Pages

Tuesday, October 27, 2020

JAMBI DIPERSEKUSI, PMII MALAH KE GKI

Oleh Aan Anshori

Dari dulu, aku selalu mempercayai Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PMII), almamaterku, adalah salah satu kawah candradimuka gerakan Islam toleran. Dengan mempertahankan keyakinan tersebut aku sekaligus mengimani; MENYELAMATKAN PMII akan MENYELAMATKAN KEBHINEKAAN INDONESIA.

"Coba kamu cek, organisasi mahasiswa mana, yang mengusung label 'Islam', yang kader-kadernya paling banyak bergerak di isu antariman? Rasanya hanya PMII," ungkapku di hadapan puluhan kader PMII yang sedang mengikuti pengkaderan tingkat lanjut (PKL) yang diselenggarakan PMII Sidoarjo, Jumat (8/9) di Pesantren al-Falah Siwalan Panji Buduran Sidoarjo.

Aku sebenarnya hanya mengampu sesi normatif, "Antropologi Masyarakat Indonesia," Tidak ada kaitan langsung dengan dinamika intoleransi di Indonesia. Namun aku sengaja mengambil sudut pandang itu. 

Saat di atas kereta Jenggala, terbersit gagasan untuk mengadakan kunjungan "mendadak" ke gereja terdekat. Yang ada dalam pikiranku adalah rumahku sendiri; Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sidoarjo! 

Aku tahu, GKI adalah institusi yang tidak hanya sangat well prepared administrasinya, namun juga sangat terencana programnya. Kunjungan dadakan seperti ini jelas akan menyulitkan mereka. 

"Tapi....mana mungkin mereka kuat menolak rengekan dan pesonaku?" batinku menghibur.

Segera aku mengirim WA ke adikku, Pdt. Yoses. Centang dua tapi lama tak berbalas. Aku kemudian mengirim pesan ke seniornya di sana, Pdt. Leo. Dan benar dugaanku, aku diterima dengan tangan terbuka. Tanpa surat, tanpa rapat, just WA.

[9/28, 08:03] Aan Anshori: Mas, pagi.
[9/28, 08:03] Aan Anshori: Nanti siang di gereja kah?
[9/28, 08:04] Aan Anshori: Aku ngisi training di Sidoarjo. Pengen ngajak peserta dulin nang GKI, biar lebih mengasah sensitifitas mereka.
[9/28, 08:04] Aan Anshori: Ini mampir saja.. Nggak formal..
[9/28, 08:06] Leo GKI Sidoarjo: Dengan senang hati. Jam berapa nanti mau mampir?
[9/28, 08:07] Aan Anshori: Thank mas..
[9/28, 08:07] Aan Anshori: Sekitar jam 11 ya mas..
[9/28, 08:08] Aan Anshori: Maaf mendadak..
[9/28, 08:08] Aan Anshori: Terlintas di benakku baru saja soal ini.
[9/28, 08:09] Aan Anshori: Hanya dengan sebanyak mungkin membawa muslim ke gereja, kesalahpahaman akan terlucuti.
[9/28, 08:09] Aan Anshori: Thank mas..
[9/28, 09:26] Leo GKI Sidoarjo: Ok. Trims mau mampir. Hal yg sebaliknya juga harus dilakukan teman2 kristen ke komunitas muslim dll. Sampai nanti ya.."

Tak seberapa lama Pdt. Yoses membalas chatku sembari meminta info jumlah yang akan hadir. "Ojo repot-repot ya. Kami cuma bertiga puluh," balasku. Aku tahu GKI pasti tidak menggubris permintaanku supaya tidak repot. Tapi kan nggak sopan kalau terlalu straight dan demonstratif. 

Aku membayangkan para tamu akan dibelikan makan siang. Lucky them!

Saat aku menawarkan jam tambahan mengunjungi gereja, hampir semua peserta menyambut gembira. Namun aku merasakan ada beberapa orang yang enggan. Bahkan ada satu orang yang menunjukkan resistensinya secara terbuka sejak di forum. Namanya J. 

Aku tentu kalem saja. Mempersuasi dalam soal ini adalah keahlian Gemini. Apalagi yang pernah membaca strategi William Lynch saat menjadi maestro pengelolaan budak dalam sejarah Amerika masa lalu. "I will take 'no' for answer" batinku. 

Akhirnya semua kader ikut ke GKI. Kami berarak-arakan memakai motor. Berboncengan tiga. Lengkap dengan jaket PMII. Situasinya mirip orang berkampanye atau demonstrasi. 

Beberapa orang di dekat GKI tampak heran melihat rombongan ini masuk pelataran GKI. "Mas, ini mau ada apa kok banyak anak pakai peci dan jilbab nggruduk gereja? Ada masalah apa?" tanya Pak RT yang kebetulan fotokopi di depan gereja, kepada Dedi penatua GKI. Dedi pun menjawab bahwa mereka ingin silaturahmi saja. Ia menceritakan peristiwa ini saat di forum.

Kami duduk melingkar. Kursi tempat ibadah yang telah tertata rapi, tentu saja, aku acak-acak. Disesuaikan dengan model yang aku kehendaki. "Perjalanan ini bagian dari kelas yang saya ampu. Saya bertanggung jawab 100%, tidak saja di sini namun juga di 'sana' nanti," kataku sembari menunjukkan jari ke atas. "Sana" bermakna akhirat. 

Forum berjalan sangat gayeng. Saat aku bertanya apakah ada peserta yang baru pertama kali masuk gereja, 5-6 orang mengangkat tangannya. Aku benar-benar kaget dan senang. Ternyata banyak juga. Kemudian aku tawarkan ke mereka untuk berbagi perasaan seperti apa yang berkecamuk di batin mereka. Mereka diam. Forum hening. Aku tak sabar. 

"Saya sudah katakan, kalian ini adalah perwira tinggi di komisariat masing-masing. Rajawali! Bertindaklah seperti perwira," kataku agak meninggi sedikit. " Jadi, adakah yang mau mulai menceritakan perasaannya?" tuturku lembut. Lembut sekali.

Satu per satu mereka bercerita. Ada yang sampai tak mampu menguasai perasaannya. Nafasnya agak tersengal-sengal. Aku membiarkannya. Ada juga yang mengungkapkan kemarahan. Aku diam saja sembari mengaktifasi kuda-kuda. Mempersiapkan yang terburuk. 

"Saya awalnya heran. Ini PKL macam apa kok disuruh ke gereja. Saya awalnya sudah malas ikut ke sini. Namun saya mau melihat apa yang akan terjadi," kata pria di sampingku dengan logat Madura yang sangat kental. Rupanya dia dari PMII Bangkalan. 

Entah bagaimana, ia kemudian menceritakan masa lalunya yang kelam. Masa lalu yang dipenuhi kebencian terhadap Kekristenan karena menganggapnya sebagai musuh. 

"Saya sudah mau membakar gereja di tempat saya bersama teman-teman namun dicegah kiai," ujarnya. Kalau kalian menghancurkan gereja, ia mengutip perkataan kiainya, kabupaten ini yang justru hancur.

Aku melihat sendiri puluhan wajah-wajah lelah namun gembira. Setelah Pdt. Leo menutup forum dengan doa yang dimengerti yang hadir, mereka kemudian semburat ke bagian-bagian ruang Ibadah; mencoba mimbar, menunjuk replika roti, berselfie ria dan memegang kantong-kantong persembahan.

"Matur suwun, Gusti. Aku bahagia dengan ini semua. Tak sia-sia aku naik motor 60 km dan berkereta. Berangkat jam 7 pagi, sampai rumah jam 19," batinku sambil mendupai tubuh agar bisa menutup defisit BPJS. Rokok aku apit jari tangan kiri, mengepalkannya ke muka, sembari mewiridkan lirih mars kami.

"Inilah kami wahai Indonesia. Satu angkatan dan satu jiwa. Putera bangsa, bebas merdeka, tangan terkepal dan maju ke muka"

Friday, October 23, 2020

Kegagalan yang Menggairahkan

Gagal kok menggairahkan? Mungkin itu yang Anda lontarkan pada judul ini. Namun iya, aku benar-benar merasakan gairah atas kegagalan tersebut. 

Ceritanya, barusan aku dikontak salah satu, katakanlah, adikku. Sebut saja Juwita. Ia calon pendeta di sebuah gereja. Bukan gereja kalian kok. 

Dalam pandanganku, Juwita termasuk calon pendeta yang cukup progresif. Passionnya terhadap gerakan lintasiman begitu menggelora. Ia nampak dengan mengagumkan mempercayai kuatnya persekusi terhadap agamanya lebih dikarenakan minimnya perjumpaan. 

“Kalau jarang berjumpa, orang bakal terperosok pada prasangka, gus. Prasangka adalah akar dari segala kekerasan,” katanya pada suatu ketika. Ia telah lama berencana mengundangku di katekisasi. Dimintanya aku memberikan pandangan kepada anak-anak muda gerejanya seputar maraknya kekerasan berbasis agama. 

Sungguh mulia sekali bukan? Namun demikian kemuliaan terkadang seperti merpati; ia jinak tapi mudah pergi jika didekati.

**

“Gus, aku habis berperang, berusaha mempertahankanmu di katekisasi. Tapi sepertinya aku gagal,” tulisnya. 

Aku tidak melihat wajahnya. Namun dugaanku, kesedihan telah nangkring lama di pelupuk matanya.

“Duh Juwita, betapa kamu membuatku terharu dan tidak enak. Aku terharu karena kamu melakukan hal yang cukup berani. Tidak enak; karena kamu harus berperang melawan saudara-saudaramu di internal. Thank you ya,” ujarku.

“Ga papa Gus.. Tugasku kan memang. Dan yang membuatku prihatin sih sebetulnya. betapa di tahun 2020 saudaraku masih berfikir dengan sangat eksklusif. Tidak mudah sangat, tapi ya ini tantanganku Gus, cuma untuk saat ini aku belum cukup kuat punya fondasi. semoga kelak ketika fondasiku sudah lebih kuat, kondisi bisa lebih baik ya.” balasnya.

“Ta, sebagaimana pernah aku singgung; kondisi seperti ini adalah imbas dari kuatnya doktrin tertentu tanpa mengenalkan doktrin lainnya. Termasuk doktrin atas trinitas. Sebenarnya aku tahu sejak lama di internal islam; betapa kejamnya dampak doktrin unitarian atas trinitarian. But to be honest, aku tidak menyangka hal ini juga berdampak relatif sama di kalangan trinitarian.” timpalku. “… Too much love will kill you. Too much unitarian will kill Trinity. And too much Trinity will kill unitarian as well? Gelap rasanya dunia ini, Ta,” aku terus nyerocos di whatsapp.

Aku melanjutkan, “Kadang aku mikir; apa Arianus, Tertullian dan St. Athanasius merumuskan doktrin unitarian dan trinitas yang sangat spektakuler ini agar pengikutnnya membenci pengikut ajaran lain? Sedih aku,”

“Bukannya Arius dan Athanasius juga dua pihak yg saling bersengketa demi klaim doktrin terbenar? Bukannya konsili yang memutuskan doktrin-doktin itu sarat dan sangat kental dengan politik yg kejam? jadi wajar, bila hasil dari keributan dan kebencian adalah kebencian lebih lanjut,” Juwita terus menderu. Terlihat sekali kematangannya dalam berteologi. Jujur. Emoh bersilat lidah khas teologia-apologetik.

Aku terus membalasnya sembari tiduran, “Iya, harusnya kita meletakkan perseteruan teologis dan politis mereka seperti halnya dalam insiden Daud dan Betsyeba. Yakni, nggak boleh ditiru..😓

“Yup.. dan disalahpahami. Menyedihkan. bahkan kemudian menggunakan bahasa2 yg sangat agamis untuk mendukung gagasan ini. Tapi rasanya sudah terlanjur gus. Mengubah apa yg sudah dihidupi puluhan tahun itu tidak mudah sama sekali,” ia dengan cepat membalas chatku.

“Iya, Ta, namun aku selalu percaya perubahan aku datang; semakin Kristen/Islam seseorang, semakin ia mempercayai adanya keselamatan di luar keyakinannya. Terasa aneh memang. But it worked for me at least.😬

“Iya gus, sangat paham aku dengan itu. Sedihnya lagi, menurutku dialog tidak akan pernah bisa terjadi bila semua berangkat dengan prasangka.. dan orang-orang ini berangkat dengan prasangka. khawatir sekali mereka kalau kamu akan mengislamkan anak-anak katekisanku. Betapa sebuah pandangan yang sangat dangkat tentang indahnya jalan bersama,” Juwita tak kalah sengitnya membalas pesanku.

Rasanya makjleb ketika membaca diksi “islamisasi,” di kalimatnya. Uluhatiku terasa ditusuk peniti. Aku tak menyangka itu akan ada dalam benak teman-teman Juwita. Diksi itu termasuk hal yang membuatku tidak nyaman, Diksi yang sangat kuat aura kolonialnya, sekuat kata “normalisasi,” yang disemburkan untuk intensi mengubah orientasi seksual seseorang. “Jahat,” --meminjam istilah Cinta pada Rangga.

“Juwita, aku merasa ada kekuatiran kuat di internal gerejamu. Aku bisa memahami hal itu meski tidak ada niat seupil pun terbersit di pikiranku untuk islamisasi. I don't want to convert anyone because I love the way they choose their religion. Sometimes love shows itself so dangerous, don't you think? ☺” aku terus membalas chatnya.

“Hehehe... its okey Gus.. Tugas kita yang sudah paham dan siap berjalan bersama walau tak sama untuk terus bergerak to? Yang penting kita saling support, kelak akan ada masanya dimana orang mulai membuka mata dan sadar pentingnya menikmati hidup bersama,” ia membalas dengan penuh optimisme. Betapa beruntungnya gerejanya mendapat calon pendeta sepertinya. Betapa bangganya kampus almamaternya. Betapa senangnya ibu dan bapaknya. Dan yang terpenting, betapa beruntungnya Indonesia memiliknya.

“Juwita, aku pasti senang jika kita terus berjalan beriringan. I promise you,” pungkasku.

Ya, kami berdua gagal mengantarkanku. Namun percakapan ini menggairahkanku untuk tidak patah. Sayup-sayup aku mendengar suara di pikiranku; fight, win, fight, win, fight, lose, fight harder!

 

Sunday, October 18, 2020

Menderita di Kelas Agama

Sudah tiga hari ini aku menikmati waktu membaca tulisan para mahasiswaku kelas religion. Aku minta mereka menulis bebas, seputar penderitaan yang paling "berkesan," dalam kehidupan mereka.

Bagaimana jluntrungannya hingga tiba-tiba mereka menulis tentang itu? Topik apa sebenarnya yang sedang kami bahas?

Inilah uniknya kelas Religion di salah satu kampus yang barangkali paling mahal seantero Jawa Timur.

Di kelas ini, agama diajarkan secara agak liberal dan progresif. Yang paling kentara, dosen pengajarnya belum tentu punya agama sama dengan mahasiswanya.

Aku misalnya, Muslim-Jawa, mengajar matakuliah ini di kelas dengan populasi Kristen-Tionghoa lebih dari 90%. Sisanya, Tionghoa Katolik, Khonghucu, Buddha, Jawa-Islam, dan yang menyenangkan, beberapa mahasiswaku mengaku atheis. Paling tidak, agnostik.

Itu sebabnya, topik-topik di kelas Religion kami terbilang cukup berbeda dari pengajaran umumnya di institusi-institusi pendidikan. Misalnya, seputar konsep ketuhanan, simbol dan ritual, agama dan sains, kematian, dan tentu saja; penderitaan.

Kelompok yang mempresentasikan penderitaan telah menunaikan tugasnya dengan sangat baik minggu lalu. Presentasinya memantik pembicaraan hangat di dua kelas yang aku ampu.

"Bukannya penderitaan sebenarnya menjadi bukti Tuhan tidak ada? Atau setidaknya tengah mempermainkan kita, guys? Cobalah kita pikir lagi; kalau dia sayang kita, kenapa ia biarkan kita menderita," kata Jon, nama samaran, mulai memprovokasi kelas. Aku langsung ngakak.

Menurutnya, banyak orang beragama merasa diminta Tuhan untuk membelaNya dalam hal ini. Yakni, dengan menyatakan Tuhan ingin kita menganggap penderitaan ini sebagai ujian, bukan ketidakmampuan Tuhan atau ketidakadaan Tuhan.

Pendapat Jon mendapat respon beragama dari beberapa temannya, yang beragama. Uniknya, mereka tidak marah atau memintaku memarahi Jon atas pendapatnya.
Jon dan siapapun di kelas mendapat perlakuan sama dariku; tak peduli mengakui Tuhan atau tidak; tak peduli beragama atau tidak.

Di kelasku, kami sebisa mungkin menganut freedom to believe or not to believe. Justru yang tidak kami anut adalah kebolehan mempersekusi orang yang tidak sama dengan yang lain.

"Dalam kitab suci, potret penderitaan muncul dalam dua gambar besar; yang tampak dan disadari, serta yang tersembunyi dan kadang tidak disadari," kataku.

Contoh pertama misalnya kisah Ayub atau pekerja seks yang dibela Yesus saat dilempari batu orang-orang kampung. Sedangkan contoh kedua, menurutku, adalah mereka yang mendapat peran jelak dan jahat dalam kitab suci.

"Mereka yang sombong, gemar mengumbar kekerasan dan berprilaku melawan keadilan dan kesensitifan, sebenarnya sedang dalam penderitaan," kataku.

Hanya saja, tambahku, mereka tidak menyadarinya. Mereka merusak reputasinya, dan menjadi contoh sepanjang hayat, agar kita tahu hal itu merupakan perbuatan jelek dan kita berhenti menirunya.

Penderitaan selanjutnya aku tautkan dalam narasi postkolonial, betapa cukup banyak dari kita yang dulu menjadi korban dan menderita. Namun ketika sudah merdeka, mereka malah justru balik membuat orang lain menderita.

"Kini, aku undang kalian untuk menuliskan penderitaan yang pernah kalian alami. Ini undangan lho ya. Ndak wajib. Yang nulis akan dapat nilai," kataku setelah aku terlebih dahulu menceritakan salah satu penderitaanku di Stasiun Senen.

Aku awalnya tak menyangka jika undanganku akan direspon dengan riang gembira. Aku tidak tahu apa motivasinya. Bisa jadi soal nilai, namun aku ragu karena ini matakuliah yang "tidak terlalu penting," menurutku.

Hampir semua mahasiswa mengirimkan tulisan refleksi. Ada yang memberi catatan dalam tulisannya; tidak untuk disebarkan, tidak untuk didiskusikan dalam kelas. Untuk bapak saja.

Namun ada juga yang menuliskan ia tidak keberatan kisahnya dipublikasikan; "supaya tidak ada yang mengalami lagi seperti saya," -- kata Joyce, samaran. Perempuan ini beberapa kali ingin bunuh diri, tidak kuat karena menjadi bahan risakan teman-temannya.

Joyce tidak sendirian. Ada banyak yang menjadi korban serupa saat kecil. Dibully karena agama, fisik, atau sikapnya yang pendiam. Aku membacanya dengan perasaan galau dan teraduk.

Ada juga yang menceritakan penderitaannya, nangis hampir seminggu, kala anjingnya mati. Padahal aku berfikir sebaliknya setelah kejadian dua minggu lalu. "Pak, tolong doain Holy ya. Ia tiba-tiba muntah. Saya harus bawa ke dokter. Saya nggak ikut kelas sampai tuntas ya pak," kata Fara

Soal nangis, bukan Fara saja yang mengalami. Beberapa mahasiswi mengaku kerap menangis karena begitu banyak tugas di kampus.

Tugas seringkali memerangkap mereka, tereksklusi dari teman, rutinitas, dan orang tua. "Orang tua saya kerap marah-marah kenapa saya tak lagi membantu kerjaan mereka. Saya sudah katakan namun tidak dimengerti," kata Annabel, juga bukan nama asli.

Namun yang membuat keningku berkerut sembari tersenyum justru ketika membaca tulisannya Judith.

"...dan penderitaan terakhir yang paling berkesan adalah ketika my dad got caught cheating and had a lover. It was such a heartbreaking thing for us cos he’s actually a very bad person and we didn’t know about it. It was so chaotic and my mom was very stressed and was depressed. It was a very dark memory for our family,"

Kisah-kisah mereka mengingatkanku pada Denzel Washington. Dalam The Equalizer 2, pria ini menyatakan; there are two kinds of pain in this world. The pain that hurts, the pain that alters.

Aku percaya mereka berada dalam kuadran kedua.

Saturday, September 12, 2020

Misteri Sebuah Foto Kafir


Duh gustine jagat, betapa susahnya menemukan foto orang sekaliber Prof. Marilyn Robinson Waldman. Aku hanya ingin melihat wajahnya. Wajah seseorang yang aku anggap sebagai guruku pertama belajar terstruktur memahami soal perkembangang kata KAFIR dalam Islam, khususnya al-Quran.

Perempuan berdarah Yahudi ini merupakan murid Marshall G.S. Hodgson yang tersesohor dengan studi Islamnya. Saking takdzimnya pada Hodgson, Marilyn menyebut namanya dalam paper yang tengah aku baca " The Development of The Concept of Kufr in The Qur'an,"

Begini ia menyebut gurunya, tertulis tepat di bawah judul paper yang terbit di Journal of the American Oriental Society, Vol. 88 tahun 1968, "In memory of Marshall G.S. Hodgson, with whose guidance this was written,"

Aku sejak tadi senyum-senyum sendiri sambil garuk-garuk kepala; bagaimana mungkin aku belajar kitab suciku dari orang yang secara dogmatis (kalisk) terlarang menyentuh --dan apalagi-- mempelajarinya.
Aku sendiri belum selesai membaca paper Waldman, namun secara singkat ia mendalilkan konsep Kafir dalam al-Quran mengalami perkembangan, bersifat adaptif, seiring dengan dinamika yang dialami umat Islam saat Nabi Muhammad hidup.

Awalnya, konsep Kafir merupakan konsep untuk melabeli siapapun yang menjadi lawannya saat di Makkah. Juga pada saat itu, konsep Kafir digunakan sebagai lawan tanding dari konsep Amin (dapat dipercaya?). Amin sendir merujuk pada NM dan para pengikutnya.

Konsep Kafir selanjutnya secara teoritik mengalami perkembangan, khususnya ketika bersinggungan dengan konsep shirk (penyekutuan tuhan/idolatry). Hingga pada akhirnya, saat pewahyuan terakhir alQuran, konsep Kafir terkonsolidasi menjadi sebuah label untuk menyebut siapa saja yang harus diperangi oleh kaum mukmin (mukmin dianggap sama dengan muslim).

Lantas di mana letak kelompok Kristen dalam tahapan evolusi Kafir ini? Nah ini menarik, kekristenan (trinitarian) dianggap sebagai kelompok shirk karena menyekutukan keesaan Tuhan. Persis sebagaimana yang banyak dipahami orang Islam saat ini.

Itu artinya, aku menduga kuat berdasarkan pengalaman didikanku, bisa dikatakan seluruh bangunan pengajaran Islam saat ini menyangkut kekafiran masih menggunakan model ini, model klasik.

Aku terus berpikir apakah evolusi konsep ini telah usai seiring dengan berakhirnya pewahyuan? Nampaknya tidak, sebab menurutku, pewahyuan boleh berakhir namun penafsiran atas wahyu masih akan terus bergerak tak terelakkan. Contoh konkritnya, saat PBNU mencoba memapras runcingan kafir menjadi muwaththinun beberapa waktu lalu.

Sembari memikirkanmu, aku juga terus bergerak untuk dapat menemukan foto Professor Marilyn Robinson Waldman. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya, meski sejak tadi telah mengirim Fatihah padanya.

Thank you, Marilyn R. Waldman!

Saturday, August 8, 2020

Saragih Nomor Berapa? 16? 17? 18?

"Aku ucapkan selamat bagi kalian yang sudah sampai pada level ini. Jangan sampai nggak lulus ya. Ikuti setiap prosesnya dengan baik," kataku menyapa peserta katekisasi GKI Pandok Indah Jakarta, Sabtu (8/8).

"....and you should be proud of yourself. Sebab bisa jadi kalian adalah angkatan pertama katekisasi yang sangat unik karena ternodai orang yang dianggap tidak selamat dalam doktrin klasik kekristen," lanjutku tertawa cekikikan di forum.

Aku tidak tahu perasaan mereka kala itu. Niatku hanya guyon. Menertawakan batas-batas teologi antara Kristen dan Islam, yang terkadang sangat nggilani. Nggilani adalah bahasa Jawa dari disgusting. Jika diucapkan dengan penuh emosi a la Jombangan, tulisannya; nggguuuuuuuuilani. 

Menurutku, adalah nggilani jika seorang muslim merasa kecewa atau bahkan marah, saat menemukan teman, saudara atau bahkan pacarnya, memilih keselamatan melalui agama lain --misalnya Kristen. Begitu juga sebaliknya. 

Jika kamu ke Jakarta naik pesawat dan geram,gemes, marah melihat yang lain naik kereta api atau bahkan jalan kaki, pertanyaannya; kamu sehat?

"Gus, gimana pandangannya terkait pacaran beda agama?" kata salah satu satu katekisan. Cewek --entah Tionghoa atau Batak, lupa aku. Aku baru tahu kalau banyak orang Batak di GKI PI.

"Pacaran beda agama itu bagus jika dilakukan dengan kedewasaan tinggi. Namun tentu tidak mudah karena mensyaratkan kedewasaan dua belah pihak," kataku. Tidak banyak orang yang benar-benar sukses berelasi campur oleh karena  niatnya tidak tulus sejak awal. 

"Tidak sedikit pemuda islam yang model beragamanya seperti sales MLM, mencari pacar Kristen untuk diislamkan. Jika ketemu yang seperti ini, sebaiknya hindari. Pikirkan ulang. Cinta  sebenarnya kan memerdekakan, bukan malah menjajah. Just follow your heart," kataku.

Aku senang sekali  berdiskusi dengan mereka. Mengetahui gairah mereka yang menggebu-gebu tentang Islam adalah hal yang menyenangka. Mereka seperti kakak yang terpisah sangat lama dengan adiknya, dan akhirnya bertemu. Jasa Pdt. Joas dan Pdt. Bonnie begitu besar.


"Dik, jihad dan mati syahid itu apa sih?"
"Dik, kabarnya nabimu menikahi gadis di bawah umur. Gimana sih cerita sebenarnya?"
"Dik, gimana sih sebenarnya pandanganmu dan kawan-kawanmu seputar model bertuhan a la tritunggal yang dianut kakak? Tuhanku satu lho, dik, bukan tiga,"
"Dik....
"Dik....

Begitu banyak pertanyaan mengemuka --dari seorang kakak yang telah lama terluka oleh adiknya. Pertanyaan yang tulus campur geregetan.

"Dik, katakan padaku, kenapa teman-temanmu nakal banget kalau ketemu teman-temannya kakak? Kakak harus bagaimana?"

Aku meminta maaf sembari memohon mereka senantiasa tidak kehilangan harapan.

 "Hanya kalian yang bisa menyadarkan. Jika kami tantrum dan kalian menyerah pada kami, nggak peduli, kami tidak akan sembuh. Aku tahu banyak dari kalian yang jengkel, marah dan nggak peduli, bahkan takut. Mari kita berani," kataku.  

Keberanian bagiku bukanlah sebatas menunjukkan rasa tidak takut. Lebih jauh, "Daring is to do what is right in spite of the weakness of our flesh," -- aku mengutipnya dari film The Help. 
***

Meski hanya 1,5 jam namun aku senang sekali bersama mereka. Semoga mereka juga. Aku berharap bisa ketemu mereka kembali.  Jika tidak salah lihat, ada 112 orang yang ikut katekisasi GKI Pondok Indah, Sabtu (8/8), via Zoom. Rata-rata anak-anak muda. Millenial. 

Saat masuk aku langsung disapa Alex, calon pendeta di gereja tersebut yang selama ini bertindak sebagai laison officer. Tiba-tiba muncul seorang perempuan di layar besar zoom. Terlihat senior. Aku menduga ia orang penting di GKI PI. Sekelas penatua. Aku tahu dia Batak dari nama yang tertera. 

"Hai mbak... Apa kabar? Saragih nomor berapa? 16? 17? 18?" aku langsung  menyapanya. Ia terlihat begitu keras mengingat kembali berapa nomor punggungnya.(*)


Laaafff



Friday, August 7, 2020

UJI NYALI KATEKISASI

Selama hidup, dua kali aku mengisi katekisasi. Dua-duanya dilaksanakan oleh GKI Sidoarjo. 

Katekisasi bisa dikatakan semacam forum internum. Fungsinya, sebagai penguat iman kristen. Jika tidak salah, katekisasi adalah tahapan sangat penting bagi orang Kristen untuk memantapkan pilihan beragama mereka. 

Saat di GKI Sidoarjo, aku diminta mempresentasikan Yesus dalam perspektif Islam. Dan, pada katekisasi kedua, aku membincang soal ibunya, the Virgin Mary. 

Dua katekisasi tersebut dilaksanakan secara terbuka di gereja. Terbuka artinya siapapun boleh ikut. Seingatku, banyak sekali peserta dari luar. Tidak hanya Protestan, namun juga Hindu, Islam, Penghayat dan Katolik. 

Katekisasi ketiga rencananya berlangsung besok malam, Sabtu (8/8). Penyelenggaranya masih tetap GKI. Kali ini GKI Pondok Indah Jakarta, tempat dua orang temanku yang melayani di sana. 

Aku pernah ke sana. Gerejanya, bagus pakai banget. Sayangnya, katekisasi besok malam tidak bertempat di gereja. Semua digeser ke Zoom dan tertutup --selain Katekisan nggak boleh masuk. Kabarnya, ada live di Youtube. Namun hanya orang internal yang bisa mengakses.

Lalu, apa yang akan aku sampaikan di forum katekisasi besok?

Inilah yang aku anggap sebagai katekisasi paling berat. Sebab, aku diminta menjelaskan berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta. 

Pertanyaan sudah dikumpulkan terlebih dahulu dari para peserta. Dan dua jam lalu, Alex, calon pendeta GKI, mengirimkannya padaku. 

Saat aku buka, terserak hampir 50 pertanyaan! Sangat variatif ---dari soal pakaian perempuan, kiblat, alkohol, babi, pembunuhan atas nama agama, kenabian, Yudas, ISIS, pahala dan surga, hingga usia Aisha yang di bawah umur. 


"Ya Alloh, Lex. Banyak banget! Suka aku dengan kekritisan mereka pada agama Islam," kataku sembari meringis.

Aku benar-benar mengapresiasi semangat mereka mengetahui tentang agama yang selama bertahun-tahun digunakan sebagai atas nama untuk mempersekusi Kekristenan. Tidak hanya di Indonesia namun juga di seantero jagad raya. 

Pertanyaan mereka, rata-rata, berisi gugatan meski banyak juga yang tidak. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekali lagi, sangat jelas tergambar keingintahuan mereka tentang Islam. Tidak dalam kerangka, keyakinanku, ingin masuk Islam namun lebih pada; kenapa bisa berwajah demikian. 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak hanya harus dijawab -- agar semakin benderang dan meminimalisir kegalauan yang tak terpuaskan -- namun juga perlu mendasarkan jawabannya dalam tatakan kejujuran. 

Betapa capeknya jika aku harus berapologetika menjawab 50 pertanyaan kaliber ujian master?! Capek dan penat. 

Namun bukan soal capeknya, sebab aku bisa menyembuhkannya dengan pijitan.   Akan tetapi jawaban beraroma apologetika hanya akan menyisakan persoalan baru yang cenderung membebani masa depan. Dan itu tidak cukup dewasa. 

Aku sendiri paling males jika pertanyaanku dijawab dengan model seperti itu. 

Dan yang lebih utama, jika aku menjawab dengan model itu aku merasa kurang menghargai ketulusan dan upaya serius GKI PI mengundangku. Aku yakin mereka telah bersusah payah mewujudkan relasi yang sungguh tidak lazim ini. Salutku untuk kalian.

Semoga ada cukup waktu untukku menjawab seluruh pertanyaan.





Sunday, August 2, 2020

Orientasi Seksual; Takdir atau Konstruksi? Belajar dari Chrisye

Ini pertanyaan klasik seputar seksualitas yang hingga kini belum ada kata sepakat. Para ahli kejiwaan dan masyarakat awam sepertiku terbelah menjadi dua kubu. Kubu konstruksi sosial mencibir lawannya --kubu takdir-- malas berfikir. 


Ya, jawaban "takdir," memang seperti response jalan pintas. Persis seperti orang yang gagal mengoptimalisasi akalnya. Kenapa orang menjadi miskin? Takdir! Kenapa perempuan tidak boleh melampaui laki-laki? Takdir! Kenapa orang Kristen kerap tertindas di tengah mayoritas Muslim? Takdirnya memang seperti itu! 

Pendekatan "takdir," sangat beda dengan kubu konstruksi sosial. Kubu kedua ini bersusah payah menelisik, membongkar dan menyatukan kepingan untuk mencari penjelasan ilmiah atasnya. Kerapkali cara ini berhasil pada banyak persoalan. 

Namun untuk urusan orientasi seksual, menurutku, kedua kubu harus berdamai dan  menerima kenyataan mereka tidak bisa egois untuk menang secara mutlak dan binerik. 

Belajar dari Chrisye"

Kalian tahu siapa ini?" tanyaku sembari menampilkan foto penyanyi legendaris Indonesia yang sudah meninggal.

"Bukannya itu Chrisye?" jawab Lidya Kandowangko yang malam itu menjadi moderator Zoominar "Haruskah Kita Memusuhi LGBT," Selasa (14/6).

Aku membenarkan tebakan Lidya. Namun apakah kita pernah menyangka Chrisye adalah Tionghoa? Jika Anda tidak pernah berpikir demikian, maka sama denganku. Tak pernah terlintas dibenakku penyanyi bersuara emas ini ternyata keturunan Tionghoa.

Aku baru tahu ketika salah satu kawan Tionghoa, peneliti, mengabarkan kisah dramatis bagaimana Chrisye memberi pengakuan. Chrisye dikabarkan mengaku Tionghoa kepada penulis biografinya di detik-detik terakhir proses penyelesaian buku tersebut. Dengan perasaan sangat berat, Chrisye menceritakan alasan kenapa ia selama ini cenderung tidak mau terbuka ke publik menyangkut ketionghoaannya. Hal ini berkaitan dengan pengalaman buruk yang pernah ia terima. 

"Itu peristiwa yang menancap cukup dalam di benak saya," kata Chrisye, sebagaimana ditulis tirto.id "Biografi Chrisye, Keturunan Cina dan Kisah Buruknya Jadi Minoritas,"

Chrisye kecil pernah mengalami perundungan hebat pada suatu siang. Segerombolan anak meneriakinya "Cina Lo," setelah sebelumnya menyambit kepala Chrisye dengan batu hingga berdarah. Chrisye memilih tidak menceritakan hal itu kepada siapapun. Ketionghoaannya dikunci rapat belasan tahun hingga ia tidak lagi kuat menahannya. Ambrol di depan penulis biografinya.

"Lalu apa hubungannya Chrisye, orientasi seksual, takdir dan konstruksi sosial?" tanyaku kembali di forum.

Orientasi seksual, dalam pendapatku, sama seperti identitas ketionghoaan Chrisye, atau kejawaanku. Identitas kesukuan maupun orientasi seksual tidak bisa dipilih atau dinegosiasikan. Ia sepenuhnya given. Langsung datang dari Tuhan. 

Yang tidak kalah penting, sebagaimana halnya Chrisye, setiap orang memiliki kemerdekaan untuk mengakui --atau tidak mengakui-- atas identitas tersebut. Selama kurang lebih 30 tahun Chrisye memilih menyembunyikan jatidirinya. 

Ia mungkin berfikir dan merasa tidak aman manakala ketionghoaannya diketahui publik. Konstruksi sosial senyatanya telah begitu memengaruhi keputusan Chrisye, baik saat menyembunyikan diri maupun ketika memutuskan berterus terang, pada akhirnya.

Begitu pula terkait orientasi seksual. Tuhan selama ini telah memasangnya pada setiap orang. Kebanyakan memang heteroseksual. Konstruksi sosial telah menyebabkan individu yang diberi anugerah orientasi non-heteroseksual mengalami persekusi selama 1.973 tahun lamanya -- bahkan hingga sekarang. Selama itu pula mereka dilabeli sebagai pendosa dan mengidap penyakit jiwa. 

Label ini kemudian di review para psikiater di Amerika pada 23 Desember 1973 dan, melalui voting ketat, telah menghasilkan konsensus baru terkait orientasi seksual. Heteroseksual tidak lagi dianggap supreme, sebagai satu-satunya yang benar, karena homoseksualitas dan orientasi seksual lainnya telah diakomodasi. Para agamawan juga mulai melihat dan menyesuaikan kembali tafsiran teks kitab suci mereka 

Namun demikian, meski secara legal orientasi non-heteroseksual telah dinyatakan bukan sebagai penyakit, namun tidak berarti individu non-heteroseksual bisa merdeka dengan sendirinya. Konstruksi sosial yang dialami masing-masing dari mereka sangat menentukan apakah mereka mau terbuka atau tidak dengan identitas yang ia miliki. 

Tuhan telah memberi orientasi seksual kepada kita semunya. Kita sepenuhnya memiliki kemerdekaan untuk mengakui dan merayakannya, seperti halnya Chrisye dengan ketionghoaannya.

Featured Post

Janji Pengharaman Jual Beli Jabatan WarSa, Hanya Gimmick?

Kita patut mengapresiasi pasangan WarSa, yang berani berkomitmen menolak --bahkan mengharamkan-- jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Jomb...