Pages

Wednesday, April 19, 2017

Lovely Cecilia: Tarik Ulur Kristen-Islam

Ini adalah foto anakku Cecilia bersama tantenya. Saat SD, setahuku sangat mungkin ia adalah satu-satu siswi di kelasnya  yang memanggul nama panggilan tidak islami; Cecil. Ia sekolah di SD Islam sesuai arahan bunda tercintanya.

Saat dalam kandungan, kami --aku dan pasanganku-- sepakat urunan nama untuknya. Aku awalnya menimang Abigail sebagai nama yang ingin aku sematkan padanya. Namun belakangan aku memilih Cecilia karena terdengar dan tertulis lebih sexy. *halah

Sedangkan bundanya memilih Vraza karena terinspirasi nama butik --entahlah. Ia waktu itu juga tidak tahu artinya. "Nggak ngerti, Mas, sing penting itu terasa indah menurutku," ujarnya.

Aku pun tak hendak mendebatnya.

Maka, jadilah anak sulungku bernama Vraza Cecilia --tanpa kami tahu apa arti sesungguhnya.

Saat ia berusia beberapa bulan, ia kami bawa ke Gresik, kampung bundanya. Semua menyambut gembira dengan kehadiran Cecil. Namun gumaman miring dari keluarga Gresik kami dengar setelah mereka tahu namanya. "Lha kok jenenge koyok wong Kristen gitu? Apa nggak sekalian ditambahi Mississipi Arizona?" kata salah satu keluarga dengan nada guyon. Kami pun tertawa sambil berargumentasi ringan.

Perlu diketahui, pasanganku lahir dari keluarga yang bisa dikatakan suangat santri. Ayahnya kiai kampung yang sangat keras mendidik warga dengan hukum islam yang ketat. Ia semakin disegani karena kemampuannya di bidang falak (astronomi). Ayahnya adalah penentu kapan orang sekampung bisa memulai dan mengakhiri puasa Ramadlan. Anda tahu, konon, almarhum mertuaku itu bisa meramalkan kapan sehelai daun akan jatuh dari pohonnya. Aku tahu karena beberapa penduduk di sana menyatakan demikian. "Hebat benar bapak mertuaku ini," gumamku.

Dengan seluruh kemampuan dan pengalaman yang ia miliki, maka bapak mertuaku itu sangat selektif memilih jodoh untuk putri2nya. Kriteria utamanya, tentu harus berpenampilan santri!

Itu sebabnya ia cukup kaget anak bungsunya membawaku ke rumah setelah kami 4 tahun pacaran, dan berani mengatakan 'Pak, iki Aan, koncoku" kata istriku. Ingatnya, dalam tradisi sana, jika ada laki-laki yang berani datang ke rumah itu artinya harus siap dikawinkan.

Almarhum mengecekku dari atas hingga bawah, tanpa berbicara sedikit pun. Aku tahu, ia tak suka denganku. Maksudnya, ia semacam tak rela bungsu yang ia sangat sayangi jatuh ke tangan laki-laki yang tidak ada sedikitpun jejak kesantrian menempel di tubuh. Apalagi berambut agak gondrong dengan jari kaki --salah satunya-- bercincin.

Kembali ke Cecil anakku. Kami merasa keluarga besar ingin nama Cecil diganti yang lebih islami, tapi kami enggan. Akhirnya jalan tengah diambil; namanya harus ditambahi dengan diksi islam. Kamipun mempertimbangkan itu dan menerima.

Akhirnya Cecil kami bawa ke Kauman Mojoagung -- menemui ibuku. Ia sangat bersuka cita dengan cucu pertamanya. Amiroh meminta agar mertuanya bisa menambahkan nama untuk cucunya itu --setelah kami menceritakan peristiwa di Gresik.

Ibuku tentu senang dan berjanji akan mencarikannya. Sedikit catatan, almarhum ibuku sering dimintai nama bayi oleh banyak orang. Relasi sosialnya cukup bagus mengingat ia adalah pedagang di pasar Mojoagung sejak lama. Puluhan tahun. Pendek kata, tak ada penghuni  pasar yang tak kenal "Kaji Alfiyah".

"Tambahono Aida Zamzama, nduk. Kayaknya pas," katanya kepada pasanganku. Amiroh pun setuju. Maka jadilah anak sulungku bernama Vraza Cecilia Aida Zamzama.

Ia kini tumbuh dewasa. Mungkin suatu saat aku akan menjalani laku sebagaimana bapak mertuaku dulu; mengecek setiap laki-laki yang ngepoin anak gadisnya.

Saturday, April 15, 2017

Jalan Salib --dari Tebuireng ke GKJW

Begitu mendapat undangan prosesi arakan salib Paskah di GKJW Jombang, aku langsung mencatat tanggalnya di kalender, Sabtu (15/4). Selama ini aku tak pernah melihat secara langsung bagaimana episode penting Yesus di Bukit Golgota. Paling-paling hanya bisa menyaksikannya melalui koran, internet atau saat film Passion of Christ-nya Mel Gibson diputar.

Itu sebabnya, aku sudah berencana memenggal kuliahku yang memang merendeng dari jam 8.30 - 16.00 hari ini. Memang berat mengkompromikan jadwal nonton prosesi dengan kewajiban masuk kelas --apalagi hari ini dimulainya matakuliah baru 'Filsafat Hukum Keluarga Islam'.

Tuhan ternyata masih berpihak padaku. Matakuliah Dr. Miftah diakhiri jam 15.30 setelah lelaki asal Lamongan ini menutupnya dengan membagi tugas presentasi.

"Antum coba bikin presentasi gegerannya Imam Ghazali vs Ibnu Rusyd ya. Dan jangan lupa menautkan implikasi filosofisnya terhadap formasi sistem hukum keluarga Islam," ujarnya sembari menunjuk kepadaku.

"Matek!" aku merutuk dalam hati. Namun demi percepatan bubarnya kelas maka aku iyain saja.

Segera aku memacu Shogun bututku ke arah kota, menjauhi Tebuireng, kampus Sabtu-Mingguku.

Aku tak mau kehilangan moment bersejarah ini. Bagi GKJW Jombang --gereja tempat banyak temanku berproses-- prosesi Paskah ini adalah yang pertama kalinya sejak gereja ini didirikan. Kalian tahu berapa usianya? 95 tahun! Dan baru kali ini mereka punya keberanian melakukan arakan.

Mereka selalu diliputi kecemasan antara menggelar atau tidak. Dan kecemasan itu telah menyandera mereka selama 94 tahun hingga hari ini.

Seperti aku duga, polisi telah berjaga-jaga menutup akses ke jalan Adityawarwan dari pertigaan Kartini. Ada beberapa tentara dan tentu saja cukup banyak intel berseliweran. Dari mana aku tahu mereka intel? Aku punya radar untuk itu:).

Segera aku hubungi kawanku di Jawa Pos agar meliput momentum bersejarah ini. Aku memang tak pernah mampu membayangkan arakan salib bisa dihelat di Kota Santri ini, apalagi ditengah mengamuknya badai intoleransi Pilkada Jakarta. Sungguh.

Bersyukur aku bisa menyaksikan dari awal hingga "Yesus" diturunkan dan acara bubar. Kalian tahu siapa yang berperan jadi Yesusnya? Dia adalah Nanda, calon pendeta yang tengah vikar di gereja tersebut. Nanda adalah pengisi Ngaji Gus Dur putaran III. Saat itu ia mempresentasikan skripsinya tentang Gus Dur dan pluralisme.

"Cuk, ternyata kamu to yang tadi disalib," sapaku tertawa saat usai acara dan ia menghampiriku yang sedang makan soto dengan Pendeta Chrysta Andrea --senior di GKJW.

Nanda hanya cengengas-cengenges saja, "Suwun rawuhipun, Gus".

Rasanya hanya aku saja undangan yang datang dari Muslim, tidak termasuk aparat keamanan yang menjaga prosesi itu.

Memang ada banyak perempuan berkerudung sebagaimana tampak di foto. Namun mereka bukanlah muslimah, melainkan jemaat perempuam GKJW yang tengah berbusana dalam konteks zaman Yesus hidup.

Sepanjang pengetahuanku, wafat atau tidaknya Yesus/Isa merupakan polemik yang tak berkesudahan. Ada banyak teori tentang kematian sosok penting bagi umat Kristiani. Jangankan antara Kristen dan Islam, di internal Islam sendiri saja belum ada kata sepakat. Para penafsir al-Quran yang hidup ratusan/ribuan tahun pasca Yesus masih bersitegang mengartikan diksi 'mutawaffika' di Surah Maryam. Beginilah jika aspek historis dan teologis diaduk-aduk tak karuan. Rumit.

Aku sendiri pernah menulis artikel pendek menyangkut misteri penyaliban Yesus dari perspektif Islam, judulnya "Kematian Berkabut; Refleksi Personal Menghormat Paskah". Anda mungkin akan menemukan sesuatu yang sangat mungkin tidak diajarkan selama anda di SD hingga kuliah di institusi Islam, termasuk di pesantren.

Aku benar-benar menikmati perayaan ini, sebagaimana aku larut bersama ratusan warga Hindu Senduro di kaki Gunung Semeru saat pawai ogoh-ogoh kemarin. Aku benar-benar merasakan bagaimana menjadi minoritas di tengah lautan manusia ---seberapa sering kita mendapat pengalaman seperti ini?

Maka, segera aku kirim impresi ke kawanku yang menjadi jurnalis, melalui whatsapp, "Sebagai umat Islam, aku mengapresiasi perayaan keagamaan ini, sebagaimana aku mengapresiasi perayaan Maulid, Nyepi, atau yg lain. Perayaan ini sekaligus makin mengokohkan Jombang sebagai Kota Santri sekaligus Kota Toleransi,"

Semoga beritanya bisa kalian nikmati di Radar Jombang Jawa Pos esok pagi, Minggu.

Happy Easter, fellas!

Saturday, April 8, 2017

Timun & Sindrom-Iri-Vagina (2)

Pak Tar ternyata sibuk melayani pembeli. Aku sendiri sudah cukup lama nongkrong di warung kopi itu. Saatnya membeli lombok dan telur --pesanan pasanganku-- ke pasar sebelah.

Sosok 'kejantanan egois' Pak Tar, mengingatkanku pada curhat colongan seorang teman aktifis saat kami ngobrol 8 tahun lalu, bersama banyak kawan. Ia ada di friend lists FBku.

"Dari 10 kali hubungan seksual dengan suamiku, aku hanya 'nyampe' sekali saja," katanya dengan derai tawa.

'Nyampek' adalah istilah lain dari 'mendapatkan kenikmatan seksual', istilah teknis operasionalnya, o-r-g-a-s-m-e.

Saat memfasilitasi workshop penarasian memori beberapa waktu lalu, aku juga iseng melontarkan pertanyaan yang di forum --pesertanya laki-laki dan perempuan. Seingatku ada dua perempuan yang menjawab.

'Kalau aku hanya 2-3, pak" kata Sita --bukan nama sebenarnya.

'Nek aku yo podo pak. Biasane bojoku nek "wis" yo langsung ngorok,' Detta menimpali. Juga nama samaran.

Harus diakui, laki-laki sangat dimanjakan oleh berbagai instrument sosial, lebih-lebih keagamaan, untuk bebas berkehendak di atas ranjang. Tentu saja ada konsep egaliter dalam al-Quranemyangkut relasi suami-istri, misalnya, wa'asyiruhunna bi al-ma'ruf (menggauli istri dengan baik) dan/atau hunna libasu al-lakum wa antum libasu al-lahun (istri adalah pakaian suami, pun sebaliknya).

Namun, terdapat teks Quranik benderang yang kerap menjadi basis legitimasi kesewenangan laki-laki atas pasangannya, misalnya saja, nisaukum khartsu al-lakum fa'tu khartsakum anna syi'tum --pasanganmu adalah ladangmu, maka datangilah ia dengan cara yang kamu suka.

Mungkin itu sebabnya, bagi laki-laki yang suka bergaya "aneh" di atas ranjang tanpa peduli consent pasangannya, kerap akan menggunakan jurus domestic-confidentiality untuk berkelit.

Dari sini, apakah Anda sudah paham dengan istilah 'consent' dan "domestic-confidentiality"? Jika belum, aku akan jelaskan.

Consent itu penerimaan yang didasarkan atas kepahaman akan dampak maupun resikonya. Masih belum paham? Kira-kira begini contohnya; "Mama, aku pengen WOT. Konsekuensinya, lututmu mungkin akan lebih mudah capek lututmu tapi bla...bla...bla... Gimana, boleh?"
Kalau istrimu ok, ya lanjut.

Sedangkan confidentiality-domestic adalah kerahasiaan keluarga. 'Awas lho ya, jangan diomongin ke tetangga  kalau aku habis mukul kamu. Ini aib, Ma, aib...." Kira-kira seperti itu contohnya.

Aku tidak sempat menanyai Pak Tar, berapa banyak gaya bercinta yang ia praktekkan. Itu sangat ditentukan oleh sejauhmana ia mengakses pengetahuan tentang itu. Jika ia membiarkanku 5 menit saja bersama gadgetnya, aku bisa tahu sedekat apa seseorang dengan pornografi; cek recent history browser, lihat folder gallery, dan masih ada trik lainnya. Sayangnya, Pak Tar tidak memakai smartphone.

Pak Tar mungkin akan sangat kecewa jika tahu memaksa pasangan (istri) berhubungan intim merupakan tindak pidana, menurut UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pak Tar bisa jadi terkaget-kaget melihat betapa panasnya perdebatan legislatif atas UU a quo kala itu. Kabarnya, pernah ada anggota DPR yang mencak-mencak, "Ini negara model apa kok mau ngurusin ranjang seseorang!"

Mungkin legislator tersebut merasa terhina saat negara memasang 'cctv' di kamarnya untuk mengetahui apakah ada penindasan di atas kasur atau tidak. Ia sangat mungkin tidak sendirian karena bisa jadi puluhan juta laki-laki sepakat dengannya --tak rela kejantanan yang didedahkan dengan cara sewenang-wenang berujung pidana.

Saat polemik RUU tersebut mencuat, saya teringat, SCTV menggelar diskusi terbuka. Rosiana Silalahi sebagai hostnya, jika memoriku tak tergerus. Ada perempuan didatangkan ke acara itu dan ia berbicara di balik korden hitam.

Perempuan itu menceritakan pengalamannya. Setiap kali ingin berhubungan intim, suaminya selalu merebus timun terlebih dahulu, sejam sebelum ML. Besarnya kira2 seukuran timun yg sekilo isi tiga biji.  Setelah agak kenyal, timun itu didiamkan ke dalam air dingin beberapa menit, lalu dipasangi kondom.
"Trus gimana, bu?" tanya Rosi.
"Yaaa 'itunya' bapak masuk ke anu saya, timunnya masuk ke dubur," jawabnya enteng.
"Nggak sakit?' Rosi menimpali agak begidik
" Ya sakit sekali. Lebih dari sepuluh tahun seperti itu, Mbak"

Menurut perempuan tersebut, ia mau melakukan itu karena tugas istri adalah membahagiakan suami, meski sakit. "Nanti kalau nggak dituruti dan cari perempuan lain,

Aku miris sekali menyaksikan tayangan itu, sembari berfikir apa yang sebenarnya ada dalam benak suaminya. Is it love? Hatred? Or just one of symptoms of vagina-envy-syndrome?

Percayalah padaku, ada ribuan perempuan yang masih tersandera di ranjang suaminya. Jika tidak percaya, silahkan cek di Komnas Perempuan. Datanya melimpah ruah Cukup untuk membuat kita, para lelaki, berhenti semena-mena.

Aku kembali ingat Pak Tar. Besok pagi kami satu forum lagi di warkop pasar pithik.

Friday, April 7, 2017

Jeruk & Sindrom-Iri-Vagina

Lihatlah keranjang dengan tumpukan jeruk di atasnya. Itu adalah lapak milik Pak Tar, lelaki yang ada di depan saya saat cerita ini aku tulis. Ia bisa katakan salah satu jamaah kopi pagi di mana aku adalah anggotanya.

Pak Tar menurutku sangat cerdas, terutama ketika membaca pasar. Saat pepaya lagi booming, ia menggelar buah itu beberapa hari di lapaknya, sampai datang musim buah lain. Ingatan saya, selain pepaya dan jeruk, ia paling sering menjual pisang. Jika musim durian berlangsung, ia segera merotasi dagangannnya.

Saat pasar buah sedang letih bercampur lesu, ia mengambil 'sabbatical day' dengan cara ikut menjadi buruh bangunan di proyek perumahan milik developer atau individual.

Itu sebabnya, ia hampir tak pernah kesulitan dengan ketersedian uang. Pernah ia mengatakan, paling sedikit ia bisa mengumpulkan minimal 200 ribu dari jualan minimalis seperti itu. Kalikan angka itu dalam 20 hari, dan bandingkanlah dengan penghasilan kalian selama sebulan.

Aku meyakini penghasilan trtsebut menjadi faktor kunci konfidensi Pak Tar dalam berelasi, termasuk dengan pasangannya.

Dengan gayanya yang ceplas-ceplos terbuka, baru saja ia menceritakan sekelumit kehidupan seksualnya di hadapan kami, para jamaah pasar pitik.

"Aku menetapkan undang-undang pada istriku," ujarnya dengan suara menggelegar. "Setiap malam, istriku wajib menawariku berhubungam seksual, nggak peduli aku butuh atau tidak. Pokoknya harus ditawari," tambah laki-laki berkulit gelap ini.

Penawaran tersebut, menurutnya, harus disuarakan dalam keadaan telanjang. Pak Tar juga menerapkan prosedur ketat bagaimana mereka saat tidur. "Nggak boleh pakai underwear! Awas kalau ketahuan pakai celana dalam, aku gunting," ia tegas.

Iseng aku nanya bagaimana kalau istrinya capek atau sedang tidak berhasrat. Pak Tar langsung menimpaliku bahwa tugas istri adalah melayani, membuat suami puas di ranjang. "Mana berani ia melawanku? Apa dia ingin aku cari perempuan lain?" ia terkekeh-kekeh.

Memoriku langsung menggulung ke belakang, melacaki teks-teks keagamaan yang berpotensi menjadi basis argumentasi Pak Tar. Aku tentu saja tanpa kesulitan menemukan beberapa.

Dalam pandanganku, teks-teks keagamaan Islam --sepanjang menyangkut urusan persenggamaan masih terlalu berpihak kepada laki-laki. Kenikmatan derit kasur sangat kurang terkonsentrasi melayani syahwat perempuan. Entah kenapa, namun aku curiga teks-teks bernada demikian disusun dengan nalar yang mengidap semacam sindromada. Aku menamainya sindrom-iri-vagina --aku belum gugling apakah istilah ini sudah ada secara akademik.

Sindrom ini menggambarkan kecemburuan laki-laki yang rata-rata mengalami ejakulasi lebih cepat dibanding perempuan. Laki-laki terobsesi itu, ingin memilikinya, namun tidak cukup punya kemampuan mengetahuinya caranya.

Keirian ini selanjutnya menggumpal dan mendorong praktek dekstruktif terhadap obyek yang di-iri-i. Kalian paham dengan penjelasanku? Aku pakai analogi begini saja, jika ada warung yang menjual dagangan persis sama dengan milik kalian, dan ternyata jauh lebih ramai pengunjungnya, apa yang akan kalian lakukan? Jika pilihan kalian adalah melakukan sabotase atasnya --alih2 mencontoh praktek bisnisnya-- maka, begitulah kira  sindrom-iri-vagina itu.

Namanya juga iri hati, pengidapnya kerap tidak mampu mengendalikan  obsesinya. Setiap hari ia mengalami kedukaan mahahebat, meratapi 'kekurangan'nya itu. Dan pada akhirnya membuat serangkaian 'ajaran' untuk diterapkan.

Aku menduga sunat kepada perempuan adalah bagian reflektif atas sindrome itu. Perempuan dicurigai memiliki kadar syahwati berlebihan, yang oleh karenanya perlu "normalisasi". Caranya, ya dilukai organ reproduksinya, agar tidak binal. Dan masih ada ajaran-ajaran lainnya.

Agar ajaran ini langgeng, maka ia kemudian distempel dengan klaim agama dan membangun argumentasi sektoral-akademik untuk menjustifikasinya. I presume.

Kembali ke Pak Tar, ternyata ia sudah tidak di tempatnya saat aku menyelesaikan tulisan ini.

Saturday, March 25, 2017

Pluralisme Sarung dan Celana Pendek

Untuk kesekian kalinya saya menghadiri diskusi bedah film yang diselenggarakan Staramuda, sekitar dua minggu lalu. Kali ini film besutan Ari Sihasale, Di Timur Matahari, yang mendapat giliran.

Jika biasanya penyelenggaraan diskusi berada di tengah kota, kali ini cukup jauh bergeser. Yakni mengambil posisi di Kepanditan Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno. Jaraknya sekitar 17 km dari pusat kota Jombang.

Mojowarno ini eksotik secara historis. Setelah 'ditaklukkan' oleh Ditrotuno (Kyai Abisai) -murid Coolen- sekitar akhir 1843, wilayah yang awalnya hutan lebat bernama Dagangan ini menjadi milestone penting dalam penyebaran kristen bumiputra di Jawa Timur.

Di Mojowarno inilah proses rekonsiliasi Kristen Jawa Timur terjadi pada 4-6 Agustus 1946. Setelah sebelumnya, GKJW terbelah menjadi dua kubu – Raad Pasamuan Kristen dan Majelis Agung GKJW- akibat perbedaan pandangan menyikapi politik kolonial saat penjajahan Jepang.

Entah sudah berapa judul film yang pernah dijadikan titik diskusi oleh Staramuda. Seingat saya ada beberapa. Agora, Long Walk to Freedom, Five Minarets in New York, "Tanda Tanya", 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, Freedom Writer, cin(T)a, dan beberapa film lainnya.

Rata-rata adalah film berlatar belakang pluralisme dengan tarikan nafas anak muda. Romantis pelik, gairah dan perbedaan, serta kerumitan memilih merupakan beberapa kualifikasi yang kerap dijadikan instrument penapis film yang dipilih. Khas anak muda.

Maklumlah, Staramuda ini kumpulan individu yang mendaku dirinya sebagai anak muda dengan beragam latar belakang. Tak hanya agama serta etnis, mereka pun punya orientasi seksual dan identitas gender yang tidak tunggal. Islam, Kristen, Hindu, Budha, gay, straight, lesbian dan transgender ada di organisasi ini.

Dalam catatan saya, Staramuda merupakan satu-satunya organisasi yang berada di lingkar Jaringan GUSDURian dengan corak pelangi yang begitu kental.

Sungguhpun demikian, film dan perhelatan diskusinya bukanlah fokus yang ingin saya tulis. Namun, lebih kepada apa yang saya kenakan saat mendatangi event tersebut.

Sebenarnya tidak ada istimewanya dengan sarung yang membalut tubuh saya. Memakainya merupakan kelaziman, semacam pakaian dinas harian. Terutama saat menemui tuhan dan rapat resmi NU.

Pada perkembangan lanjutan, sarungan dalam kontinum-subyektif bagaimana saya membusanai tubuh telah menjelma sebagai titik kompromi; antara keengganan memakai celana panjang dan kerikuhan untuk terus-menerus berparade mengenakan celana pendek.

On the record, saya senang sekali memakai celana pendek dan berkaos. Rute terjauh yang pernah saya tempuh dengan memakai celana pendek, kaos plus ransel terjadi minggu lalu, Hotel Harris Tebet - Pancoran - Soetta- Juanda - Bungurasih - Jombang. Ini jalur keramat dalam memorabilia percelanapendekan saya.

Anda tidak perlu mengandaikan tokoh sekaliber Gus Sholah atau Gus Mus akan menapaktilasi rute bersejarah tersebut dengan bercelana pendek. Disamping ngoyo woro (percuma), membayangkan keduanya seperti itu bisa dianggap su'ul adab.

Sungguh, tak ada yang istimewa dengan bercelana pendek dan berkaos --selain hanya berpotensi mendegradasi status seseorang di hadapan publik.

Masih ingat cibiran miring sebagian orang saat Presiden Gus Dur melambaikan tangan -bersama anaknya Yenny- di hadapan para pendukungnya sesaat sebelum meninggalkan Istana Presiden?

Gus Dur dianggap telah mengalami disorientasi. Mentalitasnya dituduh oleng akibat kekuasaannya dilucuti. Lalu Gus Dur diyakini tidak lagi sanggup mengendalikan cara berbusananya.

Saya memilih tidak percaya cibiran itu.

Dia bukan sosok ambisius. Tidak mengharap jabatan namun tidak akan menolak jika diberi mandat. Gus Dur tidak pernah meniati dirinya menjadi presiden sehingga cukup naïf jika dia dituduh terpukul saat kekuasaannya dilucuti.

Gus Dur adalah simbol kemerdekaan dan keserderhanaan dalam banyak hal. Dia seringkali memilih tidak cerewet dalam berbagai urusan. Anda tahu, dia rela berjam-jam menunggu kerumitan staf rumgapres menyulap jas lusuhnya saat sesi foto kepresidenan, sampai akhirnya disetrika sendiri oleh Mbak Ratih – Sekretaris Presiden- di hadapan puluhan staff tersebut? Padahal, Gus Dur sangat punya otoritas dan alasan kuat memecat staf-staf tersebut karena ketidakprofesionalan mereka berdampak pada penelantaran presiden. Namun, jangankan dipecat, dimarahipun tidak.

Di jaman Pak Harto, seorang staff dipastikan akan suram nasibnya hanya karena dianggap gagal menginterpretasi dehem Pak Harto.
Jika bercelana pendek identik sebagai symbol kejelataan, maka Gus Dur sangat mungkin tengah melakukan apa yang didengungkan sebagai desakralisasi istana kepresidenan. Yakni penjebolan mitos aristokrasi Istana Presiden, tempat di mana harga seseorang akan sangat ditentukan oleh busana yang dikenakannya.

Atau jangan-jangan, celana pendek Gus Dur ini adalah sublimasi dari apa yang kerap disuarakan oleh Emha Ainun Najib; "gak dadi presiden, gak pathe'en".

Wallohu 'alam. Hanya Gus Dur dan Tuhan saja yang tahu soal misteri celana pendek itu.
**

Saya tak hendak menyejajarkan diri dengan Gus Dur. Berfikir ke arah sana pun tidak berani. Namun, sejarah celana pendeknya memberikan snapshot penting untuk diimani; pada beberapa hal, melepaskan diri dari kekaprahan dan keumuman terkadang penting.
Resiko berbanding lurus dengan dampak yang akan dihasilkan.

Saat para kiai memilih resisten dan diam atas tuntutan korban 65, Gus Dur malah melakukan pembelaan, dengan sepenuhnya sadar. Hujatan dan cacian menderanya. Alih-alih mendukung, semua fraksi di DPR berbalik menentang gagasan ini, termasuk "fraksi" Kramat Raya. Gus Dur pun bergeming, bahkan saat beberapa korban 65 malah menggugatnya ke pengadilan.

Gus Dur, bagi saya, telah mencatatkan dirinya dalam sejarah gerakan pembelaan peristiwa 65. Dampaknya, membincang isu ini tidak akan pernah bisa mengabaikan legasi yang telah ditanam Gus Dur.

Nyatapun demikian, keberanian Gus Dur bercelana pendek tidak mampu menginjeksi nyali saya meneruskan
laku-katho'an ke acara bedah film Staramuda. Sungkan jika harus bertemu Pdt. Wimbo, pendeta senior pemangku gereja setempat.

Bercelana panjang rasanya bukan opsi yang menarik hati. Pilihan rasional yang tersedia adalah memakai sarung. Jika acara selesai, sarung bisa dilipat, dimasukkan jok motor dan saya bisa kembali bercelana pendek lagi.

Tiba di GKJW Mojowarno, dari kejauhan saya melihat sekumpulan orang berjejer duduk di teras kepanditan. Dari posenya yang tertib, saya sudah menduga mereka bukan peserta bedah film.

Feeling saya benar. Deretan itu terisi oleh para pendeta dan beberapa majelis gereja yang hendak ke luar kota termasuk tuan rumah, pendeta Wimbo. Saya teramat sangat bersyukur kenapa akhirnya memilih memakai sarung.

Kasus sarung ini terus berlanjut paginya. Adalah seorang pendeta perempuan yang ikut berderet kemarin. Dia yg saya kenal progresif dan tengah intens bergumul dengan isu politik tubuh, menceritakan jemaatnya yang melihat saya di bedah film.

"Bu ndito, mas ingkang ndamel sarung sat wingi niku pendito (GKJW) pundi?"

Saya sendiri tidak menganggap pertayaan polos tersebut sebagai hal aneh. Pergulatan historis sejak pertengahan abad 19 menjadikan gereja ini kental dengan tradisi lokal.

Sebutan kiai cukup populer sebagai representasi ketokohan kristen kala itu. Kiai Sadrach atau Radin Abas adalah sosok yang tidak akan ditinggalkan jika membincang historisitas genre kekristenan ini.

Bangunan gereja berarsitektur menyerupai masjid juga dapat dengan mudah ditemukan. Meski tidak lagi lazim, aksi kontemporer bernuansa Islami sering dilakukan "kakak" saya, Mas Chrysta Andrea. Dia adalah pendeta senior GKJW yang memangku wilayah Sitiharjo, sebuah desa di ujung selatan Kabupaten Malang.

Mas Chrysta kerap memakai songkok hitam a la Islam-NU pada pertemuan-pertemuan lintas iman. Dengan jenggot yg dibiarkan tumbuh cukup lebat, performanya persis gus atau kiai, aristokrat muslim. Saya melihat adaptifitas GKJW menerima kultur yang berkembang secara dialektis mempengaruhi pendetanya menjadi lebih lentur dalam mengapresiasi simbol-simbol agama/kebudayaan lain.

Dia, kawan-pendeta saya yang ditanya jemaatnya tadi, menilai aksi sarungan saya saat itu terasa unik dan memberikan corak warna lain. Sarungan tersebut ia yakini telah mengintrodusir kembali kedamaian, utamanya saat digunakan dalam momen relijius-heterogenistik dengan semangat pluralisme dan kemanusiaan.

Refleksinya itu mendorong saya berefleksi balik. Mungkinkah dia sudah muak melihat simbol-simbol agama diparadekan sebagai alasan menghancurkan agama dan keyakinan liyan, seperti halnya pada Peristiwa Situbondo 1996?

Dia barangkali begidik membaca brutalitas invasi kelompok Wahabi ke tanah Batak Selatan sepanjang tahun 1816-1820 dimana darah tertumpah sangat atas nama agama. Atau bahkan, dia limbung akibat membayangkan pembantaian massal yang dialami oleh Suku Qurayza pada tahun 627 masehi.

Saya, pada titik ini berharap ia tidak sedang termangu galau karena berhasil menelusuri jejak amok 65 di Jawa Timur dan Bali, yang sebegitu dahsyat pembantaiannya hingga Sarwo Edhie harus turun tangan menghentikannya.

Laksana gangbang, kodrat agama sebagai wajah agung tuhan telah diperkosa sedemikian rupa. Dihinakan kesuciannya melampaui batas terendah yg bisa dinalar manusia waras. Mungkin kekagumannya atas aksi-sarungan saya hanya basa-basi. Sebatas etika berelasi antarkawan.

Namun siapa yang bisa menjamin dia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya? Siapa yang bisa menggaransi dia - dan mungkin ratusan juta penduduk Indonesia lainnya- tidak sedang mendamba negeri ini terbebas dari kutukan kekerasan berbasis agama? Dia bisa saja menaruh asa pluralisme merekah melalui salah satu simbol penting Islam jawa; sarung.(**)

Thursday, March 23, 2017

Pelangi untuk KH. Hasyim Muzadi dan Yu Patmi

Bertempat di aula GKJW Jombang, puluhan aktifis lintas iman Kota Santri menggelar doa bersama menandai 7 hari KH. Hasyim Muzadi, Kamis, 22/3.

Kordinator acara, Aan Anshori, menegaskan warisan alm. KH. Hasyim Muzadi terhadap kehidupan pluralisme di Indonesia. Alm. merupakan jembatan antarumat beragama untuk menjaga keragaman sebagaimana mandat konstitusi dan ajaran Islam.

Menurut Sholeh, wakil dari GKJW, KH. Hasyim Muzadi mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan gerejanya. Beberapa kali Kiai Hasyim hadir dalam acara lintas iman yang diselenggarakan GKJW. "Terakhir kali ya dua bulan lalu di Sidoarjo. Pak Hasyim datang memakai kursi roda dengan tangan yang masih ada bekas infus. Kami berhutang jasa pada beliau," tegas guru injil ini dalam refleksinya.

Hal senada juga disampaikan Pdt. Kristian Muskanan, gembala Gereja Bethel Diaspora. Ia melihat Gus Dur dan Pak Hasyim sebagai sosok yang konsisten menyuarakan pentingnya hidup harmonis dalam keragaman. "Kami khusus mengadakan ini bagi beliau," ujarnya.

Tidak hanya untuk KH. Hasyim Muzadi, peserta yang hadir juga mendoakan Ibu Patmi, petani Kendeng yang meninggal dunia saat berjuang menolak pabrik semen. Patmi dan puluhan lain tengah melakukan aksi mengecor kakinya di depan istana.

Jaringan lintas iman Jombang, menurut Aan Anshori, mengajak seluruh warga Indonesia untuk tidak melupakan Ibu Patmi. "Patmi adalah simbol konsitensi keberanian rakyat melawan korporasi perusak lingkungan," tegas aktifis Jaringan GUSDURian ini.

Beberapa peserta lain yang hadir antara lain Pdt. Eddy Kusmayadi, Pdt. Eko dan perwakilan dari PMII, GKI, Gusdurian, GKJW, GBI Diaspora, dan mahasiswa S2 Univ. Hasyim Asyari Tebuireng.(aan)

Thursday, March 16, 2017

Kuasa Jahat tengah Mengincar Mata Air Kolondono?

Kawan2, ditangkapnya Taufik, kepala dusun Kolondono Grobogan Mojowarno Jombang, oleh Polres Jombang, 16/3, menyuguhkan dua fakta tak terbantahkan. _Pertama_, ada kekuatan jahat yang sedang mengincar kejernihan air Grobogan dan sekitarnya. Entah dengan cara bagaimana, saya mendengar kabar, kekuatan ini tengah mengincar lahan warga seluas hampir 5 hektar, demi pendirian pabriknya. Itu berarti lahan pertanian warga telah beralih fungsi ke industri.

_Kedua_, dalam menjalankan aksi joroknya tidak jarang kekuatan jahat ini memanfaatkan elit masyarakat. Sangat mungkin motivasinya adalah untuk melumpuhkan soliditas warga agar loyo saat menghadapi kekuatan jahat ini.

Perlu diketahui, Alloh SWT telah memberikan anugerah luar biasa bagi Grobogan dan Sumberboto, dalam bentuk sumber mata air berkualitas tinggi. Anugerah ini perlu dijaga dengan sungguh-sungguh.

Oleh karena itu, warga di sana perlu mempertimbangkan serius masuknya korporasi yang ingi mengkapitalisasi air . Hemat saya, penguasaan air secara sepihak oleh pemodal tidak hanya merugikan generasi saat ini saja, namun juga akan berimplikasi serius terhadap masa depan anak-cucu.

Dari mana warga akan memenuhi kebutuhan air mereka jika disedot secara rakus? Apalagi Jombang termasuk kawasan yang sangat rentan bencana kekeringan.

Saya berpandangan, warga perlu mendatangi DPRD dan Bupati untuk menolak cengkraman kekuatan pemodal di sana. Saya juga meyakini, akan lebih banyak mudlarat ketimbang manfaat ketika air Grobogan telah dikapitalisasi.

Mari kita selamatkan sumber air kita.

Aan Anshori

Featured Post

Janji Pengharaman Jual Beli Jabatan WarSa, Hanya Gimmick?

Kita patut mengapresiasi pasangan WarSa, yang berani berkomitmen menolak --bahkan mengharamkan-- jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Jomb...