku, sambil tersenyum sendiri.

Charlotte mengajakku nongkrong di kelas yang ia ampu, kelas antropologi di Singapore Management University (SMU). Entah di Singapura sebelah mana. Aku memang pernah ke negeri kecil itu. Namun sekedar transit saja di bandara dalam perjalanan pulang dari Amerika.

Namun di manapun SMU berada, aku senang sekali bisa berbagi perspektif dengan puluhan nonik dan sinyo di kelas tersebut. Rupanya kelas tersebut telah menerapkan offline. 

Begitu melihat para nonik dan sinyo di kelas, dari warkop Persada, tempatku beronline-ria, aku jadi kangen kelas offlineku di Ciputra. Ya, mereka mengingatkanku pada para mahasiswi/aku. 

Bedanya, di ruang SMU, banyak yang memakai celana pendek, sedangkan di Ciputra tidak diperbolehkan. Aku jadi mikir kenapa nggak boleh pakai celana pendek, lha wong aku tidak keberatan mengajar pakai celana yang sama. Saat online bersama mereka, aku memakai celana itu. Koloran.

Kolor itu elastis, tidak kaku. Longgar. Tidak seperti model pendidikan agama di Indonesia yang rata-rata kaku. Misalnya, siswa/i Islam hanya diajar tentang Islam, tidak agama lain. Padahal tanpa pengetahuan tentang agama lain, pastilah seseorang berpotensi menjadi kaku, seperti kadrun. Itu

Namun aku percaya dua Setijadi merupakan orang yang lebih suka longgar ketimbang kekakuan. Sangat mungkin kelonggaran itulah yang membuat keduanya bertemu denganku, meski hanya dalam bentuk simbol.

Beberapa menit setelah Charlotte memposting suasana kelas tadi, dengan menandaiku di FB, aku mengomentarinya "Your class did make me nervous," 

Ibu dan anak, dari klan Setijadi itu, memberikan emoticon pada komentar tersebut. Aku memang tidak bisa jauh-jauh dari Setijadi.

Wednesday, February 3, 2021

JAWA DI ANTARA GUEST HOUSE DAN KURUSETRA ISLAM-KRISTEN

**ditulis untuk merayakan HUT ke-92 GKJ Bhayangkara Purwokerto

Jika ke Purwokerto, hanya ada dua tempat yang biasa aku jadikan jujugan menginap; kantor GUSDURian Banyumas dekat alun-alun dan guest house Gereja Kristen Jawa (GKJ) Bhayangkara Purwokerto, belakang Polres. Tidak jarang aku jalan kaki dari GKJ dan kantor GUSDURian. Lumayan jauh. Sekitar 2 kilometeran.

Dari sekitar 340an gereja milik GKJ sangat mungkin guest house GKJ Purwokerto yang paling sering aku tiduri. Guest house GKJ biasanya diperuntukkan bagi para pendeta yang "tukar mimbar," -- istilah bagi pendeta yang melayani diluar jemaatnya.

Meski aku bukan pendeta, GKJ Purwokero berbaik hati menampungku di sana. Mungkin mereka menerapkan prinsip; fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh teman-temannya. Tak peduli apapun agamanya -- mirip seperti yang ada dalam konstitusi.

Tidak hanya memberiku tempat tidur, mereka juga berbaik hati memberiku makan dan minum selama di sana. Namun tang paling penting justru, aku berkesempatan belajar kekristenan model GKJ Purwokerto.

Pada setiap kesempatan mengunjungi komunitas non-Islam, aku memposisikan diriku seperti mahasiswa jurusan studi agama-agama. Setiap tempat adalah medan pembelajaran memahami liyan. Pembelajaran ini tidak bertujuan apapun selain untuk bisa mengenali agar tidak salah paham.

Pada banyak kesempatan, selama di sana, aku sering ikut nimbrung saat ada pertemuan formal maupun informal. Aku pernah menyaksikan para adiyuswa (sebutan jemaat lansia) senam zumba di halaman gereja. Kebetulan salah satu pendetanya, Maria Puspitasari, cukup lihai dalam aspek ini.

Beberapa kali juga aku ikut sit-in bersama jemaat, baik sewaktu ibadah maupun pendalaman Alkitab. Jika ada yang tidak aku pahami --, misalnya, terkait liturgi maupun penggunaan bahasa Jawa level tinggi, aku biasanya bertanya pada Pdt. Maria dan mas Yohannes Triwidiantono. Untuk urusan bahasa aku lebih sering ke nomor dua ketimbang nomor satu. Menurutku, nomor satu "tidak terlalu Jawa" meski sangat Jawa. Bahasa jawanya kurang medok.

Jawa dan Kekristenan di Indonesia adalah hal yang unik. Agama ini hadir saat islam berusaha mati-matian menguasai pangsa pasar agama di kalangan suku Jawa. Kekristenan Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari nama, salah satunya, seperti Radin Abas --sebelum berubah menjadi Kiai Sadrach-- senyatanya telah berhasil mengambil hati banyak orang Jawa pascaperang Jawa. Kekristenan ini seperti menawarkan model keselamatan alternatif selain Islam.

Sadrach, begitu pula Tunggul Wulung dan Coolen, adalah faksi Kristen yang memilih mempertahankan identitas kejawaannya, ketimbang model kekristenan londo yang juga banyak pengikutnya. Mereka, terutama Sadrach, menggunakan berbagai simbol kejawaan untuk menjelaskan teologi kristen trinitarian. Sangat mirip dengan strategi sinkretisme-mistis yang digunakan Islam kala "menaklukkan," Jawa. Mungkin itu sebabnya ia mendapat banyak pengikut di kalangan Jawa.

Saat kekristenan Jawa di bawah Sadrach berkembang, tidak sedikit orang Islam yang marah. Hampir semua gereja yang dibangun pengikut Sadrach dibakar, antara 1882-1884.

Sadrach memang fenomenal. Ricklefs mencatat lelaki yang pernah belajar di Pesantren Jombang (Tebuireng?) ini sebagai tokoh lokal paling berpengaruh dalam kekristenan di Jawa Tengah.

Hingga 1900, terdapat sekitar 20.000 orang Kristen di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jumlah ini kira-kira 0,1 persen saja dari populasi di Jawa. Angka ini tentu saja sangat kecil dibanding dengan jumlah orang Jawa yang berislam.

Namun pada 1967-1970, jumlah orang Indonesia yang berpindah Kristen meningkat tajam. Sekitar hampir 1 juta orang. Gereja-gereja di Jawa mendapat pengikut baru yang tidak sedikit. Ukur dan Cooley memperkirakan GKI Jawa Timur mendapat 17 persen, GKJTU 15,5 persen, GITJ 12,2 persen, GKJ dan GKJW masing-masing 9 persen.

Banyak elit Islam saat itu, bahkan hingga kini begitu terluka melihat peristiwa ini. Kemarahan mereka semakin mendidih terhadap kekristenan. Mereka menganggap kekristenan tengah "mencuri," orang-orang Islam. Diksi kristenisasi di Indonesia jika mau dilacak, menurutku, berakar dari peristiwa ini.

Peristiwa ini, bagi banyak orang Jawa-Islam, terasa seperti goresan pada luka yang pernah ditorehkan Sadrach. Aku sendiri pernah dikondisikan untuk merasakan luka tersebut, luka yang dikreasi agar banyak orang Islam, khususnya Jawa, marah pada Kekristenan.

Jika kini aku merasa tengah berproses agar bisa sembuh dari luka sejarah tersebut namun mungkin tidak bagi banyak muslim-Jawa lainnya. Mereka sepertinya masih memilih merawatnya dengan cara pandang klasik. Aku bisa merasakan itu, termasuk saat tidur di guest house yang hanya berjarak kurang dari 5 cm dari masjid yang dibangun secara unik.

Keunikan ini menyeret rasa penasaranku untuk menelisik dan menuliskannya, sekitar 2-3 halaman. Namun pada akhirnya aku memilih untuk tidak mempublikasikannya atas saran beberapa orang. Aku respek pada mereka meski sempat agak kecewa dengan mereka.

Saran mereka semakin membuatku percaya dan bersyukur Jawa akhirnya tidak lagi dimonopoli total oleh Islam. Monopoli, dalam hal apapun --termasuk agama, tidaklah sehat bagi jiwa dan tubuh bangsa. Kita butuh keragaman. Keragaman membuat kita memiliki banyak opsi dan kita merdeka memilih opsi tersebut seraya harus tetap menghormati pilihan lain.

Selamat ulang tahun ke-92 GKJ Bhayangkara Purwokerto. Majulah kekristenan Jawa untuk merawat kebinnekaan Indonesia. Biarlah guest house tetap terbuka untuk orang-orang sepertiku.


Ttd

Aan Anshori
Jawa-Islam-Nahdlyyin-GUSDURian

Wednesday, January 20, 2021

Memberi Makan atau Tidak?

ITULAH
sanderaan pertanyaan di kepalaku ketika melihat Brown duduk persis depan aku makan. Tidak terbantahkan lagi anjing ini tengah kelaparan. Namun percayalah, memberi makan padanya tidaklah mudah bagiku.


Brown adalah satu dari empat anjing yang datang menyambut kami di pepanthan Sumbergogor GKJW Wonosalam, Senin (6/1).


Aku merasa hanya ia yang menaruh perhatian padaku. Pikiran konspiratifku langsung berkata; jangan-jangan ia memang ditugaskan genk anjing tersebut untuk menakut-nakutiku, mencobaiku, selama di sana.


Aku sendiri sebenarnya sudah tidak terlalu takut pada anjing. Ini penting aku sebutkan karena tidak demikian halnya kebanyakan Muslim. Sejak orok, mereka telah dikondisikan takut dan, pada titik tertentu, membencinya.


Dari mana aku tahu? Mudah, sebab aku dibesarkan dalam tradisi Muslim-Sunni-Nahdliyyin-Syafi'iyan --denominasi Islam terbesar di Indonesia sekaligus penentu kebenaran secara politik dan sosial.


Syafiiyan adalah sebutan penganut hukum Islam klasik (fikih) madzhab Imam Syafii. Sosoknya hidup antara 767-820 M. Ia adalah raksasa yang begitu kuat menggenggam nalar hukum Muslim Indonesia. Ada lebih dari 27.000 pesantren Indonesia yang hampir semuanya berpayung padanya. 

 

Padahal, ada 8 madzhab fikih lain yang bisa dipilih selain Syafii. Yakni; Hanafi, Maliki, Hanbali, Ja'fari, Zaydi, Zahiri, Ibadis dan Mu'tazili. Kesembilan dewa fikih seringkali berbeda pandangan satu dengan yang lain dalam banyak hal. Termasuk soal anjing.


Kesembilannya tentu mengambil basis alQuran dan kemudian menafsirkannya. Produk tafsir inilah yang "wajib" dikonsumsi oleh kebanyakan Muslim saat ini --disebut Muslim awam --termasuk aku. Tugas Muslim awam adalah read and follow. Praktek norok bunthek seperti ini yang dulu dikritik hebat Soekarno lewat "Islam Sontoloyo,"


Entah bagaimana ceritanya, terutama oleh Syafiian, anjing dianggap binatang --tidak hanya najis namun -- supernajis. Mungkin Imam Syafii pernah memiliki pengalaman personal terkait anjing sehingga berposisi demikian.


Syafiian sangat mungkin mendasarkan posisinya pada perkataan yang kabarnya dari Nabi Muhammad. Misalnya, malaikat tidak akan masuk rumah yang ada gambar, lukisan maupun anjingnya; Nabi memerintahkan membunuh anjing.


Perkataan ini (jika memang benar dari Nabi) selanjutnya "ditelan," mentah-mentah, tanpa dicerna konteksnya saat itu. Para sarjana psikologi modern yang juga pakar anjing, misalnya Stanley Coren, menganggap pelarangan tersebut sangat mungkin berkaitan dengan wabah rabies.


Selain itu, beberapa hadits antianjing dinarasikan Abu Hurairah (father of little cat). Tokoh hadits tersohor ini oleh beberapa kalangan kalangan dianggap cukup anti terhadap anjing dan, perempuan.


Sikap antianjing dalam Islam patut ditelisik karena aneh. AlQuran sendiri tidak pernah menyebut kenajisan binatang ini. Tidak seayat pun. Yang terjadi justru sebaliknya; Anjing (Qitmir) diposisikan dalam cerita heroik-spiritual ashabul kahfi (seven sleepers) dan bahkan kabarnya ikut ke surga.


Aku menduga kuat ketidaksukaannya terhadap anjing kemudian diwariskan, secara turun-temurun, menggunakan rantai epistemologi hukum klasik Islam yang dikenal sangat rigid.


"Afala yatadabbaruuna al-qur'ana walaw kana min 'indi ghayr allaha lawajaduu fiihi ikhtilaafan katsiroo," -- Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS.4:82)

**

Tak kusangka, Brown mendekat saat aku duduk santai di depan. Lidahnya dijulur-julurkan. Gigi-gigi berderet rapi. Taringnya, uuuhhh.. menyeramkan.


Aku makin kalut. Antara berani, takut dan jijik. "Ia baik.. ia baik.. ia baik..: begitulah yang terus aku wiridkan saat ia mulai mengendus sepatuku. Jaraknya begitu dekat. Aku berusaha setenang mungkin. Mencoba mengajaknya berbicara -- padahal sebenarnya aku sedang menutupi kegugupanku.


Aku berhasil menguasai diriku sendiri. Tidak lari menyingkir, menjauhinya. Brown kemudian memilih menjauhiku. Sangat mungkin ia menganggapku "undangerous," dari hasil endusannya.


Menurutku ia berbuat baik padaku. Sama sekali tidak membahayakan. Itu sebabnya, saat ia tidur-tiduran, aku menghampirinya. Mengelusnya sebagai tanda terima kasihku atas sambutannya.


Percayalah, aku benar-benar berusaha memberanikan diriku sendiri, berkalang rasa takut dan ketidakpastian yang terus menjalar. Mungkin ini seperti yang pernah dirasakan Soekarno saat datang ke rumah nonik Belanda untuk melamarnya, sebelum akhirnya diusir calon mertua lakinya secara tragis.


"Thank you for being nice to me," kataku padanya dalam hati.

**

Aku, Pdt. Ridha, Edi dan Pdt. Anggi bergerak menuju ruang makan. Terhidang aneka makanan khas Wonosalam, terutama sayur plompong --sejenis sayur lodeh dengan bahan dasar batang talas. Empuk seperti spon dan enak, jika bisa masaknya.


Tersedia juga lele goreng, telur dadar, sambal goreng tongkol dicampur tempe, sambal dan, tentu saja, krupuk.


Awalnya aku makan di dalam ruangan. Kemudian bergeser ke luar. Aku ingin makan sembari menikmati suasana pegunungan.


Aku melihat brown berjalan mendekatiku. Saat dekat ia duduk di depanku. Dua kaki depannya berdiri. Bokongnya diletakkan di lantai. Mukanya memelas. Lidahnya dikeluarkan. Tanda ia ingin makan juga.


Aku reflek mengambil potongan lompong dan aku lempar ke sebelahku. Ia mengambilnya. Begitu selesai, ia kembali duduk di depanku. Posisi semula; minta makan.


"Ini anjing opo tho yooo. Mosok mangane lodeh lompong," aku bicara sendiri sambil tertawa. Sejenak aku berpikir; kenapa makanannya harus aku lempar? Kenapa tidak aku berikan langsung dengan tanganku sendiri? Tapi bagaimana jika tanganku yang justru diterkamnya? Siapa yang akan menjamin tanganku tidak digigitnya?


Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkecamuk dalam pikiranku. Berputar-putar dengan sendirinya. Terjadi pergolakan dalam diriku.


Entah dorongan apa menggerakkan tanganku untuk menyodorkan potongan lompong ke mulutnya. "Awas jika tanganku kau gigit, aku tendang kamu," batinku mengambil ancangan.


Saat mulutnya hanya berjarak dua sentimeter dengan posisi terbuka, aku kaget sekali. Reflek aku tarik tanganku cepat. Lompong terjatuh antara aku dan Brown. Ia menjumputnya dengan mulut dan mengunyah. Entahlah apakah apakah ia tahu aku sedang berjuang dengan ketakutanku sendiri. Ia begitu santainya. Duduk dan berposisi semula; ingin makan.


Aku mencoba lagi mengulurkan lompong, langsung dari tanganku. Kali ini aku meyakinkan diriku; tidak akan digigit. "Kalau dia berkehendak menikmati dagingku, ia lho bisa melakukannya sejak awal. Namun ternyata tidak kan?" kataku meyakinkan diri.


Keyakinanku terbukti. Mulut Brown hanya mengambil lompongnya saja. Tanganku dibiarkan tak terjamah. Mungkin ia sadar, jika tanganku ikut-ikutan dilahap maka hal tersebut akan mengubah nasibnya.


Aku menikmati proses relasiku dengan Brown. Ini adalah pengalaman pertamaku selama hidup hampir 50 tahun. Tak pernah akku sedekat ini dengan anjing. Aku membayangkan apakah keintiman seperti ini yang terjadi pada peristiwa ashab al-kahfi dengan anjing Qitmir.


Tahu berapa kali aku bolak-balik ke meja makan untuk nambah sayur lompong? Delapan kali! Gara-gara si Brown.

Thursday, December 24, 2020

CERITA HIJRAH 160 MUSLIM(AH)

   
TAHUN lalu, aku "hanya" mampu mengajak sekitar 150an anak muda Islam berkunjung ke gereja-gereja dalam setahun. Yang terbanyak, saat berada di Purwokerto, aku bersama seratusan mahasiswa Studi Agama-Agama IAIN Purwokerto ke GKI Gatot Subroto.

    Namun capaian manis telah sukses aku torehkan awal tahun 2019. Dalam sehari saja, aku telah bisa membawa 160an mahasiswa/i. Yang paling heroik, mereka jalan kaki sejauh 3 kilometer.

    Ada yang sempat kram kakinya! Aku menyebutnya sebagai hijrah; perjalanan dari situasi gelap penuh prasangka menuju kehidupan baru yang meninggalkan prasangka agama.

    ****

 

    Sebenarnya aku berfikir keras apakah harus menerima tawaran mengisi sesi gender dan al-Quran dalam Sekolah Islam dan Gender (SIG) PMII Rayon Sunan Bonang Universitas Islam Malang. Alasanya ada beberapa; aku sudah terlalu sering mengisi di PMII, lokasinya terlalu jauh dari titik terakhir acaraku sehari sebelumnya, durasi sesi yang sangat singkat --hanya 90 menit, dan pesertanya terlalu banyak dengan pemahaman gender yang tidak seragam.

    Aku benar-benar harus menghitung kehadiranku di forum itu. Jika tidak setimpal, dalam arti memastikan mereka akan mendapat pencerahan setidaknya dalam aspek kognitif, afeksi dan psikomotorik, maka kehadiranku tak terlalu berarti.

    Namun aku juga berfikir; kalau bukan aku, siapa lagi yang mau mengisi forum selevel "kompetisi liga kasta ketiga" ini. SIG memang tidaklah terlalu menarik bagi beberapa pemateri karena jauh dari hiruk pikuk pemberitaan. Ibarat kata, KUMnya tidak terlalu banyak.

    Bukan bermaksud sombong, namun jika pertanyaannya "Kenapa harus Aan?" maka dengan mudah bisa aku sampaikan hipotesisku, bahwa fasilitator/pemateri gender dengan perspektif non-binary dan non-conforming gender masih sangat minim di internal elit-elit PMII. Mereka, rata-rata, masih memakai binary-gender, yang menurutku, tidak lagi cukup kompatible dengan semangat kemajuan.

    "Pesertanya sekitar 70-100 orang, gus," jawab Fauzi, laison officer SIG yang terus berkomunikasi denganku. Fauzi adalah salah satu penggerak GUSDURian Malang, lulus KPG, dan termasuk senior di PMII Unisma.

    Aku tak sanggup menolaknya. Mengumpulkan peserta sebanyak itu adalah kerja keras luar biasa yang harus diapresiasi. Maka aku pun menerima tawaran itu sembari terus memutar otak mencari formula tepat untuk memberi yang terbaik bagi mereka dalam konteks pluralisme.

    

Segera setelahnya, aku langsung menginformasikan jadwal kedatanganku ke WA grup GUSDURian Batu. Aku kulo nuwun karena mau masuk wilayah mereka. Ini merupakan fatsoen yang aku coba terapkan di kalangan GUSDURian, sembari mempersilahkan GDian setempat untuk bisa memanfaatkan diriku untuk capacity building. Lumayan kan, mereka nggak perlu repot menyediakan biaya transportasiku.

    "Adakah jaringan kita yang punya gereja di sekitar Villa Sumber Urip 2 Tlikung Junrejo Batu?" tanyaku ke WA grup tersebut. Mbak Yelly, salah satu anggota grup, langsung menjawab gerejanya ada di dekat lokasi. Jaraknya sekitar 3 km dari villa tempat forum berlangsung. Kalau berjalan kaki sekitar 40-50 menit menurut Googlemaps. Lumayan lama.

    Aku punya ide mengajak semua peserta mengunjungi gereja tersebut. Namun bukankah tidak ada hubungannya antara gender-Islam dan kunjungan gereja? Jelas ada.

    Di sana nantinya, peserta akan berdiskusi dengan Mbak Yelly seputar perempuan dan gereja. Namun harus aku akui, tujuanku sebenarnya mengajak mereka ke sana tak lain adalah untuk memangkas kadar kolesterol intoleransi yang menumpuk dalam benak mereka.

    Tingginya kolesterol ini merupakan konsekuensi dari kuatnya dogma kebenaran yang dicekokkan sejak kanak, sehingga menimbulkan dampak negatif dalam bentuk intoleransi.

    "Merasa benar itu baik. Namun merasa paling benar itu berbahaya," kata Mbak Alissa Wahid suatu ketika. Jika diterapkan dalam konteks sekarang maka; meyakini Islam sebagai agama yang benar adalah baik, namun meyakininya sebagai yang paling baik bisa menimbulkan masalah dalam berelasi dengan agama lain. 

    Kata "paling" memuat konsekuensi menganggap "yang lain" lebih rendah. Sehingga, "yang rendah" tidak pantas memimpin maupun mendapat hak yang sama dengan "yang paling," Menghadapi kuncian dogma mematikan seperti ini, yang dipadu dengan pelabelan negatif terhadap nonmuslim, membuatku berfikir ekstra keras menemukan cara melucutinya. 

    Dalam hal ini aku teringat sebuah kata bijak; "Tell me I will forget, show me I will remember, and involve me I will understand," Merujuk pada hal itu, maka mengkhotbahkan pluralisme kepada orang Muslim tidak akan memberikan dampak yang cukup signifikan. 

    Dibutuhkan aspek kedua dan ketiga, yakni menunjukkan sekaligus menciptakan interaksi langsung dengan "yang dianggap salah,"

Jika pertanyaannya adalah kenapa harus ke gereja, maka bisa aku jawab dengan mudah; kenapa tidak. 

    Gereja, dalam hopotesisku, merupakan simbol Kekristenan yang begitu ditakuti oleh sebagian muslim Indonesia. Ketakutan ini didasarkan pada sebuah keyakinan seorang Muslim(ah) akan otomatis menjadi Kristen seandainya masuk gereja.           Keyakinan seperti ini aku anggap sebagai mitos --sesuatu yang tidak bisa verifikasi sebagai kebenaran mutlak. Ratusan orang telah aku bawa masuk gereja dan tidak ada satu pun yang mengalami hal itu. Namun menyampaikan fakta yang aku alami ini secara oral tidak secara otomatis membuat mereka yakin. Mereka harus mengalaminya sendiri. Bagiku, cara terbaik mengusir ketakutan adalah dengan menghadapinya, bukan menghindarinya.

    Setelah mengisi sesi gender selama sejam dengan model duduk ala Bioskop XXI, aku bersama mereka mulai menyusuri jalan beraspal yang menjorok turun. Berjalan kaki. Panitia tidak mempersiapkan angkutan umum. Mungkin karena budgetnya kurang atau faktor lain. "Biar mereka sekalian olah raga pagi, gus," kata Fauzi.

    


Ternyata jalan kaki sepanjang 3 km itu lumayan jauh. Beberapa panitia aku minta kembali ke villa untuk mengambil motor dan mengangkuti mereka satu per satu. Aku sendiri berjalan paling belakang untuk menngantisipasi yang tercecer.         "Angkut temanmu yang terlihat paling kelelahan. Angkut sekaligus dua," kataku ke pengendara motor, tim sweeper. Aku sendiri cukup kuatir akan ada kejadian buruk menimpa peserta. Meminta mereka jalan kaki sejauh itu tanpa dibekali pengetahuan tentang kemampuan fisik seluruh peserta benar-benar beresiko. Aku benar-benar merasa bodoh sekali.

 

JATUH KORBAN

    Mimpi buruk pun akhirnya datang. Aku melihat satu peserta perempuan berdiri lama di hadapanku. Ia dipegangi temannya. "Kram? Sebelah mana?," tanyaku kepadanya sembari memeganginya. Dia menunjuk kaki kiri. Aku minta ia duduk namun ia tidak bisa. Rasa sakitnya begitu hebat. Terlihat dari wajahnya.

     "Aku tahu kamu belum pernah dipegang laki-laki, tapi percayalah padaku ya," kataku sembari memintanya merebahkan punggungnya ke aku untuk aku bantu duduk di pinggir jalan.

    "Aduuuuuuuuhh..." ia kesakitan lagi saat aku menggeser tubuhnya. Temannya yang perempuan membantu terlihat gopoh. Aku mulai memijat kakinya pelan. Dia terlihat malu, sangat khas tipikal kebanyakan perempuan Islam-Jawa-Sunni-konservatif yang hidup di area rural. 

    Aku mengajaknya terus berbincang mengenai banyak hal agar ia lebih rileks dan tidak kikuk menerima pijatan dari laki-laki yang tidak ia kenal sebelumnya. Metode pengalihan-perhatian ini aku pelajari dari film berlatar belakang medis seperti E.R.

    Setelah merasa lebih baik, aku memanggil tim sweeper agar segera mengangkutnya ke lokasi tujuan agar bisa beristirahat lebih baik. Ia kemudian aku bantu naik motor, diapit temannya. Lagi-lagi aku melihat muka malunya duduk sangat mepet dengan tim sweeper laki-laki. "Dik, relaks. Tidak akan terjadi apa-apa. Yang bonceng itu saudaramu sepergerakan. Tidak akan terjadi apa-apa.     Sampai jumpa di gereja," kataku menenangkannya kembali. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Motor pun melesat.

Akhirnya, satu per satu 160 kader PMII masuk ke gereja GPdI sekitar jam 8 pagi. Bertepatan dengan selesainya ibadah Minggu. Suasananya begitu ramai hingga meluber ke jalan besar. Aku melihat beberapa polisi dan tentara ada di depan gerbang. Mukanya agak tegang.

    "Ada kekuatiran gereja akan diserang, mas," kata mbak Yelly sembari tertawa.

Sebelum masuk gerbang gereja aku salami semua aparat yang ada di sana. Aku memperkenalkan diri dan mengatakan sebagai penanggung jawab kelas. Suasana menjadi lebih rileks setelah kami terlibat obrolan santai.

    Acara dimulai sesaat kemudian, setelah aku mempersilahkan semua duduk dan meminta perwakilan PMII, GUSDURian, kepolisian dan wakil GPdI maju ke depan.

    "Ini anugerah luar biasa bagi gereja kami. Dapat dikunjungi oleh saudara-saudara Muslim kami," kata Pdt. Xxx memberi sambutan setelah nyanyian Indonesia Raya.

    "Siapa di antara kalian yang baru kali ini masuk gereja?" tanyaku melengking. Hampir separuh lebih yang mengangkat tangannya. Sebagian beaar mereka pemah tinggal di pesantren antara 3-5 tahunan.

    Aku selanjutnya mempersilahkan peserta menyampaikan kesannya. Sekitar 7 orang mengangkat tangannya. Satu per satu mereka menyampaikan perasaannya. Semuanya dengan jujur menyatakan kekagetan bisa masuk gereja dan diterima dengan baik.

    "Saya menyangka orang Kristen itu jahat. Memusuhi kami. Nyatanya kok nggak. Saya jadi heran,"

    "Impian saya akhinya terkabul. Bisa masuk gereja. Sejak dulu saya pengen sekali masuk namun dilarang orang tua. Berdosa katanya,"

    "Saya sempat ragu saat mau masuk. Kuatir murtad,"

 

    Begitulah yang bisa aku ingat dari testimoni mereka. Ucapan terima kasih selalu meluncur di setiap testimoni. Sulit untuk tidak menganggapnya tulus.

    Aku percaya pengalaman ini akan menguatkan mereka menghadapi derasnya gencetan intoleransi. Kunjungan mereka bak antibiotik tidak hanya membentengi mereka dari ajakan berprasangka negatif, namun juga terlebih dahulu berhasil menetralisirnya.

    "Kalian telah menjadi manusia Islam yang baru. Muslim tanpa kecurigaan pada Kekristenan. Namun ingatlah, akan banyak cibiran dan perisakan terhadapmu. Semoga kalian kuat," kataku menutup acara.

    Hijrah 160 Muslim(ah) adalah ikhtiar yang telat. Harusnya persentuhan seperti ini telah disemai sejak awal di bangku sekolah dasar agar radikalisme tidak menjalar seperti sekarang.

    Sudah berapa orang yang telah kamu ajak berhijrah? (*)

Featured Post

Janji Pengharaman Jual Beli Jabatan WarSa, Hanya Gimmick?

Kita patut mengapresiasi pasangan WarSa, yang berani berkomitmen menolak --bahkan mengharamkan-- jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Jomb...