Pages

Tuesday, August 31, 2021

ANGGRA DAN PACARAN BEDA AGAMA

Cukup sering aku merasa hidupku seperti dikelilingi de javu --semacam perasaan menempuh dan mengalami hal sama. Salah satunya, peristiwa yang terjadi pada Jumat (27/8).

Aku bersama anak-anak muda, mahasiswa/i, menonton film yang pernah aku tonton bersama anak muda lainnya 9-10 tahun lalu. Judulnya 3 dunia 2 hati 1 Cinta.

Film jadul yang dibintangi Reza Radian dan Fira Basuki ini bercerita tentang lika-liku asmara beda agama antara Rosyid dan Delia; Islam dan Katolik.

BBukan tanpa sebab aku dan puluhan anak=anak Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Univ. Darul Ulum dan Univ. Wahab Chasbullah memilih film ini.

Aku ingin mendorong mereka berani mengeksplorasi isu terlarang ini.

Dalam benak mereka, aku yakin, pacaran beda agama bukanlah hal yang patut dibanggakan. Alih-alih, hal tersebut bisa dianggap sebagai tanda penggelinciran iman; mencari kesengsaraan.

"Lha wong pacaran seagama saja belum tentu lancar apalagi beda agama," kira-kira-kira demikian yang ada dalam benak mereka.

Setelah tuntas menonton lebih dari 1,5 jam, kami pun berdiskusi. Forum dimoderatori Tama, kader PMII transpuan asal kampus Wahab Chasbullah.

Dia tampak agak gugup saat mengelola forum. Sangat mungkin karena di hadapan banyak peserta yang bukan dari kampusnya. Acara memang diselenggarakan di selasar Fakultas Ekonomi Univ. Darul Ulum.

Malam itu, ada dua narasumber yang hadir dari tiga yang telah direncanakan; Anggrani, pendeta GKJW Mutersari Bareng dan aku sendiri. Bill Halan tidak hadir karena kurang sehat badannya.

"Hai Anggra, welcome to my campus," sambutku sebelum acara. Dia datang bersama 3 anak muda, salah satunya adalah Yosia, mahasiswa Teologi UKDW yang sedang stage (baca; stasi) di gerejanya Anggra.

Anggra tampil mempesona malam itu. Betapa ia mengagumi uminya Rasyid dalam film tersebut.

Sosok sang umi begitu kuat menjembatani konflik Rosyid dan abahnya terkait Delia, pacar Rosyid yang Katolik. Sang abah sangat menentang pacaran beda agama --sekeras mama dan papanya Delia.

"Selain umi, saya juga sangat memahami betul perasaan yang dialami Delia," ujar Pdt. Anggra.

Aku meyakini dia, sebagai pendeta, memiliki pengalaman mempastorali jemaatnya yang mengalami hal sama. Pastilah tidak mudah.

Baginya, perpindahan agama yang kerap ditempuh banyak orang saat mencari jalan keluar relasi beda agama merupakan keniscayaan. Saat seseorang sampai pada titik tersebut, Anggra berpandangan ia haruslah memiliki komitman beragama secara serius, bukan hanya sekedar karena alasan perkawinan.

Keseriusan ini sekaligus menjadi titik tolak mengeksplorasi sejauhmana komitmen cinta kasih beda agama.

"Mencintai itu memerdekakan bukan memaksa, termasuk dalam urusan agama atau keyakinan," ujarku meneruskan sebagai narasumber kedua.

Jika ada kekuatiran setelah perkawinan beda agama, misalnya; nanti anaknya ikut agama bapak atau ibunya,  bagaimana model beribadah keduanya, satunya makan babi dan lainnya mengharamkan --maka, menurutku, ada ketidakberesan saat pacarannya.

"Jangan-jangan pas pacaran, motifnya adalah penunduan agama satu atas agama lainnya? Kalau benar demikian maka aku meragukan ketulusan relasi tersebut," tambahku.

Penundukan tersebut, lanjutku, merupakan dampak pendidikan seputar agama yang dijejalkan kita sejak lahir. Kita dirawat untuk senantiasa merasa agama kita paling benar.

Kita terus menerus diracuni; bahwa agama lain adalah sesat dan lebih rendah dari kita. Yang paling membahayakan; kita terus diprovokasi bahwa mereka senantiasa membuat plot untuk merongrong agama kita.

Ujungnya, cara terbaik melumpuhkan sekaligus "menyelamatkan," mereka adalah dengan menggiringnya masuk agama kita.

Bahkan jika perlu, dengan cara licik, tipu daya, maupun kekerasan. Rasanya aneh, namun melegakan bagi sebagian orang.

"Bagaimana dengan sikap Islam seputar pindah agama? Bukankah telah jelas disampaikan dalam AlQuran?" tanya seorang peserta.

Alquran adalah kitab pedoman kita, jawabku. Menurutku, kitab ini terlalu suci yang tidak membutuhkan sepasukan orang untuk memaksa orang lain agar percaya ia sebagai kitab petunjuk.

Lemah sekali agama kita seandainya memaksa pengikutnya untuk mempersekusi orang lain agar mempercayainya.

"Tidak ada paksaan dalam Islam," jawabku. Saat banyak orang Islam ikut kerabatnya yang Yahudi meninggalkan Madinah karena pengusiran, Nabi memperbolehkan hal tersebut.

Mereka tidak dipaksa tinggal di Madinah bersama orang-orang Islam. Demikianlah konteks turunnya ayat tersebut.

"Lalu, gus, bukankah telah jelas dalam AlQuran 2:221, seorang Muslim tidak diperkenankan menikahi orang musyrik?" ujar yang lain.

Musyrik itu menyekutukan tuhan, jawabku. Yang percaya Tuhan, dalam ayat tersebut, dinamakan mukmin. Bahasa Inggrisnya; The Believers.

"Sekarang aku akan tanya pendeta Anggra," ujarku sembari langsung menatap Anggra yang duduk di sampingku. "Kamu dan semua orang Kristen, apakah menyekutukan Tuhan?"

"Yo enggak lah, gus," sahutnya sembari tertawa.

Mukmin, menurutku, adalah mereka yang mempercayai adanya Gusti. The Believers. Tidak hanya orang Islam saja, namun juga Kristen, Yahudi, dan agama-agama lainnya.

Dengan demikian, lanjutku di forum, Al-quran QS. 2:221 tidak cukup relevan digunakan untuk mengatur larang perkawinan Islam-Kristen. Apalagi menurutku telah jelas pemeluk Kristen memiliki kitab yang keberadaannya juga wajib diimani oleh orang Islam, merujuk pada QS 2:4.

"Bayangkan, mana mungkin kita tega mengutuk kebahagiaan yang kuat terpancar dari raut muka Tenaya dan Nathanael?" ujarku meyakinkan peserta diskusi sembari menayangkan video pendek "Mesranya Cinta Terlarang," karya Norfa Baroroh, mahasiswiku di Ciputra. https://www.youtube.com/watch?v=kOBSwufNJQw

Malam itu, aku merasa cukup banyak berondongan bersifat teologis dari peserta forum. Begitu banyak ayat-ayat Alquran disemai dan dikutip untuk mempertahankan keyakinan yang selama ini memang dihidupi.

Sejujurnya, aku sangat senang dengan hal itu. Sangat mengasyikkan dapat mendengar mereka berargumentasi menggunakan kitab sucinya.

Namun bagaimana dengan perasaan Pdt. Anggra yang menyaksikan itu semua? Apa yang ada dalam benaknya saat tahu kuatnya resistensi dalam forum tersebut?

Aku memilih membiarkannya, tidak menanyakannya secara khusus saat diskusi usai. Yang justru aku sampaikan adalah rasa senangku melihat kampus ini kembali dikunjungi pendeta GKJW.

"Tahukah kamu kapan terakhir kali pendeta GKJW mengisi acara di kampus ini?" tanyaku
"Kapan, gus?" tanyanya pendek
"Sekitar tahun 2011 atau 2012. Saat itu Nicky yang ke sini," ujarku sembari mengantarkan Anggra ke mobil.

Pelan-pelan kendaraan itu ditelan gelapnya kampus. Balik ke GKJW Mutersari. Thank you Anggra.

Sunday, August 8, 2021

I Will Not Make It Easier For You


Sejak kemarin pikiranku agak terganggu dengan peristiwa di Menganti Gresik. Seorang bayi meninggal, agamanya Kristen, dan tidak boleh dimakamkan di desanya.

Dari data kartu keluarga yang aku dapatkan, adik bayi ini adalah satu-satunya anak yang beragama Kristen. Ia punya tiga saudara/i. Semuanya Islam. Ayah ibunya Kristen.

Status tiga anaknya yang Islam menurutku cukup unik. Sangat mungkin orang tuanya sangat memahami situasi yang akan dihadapinya saat mereka tetap berkristen -- situasi yang kini menimpa adik bungsu mereka.

Aku berpikir kenapa ada komunitas Islam setega itu, melarang warganya mendapatkan hak yang setara, gara-gara tidak seagama.

Peristiwa ini sekaligus menambah daftar praktek diskriminasi pemakaman di Jawa Timur. Sebelumnya, dua warga desa Sooko Mojokerto juga dilarang dimakamkan di desanya, karena keduanya bukan Islam.


"Bagaimana terlukanya seandainya orang Islam diperlakukan seperti itu?" batinku. Pastilah sangat menyakitkan.

Meskipun pada akhirnya adik bayi tersebut bisa dimakamkan di pekuburan Kristen namun bukanlah itu masalahnya, kan?

Peristiwa demi peristiwa ini membuatku makin berkomitmen mendorong sebanyak mungkin orang Islam berkenalan dengan Kekristenan. Kurangnya pengetahuan sangat mungkin membawa seseorang tega bertindak intoleran. 

Pagi ini, Minggu (8/8), aku bersyukur bisa mewujudkan komitmen tersebut. Sebanyak lebih dari 20 mahasiswa/i Islam aku ajak mengunjungi Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jombang. 

Mereka adalah adik-adikku, peserta pelatihan kader dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayom Tabassam Fakultas Agama Islam Universitas Wahab Hasbullah Tanbakberas.

Aku memang mengajukan syarat ketika diminta mengampu sesi "Berkenalan dengan Teori Perubahan Sosial,"; lokasinya harus di gereja.

Kenapa harus gereja? 

Aku ingin memberikan kesan tak terlupakan pada mereka. Sebuah kesan yang aku yakin mampu mengupgrade keislaman mereka. 

"Selamat datang di gerejaku. Beruntunglah kalian, masuk di PMII dan bertemu denganku. Tak semua organisasi mahasiswa berlabel Islam menyediakan fasilitas masuk ke gereja seperti PMII," kataku saat menyambut mereka. Aku melihat ada larikan bangga di wajah mereka. 

Aku memang memakai kata "gerejaku," sebab aku merasa sangat dekat dengan GKJW Jombang. Sudah dianggap keluarganya sendiri. 

Jika tidak, mana mungkin mas Yono, pendeta GKJW Jombang, memperbolehkanku berkunjung dalam tempo waktu yang singkat. Surat kunjungan aku buat dua hari sebelum acara. Cukup mendadak.


"Mas, aku nyelang grejone yo. Aku mau bawa adik-adikku PMII ke sana," ujarku padanya.

Mas Yono sangat welcomed meski ia sendiri tak bisa menemani pagi ini karena harus ke Banyuwangi. Maka Pak Soleh didapuk untuk menerima kami. Dia adalah salah satu jemaat senior. Guru Injil juga. 

"Apa artinya lambang A dan Omega itu?", "Hiasan itu apa maknanya?", "Itu foto dan lukisan bercerita tentang apa?", "Bagaimana gereja ini merespon konflik?", " Bagaimana gereja mengembangkan dirinya?" 

Itulah deretan pertanyaan yang diberondongkan peserta saat acara penyambutan di ruang ibadah GKJW.  Aku memang secara spesifik meminta mereka menjajal kursi yang biasa digunakan para jemaat beribadah.

Aku ingin mereka --dengan segenap keislaman klasik yang mereka miliki- merasakan sebanyak mungkin pengalaman yang tidak setiap hari ditemui. 

"Mana mungkin kamu bisa masuk gereja seperti ini saat di rumah, ndak mungkinlah.." kataku pada salah satu panitia, cewek, dari Jambi. 

"Hahahaaa, iyaa, kalau nggak di Jombang, nggak bisa kayak gini, gus," ujarnya sumringah. 

Pagi itu semua peserta dan panitia begitu menikmati kunjungan tersebut. Ada beberapa dari mereka aku undang maju menceritakan kesannya pagi tadi. 

Di akhir acara, aku menginjak kencang "pedal gas," dengan cara meminta Pak Soleh menutup acara dengan doa a la Kristen. Biar lebih mantap keseluruhan prosesnya.

"Kalau kamu takut autokristen, silahkan cek kolom agama di KTP kalian. Kalau berubah Kristen, aku sanggup menguruskannya di Dispendukcapil," ujarku guyon. Mereka pun ngakak. 

Dalam hati, aku berkata lirih; silahkan saja membawa agamaku menjadi alat intoleransi but merely keep my promise that I will not make it easier for you!

#pkd1tabassam

Wednesday, August 4, 2021

Come Sunday; "Korupsi Iman," Jemaat sebagai Taruhan


Apa yang paling menangkutkan seseorang selain kehilangan pengikut? Apalagi jika hampir semua aspek kehidupannya terkoneksi dengan mereka --dari harga diri kehormatan hingga periuk nasi.

Ini adalah tulisan ketiga (terakhir) dari serial "Tiga Korupsi Selama PPKM," Tulisan pertama di https://www.facebook.com/1561443699/posts/10225288208663186/?app=fbl dan ini yang kedua https://www.facebook.com/1561443699/posts/10225288226143623/?app=fbl

Hari Minggu malam, (26/7), aku menonton film apik, "Come Sunday," menceritakan sosok kontroversial Carlton Pearson. Orangnya masih hidup hingga sekarang 

Pearson adalah pendeta dengan jemaat sekitar 6000 orang, melayani di the Higher Dimensions Evangelistic Center Incorporated --sebelum akhirnya berubah menjadi Higher Dimensions Family Church. Gereja ini merupakan salah satu yang terbesar di daerah Tulsa Oklahoma Amerika.

Seperti halnya pendeta pada umumnya, Pearson juga mengkhotbankan ajaran; Yesus sebagai juruselamat; siapapun yang memilihNya berarti terselamatkan. Bagi yang tidak, secara otomatis, tidak akan selamat.

Film tersebut begitu apiknya menggambarkan kepiawaiannya; merangkai kata-kata dan mengaktualisasikannya di atas mimbar. Jadwal manggungnya penuh. 

Almamaternya, Oral Robert University, begitu bangga terhadap alumninya ini. Pendek kata,  tidak ada satupun jemaat yang tidak suka dengannya. Hingga kemudian ia terperosok ke dalam "jurang kesesatan," bernama inklusivisme.

Inklusivisme mengajarkan pemahaman bahwa suatu agama secara eksplisit benar, sementara agama lain secara implisit juga benar dan Tuhan MENERIMA iman implisit sebagai pengganti iman eksplistit di dalam Kristus. 

Sederhananya begini; dalam pandangan Pierson, orang Kristen tidak bisa lagi mengklaim dirinya sebagai satu-satunya yang terselamatkan. Keselamatan juga ada di agama lain. "Dan itu adalah doktrin Kristus," ujarnya.

Gereja pun geger.

Satu per satu jemaatnya tidak lagi mau bergereja di tempat Pierson. Kursi gereja semakin lama semakin melompong. Jemaatnya tinggal beberapa gelintir saja.

Beberapa rekan sepelayanan dan juga kampusnya meminta Pierson untuk segera "kembali kepada Yesus," 

Kehidupan Piersen, dalam arti sesungguhnya, makin "terpuruk. setelah ia divonis "sesat," sekelompok pendeta beraliran Pentacostal.

“We do hereby declare that the doctrine of Inclusionism is an unorthodox teaching and shall be classified as a heresy by the Joint College of African-American Pentecostal Bishops Congress,” tulis Bishop Cliffort Leon Frazier.

Sebelum "vonis," tersebut dijatuhkan, Pierson diminta melakukan klarifikasi teologis di hadapan forum pendeta, Maret 2003. Alih-alih menyerah, dalam film tersebut, ia malah terlibat debat dengan salah satu pendeta senior di forum tersebut.

“A more careful study of Scriptures will reveal that salvation is also and, perhaps more often or more comprehensively, pictured in a universally inclusive way, in which God is redeemer of the whole world or creation, including all human beings,” ujarnya, sebagaimana aku kutip dari laman aplogeticsindexdotorg.

Namun bagiamana ia sampai pada "belokan tajam," teologis seperti ini? Setidaknya ada dua moment tergambar dalam film tersebut. 

Pertama, kematian Quincy, pamannya, di penjara dengan cara gantung diri. Pierson merasa bersalah karena tidak mampu menyelamatkannya --padahal ia dikenal sebagai juruselamat di gerejanya. 

Sebelum gantung diri Quincy meminta tolong Pierson menulis surat pembebasan bersyarat kepada otoritas penjara. Namun Pierson menolak. Padahal ia sebenarnya bisa melakukan hal itu. 

Kedua, ditengah kekalutan atas kematian Quincy, ia menonton konflik di Rwanda Afrika, yang mengakibatkan ratusan ribu orang dan anak tak berdosa mati.  Ia dengan galau membawa masalah ini ke atas mimbar, di hadapan ribuan jemaatnya.


"God, I don't know how you can call yourself a loving, sovereign God and let these people suffer like this. Oh, God. None of them are saved. They don't know Christ. They're not born again. And when they die, you just suck 'em down into hell. Oh, God." kata Pierson, mencoba menggugat tuhan di hadapan ribuan jemaatnya.

Gugatan kepadaNya makin tajam, setajam silet. "All my life, I've been taught it. Everything I know points to a choice, heaven or hell. Many people I loved... members of my own family went to hell, and they're there for good. Now, I could never reconcile that, but I do accept it, because they had a choice. But when did these people in Africa separate from God? When did they make a choice? And how do they get saved?"

Jemaatnya semakin hanyut dengan khotbah memukaunya dan sangat penasaran apa kira-kira yang akan dijawab Tuhan atas gugatan Pierson. 

"And He (God)  said, 'They don't need to get saved. They're already saved. And I've taken them into my presence. They will all be with me... in heaven.'"

Jemaat pun geger, menganggap panutannya tengah mengkorupsi pemahaman yang sudah lama mapan; Yesus hanya menyelamatkan orang Kristen saja.

------------

Secara personal, aku agak heran apa yang  yang membuat doktrin inklusi menjadi spesial sehingga perlu difilmkan, apalagi kejadiannya berlangsung di zaman modern? 

Aku merasa memiliki banyak teman pendeta yang memiliki pandangan seperti ini, setidaknya saat berdiskusi denganku atau di forum ilmiah terbatas.

"Namun, gus, mana berani mereka ngomong hal itu di mimbar? Bisa-bisa ditanggalkan kependetaan mereka," ujar salah satu temanku, pendeta, saat aku ajak ngobrol soal ini.

Aku percaya setiap orang membutuhkan proses untuk bisa sampai pada inklusi model Pierson. Ia seperti sedang memperluas pemaknaan tentang keberadaan Yesus; dari model ekslusif menjadi inklusif. 

Pearson mengingatku pada almarhum Gus Dur yang pernah mengatakan kelahiran Yesus tidak hanya untuk orang Kristen saja. Alih-alih, putra biologis Maria ini merupakan penyelamat (savior) bagi semua orang; baik yang mau mengakuinya atau tidak.

Model pemikiran Gus Dur maupun Pierson berangkali berpijak pada refleksi sederhana; Tuhan tidak membutuhkan pengakuan sebagai syarat bagiNya untuk memberikan kasih.

Kasih Alloh seperti halnya matahari. Sinarnya bisa dinikmati oleh siapa saja. Tidak peduli apakah manusia mempercayai atau mengkhianatiNya. 

Tidaklah mungkin sinar matahari --yang dianggap berada dalam kontrol penuh tuhan-- bersinar secara diskriminatif, hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang percaya padaNya saja.

Logika kemahapemurahan Tuhan sangat mungkin berlaku juga bagi surgaNya. 

Dalam keyakinanku, surga akan memiliki banyak pintu, yang bisa diakses siapa saja, seperti halnya Gelora Bung Karno yang memiliki banyak pintu. Pintu surga nanti bisa jadi jumlahnya ribuan --sejumlah agama/kepercayaan yang ada di dunia

Tuhan bertindak seperti itu karena Dia mampu untuk itu --sekali lagi, atas dasar kemurahan dan pengampunanNya. 


Dua hal itulah yang menjadi kunci kenapa ia berstatus sebagai Tuhan. Sebab jika dia manusia maka niscaya ia akan bertindak seperti kebanyakan dari kita; cenderung berpandangan dan bersikap bias. 

Nah Pearson, dalm film tersebut, masuk dalam level pemahaman ini. Baginya, kemurahan hati Yesus, dimaknai secara lebih luas --tidak hanya terbatas pada mereka yang berstatus formal sebagai Kristen/Katolik.

Pearson mengingatkanku pada seminar dan lokakarya di mana aku pernah terlibat di dalamnya. Temanya cukup menohok; De-centering perspective on Evangelism. Acaranya di Jakarta 2018 diselenggarakan oleh Council for World Mission, full bahasa Inggris. 

Seperti judulnya, kegiatan ini berkehendak menegaskan "arah baru," penginjilan; dari model klasik --konversi agama-- menuju penginjilan yang lebih luas -- melakukan pembelaan terhadap kelompok-kelompok yang selama ini dimarjinalkan, termasuk minoritas gender dan seksual. 

Penginjilan bermakna konversi, tidak hanya dianggap telah usang namun juga dipenuhi oleh kuasa imperialisme-kolonialistik, setidaknya demikian yang aku cerna dari presentasi Dr. Gladson Jathanna, "Post-colonial Perspectives on Evangelism: Evangelism as Violence, Sinful Evangelism,"

Jathanna sangat mungkin memahami pergulatan orang-orang seperti Pearson. Atau bahkan, ia juga mengalaminya sendiri.

Di film tersebut Pearson memang benar-benar berada dalam sebuah pergumulan dahsyat, tidak hanya secara imani namun juga dalam kesehariannya. Para mantan jemaatnya memandang pria ini dan keluarganya dengan tatapan sinis dan perasaan iba. 

Aku merasa ia tengah disalib seperti halnya Yesus, tuhannya. Pearson "disalib" demi menemukan esensi kekristenan yang ia yakini selama puluhan tahun; pemaham kekristenan yang terkorupsi. 

Dan seperti yang sudah bisa diduga, "penyaliban," itu tidaklah sia-sia, setidaknya dalam film tersebut.

Bagaimana dengan dinamika telogis-praktis seperti ini di agama lainnya --khususnya Islam? Wallohu a'lam.(*)

Monday, July 26, 2021

WUJUDKAN TEMPAT PEMAKAMAN UMUM (TPU) DESA SOOKO KECAMATAN SOOKO MOJOKERTO

Press Rilis Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur

"WUJUDKAN TEMPAT PEMAKAMAN UMUM (TPU) DESA SOOKO KECAMATAN SOOKO MOJOKERTO"


Jaringan Islam Antidikriminasi (JIAD) Jawa Timur mendukung upaya serius GUSDURian Mojokerto dalam upaya pemberian keadilan akses pemakaman bagi warga non-Islam desa Sooko kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto.

Upaya ini merupakan rentetan terjadinya diskriminasi jenazah bu Emi dan Pak Totok yang tidak bisa dimakamkan di desanya sendiri karena alasan agamanya (cek beritanya di https://tinyurl.com/yhsdhvm2)

Beberapa hari lalu, GUSDURian Mojokerto secara resmi mengirimkan surat ke otoritas desa Sooko. Isinya, terkait klarifikasi seputar status tanah makam desa; apakah khusus untuk warga Islam saja atau terbuka bagi semua warga desa. 

Hingga saat ini surat tersebut belum direspon oleh Kepala Desa tanpa alasan yang jelas. Padahal sebenarnya masalah ini tidak perlu terjadi manakala pemerintahan desa bersetia pada empat pilar bangsa; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. 

Sebagai catatan, terdapat lebih dari 100 warga desa Sooko yang beragama selain Islam. Kejelasan nasibnya saat meninggal dunia masih terancam tidak bisa dikuburkan di desanya sendiri. Padahal, saat pengadaan tanah makam tersebut, mereka juga terlibat urunan pembiayaan.

Terkait hal ini, Jaringan Islam Antidiskriminasi menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mendukung sepenuhnya langkah advokasi GUSDURian Mojokerto terkait hal ini;

2. Mendesak kepada Kepala Desa dan BPD Desa Mojokerto untuk mengeluarkan keputusan yang isinya menetapkan makam desa sebagai tempat pemakaman umum (TPU);

3. Mendesak kepada Bupati Mojokerto untuk memastikan seluruh desa di kabupaten memiliki TPU, bukan hanya Makam Islam saja;

4. Menyerukan kepada semua elemen lintasagama untuk ikut serta memperjuangkan hal ini;

5. Meminta kepada semua pihak mengirimkan pesan dukungan berisi, "Saya Aan Anshori (ganti dengan nama Anda), pengajar Universitas Ciputra (ganti dengan afiliasi Anda), mendukung Kepala Desa Sooko menyediakan tempat pemakaman umum (TPU) bagi seluruh warga desa -- apapun agama, ras, suku dan etnisnya," Kirim pesan tersebut ke WA Kades Sooko https://tinyurl.com/ydrtp97k dan Camat Sooko https://tinyurl.com/yz9k2ht3 

Jombang, 25 Juli 2021

Aan Anshori


*Narahubung GUSDURian Mojokerto; Imam Maliki (+62 855-3694-0161) Kukun Triyoga (+62 812-3086-0673)

Thursday, July 22, 2021

ISMAIL ATAU ISHAQ? TIGA FAKSI ISLAM DAN UPAYA PEMBACAAN ULANG

Dalam drama percobaan penyembelihan oleh Abraham, siapapun yang Anda dukung; apakah Ishaq atau Ismail, aku sama sekali tidak keberatan. Sepenuhnya aku bisa memahami hal itu. Aku sungguh sangat senang seandainya kita bisa tumbuh dan berkembang sampai pada posisi Gus Dur dalam urusan ini;“Dua-duanya, baik Ismail maupun Ishaq, tidak jadi disembelih. Jadi buat apa diributkan,” Bagi banyak orang, posisi Gus Dur memang terasa lebih menenangkan, lebih rekonsiliatif, ketimbang kita gegeran karena terperosok dalam rezim binerik --Ishaq atau Ismail.

Yang hendak aku tawarkan dalam tulisan ini adalah seputar cara pandangku kenapa Islam terasa lebih memilih Ismail ketimbang Ishaq dalam drama percobaan penyembelihan oleh bapaknya, atas nama perintah Tuhan. Sebagai catatan, aku belum membaca semua karya tulis di Google Scholar berkaitan dengan topik ini. Sehingga bisa jadi telah ada sarjana yag relah menulisnya namun belum aku sebut karyanya. Untuk hal ini, aku minta maaf.

BASIS AWAL

Aku mencukupkan diriku pada teks alquran sebagai sumber primer. Dalam tradisi Sunni-Nadliyyin yang aku tahu, jika ingin mempelajari al-Quran lebih mendalam, seseorang akan sangat disarankan untuk membaca tafsirnya. Namanya juga tafsir, kebenarannya tetaplah relatif dan tidak bisa dianggap sejajar dengan al-Quran. Jumlah kitab Tafsir cukup banyak dan beragam. Tergantung juga pada madzhab keislamannya. misalnya Sunni. Syiah, atau Ahmadiyyah.

ALQURAN DAN PENYEMBELIHAN 

Di kitab suciku, teks seputar upaya percobaan penyembelihan anak Ibrahim, setidaknya, tergambar dalam Alquran Surah 37 (al-Saffat, rombongan/barisan Malaikat) ayat 102. Namun, demi memahami ceritanya lebih utuh, aku akan beberkan ayat 100-113. Aku gunakan terjemahan/tafsir milik Quraish Shihab yang ada di tanzildotnet.

37:100; Ya Tuhan, berikanlah aku keturunan yang saleh yang akan melanjutkan misi dakwah setelah aku.

37:101; Kemudian malaikat memberinya kabar gembira berupa anak yang cerdas dan sabar.

37:102; Anak itu pun lahir dan tumbuh. Ketika anak itu menginjak dewasa dan telah pantas mencari nafkah, Ibrâhîm diuji dengan sebuah mimpi. Ia berkata, "Wahai anakku, dalam tidur aku bermimpi berupa wahyu dari Allah yang meminta aku untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapat kamu?" Anak yang saleh itu menjawab, "Wahai bapakku, laksanakanlah perintah Tuhanmu. Insya Allah kamu akan dapati aku termasuk orang-orang yang sabar."

37:103; Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah, Ibrâhîm pun membawa anaknya ke suatu tumpukan pasir. Kemudian Ibrâhîm membaringkannya dengan posisi pelipis di atas tanah sehingga siap disembelih.

37:104-105 ; Allah mengetahui kebenaran Ibrâhîm dan anaknya dalam melaksanakan cobaan tersebut. Kemudian Allah memanggilnya dengan panggilan kekasih, "Wahai Ibrâhîm, sesungguhnya engkau telah memenuhi panggilan wahyu melalui mimpi dengan tenang, dan engkau tidak ragu-ragu dalam melaksanakannya. Cukuplah bagimu itu semua. Sesungguhnya Kami akan meringankan cobaan Kami untukmu sebagai balasan atas kebaikanmu, seperti halnya Kami membalas orang-orang yang berbuat baik karena kebaikan mereka."

37:106; Sesungguhnya cobaan yang Kami berikan kepada Ibrâhîm dan anaknya adalah bentuk cobaan yang menjelaskan inti keimanan dan keyakinan mereka kepada Tuhan semesta alam.

37:107; Kami menebus anak itu dengan sembelihan yang besar, sebab datangnya atas perintah Allah.

37:108; Kami abadikan Ibrâhîm dengan pujian yang baik di kalangan orang-orang yang datang setelahnya.

37:109; Salam kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrâhîm.

37:110; Seperti balasan yang menolak bencana itu, Kami akan memberi balasan orang-orang yang berbuat baik dengan melaksanakan semua perintah Allah.

37:111; Sesungguhnya Ibrâhîm termasuk hamba-hamba Kami yang tunduk pada kebenaran.

37:112; Dengan perintah Kami, malaikat memberi kabar gembira kepadanya berupa kedatangan seorang anak, yaitu Ishâq, meskipun istrinya mandul dan sudah putus asa untuk mendapatkan anak. Anak itu nantinya akan menjadi seorang nabi yang termasuk orang-orang saleh.

37:113; Ibrâhîm dan anaknya Kami berikan keberkahan dan kebaikan di dunia dan akhirat. Di antara anak keturunannya ada yang berbuat baik dengan keimanan dan ketaatan, dan ada pula yang menzalimi diri sendiri dan jelas-jelas tersesat karena kekafiran dan kemaksiatan yang dilakukannya.


TIGA FAKSI

Dari berbagai terjemahan al-Quran yang aku bisa akses, hanya terjemahan milik Kementerian Agama RI yang berani menyebut kata “Ismail,”secara gamblang saat menerjemahkan/menafsirkan ayat 102. Selain milik Kemenag, aku juga mengecek beberapa terjemahan berbahasa Inggris dan Indonesia, misalnya; Shahih International, Maududi, Mubarakpuri, Pickthall, Qarai, Qaribullah & Darwish, Sarwar, Shakir, Wahiduddin Khan, Yusuf Ali, dan tentu saja Quraish Sihab. Tidak ada satupun dari mereka yang menyebut nama“Ismail,” Alih-alih, mereka menggunakan kata “anaknya” (anak Ibrahim). 

Di titik ini, untuk mempermudah penggolongannya marilah kita sebut saja mereka ini kelompok netral. Tidak disebutnya nama Ismail oleh mereka bisa jadi merupakan hal wajar karena kata Ismail memang tidak ada dalam atar 100-113. 

Selain kelompok netral, al-Qurtubi (d. 1272) —dalam Al-Jami’ li Ahkam Al- Qur’an— saat menjelaskan QS. 37:102 menyampaikan adanya dua kelompok lagi dalam khazanah intelektual Islam; pro-Ishaq dan pro-Ismail. Dibelakang pendukung Ishaq, terdapat nama-nama seperti Ali bin Abi Talib, Abu Zubair, Abdulah bin Mas’ud, Muqatil bin Sulayman, al-Abbas bin Abdul Muthalib, dan Said bin Jabir. Sayangnya, al-Qurtubi sepertinya kurang mengelaborasi lebih jauh argumentasi kelompok pro-Ishaq.

Sedangkan di barisan kelompok pro-Ismail —yang berpandangan bahwa Ismail sebagai sosok pilihan Tuhan yang akan dikorbankan— terdapat nama-nama, diantaranya, Abu Tufail Amir bin Watsilah, Abu Huraira, Ibn 'Arabi, Ibn Kathir, al-Maududi, dan hampir semua orang Islam yang tiap tahun menyelenggarakan Iduladha. 

Jika boleh menduga, argumentasi kelompok pro-Ismail sangat mungkin demikian; jika narasi ayat-ayat di atas dibaca secara kronologis, maka ayat 100-112 menceritakan seorang anak yang akan disembelih. Siapa anak itu? Entahlah. Namun kelompok pro-Ismail sangat mungkin akan berkata; pastilah bukan Ishaq sebab dia baru disebut pada ayat 113. 

"Kan ya tidak masuk akal ada orang disembelih padahal ia belum dilahirkan?," --barangkali demikian afirmasi sederhananya. Maka, dengan afirmasi seperti inilah seluruh bangunan epistemologi pro-Ismail dalam Islam mendapat basis legitimasinya. Namun justru di titik ini, legitimasi tersebut, menurutku, tidaklah sesederhana.

MENYELIDIKI AFIRMASI

Ada hal yang membuatku penasaran kenapa Alquran terasa memilih "jalan lain," --dianggap condong memilih Ismail-- ketimbang narasi Perjanjian Lama yang diyakini Yahudi dan Kristen. Dua agama ini memang unik; bersekutu terkait siapa yang akan dikorbankan Ibrahim, namun dalam banyak aspek, Kristen justru terasa melakukan "pemberontakan," terhadap ajaran Yahudi melalui Perjanjian Baru-nya. 

Kenapa Kristen bisa rukun dengan Yahudi dalam soal Ishaq, seperti Jokowi dan Prabowo-Sandy dalam kabinet Indonesia sekarang? Sangat mungkin karena keduanya berkepentingan menjaga kemurnian garis keturunan Ibrahim dari Sarai ketimbang Hagar. Sarai dan keturunannya dianggap lebih mulia dan terhormat ketimbang Hagar yang hanya seorang budak --sungguh pun keduanya digauli dengan penis yang sama.

"Mbak, kalau aku baca ceritanya Hagar di Alkitab, betapa ia sangat terlunta-lunta. Dia ini budak yang dikondisikan minder dengan majikannya. Saat ia mulai memperoleh konfidensi karena sanggup memiliki anak Ismail. ia harus menerima penindasan dari Sarai sang majikan yang berkomplot dengan Abraham —bapak dari anaknya," kataku pada seorang kawan, pendeta perempuan. 

Hagar, tambahku, laksana“sudah jatuh tertimpa tangga pula,”Dia harus menerima kenyataan Tuhan yang ia cintai justru malah tampak bersekutu dengan Sarai-Abraham. Alih-alih menolong, El-Roi —nama Tuhannya Hagar-- justru meminta perempuan ini kembali ke keluarga Abraham, menerima dengan ikhlas penindasan dari Sarai, nyonyanya. Sungguh, betapa menakjubkannya El-Roi!

Penderitaan Hagar dan Ismail nampaknya belum reda, kataku. Pada saat akhirnya Ismail memiliki adik —Ishaq yang lahir dari rahim Sarai, lihatlah, betapa njomplangnya perlakukan Ibrahim terhadap keduanya. Persis seperti perlakukan Jakarta terhadap Jawa atas Papua. Abraham mengusir Hagar dan Ismail; agar Sarai dan Ishaq bisa hidup tenang bersamanya?

"Menurutku, peristiwa yang terjadi pada Hagar dan Ismail adalah salah satu cerita penindasan domestik berbasis kelas sosial dan gender. Namun yang semakin menggangguku, kenapa ya aku sangat jarang mendengar para pendeta menggunakan cerita ini dalam khotbahnya," kataku. Perasaan ini persis seperti yang aku alami saat menemukan fakta kurang terapresiasinya Yesus dalam komunitas Islam --sungguhpun Alquran menceritakan sosok ini melebihi hampir semua Nabi dan Rasul.

Dalam kasus Hagar dan Ismail. marilah kita bayangkan bagaimana kondisi psikologis keduanya --terutama Ismail. Anak kecil ini senyatanya telah dirawat dalam kurusetra domestik yang sungguh tidak sehat; menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya menganakemaskan Ishaq dan Sarai ketimbang memberikan perlakukan yang setara pada ia dan ibunya. 

Tak perlu gelar psikolog untuk bisa memahami Ismail akan selalu dikurung oleh perasaan marah, terbuang, tertindas, dan diselimuti kobaran kebencian yang meluap. Maka, benarlah adanya jika Perjanjian Lama mendefinisikan Ismail sebagai, "Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua 4 saudaranya,"

SARAI ENVY?

Aku merasa, jangan-jangan masih ada diantara kita yang terjebak Sarai Envy--sebuah kondisi psikologi seseorang yang secara tak sadar meminggirkan peran dan posisi orang atas dasar kecemburuan kelas sosial tertentu (majikan terhadap budaknya) seperti yang dialami Sarai. 

Bagi siapapun yang mengaku sebagai pewaris "keturunan," Ishaq, —baik secara biologis maupun ideologis— Sarai Envy adalah metode dan strategi yang sangat ampuh --sekaligus berbahaya-- untuk menjaga klaim kemurnian pewarisan tersebut. Sarai Envy akan menstimulasi siapapun untuk tidak rela menyaksikan Ismail dan followernya mendapatkan kesetaraan dan kesejajaran rasa hormat.

Itu sebabnya, menurutku, cerita Ishaq yang "terpilih," untuk dikorbankan dan juga disunat lebih bernuansa teologis ketimbang historis. Nuansa teologis tersebut sangat kuat beraroma bias Ishaq terhadap Ismail. 

Dalam imajinasiku, jika cerita ini terus dilanggengkan dengan semangat Sarai Envy maka Hagar dan Ismail —beserta ratusan juta pendukungnya— akan merasa semakin terpinggirkan. Jika ini terjadi, maka resistensi Ismail Cs. dalam menuntut balas akan semakin keras, salah satunya dengan cara melontarkan wacana tanding untuk "mengoreksi klaim telogis yang sudah mapan," terkait siapa yang sesungguhnya terpilih untuk dikorbankan oleh ayahnya saat itu. Aku kuatir dunia Islam-Kristen-Yahudi justru akan terasa tidak semakin membaik. 

TUHAN YANG MEMBAYAR HUTANG

Aku menduga kuat narasi Al-Quran, yang tidak secara tegas menyebut nama Ismail namun meletakkan kelahiran Ishaq dalam ayat lanjutan penyembelihan, sedang menantang kita agar terus berpikir ulang. Misalnya, seperti yang ada dalam pikiranku saat ini; apakah narasi Alquran ini bukan semacam gently reminder Tuhan bagi siapa saja yang pikirannya masih terjangkiti Sarai Envy secara akut. 

Peringatan lunak ini sekaligus bisa jadi merupakan upaya El-Roi "menebus kesalahannya" di masa lalu karena "membiarkan" Hagar dan Ismail hidup dalam ketatnya penindasan domestik kala itu.

Dengan menggunakan Alquran, Tuhan --jika kita meyakini Dia adalah sutradara yang sama dalam drama domestik Ibrahim-Ismail-Ishaq narasi Yahudi, Kristen dan Islam-- seperti sedang menuliskan lanjutan drama ini. Isinya, rekonsiliasi dan romantisme Ibrahim bersama Ismail -- putra yang pernah ia sengsarakan -- saat membangun tempat suci di Makkah (QS 2:124-129) maupun mensejajarkanya dalam galaksi para Nabi/Rasul. 

Pada saat yang bersamaan, sang sutradara ini juga meletakkan relasi Ishaq-Ismail dalam tensi yang jauh dari menenangkan --ketimbang di sekuel Perjanjian Lama. Kata "Ismail," disebut sekitar 12 kali dalam Alquran; enam kali disebut bersamaan dengan Ishaq (dan bapaknya) dalam posisi setara (QS.2:133, 136,140; QS.3:84, QS.4: 163), tiga kali disebut bersama nabi/rasul lain minus adik dan bapaknya (QS.6:86, QS.38:48, QS.21: 85), satu kali disebut sendirian (QS.19:54) dan bersama Ishaq (QS.14:39), serta dua kali disebut bersama bapaknya saat membangun Ka’bah (QS.2: 125,127)

Anda tahu berapa kali nama Ishaq disebut dalam Alquran? 17 kali! --lebih banyak dari Ismail. Dan tidak ada satu pun yang bermuatan konfrontatif; tidak terhadap ibunya, bapaknya, maupun tidak terhadap ibu tiri dan kakak tirinya. 

AKHIR: SIAPA YANG DIKORBANKAN?

Siapa yang (telah) akan dikorbankan oleh Abraham sudah sangat jelas di al-Quran; yakni anaknya! Kita bisa menetapkan pilihan; pro-Ishaq, pro-Ismail, atau netral. Semua pilihan tersebut tidak hanya ditopang banyak tokoh/sarjana Islam namun juga, di sisi lain, memiliki konsekuensi. Salah satunya, ketika pilihan tersebut tercampuri fanatisme maka dunia Islam-Kristen-Yahudi akan semakin gelap. Itu berarti, kita mungkin gagal mengambil hikmat dari drama domestik keluarga Abraham.(*)

--Daftar Bacaan--

1.Alkitab SABDA™, https://www.alkitab.sabda.org/home.php

2.MW Pickthall, The Glorious Qurʼan: Translation. TTQ, INC., 2001.

3.Means, E. G. "Genesis, and: Hagar and Sarai, and: Remembering Being Is Birth, and: Natality." Colorado Review 44.1 (2017): 140-145.

4.Tanzil - Quran Navigator, https://tanzil.net/, © 2007-2021 Tanzil Project

5.Ali, Abdullah Yusuf. English translation of the Holy Quran. Lushena Books, 2001.

6.https://www.englishtafsir.com/Quran/37/index.html#sdfootnote57sym

7.Al-Qurtubi, Abu Abdu Allah. (2003). Tafsir Al-Qurtubi Al-Jami’ li Ahkam Al- Qur’an (Al-Qurtubi's Interpretation of the Holy Quran). Riyadh: Dar Alam Al-kutub.

8.Afsar, Ayaz. "A Comparative Study of the Intended Sacrifice of Isaac/Ismail in the Bible and the Qur'ān." Islamic studies (2007): 483-498.

9.Sayyid Abul Ala Maududi - Tafhim al-Qur'an - The Meaning of the Qur'an, http://www.englishtafsir.com/

Tuesday, July 20, 2021

Ada Yesus dan Petrus dalam kata Id(ul) Adha dan Id(ul) Fitri


Seorang kawan, cewek lulusan Teologi UKDW yang jadi PNS di Kemenag, mengingatkanku; penulisan yang benar adalah "iduladha," atau "idulkurban," -- bukan "idul adha," atau "idul kurban,"

"Digabung ya, gus, tidak dipisah," tulisnya di wall FBku.

Aku merasa seperti penjual soto Lamongan yang sedang menerima order nasi dan kuah soto dicampur, dijadikan satu --padahal biasanya terpisah.

Aku tak hendak mendebatnya selain mengatakan aku masih menunggu penjelasan dari KBBI kenapa dua diksi tersebut harus digabung, padahal "biasanya," terpisah. 

"Mungkin KBBI tidak siap berpisah, takut LDR, Feb," kataku mencoba jenaka. 

Selama ini ku selalu mengartikan kata "id," dalam dua hari raya dengan kata "kembali,"; Idul Fitri berarti "Kembali ke fitrah penciptaan manusia," dan Idul Adha bermakna "Kembali berkorban,"

Namun siang ini, rasanya aku harus mengoreksi pemahamanku terkait kata "id," Kata ini menurutku lebih tepat diartikan sebagai "perayaan," atau "festival," 

Sebab secara historik, munculnya dua hari raya ini merupakan respon Islam awal (saat Nabi masih hidup) ketika hijrah ke Medina dan menyaksikan penduduk asli (komunitas Yahudi) merayakan dua perayaan. 

Sangat mungkin Nabi merasa perlu umat Islam memiliki hari raya sendiri dalam rangka memperkuat konsolidasi keimanan umat. Jika benar demikian, maka yang terjadi selanjutnya adalah cara kerja normati interrelasi kebudayaan;  amati, tiru dan modifikasi. Informasi seputar hal ini setidaknya terekam dalam Musnad Ibn Hanbal No.11595, 13058, 13210.


Id sebagai momentum bersuka cita juga dapat ditemui dalam Shahih al-Bukhari No. 3931.  Di hadits tersebut, Aisha menceritakan kenangannya bersama sang suami (Nabi Muhammad). 

Saat itu mereka berdua sedang menikmati alunan lagu yang dinyanyikan dua penyanyi perempuan, merayakan hari Bu'ath --pertempuran besar antara dua suku Yahudi Madinah; Aws dan Khazraj.

Saat keduanya asyik menikmati, datanglah Abu Bakar -- ayah Aisha yang sekaligus mertua Nabi. "Instrumen musik adalah setan," seru Abu Bakar sembari menatap dua penyanyi. 

Nabi menjawabnya dengan santai "Biarkan saja, Abu Bakar. Setiap bangsa memiliki perayaannya, dan hari ini adalah perayaan kita,"

Id dalam makna "hari raya/perayaan/festival," bahkan terekam dalam al-Quran. Dan yang mengagumkan, ayat tersebut merujuk pada perkataan Yesus kepada para muridNya (hawariyyun). 

قَالَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللهم رَبَّنَآ اَنْزِلْ عَلَيْنَا مَاۤىِٕدَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ تَكُوْنُ لَنَا عِيْدًا لِّاˆوَّلِنَا وَاٰخِرِنَا وَاٰيَةً مِّنْكَ وَارْزُقْنَا وَاَنْتَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ

Isa putera Maryam berdoa, "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau, beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama." (QS. Al-Maidah (5):114)

Terjemahan Inggris versi Yusuf Ali maupun Shahih International memberi arti kata " 'idan," dengan "festival," 

English - Sahih International:

"Said Jesus, the son of Mary, "O Allah, our Lord, send down to us a table [spread with food] from the heaven to be for us a festival for the first of us and the last of us and a sign from You. And provide for us, and You are the best of providers."

English - Yusuf Ali:

"Said Jesus the son of Mary: "O Allah our Lord! Send us from heaven a table set (with viands), that there may be for us - for the first and the last of us - a solemn festival and a sign from thee; and provide for our sustenance, for thou art the best Sustainer (of our needs)."

Oleh al-Quran, Yesus diceritakan mampu menghadirkan satu set meja hidangan, lengkap dengan aneka makanannya, dari Tuhan secara magis. Mungkin seperti para pesulap atau kisah-kisah keajaiban para Rasul dalam banyak kitab suci.

Yang menarik, Tafsir versi Kemenag RI, sebagaimana yang aku miliki, mencoba merelasikan ayat ini dengan "Doa Bapa Kami," dalam Matius 6:11 serta laparnya rasul Petrus dalam Kisah Para Rasul 10:9-12. 

Aku sempat tercenung sesaat; ini apa-apaan ya? Apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh kitab suciku?

Jika mau jujur, QS.5:114 memang tidak cukup gamblang menjelaskan; dalam konteks apa persisnya Yesus menghadirkan makanan bagi para muridNya. Jangan-jangan ayat ini tentang Perjamuan Akhir sebelum Yesus dikhianati dan akhirnya disalibkan. Entahlah.

Namun dalam jamuan akhir tersebut, aku hanya membayangkan bagaimana cara Yesus saat melayani para muridNya; Eh kamu, ya kamu... Sotonya dipisah atau campur? (*)

Wednesday, May 26, 2021

SAAT KELAS KAMI MEMBAHAS PENYALIBAN DAN KENAIKAN

Bagaimana respon mahasiswa Kristen kelas Religion Ciputra saat mengetahui lebih dalam sikap Islam mainstream seputar kenaikan dan penyaliban Yesus?

Serta, bagaimana respon teman mereka yang Islam ketika tahu AlQurannya terasa affirmatif atas kematian a la trinitarian?
**
Hari-hari menjelang berakhirnya semester ini, aku mengajak kelas Religionku berefleksi minggu lalu. Refleksinya seputar bertemunya dua perayaan suci islam-Kristen; Idul Fitri dan Kenaikan Yesus. Lebih dari 85 persen penghuni kelas kami adalah pengikut Yesus, baik Katolik maupun Protestan.

"Gimana ibadahmu saat perayaan Kenaikan? Apa yang disampaikan pendetamu?" tanyaku pada salah satu mahasiswa.
"Nggak tahu pak, saya nggak ke gereja," katanya pendek.

Rupanya ia bukanlah satu-satunya yang tidak ke gereja. Masih ada beberapa yang lain. Namun sebagian mahasiswa tetap beribadah, baik online maupun offline.

Aku undang beberapa dari mereka menjelaskan linimasa, setidaknya dimulai dari Jumat Agung, Paskah dan Kenaikan Yesus. Satu per satu mereka saling menambahi dan melengkapi.

"Setahumu saja. Kalau nggak tahu ya ndak apa-apa. Jangan merasa bersalah apalagi berdosa," timpalku saat ada mahasiswa/i Kristen yang terasa kurang percaya diri menjelaskan.

Di kelas, aku memang membiasakan; salah dan tidak sempurna adalah manusiawi. Termasuk dalam hal ini, memahami agama.

Aku selanjutnya meminta Aldy, satu dari dua mahasiwa Islam di kelasku, menjelaskan apa yang ia ketahui tentang kenaikan Yesus.

Seperti yang aku duga, ia memaparkan cara pandang normatif bagaimana Isa dinaikkan Tuhan. Yang mengagetkanku, ia menyisipkan interpretasinya seputar penyaliban yang agak mengafirmasi model trinitarian.

"Saya bisa memahami kok, gus, cara pandang teman-teman Kristen seputar penyaliban. Menurut saya itu memperkaya penafsiran," katanya.

Kenaikan dan penyaliban memang satu paket. Tidak hanya dalam kristologi Kristen namun juga Islam. Bedanya, kenaikan dalam Islam terasa seperti sebuah skenario agar Yesus/Isa tidak disalib.

"Kenapa orang Islam tidak bisa menerima kenyataan Isa disalib? Simpel jawabnya. Kami tidak bisa membiarkan kekasih Tuhan dipermalukan, sungguhpun kejadiannya adalah nyata," ujarku.

Selanjutnya aku menjelaskan lebih dalam mengenai soal ini. Tujuanku, bukan mengajak trinitarian supaya berpindah keyakinan, atau, ingin mengobarkan debat kusir a la Zakir Naik. Sama sekali tidak.

Dalam soal penyaliban, aku mengibaratkan ada dua anak yang sama-sama mencintai ayahnya dengan cara yang berbeda, termasuk dalam hal bagaimana ia mati dan naik ke langit.

"Tanpa mengetahui apa yang dirasakan orang lain, mustahil kita bisa memahami, mustahil kita bisa mengasihi secara tulus," ujarku berusaha menyampaikan motifku.

Kelas hening mendengarkanku berbusa-busa menjelaskan. Hening karena mendengarkan atau ditinggal tidur -- semua mic dan kamera mereka dalam posisi off. Aku sangat ingin mengetahui respon mereka. Di sisi lain aku tidak dapat memaksa mereka berbicara, open mic dan cam.

"Ok, sekarang begini, aku beri kalian waktu 14 menit untuk menulis feed back atas penjelasanku. Sekitar 2-3 paragraf. Uploadlah di Moodle sebagai bukti kalian masuk kelas," kataku, menggunakan jurus saktiku untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran mereka.

Jika biasanya aku meminta salah satu mahasiswa memimpin doa penutup kelas, khusus pada hari itu, aku sendiri yang memimpin.

".....Gusti, senantiasa berilah kami hikmat untuk belajar mengetahui dan memahami apa yang berbeda dengan kami. Kami percaya, hanya dengan cara ini kami berharap bisa semakin teguh dalam keimanan kami. Rabbana atina fiddunya hasanah wa filakhirati hasanah..."

Kelas semakin hening sebelum akhirnya...bubar. (*)


--------


Lampiran respon para mahasiswa atas penyaliban dan kenaiakan Yesus versi Islam.


JGW: Menurut saya Kristologi Islam merupakan bukti bahwa agama Kristen dan Islam memiliki kemiripan. Kemiripan ini tidak seharusnya menjadi alasan untuk bermusuhan, melainkan alasan untuk saling menjaga dan melindungi arena kemiripan bukan sesuatu yang buruk. 
---------

FP: Berdasarkan pendengaran saya mengenai proses kenaikan Kristus dalam agama Islam yang dijelaskan oleh pak aan. Islam dan kristen memiliki pemikiran yang berbeda mengenai proses kenaikan Tuhan Yesus, dimana di Kristen, Yesus mati di kayu salib, mati, turun kedalam kerajaan maut, lalu bangkit dari kematian 3 hari kemudian, memberitakan injil dan pengajaran tentang Kristen kepada murdi-muridnya dan diangkat ke surga setelah 40 hari dihadapan semua bangsa.

Sementara di Islam, dijelaskan bahwa Yesus tidak mati di kayu salib melainkan orang lain yg di salibkan (Yudas/Simon) karena Yesus memiliki tubuh yang ilahi jadi tidak dapat merasakan sakit, dan Yesus adalah kekasih Allah jadi tidak mungkin Ia disalibkan karena proses penyaliban itu sendiri adalah sesuatu yang hina, sedangkan nabi itu tidak boleh hina.

Perbedaan pandangan ini sendiri juga memiliki sejarahnya masing-masing dimana mereka beradu mana yang lebih benar. Karena trinitas yang menang saat itu, mereka yang tidak mendukung atau menyetujui agama yang tentunya pengikutnya sangat banyak ini berpindah ke daerah arab, dimana banyak ajaran-ajaran menyesatkan tumbuh disana.

Menurut saya sendiri, seperti yang pak aan juga sudah smapaikan, sebenarnya dalam Islam itu mereka seperti ibu yang tidak ingin menyampaikan kebenarannya secara gamblang kepada anaknya mengenai kematian bapaknya. Jadi, dalam Islam itu seperti yang sudah saya sebutkan juga tadi, mereka itu tidak ingin nabi yang dikasihi Tuhan itu terlihat hina karena proses penyaliban itu, oleh sebab itu muncullah ajaran-ajaran yang lumayan tidak benar keadaannya. 
 ----------------

KEV: Masalah penyaliban, kematian dan kebangkitan Yesus (Isa) ditolak oleh sebagian besar (tidak semua) Muslim, tetapi mirip dengan orang-orang Kristen yang mereka percaya bahwa Yesus akan kembali sebelum hari Akhir. Kebanyakan Muslim percaya bahwa Yesus tidak disalib, tetapi diangkat tubuhnya ke surga oleh Allah.Dasar dari semua keyakinan ini adalah interpretasi dari ayat ini dalam Al-Qur'an Sebagian besar tradisi Islam, kecuali beberapa, secara kategoris menyangkal bahwa Yesus meninggal secara fisik, baik di kayu salib atau cara lain.

Pendapat tersebut ditemukan dalam tradisi Islam sendiri, dengan laporan Hadis paling awal yang mengutip para sahabat Muhammad yang menyatakan bahwa Yesus telah meninggal, sementara sebagian besar Hadis dan Tafsir berikutnya telah mengemukakan sebuah argumen yang mendukung penyangkalan tersebut melalui eksegesis dan apologetika, menjadi populer. (Ortodoks). 
------------------

FS: Berdasarkan hasil diskusi hari ini serta pencarian saya di internet mengenai kenaikan Isa Al Masih dalam pandangan Islam, saya memperoleh sejumlah pengetahuan baru. Yang pertama yakni terkait teori, dimana menurut pandangan Islam, setelah Isa Almasih (Yesus Kristus) lolos dari rencana pembunuhan oleh orang-orang Yahudi, Ia diangkat ke langit dan masih hidup hingga saat ini, kemudian akan turun kembali menjelang hari Penghakiman dan bertugas selama 40 tahun untuk menegakkan kebenaran ajaran Allah serta meluruskan berita Injil Kerajaan Sorga yang pernah diajarkannya. Dengan kata lain, adanya kepercayaan bahwa proses penyaliban itu tidak ada.

Lain halnya dengan ajaran kristen, yang menceritakan adanya proses penyaliban, hingga Yesus mati, bangkit, dan menemui murid-muridnya selama 40 hari. Kemudian, Yesus terangkat ke sorga dan akan kembali ke bumi dengan cara yang sama seperti naiknya. Jika, diperhatikan dengan seksama, terdapat kesamaan pandangan antara Islam dan Kekristenan perihal diangkatnya Isa ke langit (sorga), kemudian turunnya kembali ke bumi menjelang hari kiamat nanti. Namun, yang menjadi faktor pembeda adalah mengenai kisah apakah Yesus telah atau belum mati saat proses pengangkatan. Hal ini juga masih menjadi pertanyaan dalam diri saya, tapi saya tetap menghargai apa yang telah diajarkan dalam --------


HJ: Menurut ajaran Kristen, kematian Tuhan Yesus dengan cara disiksa lalu disalibkan. Ini mungkin bisa menjadi salah satu pembeda dibandingkan ajaran agama lain. Mungkin ini dapat membuat para pemeluk agama mereka tenang dan dapat merasakan perasaan Tuhan pada saat itu. Tapi bagi saya, saya lebih percaya bahwa Tuhan Yesus mati itu dengan cara disiksa dulu. Lalu Ia disalibkan, ini bertujuan agar kita umat manusia dibebaskan oleh dosa yang telah mereka telah perbuat selama ini ---- MC: Kematian/kebangkitan Yesus artinya sama tetapi yang membedakan adalah pemahaman atau persepsi dari umatnya. Ada yang mengartikan ini sebagai kematian yang membuat umatnya tenang karena Ia sudah tidak merasakan apa” lagi ada juga yang mempunyai pemahaman lain. Tapi yang saya tahu bahwa Kematian dan Kebangkitan Tuhan Yesus adalah tanda Tuhan mengasihi umatnya dengan Ia rela mati menebus dosa” umatnya.
 ---------

RAR: Kaget karena ada ayat mengenai kematian Nabi Isa di dalam Alquran. Apalagi ayatnya juga kontradiksi dengan Surat An-Nisa ayat 157-159. Tetapi ada suatu ayat dimana Nabi Isa itu sendiri itu akan meninggal dan akan dibangkitkan kembali lalu naik menuju ke langit. Yaitu di Surat Maryam ayat 33. "Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali".

Saya yang awalnya ragu karena didoktrin seperti itu, akhirnya semakin yakin dengan apa yang aku percayai sejak MTs, karena saya percaya bahwa mukjizat dari Tuhan itu tidak ada batasnya. Lalu kenaikannya dalam versi Kristen jauh lebih wah dan bisa dibilang sebagai mukjizat daripada versi yang didoktrinkan Islam kebanyakan. Yang terdengar seolah Tuhan memiliki kelemahan bahwa Tuhan tidak bisa membangkitkan manusia yang dikasihinya.

Saya kagetnya itu bahwa di Alquran itu ada ayat yang saling menopang satu sama lain mengenai apa yang kupercayai sejak MTs karena saya percaya bahwa bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Sehingga, perlu dliakukan pengajaran selain yang diajarkan oleh agama Islam pada umumnya. Supaya lebih mudah memahami bahwa perbedaan itu adalah hal yang wajar. 
-----------

IRE: Pendapat saya mengenai kenaikan Tuhan Yesus dalam sisi agama Kristen dan islam yang diumpamakan seperti seorang Ibu yang akhirnya tidak mengatakan kebenaran akan meninggalnya ayah mereka dengan mengenaskan kepada anaknya yang masih kecil, dan munculnya seorang saudara yang langsung salah paham dan menyatakan bahwa ibu ini tidak dapat menerima kematian suaminya adalah sebagai berikut.

Saya merasa bahwa tindakan yang benar adalah mengatakan kepada anak tersebut bahwa Ayah mereka sudah meninggal. Namun cara penyampaian haruslah dengan kebenaran itu sendiri, bahwa Ayah mereka sudah berpulang ke pangkuan Bapa yang di Sorga. Kita tidak perlu berlarut dalam duka karna di Rumah Bapa tidak ada penyesalan, tidak ada sakit dan penderitaan.

Sang anak yang sedari awal mengetahui kebenaran tersebut akan menerima seiring berjalannya waktu. Daripada diberi harapan kosong dan ketika Ia sudah besar nanti baru mengetahui kebenaran yang menyakitkan dan merasa terkhianati karena telah dibohongi oleh Ibunya sendiri.

Saya memiliki pemikiran bahwa sebenarnya justru anak kecil pasti tidak mengerti meninggal itu seperti apa dan lainnya karena mereka masih polos. Membohongi anak tersebut dengan pemikiran agar anak tersebut tidak terluka adalah sebuah pemikiran yang egois dan tidak dewasa. Justru dengan ketidak jujuran tersebut bisa jadi anaknya jadi meragukan semua perkataan Ibunya yang adalah kebenaran. Hanya karna satu kebohongan, rasa percaya anak terhadap Ibunya bisa hilang. 
--------

YDS: Kematian/Kebangkitan Tuhan Yesus memiliki cerita yang berbeda dalam versi islam dan kristen, meskipun kebenarnya dari kedua cerita tidak dapat 100% di konfirmasi , banyak yang percaya bawah kebenaranya adalah Yesus mati di salib. Dari sini mungkin versi yang lainya adalah untuk “meringankan”cerita agar kebanyakan orang dapat merasakan ketenangan atas kematian Yesus , bahkan ada yang bilang Yesus tidak bisa merasakan penderitaan dan lain-lain. Namun saya percaya bawah Tuhan Yesus mati mendertia untuk penebusan dosa manusia, dan penderitaan adalah bagian dari pengorbanannya. 
-------

Featured Post

Janji Pengharaman Jual Beli Jabatan WarSa, Hanya Gimmick?

Kita patut mengapresiasi pasangan WarSa, yang berani berkomitmen menolak --bahkan mengharamkan-- jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Jomb...