Pages

Tuesday, September 11, 2018

DI GKI GATOT SUBROTO; INDONESIA BUTUH KESABARANMU


Setelah "membombardir" Pdt. Adon, Pdt. Maria dan Pdt. Theofanny dengan 11 pertanyaan menohok tentang kekristenan, puluhan mahasiswa/mahasiswi prodi Studi Agama-agama IAIN Purwokerto menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa.

Gema lagu itu menelusup di setiap sudut ruang ibadah Gereja GKI Gatot Subroto Purwokerto, tempat pertemuan berlangsung selama lebih dari 2 jam. "Bagaimana caranya agar kita kuat menghadapi tekanan orang yang tidak setuju dengan kami yang masuk gereja?" tanya seorang mahasiswi.

Saya pun menjawab bahwa tidak semua orang akan bersetuju dengan semua tindakan kita, apalagi yang menyangkut relasi Islam-Kristen. Tugas kita adalah bersabar pada dua aras.

Pertama, hindari membenci orang yang pandangannya tidak sejalan dengan kita. Ingat, kataku, menurut Gus Dur setiap orang pada dasarnya baik. Jikapun tidak, maka ia sesungguhnya sedang dalam proses menuju baik. Itu sebabnya kita harus bersabar dalam menghadapi mereka.

Kedua, kesabaran juga perlu dimaknai sebagai keteguhan kita untuk konsisten melakukan apa yang kita anggap baik. Jika kita berhenti melakukan sesuatu karena cemoohan mereka, maka kita tergolong orang yang tidak sabar.

"Nah adik-adikku, ada ribuan mahasiswa di kampusmu namun hanya puluhan yang mampu berbuat seperti kalian saat ini; mendatangi gereja dan berdialog secara terbuka melucuti prasangka. Jangan pernah takut. Demi keragaman Indonesia, imani satu hal; semakin dibully maka kalian akan semakin sexy! _I am very proud of you!"_ kataku disambut tepuk tangan peserta.

_....Nusa bangsa dan bahasa, kita bela bersama._


Aan Anshori
IG @gantengpolnotok
Twitter @aananshori

https://youtu.be/v2oKWxObPCo

SURAT UNTUK CECIL DAN GALANG; AYO BERHIJRAH


Dear Cecil dan Galang,
Aku lewatkan tahun baru hijriyah kali ini di Purwokerto, ibukota kabupaten Banyumas.

Meski selevel kecamatan, cukup banyak jejak institusi besar yang sangat jarang dimiliki kecamatan-kecamatan lain. Ada katedral dan ada Bank Indonesia. Kabupaten ini juga memiliki dua pengadilan negeri serta dua pengadilan agama.

Sebelum digabungkan menjadi satu dengan Banyumas, sangat nampak Purwokerto merupakan kota yang cukup penting di masa lalu, semacam situs berperadaban tinggi yang membuat banyak orang tertarik berhijrah ke sini.

Purwoketo mengingatkan Ayah kepada Madinah, kota tempat Nabi Muhammad berhijrah 1440 tahun lalu. Madinah adalah kota Yahudi berperadaban tinggi. Salah satu cirinya, perempuan Madinah dikenal kritis dan tidak gampang tunduk pada nalar patriarki.

Itu sebabnya mereka relatif punya posisi tawar yang setara dengan laki-laki. Kabarnya, Umar bin Khattab sempat gusar dengan istrinya yang berubah menjadi kritis padanya. "Ini pasti karena terkontaminasi perempuan Anshar (Madinah)," kata Umar

Ada sekitar 66 klan Yahudi di sana sebelum akhirnya mereka digilas dan digantikan komunitas muslim. Transisi ini sendiri tidak membutuhkan waktu lama, kurang dari 10 tahun sejak Nabi hijrah ke kota ini tahun 622 masehi.

Dear Cecil dan Galang,
Saat di Purwokerto kemarin, ayah melihat pawai dari sekolah-sekolah Islam. Mereka berbaris dan berarak menyusuri jalanan kota itu. Persis seperti hijrah Nabi.
Hijrah bisa diartikan "berpindah," atau "meninggalkan," Ayah memaknainya sebagai kesediaan seseorang meninggalkan era kegelapan menuju peradaban yang lebih manusiawi. Istilah Quraniknya; min al-dlulumati ila al-nuur.

Kelak jika besar nanti, kamu berdua akan tahu betapa Negeri yang terlihat tenang dan adem ayem ini sebenarnya menyimpan keganasan akut.

Tidak sedikit dari orang yang seagama dengan kalian melakukan kekerasan dan persekusi kepada pemeluk agama minoritas. Ngeri sekali datanya.

Itu sebabnya, Senin (10/9) ayahmu sangat bersyukur bisa membawa hampir 100 orang berhijrah agar tidak menjadi predator atas nama agama. Mereka adalah mahasiswa/mahasiswi jurusan Studi Agama-agama IAIN Purwokerto, kampus yang belum pernah ayah singgahi.

Bersama teman-teman GUSDURian Banyumas, ayah mengajak mereka untuk mengenal 9 nilai Gus Dur di Klenteng Hok Tek Bio Pasar Wage. Ayah melihat sendir mereka tidak lagi canggung masuk ke klenteng, berdiskusi dengan Js. Mariyati dan selfie di sudut-sudut klenteng.

Mereka juga sangat antusias mengikuti kesaksian Bhikku Agus dari padepokan Astha Brata Kemutug Baturaden. "Te, ceritain dong ke mereka bagaimana pergulatan spiritualitas panjenengan hingga akhirnya menjadi Buddhist," kataku kepada laki-laki jebolan beberapa pesantren ini.

Usai di klenteng, ayah membawa mereka ke tempat paling menyeramkan bagi banyak orang Islam; gereja! Ayah memilih GKI Gatot Subroto yang tidak jauh dari Klenteng. Pendetanya, Adon, adalah teman ayah. GKI Gatsu sudah seperti rumah sendiri karena ayah bisa numpang tidur di salah satu kamarnya, kapan saja.

Kunjungan di gereja ini tidak kalah hebohnya dengan di klenteng. Para mahasiswa sangat antusias bertanya dan mengomentari soal kekristenan; dari Trinitas hingga film The Nun. Diakhir acara, tiga pendeta yang hadir di acara tersebut; Adon, Maria (GKJ), dan Stefanie, berdoa dan mengangkat tangannya untuk memberi berkat semua yang hadir.

Pertemuan di GKI Gatsu yang merupakan destinasi akhir dari hijrah hari itu ditutup dengan peneguhan keindonesian. Kami menyanyikan lagu "Satu Nusa Satu Bangsa" berjamaah.

Dear Cecil dan Galang,

Itulah sekelumit cerita dari perjalanan ayahmu yang terus berupaya menjadikan dunia ini lebih baik, di mana setiap orang bisa saling menghormati dan mencintai. Namun demikian, tidak semua orang bisa memahami ayahmu. Kelak, sangat mungkin kalian berdua akan mendengar pengakuan orang yang mengagetkan. "Ooooo jadi kamu anaknya Aan Anshori ya. Bapakmu dulu itu tukang ngajak orang Islam ke gereja dan membela kelompok LGBT,"

Ayah hanya berharap kalian tidak malu dengan cibiran itu. Sebab, kalian berdua harus tahu, tidak sedikit orang yang membenci ayahmu. Sangat mungkin karena mereka belum memahami visi yang kami bangun dalam beragama. Andai mereka memahami visi ayah, niscaya mereka akan bahu-membahu membantu banyak orang untuk berhijrah.

Namun jangan kuatir, ayah tidak sendirian. Selain 3 pendeta tadi, ada banyak orang seperti ayah GUSDURian Banyumas, misalnya Mbak Ory, Gus Chumedy Yusuf, Kholis, Zahro, Ester dan puluhan lainnya. Mereka nantinya adalah teman-teman kalian jika sudah dewasa. Semoga kalian berdua bisa mengenal mereka.(*)

Sunday, August 26, 2018

GEREJA "KURANG IMAN" DI TITIK 30


Kurang Iman adalah olokan-mesra yang pernah aku dengar dari teman-temanku pendeta di GKI. Olokan itu kabarnya sering dilontarkan oleh denominasi kekristenan lain yang, katakan, lebih kharismatik dan let's just say pietis. Olokan seperti ini juga pernah aku dapat saat beberapa orang memlesetkan PMII, almamaterku; dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia menjadi Pergerakan Mahasiswa Insyaalloh Islam.

GKI sendiri kepanjangan dari Gereja Kristen Indonesia. Salah satu sinode Protestan terkemuka yang bercikal dari gereja etnis Tionghoa. Ia selanjutnya tumbuh menjadi denominasi terbuka dengan identitas Keindonesiaan yang sangat kuat. Kiprahnya dalam menjaga keragaman identitas Indonesia sudah tidak lagi bisa saya pertanyaan.

Olokan "kurang iman" barangkali muncul oleh karena wajah GKI yang dianggap tidak lagi "konsisten" menghidupi nilai klasik kekristenan. Nilai ini bertumpu pada semangat penginjilan dalam koridor konversi iman. Dalam Islam sendiri, harus aku akui, nilai klasik seperti ini masih kuat melekat sebagai tujuan dakwah, bahkan hingga sekarang. Entahlah.

Aku pribadi sudah lama melucuti nilai klasik itu dari diriku. Malu. Islamisasi selanjutnya aku pahami sebagai kewajiban menjadi rahmat bagi semesta, bukan mengubah agama seseorang. Mengubah agama orang adalah hal yang menjijikkan sebab setiap individu bisa tumbuh menjadi baik dalam imannya masing-masing, teorinya.

Saya merasa sangat dekat dengan GKI, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tidak terhitung berapa banyak temanku yang kini menjadi pendeta maupun teolog di sinode tersebut; Andri, Yoses, Andreas, Boy, Samuel, Anang, Leo, Virgo, Adon, Dinna, Dimas, Sigit, Novi, Himawan, Ida Sianipar, Steve Suleeman, Gidyon, Pelangi, Sutrisno, Susan, Sandy, Florentia, Agustina, Iwan, Agus, Stefanus, Novarita, Michael, Bonnie, dan Simon Filantropa. Itu hanya beberapa saja. Masih banyak yang lain.

Saking dekatnya, aku tidak hanya pernah makan, minum, numpang tidur bersama salah satu dari mereka, namun juga berproses lebih jauh; menjadikan gereja GKI sebagai tempat mendadar penguatan relasi antariman bagi banyak muslim muda. Ya, gereja mereka sering aku gunakan sebagai laboratorium pengasahan sensitifitas keislaman mereka agar semakin tajam dan toleran--bukan sejenis keislaman yang tumpul-intoleran yang malah bisa menyakitkan liyan.

Di GKI Jombang, misalnya, untuk pertama kalinya aku ajak Cecil dan Galang ikut menghadiri perayaan Natal tiga tahun lalu sembari menikmati pagelaran wayang Potehi di dalam gereja. Gereja itu menjadi saksi puluhan anak muda Islam asal Puger Jember yang terlibat dalam program inklusi sosial milik Lakpesdam NU Jawa Timur.

Begitu dekatnya aku, aku bahkan bisa mengusulkan agenda kegiatan lintas iman di program kerja tahunan GKI, baik di level kabupaten, klasis, maupun sinode wilayah. Aku memang benar-benar tidak tahu malu; bukan jemaat tapi ikut ngusulin program kerja.

Tanpa rasa malu pula, saat penahbisan Yoses di GKI Sidoarjo, aku mengatakan bahwa adikku ini bukan "hanya milik" GKI. Ia sejatinya putra Indonesia yang pengasuhannya "dititipkan" ke GKI, namun tanggung jawabnya tidak terbatas pada komunitas GKI, namun pada Indonesia.

Ya betul, aku ikut menumpangkan tanganku, bersama para pendeta GKI dan perwakilan lintas agama, di atas kepala Yoses saat ia ditahbiskan 21 November 2016 lalu. Aku juga ikut duduk di atas, dekat mimbar, bersama puluhan pendeta dari berbagai sinode, ketika Bonnie Andreas diteguhkan menjadi imam baru GKI Pondok Indah, digeser dari Cileduk.

Dengan potret seperti ini, sebagai serpihan kecil dalam percaturan gerakan Jaringan GUSDURian yang hingga kini aku geluti, aku bisa katakan, GKI adalah "our strong ally," selain Katolik, GKJW dan kelompok lain.

Jadi, jika olokan "kurang iman" adalah salib yang harus kalian panggul untuk menjaga keragaman NKRI bersama kami, just be it!

Happy 30th Anniversary, GKI!

*Aan Anshori*

Thursday, July 26, 2018

Benarkah Bu Mun Ikut Menikmati Dana Haram Kapitasasi BPJS Jombang?

Teman-teman Media, aku kaget sekali membaca berita di bawah. Dalam kesaksiannya di depan majelis hakim pengadilan tipikor dengan terdakwa Nyono Suharly, dr. Samijan, suami Inna mantan plt. Kadinkes Jombang, mengaku telah memberikan sejumlah uang kepada Mundjidah Wahab (MW), saat itu sebagai wabup dan EUC, putrinya. Uang tersebut diakui Samidjan sebagai bagian dari dum-duman uang haram hasil penjarahan dana kapitasi puskesmas yang dilakukan Inne.

Meski pengakuan Samidjan disampaikan di bawah sumpah namun menurutku perlu ditindak lanjuti dengan klarifikasi dari dua orang Tertuduh agar tidak menjadi fitnah. Aku mendorong kedua pejabat publik tersebut berani mendatangi KPK untuk meminta diperiksa. Jika memang benar sebagaima tuduhan Samijan, keduanya perlu segera mengembalikan uang yang telah diterimanya, serta dengan berani meminta maaf ke publik dan berjanji tidak mengulanginya lagi.

Langkah ini bagi MW, yang baru saja ditetapkan KPU sebagai pemenang pemilihan bupati, sangat penting agar ia tidak tersandera oleh kasus ini dan bisa memimpin Jombang dengan hati bersih dan kepala tegak. Noda ini jika tidak segera diklarifikasi akan berdampak serius bagi soliditas dan integritas antardinas. Kota Santri semakin terkenal sebagai kota jorok korupsi.


Aan Anshori
Direktur Link

-----

*Sidang kasus Bupati Jombang, saksi sebut dana Kapitasi Puskesmas juga mengalir ke Mundjidah*


LENSAINDONESIA.COM: Aliran dana kasus dugaan suap yang mengakibatkan Bupati Jombang non-aktif Nyono Suharli Wihandoko turut ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terungkap di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya pada Jumat (06/07/2018).
Hal ini setelah dr. Samijan satu dari saksi yang dihadirkan mengungkapkan bahwa hasil potongan dana Kapitasi dari 34 Puskesmas se-Jombang tidak hanya diserahkan kepada Nyono saja. Tetapi juga Wabup Jombang Mundjidah Wahab.
Samijan yang merupakan suami dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, Inna Silestyowati yang telah divonis 2 tahun 6 bulan penjara ini menyebut Nyono menerima sebesar Rp275 juta.
Sedangkan untuk Munjidah diserahkan secara bertahap. Yang pertama diserahkan diserahkan melalui ajudan Bupati bernama Makruf Ropi’i kepada seorang ajudan Munjudah sebesar Rp 150 juta. Uang ini kabarnya akan dinakan untuk kegiatan Muslimat NU Pusat.
Lalu berikutnya diserahkan melalui Ema Umiyatul Chusnah anak Mundjidah Wahab yang menjabat anggota DPRD Jombang sebanyak dua kali yaitu Rp75 juta dan Rp50 juta. Uang yang diterima Ema ini juga disebut untuk kegiatan Muslimat di Jatim dan Jombang.
Samijan mengetahui siapa saja yang menerima aliran dana kapitasi tersebut karena dirinya merupakanperantara dari istrinya, yaitu Inna Silestyowati.
Dalam sidang yang digelar di Ruang cakra Pengadilan Tipikor Surabaya pukul 16:30 WIB tersebut Jaksa KPK menghadirkan lima orang saksi. Mereka diantaranya, Plt) Dinkes, Inna Silestyanti, Samijan (suami Inna), Wakil Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jombang, Puji Umbaran, Ajudan Bupati, Misbakul Munir, Ajudan Bupati, Makruf Ropi”i.
Sementara itu, usai menjalani persidang dengan agenda keterangan saksi pada Jumat (20/07/2018) kemarin, Nyono Suharli juga membenarkan bahwa Wabub Jombang juga menerima aliran dana Kapitasi Puskemas tersebut.
“Di sidang kemarin kan semua sudah diceritakan. Katanya itu untuk kegiatan untuk kegiatan Muslimat,” ungkapnya.
Nyono Suharli juga mengaku haran dan bingung dengan sepakterjang Inna Silestyowati yang ‘berjalan’ atas inisiatifnya sendiri untuk memotong dana kapitasi seluruh Puskesmas. Terlebih hal itu dilakukan dengan mengatasnamakan perintah bupati.
Muncul dugaan, pemotongan dana kapitasi Puskesmas tersebut merupakan inisiatif Inna Silestyowati sendiri yang sebelumnya disebut sangat ingin menjadi kepala dinas kesehatan.
“Saya tidak pernah punya ini inisiatif (menyuruh Inna) melakukan itu semua,” tegas Nyono.
Nyono pun menceritakan, sebelum semua itu terjadi dirinya sangat intens melakukan kegiatan santunan-santunan kepada masyarakat. Dan secara kebetulan, dalam program santunan tersebut, doker Samijan (suami Inna) ikut berkiprah dalam kegiatan tersebut.
Setelah program tersebut berjalan, Inna menyampaikan bahwa ingin ikut berpartisipasi. “Jadi saat itu Bu Inna bilang ke saya, Pak saya mau ikut kumpulkan santunan teman-teman kepala Puskesmas. Lha kebetulan saya waktu itu kok nggak tanya duit itu dari mana. Cuma dia bilang santunan dari para Kepala Puskesmas. Akhirnya kita buat kegiatan santunan tiga kali itu, diantaranya acaranya yang di Pendopo,” ungkap Nyono.
“Jadi sebenarnya saya tidak pernah punya inisiatif, perintah, ide (menarik uang) semacam itu. Kalau saya punya inisiatif seperti itu (pungutan) kan tidak baru sekarang ini saya lakukan, tentu itu saya lakukan sejak dinas yang dulu. Saya tidak punya inisiatif semacam itu,” pungkas Nyono. @LI-13

https://www.lensaindonesia.com/2018/07/24/sidang-kasus-bupati-jombang-saksi-sebut-dana-kapitasi-puskesmas-juga-mengalir-ke-mundjidah.html

Sunday, May 20, 2018

Cerita Dibalik Aksi Solidaritas di GKI Diponegoro


Tanggal 16 Mei, saat mengunjungi Paroki SMTB bersama kawan-kawan, sebuah pesan masuk ke nomorku,dari Andri Purnawan, pendeta GKI Darmo Satelit. Isinya, draft _broadcast_ undangan woro-woro kegiatan di GKI Diponegoro, salah satu lokasi pengeboman.

Aku agak kaget mengingat Andri bukanlah pendeta di GKI Dipo. Ia juga bukan pejabat struktural sinode wilayah yang punya kewenangan menjelajah di luar gereja yang diampunya. Namun aku memahami situasi saat ini, pascapemboman, butuh figur yang mau bergerak.

Adalah Michael Andrew yang terus memotivasi Andri agar GKI Dipo membuka pintunya untuk aksi solidaritas pascatragedi. Michael memang paling suka memprovokasi orang untuk berbuat baik. Dan nampaknya Andri terlecut olehnya. Aku tahu, tak mudah bagi Andri meyakinkan internal GKI.

Drat woro-woro aku kirim balik ke Pdt. Andri, dengan menambahkan beberapa narahubung selain dirinya. Ada tiga nama yang aku masukkan; Michael, Yuska dan Mas Irianto. Lengkap dengan nomor telponnya. "Nama-nama itu sudah dikonfirmasi?" tanya Andri via WA. Aku mengiyakan karena saat itu aku bersama ketiganya di SMTB.

Selanjutnya aku membuat poster sederhana untuk acara di GKI Dipo itu. Foto dua perempuan berjilbab yang salah satunya mencium mawar, hasil jepretan Andy Budiman. Aku memakai foto itu dengan intensi tunggal; menunjukkan betapa kami, umat Islam, ingin membayar dosa bom itu. Tak ada yang lain.

Tanggal 18 malam aku meluncur ke GKI Dipo motoran bersama Adi Acong. Aku melihat penjagaan cukup ketat di depan gereja. Situasi ini seakan menunjukkan betapa alotnya negoisasi psikologis pascapemboman. Aku menduga.

Di sana, sudah menunggu banyak teman dari berbagai elemen. Aku memeluk dan menyalami sebagian dari mereka, sebelum ranselku digeledah metal-detector dan disuruh membuka. "Ini kabel charger laptop, mas," karaku pada petugas yang agak melotot melihat kabel hitam menyembul dari ransel hitamku.

Masuk di halaman GKI Dipo, situasinya mirip pasar malam. Begitu banyak orang yang hadir. Campur bawur. Aku sangat senang sekaligus agak tersiksa. Tersiksa karena aku melihat tanda "No Smoking" di halaman. "Matek aku," rutukku.

Memang, sebagian besar gereja milik GKI ditata dengan konsep tidak ramah perokok. Aku bisa memahaminya. Betapa besar cinta-kasih mereka terhadap kami, para perokok. "Tubuhmu itu bait Allah. Jangan kau rusak dengan rokok," demikian yang kerap aku dengar.

Itu sebabnya, perokok bisa dikatakan hidup dalam ketertindasan. Dan menariknya, Yesus yang aku tahu justru bersama orang-orang yang tertindas. Aku menghibur diriku sendiri, sembari menuju ruang ibadah, tempat acara berlangsung.

Aku mengambil tempat duduk di lantai atas. Menjauhi kiri-kanan panggung yang sudah diisi ratusan orang. Ada yang ndoprok di lantai dan ada yang duduk di kursi. Ruang gereja itu benar-benar penuh sesak orang. _"Cuk, akehe wong sing teko,"_ batinku merasa senang.

Aku larut bersama ratusan dari mereka. Di balkon atas tempatku duduk, aku bisa dengan leluasa menikmati pemandangan di bawah. Suasananya begitu larut penuh emosi ketika beberapa orang mulai memberi kesaksian saat bom meledak. Aku tak bisa menyembuyikan rasa maluku. Sebelumnya, Andri sudah mengingatkanku bahwa sangat mungkin teman-teman Dipo akan sedikit ekspresif mengungkapkan kedukaannya. Dan itu memang benar-benar terjadi.

Aku menundukkan kepala. Guilty feeling. Rasanya aku tak berani menghadapi begitu banyak orang Kristen di ruangan itu. Malu. "Aku di sini saja," batinku.

Namun takdir berkehendak lain. Pdt. Andri yang sudah naik panggung dekat mimbar memanggil namaku dengan mikrofon. "Saya minta kawan saya dari Jombang maju bersama saya di sini," ucapnya keras sembari memanggil namaku.

Aku pun turun dari balkon dituntun ratusan pasang mata. Kami berdua kemudian mulai menjadi jenderal panggung mengorkestrasi acara selama beberapa jam.

_The pain will make us much stronger._

I love you, GKI Dipo!

Sunday, April 29, 2018

Undangan Menulis Narasi Memori Tionghoa 2 "Ternyata Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia"


Sebulan lalu, buku narasi memori "Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia" mendapat sambutan luar biasa dari publik. Buku ini berisi kumpulan kisah duka dan suka cita 73 penulis. Mereka juga menyisipkan mimpi Indonesia yang lebih toleran terhadap Tionghoa.

Kehadiran buku itu sekaligus memprovokasi hasrat banyak orang untuk menulis kisahnya sendiri, agar kelak menjadi pelajaran bagi peradaban Indonesia yang perlahan mulai agak rasis.

Kami mengundang semua pihak untuk terlibat menulis di proyek narasi memori Tionghoa jilid II. Syaratnya? Tulisan merupakan kisah nyata pengalaman penulis saat berinteraksi dengan identitas Tionghoa. Kami ingin pembaca bisa belajar langsung dari pengalaman penulis, baik sebagai Korban maupun Pelaku.

Panjang tulisan 900 hingga 1.300 kata, tunduk pada kaidah berbahasa Indonesia yang benar, memakai pola 5W+1H, dan belum pernah diterbitkan sebelumnya. Batas akhir pendaftaran 22 Mei namun bisa ditutup sewaktu-waktu jika kuota 50 penulis telah terpenuhi.

Apakah penulis akan mendapat honor? Tidak. Kami tidak punya uang. Namun, penulis akan mendapat 1 buku gratis setelah diterbitkan.

Anda tertarik? Silahkan mendaftar melalui link ini. Jangan ragu mengontak Aan Anshori (WA/Telegram 08155045039) jika ada hal yang kurang jelas.

Kisah Anda sangat berguna bagi peradaban ini.

I love you!

*Aan Anshori*
08155045039
IG @gantengpolnotok
Twitter @aananshori

Tuesday, April 3, 2018

PSM IAIN Salatiga, you're not alone!

Dulur-dulur, kita bahagia saat paduan suara IAIN Salatiga tampil di Paskah GKJ Sidomukti. Kini kabarnya mereka tengah mengalami banyak tekanan dari berbagai pihak.

Untuk itu, sudilah mengirimkan pesan solidaritas melalui Zein +62 856-4015-8371, salah satu aktifis mahasiswa IAIN Salatiga. Mereka butuh apresiasi dan dukungan moril kita.

Berikut contoh yang aku kirim;
"Zen, aku Aan Anshori, GUSDURian Jombang. Aku sangat mengapresiasi penampilanmu dkk di GKJ kemarin. Aku tahu ada banyak tekanan terhadap kampus dan PSM. Jangan takut, jangan menyerah. Salam hormat- Aan Anshori"

Mohon di-CC ke Rektor IAIN Salatiga, Dr. Rahmat Hariyadi +62 815-7739-031

Jika tidak keberatan, sudilah juga memforward dukungan itu ke nomor WAku 08155045039

Suwun,

Aan Anshori

Featured Post

Janji Pengharaman Jual Beli Jabatan WarSa, Hanya Gimmick?

Kita patut mengapresiasi pasangan WarSa, yang berani berkomitmen menolak --bahkan mengharamkan-- jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Jomb...