[9/28, 08:03] Aan Anshori: Mas, pagi.
[9/28, 08:03] Aan Anshori: Nanti siang di gereja kah?
[9/28, 08:04] Aan Anshori: Aku ngisi training di Sidoarjo. Pengen ngajak peserta dulin nang GKI, biar lebih mengasah sensitifitas mereka.
[9/28, 08:04] Aan Anshori: Ini mampir saja.. Nggak formal..
[9/28, 08:06] Leo GKI Sidoarjo: Dengan senang hati. Jam berapa nanti mau mampir?
[9/28, 08:07] Aan Anshori: Thank mas..
[9/28, 08:07] Aan Anshori: Sekitar jam 11 ya mas..
[9/28, 08:08] Aan Anshori: Maaf mendadak..
[9/28, 08:08] Aan Anshori: Terlintas di benakku baru saja soal ini.
[9/28, 08:09] Aan Anshori: Hanya dengan sebanyak mungkin membawa muslim ke gereja, kesalahpahaman akan terlucuti.
[9/28, 08:09] Aan Anshori: Thank mas..
[9/28, 09:26] Leo GKI Sidoarjo: Ok. Trims mau mampir. Hal yg sebaliknya juga harus dilakukan teman2 kristen ke komunitas muslim dll. Sampai nanti ya.."
Tuesday, October 27, 2020
JAMBI DIPERSEKUSI, PMII MALAH KE GKI
Friday, October 23, 2020
Kegagalan yang Menggairahkan
Ceritanya, barusan aku dikontak salah satu, katakanlah, adikku. Sebut saja Juwita. Ia calon pendeta di sebuah gereja. Bukan gereja kalian kok.
Dalam pandanganku, Juwita termasuk calon pendeta yang cukup progresif. Passionnya terhadap gerakan lintasiman begitu menggelora. Ia nampak dengan mengagumkan mempercayai kuatnya persekusi terhadap agamanya lebih dikarenakan minimnya perjumpaan.
“Kalau jarang berjumpa, orang bakal terperosok pada prasangka, gus. Prasangka adalah akar dari segala kekerasan,” katanya pada suatu ketika. Ia telah lama berencana mengundangku di katekisasi. Dimintanya aku memberikan pandangan kepada anak-anak muda gerejanya seputar maraknya kekerasan berbasis agama.
Sungguh mulia sekali bukan? Namun demikian kemuliaan terkadang seperti merpati; ia jinak tapi mudah pergi jika didekati.
**
“Gus, aku habis berperang, berusaha mempertahankanmu di katekisasi. Tapi sepertinya aku gagal,” tulisnya.
Aku tidak melihat wajahnya. Namun dugaanku, kesedihan telah nangkring lama di pelupuk matanya.
“Duh Juwita, betapa kamu membuatku terharu dan tidak enak. Aku terharu karena kamu melakukan hal yang cukup berani. Tidak enak; karena kamu harus berperang melawan saudara-saudaramu di internal. Thank you ya,” ujarku.
“Ga papa Gus.. Tugasku kan memang. Dan yang membuatku prihatin sih sebetulnya. betapa di tahun 2020 saudaraku masih berfikir dengan sangat eksklusif. Tidak mudah sangat, tapi ya ini tantanganku Gus, cuma untuk saat ini aku belum cukup kuat punya fondasi. semoga kelak ketika fondasiku sudah lebih kuat, kondisi bisa lebih baik ya.” balasnya.
“Ta, sebagaimana pernah aku singgung; kondisi seperti ini adalah imbas dari kuatnya doktrin tertentu tanpa mengenalkan doktrin lainnya. Termasuk doktrin atas trinitas. Sebenarnya aku tahu sejak lama di internal islam; betapa kejamnya dampak doktrin unitarian atas trinitarian. But to be honest, aku tidak menyangka hal ini juga berdampak relatif sama di kalangan trinitarian.” timpalku. “… Too much love will kill you. Too much unitarian will kill Trinity. And too much Trinity will kill unitarian as well? Gelap rasanya dunia ini, Ta,” aku terus nyerocos di whatsapp.
Aku melanjutkan, “Kadang aku mikir; apa Arianus, Tertullian dan St. Athanasius merumuskan doktrin unitarian dan trinitas yang sangat spektakuler ini agar pengikutnnya membenci pengikut ajaran lain? Sedih aku,”
“Bukannya Arius dan Athanasius juga dua pihak yg saling bersengketa demi klaim doktrin terbenar? Bukannya konsili yang memutuskan doktrin-doktin itu sarat dan sangat kental dengan politik yg kejam? jadi wajar, bila hasil dari keributan dan kebencian adalah kebencian lebih lanjut,” Juwita terus menderu. Terlihat sekali kematangannya dalam berteologi. Jujur. Emoh bersilat lidah khas teologia-apologetik.
Aku terus membalasnya sembari tiduran, “Iya, harusnya kita meletakkan perseteruan teologis dan politis mereka seperti halnya dalam insiden Daud dan Betsyeba. Yakni, nggak boleh ditiru..😓
“Yup.. dan disalahpahami. Menyedihkan. bahkan kemudian menggunakan bahasa2 yg sangat agamis untuk mendukung gagasan ini. Tapi rasanya sudah terlanjur gus. Mengubah apa yg sudah dihidupi puluhan tahun itu tidak mudah sama sekali,” ia dengan cepat membalas chatku.
“Iya, Ta, namun aku selalu percaya perubahan aku datang; semakin Kristen/Islam seseorang, semakin ia mempercayai adanya keselamatan di luar keyakinannya. Terasa aneh memang. But it worked for me at least.😬
“Iya gus, sangat paham aku dengan itu. Sedihnya lagi, menurutku dialog tidak akan pernah bisa terjadi bila semua berangkat dengan prasangka.. dan orang-orang ini berangkat dengan prasangka. khawatir sekali mereka kalau kamu akan mengislamkan anak-anak katekisanku. Betapa sebuah pandangan yang sangat dangkat tentang indahnya jalan bersama,” Juwita tak kalah sengitnya membalas pesanku.
Rasanya makjleb ketika membaca diksi “islamisasi,” di kalimatnya. Uluhatiku terasa ditusuk peniti. Aku tak menyangka itu akan ada dalam benak teman-teman Juwita. Diksi itu termasuk hal yang membuatku tidak nyaman, Diksi yang sangat kuat aura kolonialnya, sekuat kata “normalisasi,” yang disemburkan untuk intensi mengubah orientasi seksual seseorang. “Jahat,” --meminjam istilah Cinta pada Rangga.
“Juwita, aku merasa ada kekuatiran kuat di internal gerejamu. Aku bisa memahami hal itu meski tidak ada niat seupil pun terbersit di pikiranku untuk islamisasi. I don't want to convert anyone because I love the way they choose their religion. Sometimes love shows itself so dangerous, don't you think? ☺” aku terus membalas chatnya.
“Hehehe... its okey Gus.. Tugas kita yang sudah paham dan siap berjalan bersama walau tak sama untuk terus bergerak to? Yang penting kita saling support, kelak akan ada masanya dimana orang mulai membuka mata dan sadar pentingnya menikmati hidup bersama,” ia membalas dengan penuh optimisme. Betapa beruntungnya gerejanya mendapat calon pendeta sepertinya. Betapa bangganya kampus almamaternya. Betapa senangnya ibu dan bapaknya. Dan yang terpenting, betapa beruntungnya Indonesia memiliknya.
“Juwita, aku pasti senang jika kita terus berjalan beriringan. I promise you,” pungkasku.
Ya, kami berdua gagal mengantarkanku. Namun percakapan ini menggairahkanku untuk tidak patah. Sayup-sayup aku mendengar suara di pikiranku; fight, win, fight, win, fight, lose, fight harder!
Sunday, October 18, 2020
Menderita di Kelas Agama
Di kelasku, kami sebisa mungkin menganut freedom to believe or not to believe. Justru yang tidak kami anut adalah kebolehan mempersekusi orang yang tidak sama dengan yang lain.
Saturday, September 12, 2020
Misteri Sebuah Foto Kafir
Duh gustine jagat, betapa susahnya menemukan foto orang sekaliber Prof. Marilyn Robinson Waldman. Aku hanya ingin melihat wajahnya. Wajah seseorang yang aku anggap sebagai guruku pertama belajar terstruktur memahami soal perkembangang kata KAFIR dalam Islam, khususnya al-Quran.
Aku sejak tadi senyum-senyum sendiri sambil garuk-garuk kepala; bagaimana mungkin aku belajar kitab suciku dari orang yang secara dogmatis (kalisk) terlarang menyentuh --dan apalagi-- mempelajarinya.
Saturday, August 8, 2020
Saragih Nomor Berapa? 16? 17? 18?
Keberanian bagiku bukanlah sebatas menunjukkan rasa tidak takut. Lebih jauh, "Daring is to do what is right in spite of the weakness of our flesh," -- aku mengutipnya dari film The Help.
Friday, August 7, 2020
UJI NYALI KATEKISASI
Sunday, August 2, 2020
Orientasi Seksual; Takdir atau Konstruksi? Belajar dari Chrisye
Ini pertanyaan klasik seputar seksualitas yang hingga kini belum ada kata sepakat. Para ahli kejiwaan dan masyarakat awam sepertiku terbelah menjadi dua kubu. Kubu konstruksi sosial mencibir lawannya --kubu takdir-- malas berfikir.
Pendekatan "takdir," sangat beda dengan kubu konstruksi sosial. Kubu kedua ini bersusah payah menelisik, membongkar dan menyatukan kepingan untuk mencari penjelasan ilmiah atasnya. Kerapkali cara ini berhasil pada banyak persoalan.
Namun untuk urusan orientasi seksual, menurutku, kedua kubu harus berdamai dan menerima kenyataan mereka tidak bisa egois untuk menang secara mutlak dan binerik.
Belajar dari Chrisye"
Kalian tahu siapa ini?" tanyaku sembari menampilkan foto penyanyi legendaris Indonesia yang sudah meninggal.
"Bukannya itu Chrisye?" jawab Lidya Kandowangko yang malam itu menjadi moderator Zoominar "Haruskah Kita Memusuhi LGBT," Selasa (14/6).
Aku membenarkan tebakan Lidya. Namun apakah kita pernah menyangka Chrisye adalah Tionghoa? Jika Anda tidak pernah berpikir demikian, maka sama denganku. Tak pernah terlintas dibenakku penyanyi bersuara emas ini ternyata keturunan Tionghoa.
Aku baru tahu ketika salah satu kawan Tionghoa, peneliti, mengabarkan kisah dramatis bagaimana Chrisye memberi pengakuan. Chrisye dikabarkan mengaku Tionghoa kepada penulis biografinya di detik-detik terakhir proses penyelesaian buku tersebut. Dengan perasaan sangat berat, Chrisye menceritakan alasan kenapa ia selama ini cenderung tidak mau terbuka ke publik menyangkut ketionghoaannya. Hal ini berkaitan dengan pengalaman buruk yang pernah ia terima.
"Itu peristiwa yang menancap cukup dalam di benak saya," kata Chrisye, sebagaimana ditulis tirto.id "Biografi Chrisye, Keturunan Cina dan Kisah Buruknya Jadi Minoritas,"
Chrisye kecil pernah mengalami perundungan hebat pada suatu siang. Segerombolan anak meneriakinya "Cina Lo," setelah sebelumnya menyambit kepala Chrisye dengan batu hingga berdarah. Chrisye memilih tidak menceritakan hal itu kepada siapapun. Ketionghoaannya dikunci rapat belasan tahun hingga ia tidak lagi kuat menahannya. Ambrol di depan penulis biografinya.
"Lalu apa hubungannya Chrisye, orientasi seksual, takdir dan konstruksi sosial?" tanyaku kembali di forum.
Orientasi seksual, dalam pendapatku, sama seperti identitas ketionghoaan Chrisye, atau kejawaanku. Identitas kesukuan maupun orientasi seksual tidak bisa dipilih atau dinegosiasikan. Ia sepenuhnya given. Langsung datang dari Tuhan.
Yang tidak kalah penting, sebagaimana halnya Chrisye, setiap orang memiliki kemerdekaan untuk mengakui --atau tidak mengakui-- atas identitas tersebut. Selama kurang lebih 30 tahun Chrisye memilih menyembunyikan jatidirinya.
Ia mungkin berfikir dan merasa tidak aman manakala ketionghoaannya diketahui publik. Konstruksi sosial senyatanya telah begitu memengaruhi keputusan Chrisye, baik saat menyembunyikan diri maupun ketika memutuskan berterus terang, pada akhirnya.
Begitu pula terkait orientasi seksual. Tuhan selama ini telah memasangnya pada setiap orang. Kebanyakan memang heteroseksual. Konstruksi sosial telah menyebabkan individu yang diberi anugerah orientasi non-heteroseksual mengalami persekusi selama 1.973 tahun lamanya -- bahkan hingga sekarang. Selama itu pula mereka dilabeli sebagai pendosa dan mengidap penyakit jiwa.
Label ini kemudian di review para psikiater di Amerika pada 23 Desember 1973 dan, melalui voting ketat, telah menghasilkan konsensus baru terkait orientasi seksual. Heteroseksual tidak lagi dianggap supreme, sebagai satu-satunya yang benar, karena homoseksualitas dan orientasi seksual lainnya telah diakomodasi. Para agamawan juga mulai melihat dan menyesuaikan kembali tafsiran teks kitab suci mereka
Namun demikian, meski secara legal orientasi non-heteroseksual telah dinyatakan bukan sebagai penyakit, namun tidak berarti individu non-heteroseksual bisa merdeka dengan sendirinya. Konstruksi sosial yang dialami masing-masing dari mereka sangat menentukan apakah mereka mau terbuka atau tidak dengan identitas yang ia miliki.
Tuhan telah memberi orientasi seksual kepada kita semunya. Kita sepenuhnya memiliki kemerdekaan untuk mengakui dan merayakannya, seperti halnya Chrisye dengan ketionghoaannya.
Featured Post
Janji Pengharaman Jual Beli Jabatan WarSa, Hanya Gimmick?
Kita patut mengapresiasi pasangan WarSa, yang berani berkomitmen menolak --bahkan mengharamkan-- jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Jomb...
-
Dalam tradisi Islam, sosok Maryam (mamanya Yesus/Isa) sangatlah mentereng. Pangkatnya; perempuan terbaik sejagad raya ( was thofaki ‘ala nis...
-
Seperti yang pernah aku tulis sebelumnya di Facebook, mengisi acara seminar di sekolah menengah pertama (SMP) merupakan pengalaman pertamaku...
-
Dalam cara pandang purifikasi ajaran, dunia ini dipilah secara arbitrer --semena-mena; hitam-putih. Yang satu merasa lebih superior sembari ...