Pages

Wednesday, July 26, 2023

WAYANGAN DAN PERKAWINAN PENGHAYAT


Jika tidak ada aral melintang, 5 Agustus nanti, akan ada wayangan. Penyelenggaranya adalah Persatuan Warga Kerokhanian Sapta Darma Kota Surabaya. 

Wayangan untuk memperingati acara Suroan ini mengambil judul "Wahyu Makutharama," dengan Dalang Ki Bambang Handoyo. Acaranya terbuka untuk umum, di Gedung Cak Durasim Surabaya. Silahkan hadir.

Sayangnya, aku menyesal tidak bisa datang. Tanggal itu aku ada di Parigi Moutong. 

Tuesday, July 25, 2023

NASIB PERKAWINAN BEDA AGAMA SETELAH KELUARNYA SEMA


Banyak orang bertanya bagaimana nasib perkawinan beda agama (PBA) paskakeluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) kontroversial yang memerintahkan para hakim menolak permohonan PBA di pengadilan.

Nasib PBA di Indonesia makin babak belur. Jika sebelumnya kekuatan intoleran berhasil menekan banyak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) kabupaten/kota agar menolak permohonan PBA, kini jalur pengadilan pun ditutup. 

Sunday, July 2, 2023

PRAHARA BAHAGIA "PENERBANGAN" KETIGA; PERKAWINAN BEDA AGAMA

Aku meyakini jodoh dalam perkawinan bermakna tujuan, destinasi setiap manusia, yakni kebahagiaan. 

Ada yang bahagia dengan cukup kawin sekali saja selamanya. Namun tidak sedikit yang harus bergonta-ganti "pesawat" agar sampai ke tujuan.  

Tiap orang memiliki jalan penerbangan masing-masing. Tak terkecuali cerita penerbangan Wulan dan Irman.


Keduanya berbeda agama. Wulan Protestan, Jawa ningrat, ASN. Sedangkan Irman, Islam Sunni, berdarah Madura, swasta. Wulan lebih senior tiga tahun ketimbang Irman. Keduanya saling cinta setelah jodoh mereka dengan dua orang sebelumnya berakhir. 

"Hatiku sudah sangat rapat terkunci untuk laki-laki lain, Gus. Aku tidak mudah mempercayai laki-laki. Tapi Irman berbeda dari sebagian besar lelaki yang berusaha mendekatiku. Kami berencana melanggengkan ikatan cinta kami dalam perkawinan beda agama," ujar Wulan.   

Friday, May 5, 2023

DERU PBA DI BECOMING INDONESIA

Di kampusku Ciputra, tidak ada Fakultas Hukum. Entah kenapa. Mungkin 5 tahun lagi baru ada. 


Namun pagi kemarin, Jumat (5/5), aku bereksperimentasi, mencoba mengajak mahasiswa/i matakuliahku "Becoming Indonesia," berselancar tipis ke dunia hukum. 

Aku meminta mereka membaca putusan/penetapan PN Surabaya terkait perkawinan beda agama (PBA) yang diajukan Rizal Adikara dan E. Debora Sidauruk.

Pagi tadi mereka mendengarkan presentasi dua kelompok terkait asimilasi dan akulturasi melalui perkawinan beda agama/etnis. Mereka banyak memapar aspek sosial dan psikologis. 

Wednesday, May 3, 2023

UDENGAN BALI DAN KEKERASAN AGAMA

Entah kenapa aku tiba-tiba ingin pakai udeng Bali saat ngajar. Selasa, 2 Mei, aku memakainya sejak dari Aloha Sidoarjo menuju Citraland. Motoran tanpa helm. Aku melanggar hukum. Temanku tidak membawa helm rupanya. Sungguh aku menyesal. 

Aku baru tahu corak udengku adalah poleng. Warnanya seperti papan catur.


"Mengingatku pada pohon di Bali, Pak. Banyak yang dibebat dengan kain bermotif seperti itu," kata salah satu mahasiswa Religion saat di kelas.

Betul, motif poleng sering dijumpai sebagai pengikat pohon atau lainnya. Rupanya, ini merupakan simbol ekspresi terima kasih (gratitude) atas kontribusi yang diberikan oleh yang-dibebat. Pohon memberikan kontribusi luar biasa atas alam raya. Jika kita membebatnya dengan poleng, itu artinya kita berterima kasih. Tidak boleh ditebang. 

Yang patut juga direnungkan dalam motif poleng adalah penggabungan dua warna; hitam putih. Yin-yang. Negatif-positif. Siang-malam. Baik-buruk.

Ini mengingatkan kita agar mensyukuri apapun yang diberikan kepada kita, sungguh pun tidak semuanya baik. Artinya, kita kurang pas jika hanya bersyukur atas anugerah kebaikan. Alih-alih, kita juga dituntut berani mengapresiasi apa saja yang tidak mengenakkan bagi kita. 

Kalau kita punya kawan pengkhianat, syukurilah. Jangan tidak dianggap sebagai kawan. Begitu pula jika memiliki aib, dosa, kesalahan --jangan membencinya. Harus disyukuri.


"Itu sebabnya, aku bebat kepalaku dengan udeng Bali, sebagI perasaan syukur. Otakku ini telah menuntunku berbuat baik dan buruk selama hidup hampir 50 tahun. Aku berusaha menjadi baik," ujarku pada para mahasiswa. 

Kebetulan sekali pagi itu kami mendiskusikan topik kekerasan agama dan konsep sesama. Aku mengajak para mahasiswa menyadari banyak agama monoteistik sering bersikap ambigu. Satu sisi mengklaim sebagai pembawa damai, namun di sisi lain, menyebabkan kesengsaraan luarbiasa bagi umat lain.

"Yang salah bukan agamanya, pak. Tapi bagaimana ia ditafsirkan," sahut salah satu mahasiswaku.

"Nah, justru dalam argumentasimu itu aku mengendus anasir penyangkalan. Hanya mau buah nangkanya tapi emoh getahnya. Padahal nangka itu ya semuanya; getah, kulit, biji, aroma, rasa manis, termasuk pohon dan daunnya," ujarku.

Aku selanjutnya menantang mereka berani menginklusi doktrin dalam kitab suci mereka melalui esai pendek. Ada 5 agama yang dipeluk keseluruhan mereka. Satu mahasiswa mengaku agnostik.

Esai tersebut sekurang-kurangnya mengeksplorasi jawaban atas 2 pertanyaan; (a) temukan sebanyak mungkin teks dalam kitab sucimu yang (1) berpotensi dijadikan pembenar melakukan kekerasan terhadap orang yang berbeda, (2) berisi ajaran tentang kesetaraan, kemanusiaan, keadilan, cinta-kasih; (b) bagaimana idealitas pembacaan atas dua kelompok teks tersebut agar kita tidak melakukan kekerasan? 

"Esai akan mendapatkan tambahan nilai untuk matakuliah ini," ujarku mengiming-imingi tip biar mereka makin semangat .(*)

Wednesday, April 26, 2023

BAYAR 210 RIBU; KAWIN BEDA AGAMA MARIA DAN YUSUF

Saat Majelis Hakim MK memutuskan tidak mengabulkan gugatan perkawinan beda agama (PBA), 31 Januari 2023 lalu, banyak pihak berpikir PBA tidak bisa lagi dilaksanakan di Indonesia. 


Anggapan ini tidak tepat. Putusan MK tersebut tidak mengubah apapun terkait PBA. Perkawinan model ini tetap berjalan sebagaimana sebelum ada putusan (existing condition), 

Kondisi ini semakin diperkuat dengan kejadian di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dua orang dewasa, Christina Maria Vicky Antariwaty -- 40 tahun, Katolik-- dan Yusuf Tandiono --32 tahun, Islam-- meminta pengadilan menetapkan PBA mereka. Keduanya terpaksa maju ke PN Jakarta Selatan karena Dukcapil menolak mencatatnya.

Maria dan Yusuf menikah beda agama di Gereja St. Perawan Maria Diangkat ke Surga Paroki Katedral Jakarta, 10 November 2022,  diberkati Rm. B.S Martadiatmadja, SJ. Kedua orang tua mereka setuju dengan relasi mereka. Namun, Dukcapil bersikap sebaliknya.

Maria dan Yusuf tak patah arang. Pada 10 Januari 2023, keduanya secara mandiri --tanpa pengacara-- mengajukan surat permohonan penetapan di PN Jakarta Selatan. Surat permohonan tersebut dilampiri fotokopi KTP dan akta kelahiran milik keduanya; fotokopi kartu keluarga Maria; fotokopi surat perkawinan dari gereja; serta fotokopi surat pengantar dari kelurahan Cipulir Kebayoran Lama. 

Selain dokumen-dokumen tersebut, keduanya juga mengajukan 4 orang saksi, yakni Valentina Siti Sungkowoasih, Yusup Murdjito, Petrus Dwiantono dan Maria Goretty Siti W.

Dalam permohonannya, Yusuf dan Maria meminta PN Jakarta Selatan empat hal. Pertama, mengabulkan isi permohonan para pemohon untuk seluruhnya. 

Kedua, memberikan izin kepada kami untuk melangsungkan pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Jakarta Selatan. 

Ketiga, memerintahkan Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama Para Pemohon tersebut di atas ke dalam register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu. Keempat, membebankan biaya permohonan ini pada para pemohon

"Atau, jika pengadilan berpendapat lain, mohon penetapan yag seadil-adilnya ( Ex Aeque et Bono)" tulis Maria dan Yusuf dalam permohonannya.

Entah berapa kali keduanya menjalani persidangan yang dipimpin Hakim I Dewa Made Budiwatsara, SH. MH. Pada Rabu 8 Februari 2023, hakim memutuskan mengabulkan permohonan Maria dan Yusuf secara keseluruhan.

"Membebankan biaya perkara ini kepada Para Pemohon sejumlah Rp. 210.000,00 (dua ratus sepuluh ribu rupiah)." kata Hakim Dewa.

Kini Maria dan Yusuf sudah sah menjadi sepasang suami istri beda agama. Mudah bukan?(*)

Monday, April 24, 2023

VIKARIS DOLAR AJA, GUS

Aku selalu berusaha berpikir lebih maju, menembus batas normatifitas. Batas akan selalu aku geser menjadi lebih maju. Namun, aku sadar, tidak selamanya publik menerimanya. Tak mengapa. 


Seingatku, Gus Dur rasanya pernah bilang; jika ingin perubahan, jangan tunduk pada realitas. Alih-alih, kita harus berani menciptakan realitas baru.

Dulu aku pernah menyatakan; jangan ngaku ganteng atau cantik paripurna jika belum pernah disukai orang berorientasi seksual non-hetero. 

Kalau kamu hanya disukai secara seksual oleh sesama etnis; sesama agama; sesama suku --menurutku peringkat keseksianmu biasa-biasa saja. Berbeda, jika yang antri mendapatkan cintamu orang-orang yang berbeda etnis, suku, agama dan ras. Keseksianmu bisa dibilang agak di atas rata-rata. Mungkin.

Begitu juga jika kamu mendapatkan ucapan perayaan hanya dari sesama agama saja maka, menurutku, itu hal yang wajar, normatif, sudah selayaknya. Berbeda halnya jika kamu mendapatkan ucapan tersebut dari pemeluk agama lain. 

Ini yang aku yakini sebagai sesuatu yang progresif; selangkah lebih maju. Istilah dalam Islam; ihsan --berbuat lebih baik.

"Mas, ayo ke pesarean," ajak imbrutku Amiroh.

Yang ia maksud adalah pesarean ayahnya, mertuaku. Beliau meninggal hari Sabtu, tepat sehari setelah kami akad nikah, 21 tahun lalu. Kami membaca yasin dan tahlil secara mandiri. Untuk doa, aku yang pimpin. 

Oh ya, aku tak selalu memimpin doa dalam keluarga. Setiap kali tarawih di rumah, pasanganku yang memimpin doa tarawih dan witir. Aku mengamini saja. 

"Gus, kami otw dari kiai Arif di Dukun," pesan dari Pdt. Lantika masuk ke handphoneku. Kami sudah janjian bertemu di rumahku.

Ia datang bersama 7 orang. Semuanya GKJW. Gabungan dari GKJW Gresik dan GKJW Menganti.

Siang tadi, cuaca begitu terik. Matahari terasa lebih kejam dari biasanya. Aku melihat muka mereka lelah sekali. 

"Hayuk makan dulu, sudah aku siapkan bakso. Pengennya sih bakso B2 tapi nggak ada yang jual di sini," selorohku.

Mereka tertawa terbahak-bahak sambil saling menatap satu dengan yang lain. Mungkin sembari mbatin, "Ancen wong gendeng,"

Aku sendiri memilih memperhatikan mereka. Tidak ikut makan karena sedang pantang.

Mereka lahap sekali makannya. Segera aku ke dapur, mengambil magiccom berisi nasi, mempersilahkan mereka menyantapnya bersama bakso.

Kami ngobrol ngalor-ngidul seputar banyak hal, terutama terkait gereja mereka. Aku selalu kepo dengan kondisi mereka. Maksudku, jika aku selalu nyaman beribadah, aku juga ingin mereka merasakan hal serupa. 

Dari Pdt. Lantika, aku tahu GKJW Menganti relatif bisa beribadah dengan tenang dan nyaman, meskipun belum bisa memasang papan nama, apalagi salib. 

"Kami di perumahan, gus. Jemaat kami makin bertambah," ujarnya.
"Harusnya segera direnovasi biar jemaat nyaman beribadah," ujarku normatif.

Dia tertawa getir sembari menceritakan pengalaman gereja tersebut saat mengurus perijinan. Daftar tanda-tangan 60-90 yang asli raib entah ke mana setelah diserahkan ke oknum aparat desa. 

"Kapan-kapan aku main ke tempatmu ya," kataku pada Pdt. Lantika. 

Aku kemudian memberikan saran-saran, sembari memapar contoh yang pernah dilakukan kawan-kawan GDian Jombang dalam kasus serupa. 

Saran-saran juga aku berikan kepada Pdt. Daniel yang kini melayani di GKJW Gresik, menggantikan mbak Pdt. Arie. Dalam waktu dekat, gerejanya akan mengadakan kupatan bersama GDian Gresik.

"Nanti mbak Khosyiah yang bawa lontong dan kupatnya. Kami sediakan sayur dan lauknya," ujar mbak Erlynna, salah satu warga GKJW Gresik yang ikut dalam rombongan tersebut.

Setelah kenyang, mereka pamit. Namun aku buru-buru mencegah mereka. 

"Aku minta doanya ya sebelum pulang. Siapa yang akan pimpin?" tanyaku.
"Vikaris (calon pendeta) Dolar aja, Gus," kata Pdt. Lantika sembari menunjuk Dolar --panggilan dari Sung Sabda Gumelar. Aku tahu Lantika sedang menguji Dolar --apakah ia sudah layak jadi pendeta atau belum.

Dolar merapal mantranya dalam bahasa Jawa. Aku sampai tersengal-sengal berusaha mengunyah diksi-diksi yang ia gunakan, saking tingginya. 

Terima kasih sudah mengunjungiku!(*)


Featured Post

SEPUTAR LOKASI KELAHIRAN YESUS; MENYINGKAP KLAIM AL-QURAN

Sebelum aku menemukan tulisan Mustafa Akyol, "Away in a Manger... Or Under a Palm Tree?" terbit 7 tahun lalu di The New York Times...